Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting
2.1.1 Definisi Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan
gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak
bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting
baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Stunting merupakan keadaan tubuh yang
sangat pendek hingga melampaui defisit 2 SD (Standar Deviasi) di bawah median
panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional (Gibney dkk,
2009).

Gambar 1. Anak Stunting

2.1.2 Diagnosis dan Klasifikasi


Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat
pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur
(PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah
stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat
diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu
dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek
adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut
umurnya bila dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth
Reference Study) tahun 2005.
Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan per
umur (TB/U).
I. Sangat pendek : Zscore < -3,0
II. Pendek : Zscore < -2,0 s.d. Zscore ≥ -3,0
III. Normal : Zscore ≥ -2,0
Dan di bawah ini merupakan klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator
TB/U dan BB/TB.
I. Pendek – kurus : -Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
II. Pendek - normal : Z-score TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d
2,0
III. Pendek – gemuk : Z -score ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0

2.1.3 Penyebab Stunting


Terdapat beberapa penyebab stunting diantaranya terdapat penyebab langsung
maupun tidak langsung. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi
pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab
stunting dapat digambarkan sebagai berikut.

1. Riwayat ASI Eksklusif


ASI (Air Susu Ibu) eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak
dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan
makanan atau minuman lain. ASI mengandung antibodi yang kuat untuk mencegah
infeksi dan sumber gizi yang sangat ideal, berkomposisi seimbang, dan secara alami
disesuaikan dengan kebutuhan masa pertumbuhan bayi (Bahiyatun, 2009; Danuatmaja
dan Meiliasari, 2003).
Rendahnya pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu pemicu terjadinya
stunting pada anak balita yang disebabkan oleh kejadian masa lalu dan akan berdampak
terhadap masa depan anak balita, sebaliknya pemberian ASI yang baik oleh ibu akan
membantu menjaga keseimbangan gizi anak sehingga tercapai pertumbuhan anak yang
normal. Berdasarkan hasil penelitian Arifin (2012) dan Fikadu, et al. (2014) di Ethiopia
Selatan yang menunjukkan bahwa balita yang tidak diberikan ASI eksklusif selama 6
bulan pertama memiliki risiko yang lebih besar terhadap kejadian stunting.
Besarnya pengaruh ASI eksklusif terhadap status gizi anak membuat WHO
merekomendasikan agar menerapkan intervensi peningkatan pemberian ASI selama 6
bulan pertama sebagai salah satu langkah untuk mencapai WHO Global Nutrition Targets
2025 mengenai penurunan jumlah stunting pada anak di bawah lima tahun (WHO,
2014).
Depkes yang menyatakan bahwa gangguan pertumbuhan pada awal masa
kehidupan bayi antara lain disebabkan oleh kekurangan gizi sejak bayi, pemberian MP-
ASI terlalu dini atau terlalu lambat, MP-ASI tidak cukup gizinya sesuai kebutuhan bayi
atau kurang baiknya pola pemberiannya menurut usia, dan perawatan bayi yang kurang
memadai. Anak balita yang diberikan ASI eksklusif dan MP-ASI sesuai dengan dengan
kebutuhannya dapat mengurangi resiko tejadinya stunting. Hal ini karena pada usia 0-6
bulan ibu balita yang memberikan ASI eksklusif yang dapat membentuk imunitas atau
kekebalan tubuh anak balita sehingga dapat terhindar dari penyakit infeksi. Setelah itu
pada usia 6 bulan anak balita diberikan MP-ASI dalam jumlah dan frekuensi yang cukup
sehingga anak balita terpenuhi kebutuhan zat gizinya yang dapat mengurangi risiko
terjadinya stunting.

2. Asupan Gizi
Tingkat kecukupan energi, protein, vitamin B2, vitamin B6, mineral Fe dan Zn
merupakan faktor risiko terhadap kejadian stunting pada anak usia 1-3 tahun. Anak batita
yang kekurangan energi akan memiliki risiko 2,52 kali akan menjadi anak stunted
dibandingkan dengan anak yang cukup energi. Anak batita yang kekurangan asupan
protein mempunyai risiko 3,46 kali akan menjadi anak stunted dibandingkan dengan anak
yang asupan proteinnya cukup. Demikian pula dengan anak yang kekurangan vitamin B2,
B6 dan kekurangan mineral Fe dan Zn juga memiliki risiko akan menjadi anak stunted.
Masalah gizi seringkali dikaitkan dengan kekurangan makanan di masyarakat
yang dihasilkan oleh pembangunan ekonomi yang rendah, distribusi kekayaan yang tidak
merata, kemiskinan, faktor musim, dan peperangan. Faktor-faktor lain seperti ukuran
besar keluarga, praktek pemberian makan yang salah dan pre-alensi penyakit menular
yang tinggi juga mempunyai peranan terjadinya masalah gizi.
Hasil penelitian yang dilakukan Listyani dkk, menunjukkan bahwa kuantitas dan
jenis makanan diberikan kepada anak dan frekuensi makanan merupakan faktor penting
yang berkaitan dengan kejadian stunting pada anak. Panjang atau tinggi badan menurut
umur (LAZ/HAZ) merupakan indikator yang baik bagi status gizi dan kesehatan bayi dan
anak-anak. Stunting menunjukkan pertumbuhan yang rendah dan merupakan efek
kumulatif dari asupan energi, makronutrien atau mikro-nutrien yang tidak memadai
dalam waktu jangka panjang atau hasil dari infeksi kronis, yang berkontribusi terhadap
morbiditas dan kematian dari penyakit infeksi seperti infeksi pernafasan akut, diare,
campak dan malaria.

3. Status Ekonomi
Menurut Bishwakarma (2011), keluarga dengan status ekonomi baik akan dapat
memeroleh pelayanan umum yang lebih baik seperti pendidikan, pelayanan kesehatan,
akses jalan, dan lainnya sehingga dapat memengaruhi status gizi anak. Selain itu, daya
beli keluarga akan semakin meningkat sehingga akses keluarga terhadap pangan akan
menjadi lebih baik.
Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang signifikan terhadap
kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek (UNICEF, 2013). Apabila ditinjau dari
karakteristik pendapatan keluarga bahwa akar masalah dari dampak pertumbuhan bayi
dan berbagai masalah gizi lainnya salah satunya disebabkan dan berasal dari krisis
ekonomi. Sebagian besar anak balita yang mengalami gangguan pertumbuhan memiliki
status ekonomi yang rendah.
4. Pendidikan Ibu dan Pengetahuan Gizi Ibu
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Khoirun, dkk (2015), di Surabaya bahwa
Pendidikan ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita
(p=0,029) dengan OR sebesar 3,378. Hal ini dilihat dari distribusi data yang
menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu balita stunting memiliki tingkat pendidikan
yang rendah (61,8%), sementara lebih dari separuh ibu pada kelompok balita normal
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (67,6%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kamboja oleh Ikeda, et
al. (2013), dan Tiwari, et al. (2014) di Nepal yang menunjukkan bahwa pendidikan ibu
merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak di bawah lima tahun.Ibu dengan
pendidikan tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih luas tentang praktik perawatan
anak serta mampu menjaga dan merawat lingkungannya agar tetap bersih (Taguri, et al.,
2007).
Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya seorang ibu dalam
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang didapatkan. Pendidikan diperlukan agar
seseorang terutama ibu lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga
dan diharapkan bisa mengambil tindakan yang tepat sesegera mungkin (Suhardjo, 2003).
Penyediaan bahan dan menu makan yang tepat untuk balita dalam upaya
peningkatan status gizi akan dapat terwujud bila ibu mempunyai tingkat pengetahuan gizi
yang baik (Lestariningsih, 2000).
Ketidaktahuan mengenai informasi tentang gizi dapat menyebabkan kurangnya
mutu atau kualitas gizi makanan keluarga khususnya makanan yang dikonsumsi balita
(Sjahmien, 2003).
Salah satu penyebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi dan
kemampuan seseorang menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari.
Tingkat pengetahuan gizi ibu memengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih bahan
makanan, yang lebih lanjut akan memengaruhi keadaan gizi keluarganya (Suhardjo,
2003).
5. Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan sehat secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan anak
balita yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kondisi status gizi anak balita.
Sanitasi lingkungan, lebih terlihat memberikan efek langsung pada perkembangan
kesehatan anak balita. Sanitasi lingkungan kurang baik meningkatkan kejadian infeksi
sehingga menurunkan kondisi kesehatan anak dan berimplikasi buruk terhadap
kemajuan pertumbuhan anak. Faktor lingkungan sebagai faktor penentu stunting tidak
berdiri sendiri, ada faktor lain yang secara bersama-sama memengaruhi stunting
misalnya penyakit infeksi dan pola asuh.

6. Riwayat Penyakit Infeksi


Penyakit infeksi dapat menggangu pertumbuhan linier dengan terlebih dahulu
mempengaruhi status gizi anak balita. Hal ini terjadi karena penyakit infeksi dapat
menurunkan intake makanan, mengganggu absorbsi zat gizi, menyebabkan hilangnya
zat gizi secara langsung, meningkatkan kebutuhan metabolik. Terdapat interaksi
bolak-balik antara status gizi dengan penyakit infeksi. Malnutrisi dapat meningkatkan
risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat menyebabkan malnutrisi yang mengarahkan ke
lingkaran setan. Apabila kondisi ini terjadi dalam waktu lama dan tidak segera diatasi
maka dapat menurunkan intake makanan dan mengganggu absorbsi zat gizi, sehingga
dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting pada anak balita.
DAFTAR PUSTAKA

Aridiyah, F.O., 2015. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting Pada Anak Balita
di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan di Kabupaten Jember.

Diafrilia MI. dkk. Determinan Stunting pada Anak Umur 24-59 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Ranomuut Kecamatan Paldua. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam
Ratulangi Manado.

Hidayati, dkk. 2010. Kekurangan Energi dan Zat Gizi Merupakan Faktor Risiko Kejadian
Stunted pada Anak Usia 1-3 Tahun yang Tinggal di Wilayah Kumuh Perkotaan Surakarta.

Khoirun, dkk. 2015. Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting pada Balita.
Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Erlangga, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai