TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
2.1.1 Definisi Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan
gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak
bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting
baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Stunting merupakan keadaan tubuh yang
sangat pendek hingga melampaui defisit 2 SD (Standar Deviasi) di bawah median
panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional (Gibney dkk,
2009).
2. Asupan Gizi
Tingkat kecukupan energi, protein, vitamin B2, vitamin B6, mineral Fe dan Zn
merupakan faktor risiko terhadap kejadian stunting pada anak usia 1-3 tahun. Anak batita
yang kekurangan energi akan memiliki risiko 2,52 kali akan menjadi anak stunted
dibandingkan dengan anak yang cukup energi. Anak batita yang kekurangan asupan
protein mempunyai risiko 3,46 kali akan menjadi anak stunted dibandingkan dengan anak
yang asupan proteinnya cukup. Demikian pula dengan anak yang kekurangan vitamin B2,
B6 dan kekurangan mineral Fe dan Zn juga memiliki risiko akan menjadi anak stunted.
Masalah gizi seringkali dikaitkan dengan kekurangan makanan di masyarakat
yang dihasilkan oleh pembangunan ekonomi yang rendah, distribusi kekayaan yang tidak
merata, kemiskinan, faktor musim, dan peperangan. Faktor-faktor lain seperti ukuran
besar keluarga, praktek pemberian makan yang salah dan pre-alensi penyakit menular
yang tinggi juga mempunyai peranan terjadinya masalah gizi.
Hasil penelitian yang dilakukan Listyani dkk, menunjukkan bahwa kuantitas dan
jenis makanan diberikan kepada anak dan frekuensi makanan merupakan faktor penting
yang berkaitan dengan kejadian stunting pada anak. Panjang atau tinggi badan menurut
umur (LAZ/HAZ) merupakan indikator yang baik bagi status gizi dan kesehatan bayi dan
anak-anak. Stunting menunjukkan pertumbuhan yang rendah dan merupakan efek
kumulatif dari asupan energi, makronutrien atau mikro-nutrien yang tidak memadai
dalam waktu jangka panjang atau hasil dari infeksi kronis, yang berkontribusi terhadap
morbiditas dan kematian dari penyakit infeksi seperti infeksi pernafasan akut, diare,
campak dan malaria.
3. Status Ekonomi
Menurut Bishwakarma (2011), keluarga dengan status ekonomi baik akan dapat
memeroleh pelayanan umum yang lebih baik seperti pendidikan, pelayanan kesehatan,
akses jalan, dan lainnya sehingga dapat memengaruhi status gizi anak. Selain itu, daya
beli keluarga akan semakin meningkat sehingga akses keluarga terhadap pangan akan
menjadi lebih baik.
Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang signifikan terhadap
kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek (UNICEF, 2013). Apabila ditinjau dari
karakteristik pendapatan keluarga bahwa akar masalah dari dampak pertumbuhan bayi
dan berbagai masalah gizi lainnya salah satunya disebabkan dan berasal dari krisis
ekonomi. Sebagian besar anak balita yang mengalami gangguan pertumbuhan memiliki
status ekonomi yang rendah.
4. Pendidikan Ibu dan Pengetahuan Gizi Ibu
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Khoirun, dkk (2015), di Surabaya bahwa
Pendidikan ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita
(p=0,029) dengan OR sebesar 3,378. Hal ini dilihat dari distribusi data yang
menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu balita stunting memiliki tingkat pendidikan
yang rendah (61,8%), sementara lebih dari separuh ibu pada kelompok balita normal
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (67,6%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kamboja oleh Ikeda, et
al. (2013), dan Tiwari, et al. (2014) di Nepal yang menunjukkan bahwa pendidikan ibu
merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak di bawah lima tahun.Ibu dengan
pendidikan tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih luas tentang praktik perawatan
anak serta mampu menjaga dan merawat lingkungannya agar tetap bersih (Taguri, et al.,
2007).
Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya seorang ibu dalam
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang didapatkan. Pendidikan diperlukan agar
seseorang terutama ibu lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga
dan diharapkan bisa mengambil tindakan yang tepat sesegera mungkin (Suhardjo, 2003).
Penyediaan bahan dan menu makan yang tepat untuk balita dalam upaya
peningkatan status gizi akan dapat terwujud bila ibu mempunyai tingkat pengetahuan gizi
yang baik (Lestariningsih, 2000).
Ketidaktahuan mengenai informasi tentang gizi dapat menyebabkan kurangnya
mutu atau kualitas gizi makanan keluarga khususnya makanan yang dikonsumsi balita
(Sjahmien, 2003).
Salah satu penyebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi dan
kemampuan seseorang menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari.
Tingkat pengetahuan gizi ibu memengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih bahan
makanan, yang lebih lanjut akan memengaruhi keadaan gizi keluarganya (Suhardjo,
2003).
5. Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan sehat secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan anak
balita yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kondisi status gizi anak balita.
Sanitasi lingkungan, lebih terlihat memberikan efek langsung pada perkembangan
kesehatan anak balita. Sanitasi lingkungan kurang baik meningkatkan kejadian infeksi
sehingga menurunkan kondisi kesehatan anak dan berimplikasi buruk terhadap
kemajuan pertumbuhan anak. Faktor lingkungan sebagai faktor penentu stunting tidak
berdiri sendiri, ada faktor lain yang secara bersama-sama memengaruhi stunting
misalnya penyakit infeksi dan pola asuh.
Aridiyah, F.O., 2015. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting Pada Anak Balita
di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan di Kabupaten Jember.
Diafrilia MI. dkk. Determinan Stunting pada Anak Umur 24-59 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Ranomuut Kecamatan Paldua. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam
Ratulangi Manado.
Hidayati, dkk. 2010. Kekurangan Energi dan Zat Gizi Merupakan Faktor Risiko Kejadian
Stunted pada Anak Usia 1-3 Tahun yang Tinggal di Wilayah Kumuh Perkotaan Surakarta.
Khoirun, dkk. 2015. Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting pada Balita.
Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Erlangga, Surabaya.