Anda di halaman 1dari 27

Midwife || SEPUTAR KEBIDANAN

Semua Materi - Materi Dari Ibu Hamil, Persalinan, Perawatan Neonatus dan
Balita Ada Disini.
SENIN, 28 MARET 2016

UU untuk Rekam Medis dn UU untuk Informed Consent

A. Permenkes No. 269 Tahun 2008


PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 269/MENKES/PER/III/2008
TENTANG
REKAM MEDIS

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 47 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokieran, perlu mengatur kembali
penyelenggaraan Rekam Medis dengan Peraturan Menteri Kesehatan;

Mengingat:
1.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 100; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3495);
2.Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4431);
3.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republi Indonesia Tahun 2004 Nomor 125. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerinlah Penganti Undang-Undang Namer 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2803):;
5.Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3637);
6.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah. Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tether 2007 Namer 82. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomo 4737);
7.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan
Kesehatan Swasta Di Bidang Medik;
8.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1985 tentang Rumah Sakit;
9.Peraturan Menteri Kesehatan Namer 1575/Menkes/Per/XII/2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan;
MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG REKAM MEDIS.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

1.Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
2.Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang
diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dergan peraturan perundang-undangan.
3.Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang
dapat digunakar untuk praktik kedokteran dan kedokteran gigi.
4.Tenaga kesehatan tertentu adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan
secara langsung kepada pasuen selain dokter dan dokter gigi.
5.Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
dokter atau dokter gigi.
6.Catatan adalah tulisan yang dibuat oleh dokter atau dokter gigi tentang segala tindakan yang
dilakukan kepada pasien dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan.
7.Dokumen adalah catatan dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan tertentu, laporan hasil
pemeriksaan penunjang catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman, baik
berupa foto radiologi, gambar pencitraan (imaging), dan rekaman elektro diagnostik.
8.Organisasi Profesi adalah Ikatan Doker Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi
Indonesia untuk dokter gigi.
BAB II
JENIS DAN ISI REKAM MEDIS

Pasal 2

(1)Rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik.
(2)Penyelenggaraan rekam medis dengan menggunakan teknologi informasi elektronik diatur lebih
lanjut dengan peraturan tersendiri.
Pasal 3

(1)Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan pada sarana pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya
memuat a. identitas pasien;
b.tanggal dan waktu;
c.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d.hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
e.diagnosis;
f.rencana penatalaksanaan;
g.pengobatan dan/atau tindakan;
h.pelayanan lainyang telah diberikan kepada pasien;
i.untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik; dan
j.persetujuan tindakan bila diperlukan.
(2)Isi rekam medis untuk pasien rawat inap dan perawatan satu hari sekurang-kurangnya memuat:
a.identitas pasien;
b.tanggal dan waktu;
c.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
d.hasil pemerisaan fisik dan penunjang medik;
e.diagnosis:
f.rencana penatalaksanaan;
g.pengobatan dan/atau tindakan;
h.persetujuan tindakan bila diperlukan;
i.catatan observasi klinis dan hasil pengobatan.
j.ringkasan pulang (discharge summary);
k.nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehalan tertentu yang memberikan
pelayanan kesehatan;
l.pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu; dan
m.untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik.

(3)Isi rekam medis untuk pasien gawat darurat sekurang-kurangnya memuat:


a.identitas pasien;
b.kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan;
c.identitas pengantar pasien;
d.tanggal dan waktu;
e.hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;
f.hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
g.diagnosis;
h.pengobatan dan/atau tindakan;
i.ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak
lanjut;
j.nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan
pelayanan kesehatan;
k.sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan
kesehatan lain; dan
l.pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
(4)Isi rekam medis pasien dalam keadaan bencana, selain memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditambah denqan:
a.jenis bencana dan lokasi di mana pasien ditemukan;
b.kategori kegawatan dan nomor pasien bencana masal; dan
c.identitas yang menemukan pasien;
(5)Isi rekam medis untuk pelayanan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis dapat dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan.
(6)Pelayanan yang diberikan dalam ambulans atau pengobatan masal dicatat dalam rekam medis
sesuai ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (3) dan disimpan pada sarana pelayanan
kesehatan yang merawatnya.
Pasal 4

(1)Ringkasan pulang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) harus dibuat o!eh dokter atau
dokter gigi yang melakukan perawatan pasien.
(2)Isi ringkasan pulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.identitas pasien;
b.diagnosis masuk dan indikasi pasien dirawat;
c.ringkasan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosis akhir, pengobatan, dan tindak lanjut;
dan
d.nama dan tanda tangan dokter atau dokter gigi yang memberikan pelayanan kesehatan.

BAB III
TATA CARA PENYELENGGARAAN

Pasal 5

(1)Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam
medis.
(2)Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat segera dan dilengkapi setelah
pasien menerima pelayanan.
(3)Pembuatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui pencatatan
dan pendokumentasian hasil pemeriksaan pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien.
(4)Setiap pencatatan ke dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan dokter,
dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan secara
langsung.
(5)Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis dapat dilakukan
pembetulan.
(6)Pembetuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat dilakukan dengan cara pencoretan
tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter gigi, atau tenaga
kesehatan tertentu yang bersangkutan.
Pasal 6

Dokter, dokter gigi, dan/atau tenaga kesehatan tertentu bertanggungjawab atas catatan dan/atau
dokumen yang dibuat pada rekam medis.

Pasal 7

Sarana pelayanan kesehatan wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam rangka
penyelenggaraan rekam medis.

BAB IV
PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN KERAHASIAAN

Pasal 8

(1)Rekam medis pasien rawat inap di rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan.
(2)Setelah batas waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui, rekam
medis dapat dimusnahkan, kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik.
(3)Ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
disimpan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung dari tanggal dibuatnya ringkasan
tersebut.
(4)Penyimpanan rekam medis dan ringkasan pulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3) dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 9

(1)Rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan non rumah sakit wajib disimpan sekurang-
kurangnya untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat.
(2)Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui, rekam medis dapat
dimusnahkan.
Pasal 10
(1)Informasi tentang identitas diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat
pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan
tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(2)Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat
pengobatan dapat dibuka dalam hal:
a.untuk kepentingan kesehatan pasien;
b.memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah
pengadilan;
c.permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
d.permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan

e.untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan
identitas pasien;
(3)Permintaan rekam medis untuk tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan
secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 11

(1)Penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang
merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2)Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara tertulis atau
langsung kepada pemohon tanpa izin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.

BAB V
KEPEMILIKAN, PEMANFAATAN DAN TANGGUNG JAWAB

Pasal 12

(1)Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan.


(2)Isi rekam medis merupakan milik pasien.
(3)Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk ringkasan rekam medis.
(4)Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan. dicatat, atau
dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau
keluarga pasren yang berhak untuk itu.
Pasal 13

(1)Pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai:


a.pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;
b.alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran, dan kedokteran gigi dan
penegakkan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi;
c.keperluan pendidikan dan penelitian;
d.dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan; dan
e.data statistik kesehatan.

(2)Pemanfaatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang menyebutkan
identitas pasien harus mendapat persetujuan secara tertulis dari pasien atau ahli warisnya dan
harus dijaga kerahasiaannya.
(3)Pemanfaatan rekam medis untuk keperluan pendidikan dan penelitian tidak diperlukan
persetujuan pasien, bila dilakukan untuk kepentingan negara.
Pasal 14

Pimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas hilang, rusak, pemalsuan, dan/atau
penggunaan oleh orang atau badan yang tidak berhak terhadap rekam medis.

BAB VI
PENGORGANISASIAN

Pasal 15

Pengelolaan rekam medis dilaksanakan sesuai dengan organisasi dan tata kerja sarana
pelayanan kesehatan.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 16

(1)Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan organisasi
profesi terkait melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini sesuai dengan
tugas dan fungsi masing-masing.
(2)Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Pasal 17

(1)Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dapat mengambil tindakan administratif sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.
(2)Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan, teguran
tertulis sampai dengan pencabutan izin.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 18

Dokter, dokter gigi, dan sarana pelayanan kesehatan harus menyesuaikan dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggai ditetapkan.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 20

Peraturan in mulai berlaku pada tanggal ditetapkan agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.

 Menganalisis Isi Permenkes no. 269 Tahun 2008


I. Aturan – aturan untuk Penyimpangan, pemusnahan dan kerahasiaan
Sesuai Permenkes tersebut dijelaskan antara lain:

A. Untuk Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit dalam mengelola dan pemusnahan rekam medis
maka harus memenuhi aturan sebagai berikut:
1. Rekam medis pasien rawat inap wajib disimpan sekurang-kuangnya 5 tahun sejak pasien berobat
terakhir atau pulang dari berobat di rumah sakit.
2. Setelah 5 tahun rekam medis dapat dimusnahkan kecuali ringakasan pulang dan persetujuan
tindakan medik.
3. Ringakasan pulang dan persetujuan tindakan medik wajib disimpan dalam jangka waktu 10
sejak ringkasan dan persetujuan medik dibuat.
4. Rekam medis dan ringkasan pulang disimpan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.

B. Untuk Pelayanan Kesehatan non rumah Sakit dalam mengelola dan pemusnahan rekam medis
harus memenuhi aturan sebagai berikut:
1. Rekam medis pasien wajib disimpan sekurang-kuangnya 2 tahun sejak pasien berobat terakhir
atau pulang dari berobat. Setelah 2 tahun maka rekam medis dapat dimusnahkan.

Kerahasiaan isi rekam medis yang berupa identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat
pemeriksaan dan riwayat pengobatan harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi,
petugas kesehatan lain, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Untuk
keperluan tertentu rekam medis tersebut dapat dibuka dengan ketentuan:
1. Untuk kepentingan kesehatan pasien.
2. Atas perintah pengadilan untuk penegakan hukum.
3. Permintaan dan atau persetujuan pasien sendiri.
4. Permintaan lembaga /institusi berdasarkan undang-undang.
5. Untuk kepentingan penelitian, audit, pendidikan dengan syarat tidak menyebutkan identitas
pasien.

Permintaan rekam medis tersebut harus dilakukan tertulis kepada pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.

Sesuai Ketentuan Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 maka kita dapat


menjalankan pengelolaan rekam medis di rumah sakit maupun non rumah sakit. Dokter, dokter
gigi dan petugas lain, pengelola dan pimpinan harus menjaga kerahasiaan rekam medis serta
dapat memanfaatkan rekam medis sesuai ketentuannya.

II. Macam – macam sanksi yang diberikan pelanggaran Permenkes 269


Tahun 2008
Aspek Hukum, Disiplin Dan Etik Rekam Medis
Rekam medis dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti tertulis di pengadilan[8], dan
dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis selain mendapat sanksi hukum juga
dapat dikenakan sanksi disiplin dan etik sesuai dengan UU praktik kedokteran, peraturan KKI,
Kode Etik kedokteran Indonesia (KODEKI), dan Kode Etik kedokteran Gigi Indonesia
(KODEKGI)[9].
Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia tentang tata cara penanganan kasus
dugaan pelanggaran disiplin, ada 3 alternatif sanksi disiplin yaitu :
1. Pemberian peringatan tertulis.
2. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi.

CONTOH KASUS DALAM PERMENKES 269 TAHUN2008


Kasus Rekam Medis
Ketika seorang petugas kesehatan dituntut karena membuka rahasia kedokteran (isi
Rekam Medis) kepada pihak ketiga tanpa izin pasien atau bahkan menolak memberitahukan isi
rekam medis (yang merupakan milik pasien) ketika pasien menanyakannya. Seorang tenaga
kesehatan dapat secara sengaja membuka rahasia pasien (isi Rekam Medis) dengan cara
menyampaikannya secara langsung kepada orang lain. Akan tetapi ia dapat juga membukanya
secara tidak sengaja, yaitu ketika ia membicarakan keadaan pasien dengan petugas kesehatan
lain di depan umum atau jika ia menaruh Rekam Medis secara sembarangan sehingga orang yang
tidak berkepentingan dapat melihatnya. Untuk tindakan membuka rahasia ini petugas kesehatan
dapat dikenakan sanksi pidana, perdata maupun administrative. Secara pidana membuka rahasia
kedokteran diancam pidana melanggar pasal 322 KUHP dengan ancaman hukuman selama-
lamanya 9 bulan penjara. Secara perdata, pasien yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi
berdasarkan pasal 1365 jo 1367 KUH Perdata. Secara administratif, PP No.10 tahun 1966
menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang membuka rahasia kedokteran dapat dikenakan sanksi
admninistratif, meskipun pasien tidak menuntut dan telah memaafkannya

2. Permenkes No. 290 Tahun 2008


A. PERATURAN DAN DASAR HUKUM
Dalam hukum Kesehatan Terdapat Peraturan yang di gunakan Antara lain , Undang-Undang
Dasar 1945,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata,Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,Undang-Undang No. 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran,PP No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia
kedokteran,PP No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan,Permenkes RI No.
585/Men.Kes/Per/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik,Permenkes RI No.
729a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Record,Kepdirjen Pelayanan Medis
No. HK.00.06.6.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun
1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi:
Pasal 45 ayat
(1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) : Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) : Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan.
(5) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut
terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara persetujuan
tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes No.585
Tahun 1989.
B. BENTUK INFORMED CONSENT
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien)
kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar,
sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung
resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan
dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak
mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik
atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui
tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Tujuan Informed Consent:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat
suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

 Menganalisis Isi Permenkes 290 Tahun 2008


ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta
Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan
dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan
pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan
yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak
dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan
adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan
medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan
berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan
medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan
suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya,
sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal
351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa
tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat
dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran
terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed
consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent
ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau
belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku
dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian
perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan
Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu
perjanjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang
undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas
kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua
belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya,
demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan
Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan
secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).

Sanksi Hukum terhadap Informed Consent


· Sanksi pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan pasien
dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP
· Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat dengan
1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
· Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya
dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.

ISI INFORMASI YANG HARUS DISAMPAIKAN


Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga diminta
atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien.
Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik
diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Ini
mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternative
terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien
dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk
diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan
memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan
beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang
akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan
pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan
adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan
yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
1. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 /
Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.

Contoh kasus dari permenkes 290 tahun 2008


Untuk pasien kegawatdaruratan yang tidak sadarkan diri dan harus segera
diberikan pertolongan sedangkan keluarga belum ada yang dating maka dokter berhak
memberikan pertolongan kepada pasien, namun setelah diberikan pertolongan dokter wajib
menjelaskan padapasien setelah sadar atau keluarga pasien atas tindakan yang telah diberikan
pada pasien tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4
ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat
(3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada
keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan
sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini
berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka
dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga
terdekat.

Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien dalam keadaan gawat
darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal
1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan
zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh
setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka
secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu sehingga
orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan
yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan
menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-
baiknya. Maka dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah
dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.

A. KESIMPULAN
Untuk Permenkes 269 Tahun 2008 : Rekam medis merupakan suatu rekaman atas
tindakan yang dilakukan oleh doctor maupun tenaga kesehatan lainnya di suatu rumah sakit. Isi
informasi rekam medis bersifat rahasia. Rekam medis diadakan sebagai bentuk tata tertib
administrasi layanan rumah sakit dan sebagai dokumen pertanggung jawaban atas segala
tindakan medis atas pasien. Pengelolaan, perawatan hingga pelayanan rekam medis menjadi
tanggung jawab masing –masing rumah sakit. Rekam medis memiliki nilai guna ilmu
pengetahuan yaitu sebagai referensi utama dalam analisis penyakit ataupun wabah penyakit.
Keberadaan rekam medis dapat dikatakan sebagai arsip yang dihasilkan oleh rumah sakit
maupun dokter praktek. Oleh karena itu perlakuannya hamper sama, dengan perlakuan terhadap
arsip, seperti pada tahap penyimpanan. Apabila terjadi gangguan terhadap isi informasi rekam
medis ( kehilangan maupun pencurian ), terdapat beberapa sanksi hokum yang berlaku.
Meskipun tidak seketat sanksi atas gangguan terhadap arsip.
Untuk Permenkes 290 Tahun 2008 : Di Indonesia perkembangan “informed consent”
secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian
dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik
atau Informed Consent”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004. informed
Consent yang di proleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap sebagai penemu
hak otonomi pasien , sehingga oleh karna nya merupakan tindakan melanggar hukumnamun
demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya di lakukan dengan mengindahkan
nilai nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.

B. SARAN
Dalam Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan
kita dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah Dalam hal ini Pemerintah Bertanggung jawab
merencanakan , mengatur, meyelenggarakan dan membina Serta mengawasi penyelenggaraan
upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat. Juga sumber daya di bidang
kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya, terhadap rekam medis dan Informed Consent agar kelak tidak terjadi
perselisihan .
DAFTAR PUSTAKA
1. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran,
Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
2. Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
3. Hanafiah, M. Jusuf, Amri, Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3, 1999,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
4. Rustiyanto, Ery, Etika Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, 2009, Yogyakarta:
Graha Ilmu
5. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan

6. Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis

Diposting oleh ekawahyunieg.p. di 08.30


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

TOTAL TAYANGAN HALAMAN

15,758
MENGENAI SAYA ARSIP BLOG
 ► 2017 (5)
 ▼ 2016 (53)
o ► Juni (32)
ekawahyunieg.p. o ► Mei (7)
Lihat profil lengkapku o ► April (1)
o ▼ Maret (13)
 Diit yang Diberikan
Berdasarkan
Penyakit
 UU untuk Rekam
Medis dn UU untuk
Informed Consent
 Dimensi Psikologi
Remaja
 Penyebab
Perdarahan
postpartum
 Sindrom Aspirasi
Mekonium dan
Pengobatannya
 MODEL-MODEL
DOKUMENTASI
ASUHAN
KEBIDANAN
 Asuhan Ibu Nifas
 PERAN DAN
FUNGSI BIDAN
SEBAGAI
PENELITI
 LAPORAN
PRAKTIKUM
PEMERIKSAAN
VITAL
 Manajemen Asuhan
Bayi Baru Lahir
 RINGKASAN
ANATOMI
ORGAN
REPRODUKSI
WANITA,
KONSEPS...
 Spermatogenesis
dan Oogenesis
 Makalah Laporan
Praktikum
Kardiovaskuler
Widget-Animasi

My Widget

My Widget
Tema Jendela Gambar. Diberdayakan oleh Blogger.

 Home
 Daftar Isi
 Privacy Policy
 Contact Us

Type and h

Public Health Home » Permenkes Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak

posted on 25/02/2015 by kesmas

Permenkes Pencantuman Informasi


Kandungan Gula, Garam, dan Lemak
Filed under Public Health

1
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2013 Tentang
Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan
Untuk Pangan Olahan Dan Pangan Siap Saji

Beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar Permenkes ini diantaranya

 bahwa masyarakat perlu dilindungi dari risiko penyakit tidak menular terutama hipertensi,
stroke, diabetes dan serangan jantung yang salah satunya disebabkan oleh asupan gula, garam,
dan lemak yang berlebih;
 bahwa salah satu upaya untuk mengurangi risiko penyakit tidak menular perlu mengedukasi
masyarakat melalui pencantuman informasi kandungan gula, garam, dan lemak, serta pesan
kesehatan untuk pangan olahan dan pangan siap saji;

Sedangkan
beberapa dasar yang menjadi acuan Permenkes diantaranya

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


2. Undang-Undang kan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/ Menkes/ SK/ III/2003 tentang Laboratorium
Kesehatan;
7. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.06.51.0475 Tahun 2005
tentang pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan sebagaimana telah
diubah dengan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.11.11.09605
Tahun 2011;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 298/ Menkes/ SK/ III/2008 tentang Akreditasi
Laboratorium Kesehatan;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1096/Menkes/Per/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa
Boga
Beberapa Ketentuan Umum yang tercantum (Pasal 1), antara lain

1. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu
dengan atau tanpa bahan tambahan termasuk pangan olahan tertentu, bahan tambahan
pangan, pangan produk rekayasa genetika, dan pangan iradiasi.
2. Pangan Siap Saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung
disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.
3. Gula adalah jumlah seluruh monosakarida dan disakarida (glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa)
yang terdapat pada pangan.
4. Garam adalah senyawa mineral dengan unsur utama natrium dan klorida, dinyatakan sebagai
natrium total yang berasal dari bahan pangan dan bahan yang ditambahkan.
5. Lemak adalah lemak total yang menggambarkan semua kandungan asam lemak, dinyatakan
sebagai trigliserida yang berasal dari bahan pangan dan/atau bahan yang ditambahkan.
6. Label Pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan,
kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam,
ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.

Kemudian pada Pasal 2, disebutkan : “Pencantuman informasi kandungan Gula, Garam, dan
Lemak serta pesan kesehatan pada Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji dimaksudkan untuk
menurunkan risiko kejadian Penyakit Tidak Menular terutama hipertensi, stroke, diabetes dan
serangan jantung melalui peningkatan pengetahuan konsumen terhadap asupan konsumsi Gula,
Garam, dan/atau Lemak pada Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji.

Pada Pasal 3, disebutkan


(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan Olahan yang mengandung Gula, Garam, dan/atau
Lemak untuk diperdagangkan wajib memuat informasi kandungan Gula, Garam, dan Lemak,
serta pesan kesehatan pada Label Pangan.

Pasal 4 disebutkan :
(1) Informasi kandungan Gula, Garam, dan Lemak terdiri atas kandungan gula total, natrium
total, dan lemak total.
(2) Pesan kesehatan berbunyi “Konsumsi Gula lebih dari 50 gram, Natrium lebih dari 2000
miligram, atau Lemak total lebih dari 67 gram per orang per hari berisiko hipertensi, stroke,
diabetes, dan serangan jantung”.

Pasal 5
(1) Setiap orang yang memproduksi Pangan Siap Saji yang mengandung Gula, Garam,
dan/atau Lemak wajib memberikan informasi kandungan Gula, Garam, dan Lemak, serta pesan
kesehatan melalui Media Informasi dan Promosi.

Pasal 6
(1) Pencantuman informasi kandungan Gula, Garam, dan Lemak harus didasarkan pada hasil
uji laboratorium yang dilakukan di laboratorium yang terakreditasi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
DOWNLOAD Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2013 Tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, Dan Lemak Serta Pesan
Kesehatan Untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji DISINI

Incoming Search Terms:

 permenkes gula garam lemak

Tagged with

dan Lemak pangan Garam Informasi kandungan Gula Label Pangan Pangan Olahan Pangan Siap Saji
Permenkes Nomor 30 Tahun 2013

Related posts:

1. Download Permenkes Angka Kecukupan Gizi


2. Download Permenkes Nomor 2 Tahun 2013 Tentang KLB Keracunan Pangan
3. Permenkes Penyakit Menular KLB
4. Download Permenkes 23 TAHUN 2014 Tentang Upaya Perbaikan Gizi
5. Permenkes Nomor 51 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak
6. Permenkes Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji
7. Download Permenkes Pedoman Manajemen Puskesmas Tahun 2016
8. Download Permenkes 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang Pengendalian Vektor
9. Download Permenkes Penanggulangan HIV dan AIDS
10. Sistem Informasi Manajemen KIA

One thought on “Permenkes Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan


Lemak”

1. aripin ahmad

21/08/2015 at 9:04 am

Perlu sosialisasi pada produsen makanan skala kecil/PIRT

Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *
Comment

Name *

Email *

Website

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Public Health Followers

Daily Update Article

 Pengambilan Contoh Air Limbah


 Riskesdas 2010 Bidang Sanitasi
 Dowonload Perpres Nomor 35 Tahun 2015 Tentang Kementerian Kesehatan
 Pengertian Kesehatan Masyarakat
 Hasil Sanitasi Air Bersih Riskesdas 2010
 Siklus Hidup Nyamuk Penyebab Demam Chikungunya
 Tipe dan Gejala Klinis Kurang Energi Protein
 Prinsip Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL)
 Rumah Makan dan Penyakit karena Makanan
 Penilaian Risiko Kecelakaan Kerja

Free Update Kesmas Disini

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner


About Contact Us Privacy Policy Disclaimer Pharmacy Care Home Informasi Obat Tanaman
Obat Penyakit Regulasi Pedoman Konseling Home » Peraturan Menteri » Regulasi Kefarmasian
» Permenkes No. 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Permenkes No. 3 Tahun 2015 Tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi Pharmacy Care Sunday, September 25, 2016 Peraturan Menteri, Regulasi Kefarmasian
Permenkes No. 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Permenkes No. 3 Tahun 2015 Tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi Menimbang: a. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/Menkes/Per/I/1978
tentang Penyimpanan Narkotika, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997
tentang Peredaran Psikotropika, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
912/Menkes/Per/VIII/1997 tentang Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan Psikotropika perlu
disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum; b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (3), Pasal
36 ayat (2), Pasal 42, dan Pasal 44 Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
dan Pasal 9 ayat (3), Pasal 14 ayat (6) dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2010 tentang Prekursor, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi; Mengingat: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3671); Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5062); Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063); Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072); Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781); Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5044); Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5126); Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5419); Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5533); Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/lll/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 585) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35
Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741); Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 721) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 16 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 442);
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 370) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 585); Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2013 tentang Impor dan
Ekspor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 178); Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 232); Dengan adanya Permenkes No. 3
Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, maka statusnya yaitu Mencabut: 1. Permenkes No.
28/Menkes/Per/I/1978 tentang Penyimpanan Narkotika; 2. Permenkes No.
688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika; dan 3. Permenkes
No.912/Menkes/Per/VIII/1997 tentang Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan Psikotropika
Download File PDF Permenkes No. 3 Tahun 2015 Aplikasi uang ini membuat orang Indonesia
kaya! Aplikasi uang ini membuat orang Indonesia kaya! Mulai menghasilkan lebih dari $ 560
tiap hari! Mulai menghasilkan lebih dari $ 560 tiap hari! Penurunan berat efektif di rumah! -10
kg dalam 2 minggu, minum 1 gelas... Penurunan berat efektif di rumah! -10 kg dalam 2 minggu,
minum 1 gelas... Cara jadi kaya di Indonesia. Mengejutkan Cara jadi kaya di Indonesia.
Mengejutkan Cara terbaik hasilkan uang di Indonesia Cara terbaik hasilkan uang di Indonesia
inShare Subscribe to receive free email updates: Related Posts : Permenkes No. 31 Tahun 2016
Tentang Registrasi, Izin Praktik dan Kerja Tenaga Kefarmasian Menimbang: bahwa Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin
Kerja Tenaga Kefa… Read More... Permenkes Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas Permenkes Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas Menimbang: a. bahwa untuk meningkatkan mutu
pelayanan … Read More... Permenkes Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Perubahan Penggolongan
Psikotropika Permenkes Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Perubahan Penggolongan Psikotropika.
Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maup… Read More... Permenkes
Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pedagang Besar Farmasi Permenkes Nomor 34 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/Menkes/Per/Vi/2011
Tentang Pedagang Besar Far… Read More... Permenkes 1175 Tahun 2010 tentang izin produksi
kosmetik Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian
luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ… Read More... Newer Post Older
Post Home Populer PostLabelArsip Blog Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Di
Apotek Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah
Sakit Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) Permenkes Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Cara Menggunakan Suppositoria dengan benar Prekursor
Gliseril Guaiakolat Isosorbid Dinitrat (ISDN) Difenhidramin Cara Distribusi Obat Yang Baik
(CDOB) Bergabung Bersama kami di Google Google Follower Bergabung Bersama Kami Di
Facebook Tautan (Link) Pelayanan Informasi Obat di Apotek Pedoman Konseling Swamedikasi
Powered by Blogger. Labels Farmakognosi (23) Farmakologi (7) Farmakoterapi (43)
Farmasetika (12) Farmasi Industri (4) Gangguan Saluran cerna (7) Infeksi Saluran Pernafasan (5)
Kardiovaskular (3) Laboraturium (9) Penyakit Infeksi (6) Regulasi Kefarmasian (49) SOP
Kesehatan (10) Tanaman Obat (19) Entri Populer Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit Permenkes Nomor 73 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Di
Apotek Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) Prekursor Cara Menggunakan Suppositoria dengan
benar Isosorbid Dinitrat (ISDN) Labels Farmakognosi Farmakologi Farmakoterapi Farmasetika
Farmasi Industri Gangguan Saluran cerna Infeksi Saluran Pernafasan Laboraturium Penyakit
Infeksi Regulasi Kefarmasian SOP Kesehatan Tanaman Obat Copyright 2016 Pharmacy Care
Powered by Blogger.com

Sumber Asli:
http://www.mipa-farmasi.com/2016/09/Permenkes-No-3-Tahun-2015-Tentang-Peredaran-
Penyimpanan-Pemusnahan-dan-Pelaporan-Narkotika-Psikotropika-dan-Prekursor-Farmasi.html

Anda mungkin juga menyukai