Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Peningkatan angka kematian balita merupakan salah satu permasalahan


kesehatan di Indonesia. Adapun salah satu penyebabnya dalah kebutuhan gizi yang
tidak terpenuhi. Keadaan gizi balita akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan
harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan
keberhasilan pembangunan negara atau yang sering disebut dengan istilah Human
Development Index (HDI).Malnutrisi pada balita tidak hanya meningkatkan angka
kesakitan dan angka kematian tetapi juga dapat menimbulkan gangguan dalam
pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir yang pada akhirnya akan
menurunkan produktivitas kerja (Depkes RI, 2006).
Berbagai masalah yang timbul akibat malnutrisi atau gizi buruk antara lain
tingginya angka kelahiran bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang
disebabkan jika ibu hamil menderita KEP (Kurang Energi Protein) akan
berpengaruh pada gangguan fisik, mental dan kecerdasan anak, juga meningkatkan
resiko bayi yang dilahirkan kurang zat besi. Bayi yang kurang zat besi dapat
berdampak pada gangguan pertumbuhan sel-sel otak, yang dikemudian hari dapat
mengurangi IQ anak hingga 10%. Selain itu, penyakit yang dapat diderita balita gizi
buruk adalah diabetes dan penyakit jantung koroner. Dampak paling buruk yang
daiakibatkan oleh malnutrisi ini adalah kematian pada umur yang sangat dini (Pudjiadi,
2000).
Kasus kematian balita akibat gizi buruk kembali berulang, terjadi secara
masif dengan wilayah sebaran yang hampir merata di seluruh tanah air. Sejauh
pemantauan yang telah dilakukan temuan kasus tersebut terjadi setelah anak-anak
mengalami fase kritis. Sementara itu, perawatan intensif baru dilakukan setelah
anak-anak itu benar-benar tidak berdaya. Berarti sebelum anak-anak itu memasuki
fase kritis, perhatian terhadap hak hidup dan kepentingan terbaiknya terabaikan
(Depkes RI, 2007).
Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi
pemantauan Pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan kejadian

1
luar biasa gizi seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans. Prevalensi
balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Hasil riskesdas
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi balita gizi kurang dan buruk secara
nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7
persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka
prevalensi Nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat
meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun
2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan 5,7 persen tahun 2013. Sedangkan
prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan 2013.Mencuatnya
kembali pemberitaan di media massa akhir-akhir inimengenai balita gizi buruk
yang ditemukan dan meninggal menunjukkan sistem surveilans dan penanggulangan
dari berbagai instansiterkait belum optimal (Depkes RI, 2008).
Pasien–pasien yang masuk ke rumah sakit dalam kondisi status gizi buruk
juga semakin meningkat. Umumnya pasien–pasien tersebut adalah balita. Salah satu
tanda gizi buruk balita adalah berat badan balita di bawah garis merah dalam Kartu
Menuju Sehat (KMS) balita. Masalah gizi buruk balita merupakan masalah yang
sangat serius, apabila tidak ditangani secara cepat dan cermat dapat berakhir pada
kematian. Gizi buruk lebih rentan pada penyakit akibat menurunnya daya tahan
tubuh, pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal, sampai pada kematian
yang akan menurunkan kualitas generasi muda mendatang. Hal ini telah
membukakan mata kita bahwa anak balita sebagai sumber daya untuk masa depan
mempunyai masalah yang sangat besar.Apalagi penyakit penyerta yang sering
pada gizi buruk seperti lingkaran setan, yaitu penyakit-penyakit penyerta justru
menambah rendahnya status gizi anak. Penyakit-penyakit penyerta yang sering
terjadi adalah InfeksiSaluran Pernafasan Akut (ISPA), diarepersisten, cacingan,
tuberculosis, malaria danHIV/AIDS (Simanjuntak, 2008).
Faktor penyebab gizi buruk terdiri atas penyebab tak langsung dan langsung.
Adapun penyebab tak langsung seperti kurangnya jumlah dan kualitas makanan
yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan, menderita penyakit
kanker dan penyebab langsung yaitu ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku
dan pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selainfaktor kesehatan, tetapi

2
juga merupakanmasalah utama gizi buruk adalah kemiskinan,pendidikan rendah,
ketersediaan pangan dankesempatan kerja. Oleh karena itu, untukmengatasi gizi
buruk dibutuhkan kerjasamadari berbagai pihak yang terkait (Sherwood, 2012).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DefinisiMalnutrisi
Malnutrition (gizi salah) diartikan sebagai keadaan asupan gizi yang
salah, dalam bentuk asupan berlebih ataupun kurang, sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan asupan
(Sulistyoningsih, 2011:5). Menurut Supariasa, Bakri dan Fajar (2012:18)
dalam buku Penilaian Status Gizi, malnutrisi merupakan keadaan patologis
akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau
lebih zat gizi. Masalah gizi adalah gangguan pada perorangan atau
masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat
gizi yang diperoleh dari makanan.
2. Klasifikasi
Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat
beratnya KEP, klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai
berikut :
a. Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS 1983

Klasifikasi KEP BB/U BB/TB


Ringan 70-80% 80-90%
Sedang 60-70% 70-80%
Berat <60% <70%

Table 1. Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NHCHS

b. Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI


Klasifikasi malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan
(TB), dan umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:

4
BB/TB TB/U
(berat menurut tinggi) (tinggi menurut umur)
Mild 80 – 90 % 90 – 94%
Moderate 70 – 79 % 85 – 89 %
Severe < 70 % <85 %

Table 2. Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI

c. Klasifikasi Menurut Gomez


Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan
dengan berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur.

Derajat KEP Berat badan % dari baku*


0 (normal) ≥90%
1 (ringan) 89-75%
2 (sedang) 74-60%
3 (berat) <60%

Table 3. Klasifikasi KEP menurut Gomez

d. Klasifikasi Menurut McLaren 1967


McLaren mengklasifikasikan KEP berat dalam 3 kelompok
menurut tipenya. Gejala klinis edema disertai dermatosis, perubahan
pada rambut, dan pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan
menurunnya kadar albumin atau total protein serum

Gejala klinis / laboratories Angka


Edema 3
Dermatosis 2
Edema disertai dermatosis 6
Perubahan pada rambut 1

5
Hepatomegali 1
Albumin serum atau protein total serum/g %
<1,00 <3,25 7
1,00-1,49 3,25-3,99 6
1,50-1,99 4,00-4,74 5
2,00-2,49 4,75-5,49 4
2,50-2,99 5,50-6,24 3
3,00-3,49 6,25-6,99 2
3,50-3,99 7,00-7,74 1
>4,00 >7,75 0

Tabel 4. Klasifikasi KEP menurut McLaren

Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat


dikumpulkan tiap penderita:
0-3 angka = marasmus
4-8 angka = marasmic-kwashiorkor
9-15 angka = kwashiorkor
Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalahan jika dibandingkan
dengan cara Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang
dokter dengan bantuan laboratorium.

e. Klasifikasi Menurut Wellcome Trust Party 1970


Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun
jika cara ini diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari
dirawat dan mendapat pengobatan diet, maka akan dapat dibuat
diagnose yang salah. Seperti pada penderita kwashiorkor (edema,
berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang lain) yang sudah
dirawat selama satu minggu, edema pada tubuh pasien sudah tidak
terlihat lagi dan berat badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala
yang seperti itu akan didiagnosis sebagai penderita marasmus.

6
Berat badan Edema
% Tidak ada Ada
dari baku
>60% Gizi kurang Kwashiorkor
<60% Marasmus Marasmik-Kwashiorkor
Tabel 5. Klasifikasi KEP menurut Wellcome Trust Party

f. Klasifikasi Menurut Waterlow


Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan
menahun.Waterlow berpendapat bahwa defisit berat terhadap
tinggimencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan
wasting (kurus kering).Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat
kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan
akan terganggu, hingga anak akan menjadipendek (stunting) untuk seusianya.

Gangguan Derajat Stunting (BB/U) Wasting(BB/TB)


0 >95% >90%
1 95-90% 90-80%
2 89-85% 80-70%
3 <85% <70%
Tabel 6. Klasifikasi KEP menurut Waterlow

g. Klasifikasi menurut Jelliffe


Jelliffe mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB)
menurut umur (U) sebagai berikut:

Kategori BB/U (% baku)


KEP I 90 – 80
KEP II 80 – 70
KEP III 70 – 60
KEP IV <60
Tabel 7. Klasifikasi KEP menurut Jelliffe

7
h. Klasifikasi menurut WHO 2005

3. Epidemiologi
Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta orang yang
menderita gizi buruk pada tahun 2000 – 2002, dengan 815 juta orang yang
hidup di negara berkembang. Berdasarkan perkembangan masalah gizi,
pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang
(berat badan menurut umur), 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Dari
anak yang menderita gizi buruk tersebut ada 150.000 menderita gizi buruk
tingkat berat yang disebut marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor, yang memerlukan perawatan kesehatan yang intensif di
Puskesmas dan Rumah Sakit. Masalah gizi kurang dan gizi buruk terjadi
hampir di semua Kabupaten dan Kota. Pada saat ini masih terdapat 110
Kabupaten / Kota dari 440 Kabupaten / Kota di Indonesia yang mempunyai
prevalensi di atas 30% (berat badan menurut umur). Menurut WHO keadaan
ini masih tergolong sangat tinggi. Berdasarkan hasil surveilans Dinas
Kesehatan Propinsi dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2005,
total kasus gizi buruk sebanyak 76.178 balita (WHO, 2005).
Untuk Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan riskesdas 2010, angka
kejadian gizi kurang pada balita sebesar 14.4% dan buruk sebanyak 5.5%
dengan indikator berat badan per umur. Sebagai perbandingan berdasarkan
laporan yang ada dalam profil kesehatan Kota Palembang tahun 2007
dijelaskan bahwa angka gizi buruk tahun 2007 adalah 1,4% menurun bila
dibanding tahun 2006 yaitu 2,21%, angka KEP total tahun 2007 adalah 15%
meningkat dibanding tahun 2006 yaitu 12,9%, sedangkan gizi lebih tahun
2007 adalah 2,8% menurun dibanding dengan tahun 2006 yaitu 4% dan

8
balita yang gizi baik tahun 2007 adalah 82,12% bila dibanding tahun 2006
terdapat penurunan dimana tahun 2006 berjumlah 84%. Pada tahun 2008
dari 144 ribu balita dikota Palembang, 400 diantaranya mengalami kurang
gizi atau berada dibawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat hasil
pantauan di 889 posyandu aktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk
Kota Palembang, angka kurang gizi pada balita juga masih tergolong tinggi.
Pada tahun 2010, angka kejadian gizi buruk berjumlah 24 kasus dengan
prevalensi gizi buruk tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Seberang Ulu 1
sejumlah 8 kasus (33,3%). Angka kejadian gizi kurang berjumlah 876 kasus,
dengan prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Ilir
Timur 1 sebanyak 143 kasus (Riskesdas, 2010).
Prevalensi obesitas di negara-negara di wilayah Asia Tenggara
bervariasi antara 1 – 6,5% pada laki-laki dan 1,3 - 26% pada perempuan.
Prevalensi tertinggi baik pada laki-laki dan perempuan terdapat di
Maldives(16%). Indonesia berada pada urutan ke-5 dengan prevalensi
obesitas sebesar4,7%. Pada umumnya, obesitas lebih sering ditemukan pada
kelompokmasyarakat strata sosial ekonomi lebih tinggi (WHO, 2011).

4. Etiologi
Penyebab KEP berdasarkan / bagan sederhana yang disebut sebagai
“model hirarki” yang akan terjadi setelah melalui lima level seperti yang
tertera sebagai berikut (Gulden, 2004):

9
Bagan 1.Model Hirarki penyebab KEP

1. Penyebab langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi
kurang.Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang
kurang, tetapi juga penyakit.Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering
menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada
anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan
melemah dan akan mudah terserang penyakit.
2. Penyebab tidak langsung
Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu :

10
 Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga
diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota
keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.
 Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat
diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap
anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial.
 Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan
kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan
sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan.
Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan
keluarga, makin baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluarga
yang memanfaatkan pelayanan kesehatan.
3. Pokok masalah di masyarakat
Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber
daya masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak
langsung.
4. Akar Masalah
Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya
pemanfaatan sumber daya masyarakat terkait dengan meningkatnya
pengangguran, inflasi dan kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi,
politik dan keresahan sosial yang menimpa Indonesia sejak tahun 1997. Keadaan
tersebut telah memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan
ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai.

11
Bagan 2. Etiologi Gizi Buruk

12
Hasil penelitian Erledis Simanjuntak menunjukkan bahwa banyak faktor
resiko terjadinya KEP pada balita diantaranya: penyakit infeksi, jenis kelamin,
umur, berat badan lahir rendah, tidak diberi ASI eksklusif, imunisasi tidak
lengkap, nomor urut anak, pekerjaan ayah dengan tingkat sosial ekonomi yang
rendah, ibu pekerja, tingkat pendidikan orang tua yang rendah, jumlah anggota
keluarga yang besar dan lain- lain (Simanjuntak, 2008).
Hal ini berarti bahwa penyebab terjadinya KEP pada balita adalah sebagai
berikut:
 Penyakit Infeksi
 Tingkat Pendapatan Orang Tua yang rendah
 Konsumsi Energi yang kurang
 Perolehan Imunisasi yang kurang
 Konsumsi Protein yang kurang
 Kunjungan Ibu ke Posyandu, hal ini berkaitan dengan pengetahuan ibu.
Selain itu besarnya masalah gizi di Indonesia disebabkan oleh
beberapa faktor penting, yaitu karena ketidaktahuan serta karena bagitu
lekatnya tradisi dan kebiasaan yang mengakar di masyarakat khususnya
dibidang makanan, cara pengolahan makanan, dan cara penyajian serta menu
masyarakat kita dengan segala tabu-tabunya. Salah satu penyebab malnutrisi
(kurang gizi) diantaranya karena faktor ekonomi yaitu daya beli yang rendah
dari para keluarga yang kurang mampu.Nampaknya ada hubungan yang erat
antara pendapatan keluarga dan status gizi anak-anaknya. Pengetahuan ibu
juga merupakan salah satu faktor terjadinya kurang gizi pada balita, karena
masih banyak orang yang beranggapan bahwa bila anaknya sudah kenyang
berarti kebutuhan mereka terhadap gizi sudah terpenuhi (Ryadinancy, 2012).

5. Patogenesis
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai
cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup,
dimulai dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak
serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik
(infeksi) maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat

13
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat
status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor
(malnutrisi akut / ”decompensatedmalnutrition”). Pada kondisi ini penting
peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat
status gizi dibawah -3 SD, maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau
kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka
akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik / compensatedmalnutrition).
Dengan demikian pada KEP dapat terjadi : gangguan pertumbuhan, atrofi otot,
penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem
kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim (Gulden, 2004).
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran
antara penyakit marasmus dan kwashiorkor.Makanan sehari-harinya tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian, di samping menurunnya berat badan di bawah 60% dari
normal, memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada KEP
terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi
cairan, lemak, mineral, dan protein, terutama protein otot (Shetty, 2006).
Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai
asam amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi
hipoalbuminemia dan edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering
menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan
mengalihakan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase akut, yang
semakin memperparah berkurangnya sintesis albumin di hepar. Penghancuran
jaringan akan semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan
sintesis glukosa dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya
kalori dalam diet akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar
insulin. Ha ini akan menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di
bawah kulit. Pada awalnya, kelaina ini merupakan proses fisiologis. Untuk
kelangsungan hidup, jaringan tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi
oleh makanan yang diberikan, jika hal ini tidak terpenuhi maka harus didapat
dari tubuh sendiri sehingga cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi

14
kebutuhan energi. Tubuh akan mengandung lebih banyak cairan sebagai akibat
menghilangnya lemak dan otot sehingga tampak edema (Pudjiaji, 2000).
Patogenesis Obesitas
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran kalori
dari tubuh serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yangyang
dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsumakan dan tingkat
kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neuraldan humoral
(neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik,nutrisi,lingkungan, dan sinyal
psikologis. Pengaturan keseimbanganenergi diperankan oleh hipotalamus
melalui 3 proses fisiologis, yaitupengendalian rasa lapar dan kenyang,
mempengaruhi laju pengeluaranenergi dan regulasi sekresi hormon. Proses
dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen
(yang berpusatdi hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer
(jaringanadiposa, usus dan jaringan otot).Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik
(meningkatkan rasa lapar sertamenurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula
bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi
menjadi 2kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal
pendekmempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan
denganfaktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan
olehkolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa
lapar.Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulinyang
mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi (Sherwood, 2012).
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan
adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalamperedaran
darah. Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center dihipotalamus agar
menurunkan produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehinggaterjadi penurunan nafsu
makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhanenergi lebih besar dari asupan
energi, maka jaringan adiposa berkurangdan terjadi rangsangan pada orexigenic
center di hipotalamus yangmenyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada
sebagian besar penderitaobesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya
kadar leptin tidakmenyebabkan penurunan nafsu makan (Jeffrey, 2009).

15
Bagan 3. Patogenesis Marasmik-Kwashiorkor

16
6. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS
disertai edema yang tidak mencolok.Makanan sehari-hari tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal.Pada
penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal
memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula (Shetty, 2006).
Penampilan muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah
seperti orang tua. Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya
sebagian besar lemak dan otot-ototnya, bokong baggy pant, perut cekung, wajah
bulat sembab.Perubahan mental adalah anak mudah menangis, walapun setelah
mendapat makan karena anak masih merasa lapar. Kesadaran yang menurun
(apati) terdapat pada penderita marasmus yang berat.Kelainan pada kulit tubuh
yaitu kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkankehilangan
banyak lemak di bawah kulit serta otot-ototnya. Kelainan pada rambut kepala
walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor, adakalanya tampak
rambut yang kering, tipis dan mudah rontok. Lemak subkutan menghilang
hingga turgor kulit mengurang.Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat
lebih jelas.Pada saluran pencernaan, penderita marasmus lebih sering menderita
diare atau konstipasi.Tidak jarang terdapat bradikardi, dan pada umumnya
tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan dengan anak sehat seumur.
Terdapat pula frekuensi pernafasan yang mengurang dan ditemukan kadar
hemoglobin yang agak rendah. Selain itu anak mudah terjangkit infeksi yang
umumnya kronis berulang akibat defisiensi imunologik Soekirman, 2000).
Gejala klinis kwashiorkor yaitu penampilannya seperti anak yang
gemuk (sugar baby) bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping
kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya, terutama di pantatnya
terlihat adanya atrofi. Pertumbuhan terganggu, berat badan dibawah 80% dari
baku Harvard persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi
badannya terutama jika KEP sudah berlangsung lama.Perubahan mental sangat
mencolok. Pada umumnya mereka banyak menangis, dan pada stadium lanjut

17
bahkan sangat apatis.Perbaikan kelainan mental tersebut menandakan suksesnya
pengobatan.Edema baik yang ringan maupun berat ditemukan pada sebagian
besar penderita kwashiorkor.Walaupun jarang, asites dapat mengiringi
edema.Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring
terusmenerus, walaupun sebelum menderita penyakit demikian sudah dapat
berjalan-jalan.Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting.Pada
anoreksia yang berat penderita menolak segala macam makanan, hingga
adakalanya makanan hanya dapat diberikan melalui sonde lambung. Diare
tampak pada sebagian besar penderita, dengan feses yang cair dan mengandung
banyak asam laktat karena mengurangnya produksi laktase dan enzim
disaharidase lain. Adakalanya diare demikian disebabkan pula oleh cacing dan
parasit lain.Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya
(texture) maupun warnanya.Sangat khas bagi penderita kwashiorkor ialah
rambut yang mudah dicabut.Misalnya tarikan ringan di daerah temporal
menghasilkan tercabutnya seberkas rambut tanpa reaksi si penderita.Pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala yang kusam,
kering, halus, jarang, dan berubah warnanya.Warna rambut yang hitam menjadi
merah, coklat kelabu, maupun putih. Rambut aslipun menunjukkan perubahan
demikian, akan tetapi tidak demikian dengan rambut matanya yang justru
memanjang. Perubahan kulit yang oleh Williams, dokter wanita pertama yang
melaporkan adanya penyakit kwashiorkor, diberi nama crazy pavement
dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi penyakit
kwashiorkor.Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah menyerupai
petehia, berpadu menjadi bercak yang lambat laun menghitam.Setelah bercak
hitam mengelupas, maka terdapat bagianbagian yang merah dikelilingi oleh
batas-batas yang masih hitam.Bagian tubuh yang sering membasah dikarenakan
keringat atau air kencing, dan yang terus-menerus mendapat tekanan merupakan
predeleksi crazy pavement dermatosis, seperti di punggung, pantat, sekitar
vulva, dan sebagainya.Perubahan kulit lainpun dapat ditemui, seperti kulit yang
kering dengan garis kulit yang mendalam, luka yang mendalam tanpa tanda-
tanda inflamasi.Kadang-kadang pada kasus yang sangat lanjut ditemui petehia

18
tanpa trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi si penderita (Sulistya,
2013).
Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan.Kadang-
kadangbatas hati terdapat setinggi pusar.Hati yang membesar denganmudah
dapat dirabah dan terasa kenyal pada rabahan dengan permukaanyang licin dan
pinggir yang tajam.Sediaan hati demikian jika dilihat dibawah mikroskop
menunjukkan, bahwa banyak sel hati terisi dengan lemak.Pada kwashiorkor
yang relatif ringan infiltrasi lemak itu terdapat terutama di segi tiga Kirnan, lebih
berat penyakitnya lebih banyak sel hatiyang terisi dengan lemak, sedangkan
pada yang sangat berat perlemakanterdapat pada hampir semua sel
hati.Adakalanya terlihat juga adanyafibrinosis dan nekrosis hati.Anemia ringan
selalu ditemukan pada penderita demikian. Bilamana kwashiorkor disertai oleh
penyakit lain, terutama ankylostomiasis, maka dapat dijumpai anemia yang
berat. Jenis anemia pada kwashiorkor bermacam-macam, seperti normositik
normokrom, mikrositik hipokrom, makrositik hiperkrom, dan sebagainya.
Perbedaan macam anemia pada kwashiorkor dapat dijelaskan oleh kekurangan
berbagai faktor yang mengiringi kekurangan protein, seperti zat besi, asam folik,
vitamin B12, vitamin C, tembaga, insufisiensi hormon, dan sebagainya. Macam
anemiayang terjadi menunjukkan faktor mana yang lebih dominan.Pada
pemeriksaan sumsum tulang sering-sering ditemukan mengurangnya sel sistem
eripoitik.Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian disebabkan terutama
oleh kekurangan protein dan infeksi menahun (Sulistya, 2013).
Tabel 7. Manifestasi klinis pada Marasmus-kwashiorkor (Gulden, 2004):
Marasmus Kwshiorkor Obesitas
 Pertumbuhan  Perubahan mental  wajah bulat dengan
berkurang atau sampai apatis pipi tembem dan dagu
berhenti  Anemia rangkap
 Terlihat sangat kurus  Perubahan warna dan  leher relatif pendek
 Penampilan wajah tekstur rambut,  dada membusung
seperti orangtua mudah dicabut / dengan payudara
 Perubahan mental rontok membesar
 Cengeng  Gangguan sistem - perut membuncit dan

19
 Kulit kering, dingin, gastrointestinal striae abdomen
mengendor, keriput  Pembesaran hati - pada anak laki-laki :
 Lemak subkutan  Perubahan kulit Burried penis,
menghilang hingga  Atrofi otot gynaecomastia
turgor kulit berkurang  Edema simetris pada - pubertas dini
 Otot atrofi sehingga kedua punggung kaki, - genu valgum (tungkai
kontur tulang terlihat dapat sampai seluruh berbentuk X) dengan
jelas tubuh. kedua pangkal paha
 Vena superfisialis bagian dalam
tampak jelas saling menempel dan
 Ubun – ubun besar bergesekan yang dapat
cekung menyebabkan laserasi
 tulang pipi dan dagu kulit
kelihatan menonjol
 mata tampak besar
dan dalam
 Kadang terdapat
bradikardi
 Tekanan darah lebih
rendah dibandingkan
anak sebaya
*Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran gejala
marasmus dan kwashiorkor

a. Marasmus
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut:
- Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat masukan
kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang
dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak.
- Kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang mempunyai
hubungan orang tua – anak terganggu.

20
- Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance.
- Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosis
pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas (Ryadinency,
2012).
b. Kwashiorkor
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein
yang berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan kwashiorkor
antara lain.
1. Pola makan
Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk
tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori
yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein/ asam amino yang
memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari
ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein
dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah
dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi
anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa
peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
2. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi,
keadaan sosial dan politik tidak stabil ataupun adanya pantangan untuk
menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung turun-turun dapat
menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak
terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan
proteinnya.

21
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan
infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan
sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas
tubuh terhadap infeksi (Ryadinency, 2012).
c. Marasmic – kwashiorkor
Penyebab marasmic – kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua
penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi
primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein
maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi
yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorbsi
dan/atau peningkatan kehilangan protein maupun energi dari tubuh
(ryadinency, 2012).

Gambar 1. Perbedaan marasmus dan kwarshiorkor

22
d. Obesitas
Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih banyak
kilokaloriyang masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk
menunjangkebutuhan energi tubuh, dengan kelebihan energi tersebut
disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2012).
Menurut Fauci,et al., (2009), obesitas dapat disebabkan oleh peningkatan
masukan energi, penurunan pengeluaran energi, atau kombinasi
keduanya. Obesitasdisebabkan oleh banyak faktor, antara lain genetik,
lingkungan, psikis,kesehatan, obat-obatan, perkembangan dan aktivitas
fisik (Sherwood,2012).

a. Diagnosis
Diagnosis untuk marasmus-kwashiorkor dapat ditegakkan berdasarkan
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan antropometrik.
1. Manifestasi klinis: anamnesis (terutama anamnesis makanan, tumbuh kembang,
serta penyakit yang pernah diderita) dan pemeriksaan fisik. Manifestasi yang
umumnya timbul adalah gagal tumbuh kembang. Di samping itu terdapat pula
satu atau lebih manifestasi klinis marasmus dan kwashiorkor lainnya.
2. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium darah tepiyaitu Hb
memperlihatkan anemia ringan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal hepar,
kadar albumin serum sedikit menurun.Kadar elektrolit seperti Kalium dan
Magnesium rendah, bahkan K mungkin sangat rendah, sedangkan kadar
Natrium, Zinc, dan Cuprum bisa normal atau menurun. Kadar glukosa darah
umumnya rendah, asam lemak bebas normal atau meninggi, nilai β-lipoprotein
dapat rendah ataupun tinggi, dan kolesterol serum rendah. Kadar asam amino
esensial plasma menurun. Kadar hormon insulin umumnya menurun, tetapi
hormon pertumbuhan dapar normal, rendah, maupun tinggi. Pada biopsi hati
hanya tampak perlemakan yang ringan, jarang dijumpai kasus dengan
perlemakan yang berat. Pada pemeriksaan radiologi tulang tampak pertumbuhan
tulang yang terlambat dan terdapat osteoporosis ringan.
3. Antropometrik: ukuran yang sering dipakai adalah berat badan, panjang / tinggi
badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan lipaan kulit. Diagnosis ditegakkan

23
dengan adanya data antropometrik untuk perbandingan seperti BB/U (berat
badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), LLA/U (lingkar
lengan atas menurut umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan),
LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan). Dari pemeriksaan
antropometrik dapat diklasifikasikan menurut Wellcome Trust Party, klasifikasi
menurut Waterlow, klasifikasi Jelliffe, dan klasifikasi berdasarkan WHO dan
Depkes RI (Bose, 2010).

7. Penatalaksanaan
Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk (Depkes
RI, 2007):

24
25
Bagan 4. Langkah Rencana Pengobatan Anak Gizi Buruk

Anak marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena terdapat


berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan yang dilakukan
berdasarkan pada ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting, yang dikelompokkan
menjadi 5, yaitu:
Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan
dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT
Kondisi II
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana II,
dengan tindakan segera, yaitu:

26
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
 berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB
setiap pemberian
Cara pembuatan Resomal sebagai berikut :
Bahan :
- 2 liter air
- 1 pak bubuk WHO-ORH untuk 1 liter
(mengandung 3.5 gr NaCl, 2.9 gr trisodium citrat dehidrat, 1.5 gr KCL
dan 20 gr glukosa).
- 500 gr gula pasir
- 40 cc larutan elektrolit
Cara membuat :
- Semua bahan dicampur menjadi satu sampai semuanya larut.
- Setiap 1 liter cairan ResoMal mengadung 45 mEq Na, 40 mEq K dan 1.5
mEq Mg.
 catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.Lakukan Rencana III, dengan
tindakan segera, yaitu:
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
 berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB
setiap pemberian
 catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml

27
3. 2 jam pertama
 berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat
badan (NGT)
- komposisi bahan F75/1000ml:
- susu bubuk skim : 25 gr
- gula pasir : 100 gr
- minyak : 30 gr
- mineral mix : 20 ml
- tambahkan air sampai 1000 ml
- cara membuat F75:
Campurkan susu skim, gula, minyak sayur, dan larutan elektrolit,
diencerkan dengan air hangat sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai
homogen dan volume menjadi 1000 ml. Larutan ini bisa langsung
diminum.
 catat nadi, frekuensi nafas
Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare ataudehidrasi.
Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, pernafasan dan kesadaran

Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 faseyang
harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14),
faserehabilitasi (Minggu ke 3 – 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26). Dimana
tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb:

28
*) Pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala (1
minggu/kali) berobat jalan ke Puskesmas atau Rumah Sakit
Bagan 5. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk

A. Prinsip Dasar Pengobatan Rutin Marasmus Kwashiorkor (10 Langkah


utama)
Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia
Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, seringkali
sebagai tanda adanya infeksi. Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia (
suhu ketiak <36C/suhu dubur <36C). Pemberian makanan yang sering
penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut.

29
Bila kadar gula darah dibawah 50 mg/dl, berikan:
1. 50 ml “bolus” (pemberian sekaligus) glukosa 10% atau larutan sukrosa 10%
(1 sdt gula dalam 5 sdm air) secara oral atau pipa naso-gastrik.
2. Selanjutnya berikan larutan tsb. setiap 30 menit selama 2 jam (setiap kali
berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam).
3. Berikan antibiotika (lihat langkah 5).
4. Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam (lihat langkah 6).
Pemantauan:
 Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan darah
dari ujung jari atau tumit setelah 2 jam.
 Sekali diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit
 Bila gula darah turun lagi sampai <50 mg/dl, ulangi pemberian 50 ml (bolus)
larutan glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian setiap 30 menit
sampai stabil.
 Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila <36C dan/atau kesadaran
menurun.
Pencegahan :
 Mulai segera pemberian makan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah dehidrasi
yang ada dikoreksi.
 Selalu memberikan makanan sepanjang malam.
Catatan :
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak KEP
berat/gizi buruk menderita hipoglikemia dan atasi segera dengan ditatalaksana
seperti tersebut di atas.

Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia


Bila suhu ketiak <36C :
Periksalah suhu dubur dengan menggunakan termometer suhu rendah.Bila
tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah pada
pemeriksaan dengan termometer biasa, anggap anak menderita hipotermia.Bila
suhu dubur <36C :
 Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila perlu)

30
 Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala,
letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau
peluk anak di dada ibu, selimuti (metoda kanguru).
 Berikan antibiotika (lihat langkah 5).
Pemantauan:
 Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai >36,5C, bila
memakai pemanas ukur setiap 30 menit
 Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam
hari
 Raba suhu anak
 Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.
Pencegahan:
 Segera beri makan / formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6).
 Sepanjang malam selalu beri makan
 Selalu diselimuti dan hindari keadaan basah (baju, selimut, alas tempat tidur)
 Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis
terlalu lama).

Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi


Jangan menggunakan “jalur intravena / i.v.” untuk rehidrasi kecuali pada
keadaan syok/renjatan.Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati, tetesan
perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung.(Lihat penanganan
kegawatan).
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak natrium dan
kurang kalium untuk digunakan pada penderita KEP berat/gizi buruk. Sebagai
pengganti, berikan larutan garam/elektrolit khusus yaitu Resomal.Tidaklah
mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat/gizi buruk dengan
menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak KEP berat/gizi
buruk dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga harus diberi:
 Cairan Resomal / pengganti sebanyak 5 ml/KgBB setiap 30 menit selama 2
jam secara oral atau lewat pipa nasogastrik.

31
 Selanjutnya beri 5–10 ml/kg/jam untuk 4–10 jam berikutnya; jumlah tepat
yang harus diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya dan
banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan muntah.
 Ganti Resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula
khusus sejumlah yang sama bila keadaan rehidrasi menetap/stabil.
 Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6).
 Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik dan anak
mulai kencing.

Pemantauan
Lakukan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-1 jam selama 2
jam pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam selanjutnya.dengan memantau:
denyut nadi, pernafasan, frekwensi kencing, frekwensi diare/muntah.
Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang
berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi telah
berlangsung, tetapi pada KEP berat/gizi buruk perubahan ini seringkali tidak
terlihat, walaupun rehidrasi sudah tercapai.Pernafasan dan denyut nadi yang cepat
dan menetap selama rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau kelebihan cairan.
Tanda kelebihan cairan: frekwensi pernafasan dan nadi meningkat, edema dan
pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda tersebut, hentikan
segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam.
Pencegahan:
 Bila diare encer berlanjut:Teruskan pemberian formula khusus (langkah 6)
 Ganti cairan yang hilang dengan Resomal / pengganti (jumlah + sama)
 Sebagai pedoman, berikan Resomal/pengganti sebanyak 50-100 ml setiap
kali buang air besar cair
 Bila masih mendapat ASI, teruskan.

Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit


Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar
Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering terjadi dan
paling sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan.Ketidakseimbangan elektrolit ini

32
ikut berperan pada terjadinya edema (jangan obati edema dengan pemberian
diuretikum).
Berikan :
 Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)
 Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2 /kgBB/hari)
 Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)
 Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.
Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang
ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut pada 1
liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat lampiran 6 untuk
cara pembuatan larutan).

Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi


Pada KEP berat/gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya
infeksi seperti demam seringkali tidak tampak.Karenanya pada semua KEP
berat/gizi buruk beri secara rutin:
 Antibiotik spektrum luas
 Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah diimunisasi
(tunda bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah keadaan gizi anak
menjadi baik.
Catatan:
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama
7 hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat
perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan infeksi
sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus.
Pilihan antibiotik spektrum luas:
1. Bila tanpa komplikasi:Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2
x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila berat badan < 4 Kg),Atau
2. Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia:
hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :
 Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. – setiap 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan
dengan Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8 jam selama 5 hari.

33
Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam
secara oral.Dan
 Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.
3. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol
25 mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari.
4. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik
yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk
malaria positif.
5. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi
pemberian hingga 10 hari.
6. Bila masih tetap ada, nilai kembali kadaan anak secara lengkap, termasuk
lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah
vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar.

Langkah Ke-6: Mulai Pemberian Makanan


Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati karena
keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang
sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi
metabolisme basal.
Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :
 Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-osmolar.
 Berikan secara oral/nasogastrik
 Energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari
 Protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari
 Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)
 Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian formula.
Formula khusus seperti F-WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian
makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di
atas: (lihat tabel 2 halaman 24). Berikan formula dengan cangkir/gelas.Bila anak
terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet.

34
Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian
makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari
untuk setiap tahap).Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg
BB/hari, berikan sisa formula melalui pipa nasogastrik.Jangan beri makanan
lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase stabilisasi ini.
Pantau dan catat:Jumlah yang diberikan dan sisanya, Muntah, Frekwensi
buang air besar dan konsistensi tinja, BB (harian).
Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik,
tetapi pada penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan
dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik.
Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian nutrisi sudah
berhati-hati, lihat bab diare persisten.

Langkah Ke-7: Fasilitasi Tumbuh Kejar


Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar
tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan
50g/minggu.Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan,
biasanya 1-2 minggu setelah dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk
menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi
bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari
formula khusus awal ke formula khusus lanjutan :
 Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml)
dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per
100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga
dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.
 Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula
tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200
ml/kgBB/hari).
Pemantauan pada masa transisi: frekwensi nafas, frekwensi denyut nadi. Bila
terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit dalam

35
pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula.Setelah
normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:
 Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.
 Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
 Protein 4-6 gram/kgBB/hari
 Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena
energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.
Pemantauan setelah periode transisi : kemajuan dinilai berdasarkan
kecepatan pertambahan berat badan : timbang anak setiap pagi sebelum diberi
makan, evaluasi kenaikan BB setiap minggu. Bila kenaikan BB:
 kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh :cek apakah asupan
makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.
 baik ( 50 g/minggu), lanjutkan pemberian makanan

Langkah Ke-8: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien


Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun
anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe),
tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya
setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk
keadaan infeksinya.Berikan setiap hari:
 Suplementasi multivitamin
 Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
 Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari
 Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari
 Bila BB mulai naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10
mg/kgBB/hari
 Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan :
100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah
mendapat suplementasi vitamin A pada 1 bulan terakhir. Bila ada tanda/
gejala defisiensi vitamin A, berikan vitamin dosis terapi.

36
Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan Emosional
Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,
karenanya berikan:
 Kasih sayang
 Lingkungan yang ceria
 Terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari
 Aktifitas fisik segera setelah sembuh
 Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).

Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah


Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U,
dapat dikatakan anak sembuh.Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi
harus tetap dilanjutkan dirumah setelah penderita dipulangkan.Peragakan kepada
orangtua tentang pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan
nutrien yang padat dan terapi bermain terstruktur.
Nasehatkan kepada orang tua untuk :
 Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di
Puskesmas
 Pelayanan di PPG (lihat bagian pelayanan PPG) untuk memperoleh PMT-
Pemulihan selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan (lihat lampiran
5) dan berat badan anak selalu ditimbang setiap bulan secara teratur di
posyandu/puskesmas.
 pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang
padat
 penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu
 Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal
Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau 100.000
SI ) sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan Agustus.

37
B. Pengobatan Penyakit Penyerta
1. Defisiensi vitamin A
Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan14
atau sebelum keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya keadaan klinis
diberikan vitamin A dengan dosis:4,15
 umur > 1 tahun : 200.000 SI/kali
 umur 6 - 12 bulan : 100.000 SI/kali
 umur 0 - 5 bulan : 50.000 SI/kali
Bila ada ulkus dimata diberikan : tetes mata khloramfenikol atau salep
matatetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari, teteskan tetes mata atropin,
1 tetes 3 kalisehari selama 3-5 hari, tutup mata dengan kasa yang dibasahi
larutan garam faal.
2. Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya: hipo/hiperpigmentasi, deskuamasi (kulit
mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai
infeksisekunder, antara lain oleh Candida.
Tatalaksana :
a. kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4
(Kpermanganat) 1% selama 10 menit
b. beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor)
c. usahakan agar daerah perineum tetap kering
d. umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral
3. Parasit/Cacing
Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau
preparatantihelmintik lain.
4. Diare Melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan
umum.Berikan formula bebas / rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa
usus dan giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila
mungkin,lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik.Beri : Metronidasol 7.5
mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.

38
5. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberculin / Mantoux (sering
kali anergi) dan Ro-foto toraks.Bila positif atau sangat mungkin TB, diobati
sesuai pedoman pengobatan TB.

C. Kegagalan Pengobatan
Kegagalan pengobatan tercermin pada angka kematian dan kenaikan berat
badan:
1. Tingginya angka kematian. Bila mortalitas >5%, perhatikan saat terjadi
kematian
 dalam 24 jam pertama: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia, sepsis
yang terlambat atau tidak terdeteksi, atau proses rehidrasi kurang tepat.
 dalam 72 jam: cek apakah volume formula terlalu banyak atau pemilihan
formula tidak tepat
 malam hari: kemungkinan terjadi hipotermia karena selimut kurang
memadai, tidak diberi makan, perubahan konsentrasi formula terlalu
cepat.
2. Kenaikan berat-badan tidak adekuat pada fase rehabilitasi. Penilaian
kenaikan BB:
Baik : 50 gram/kgBB/minggu
Kurang: <50 gram/kgBB/minggu.
Kemungkinan penyebab kenaikan BB <50 gram/kgBB/minggu antara lain:
 pemberian makanan tidak adekuat
 defisiensi nutrien tertentu; vitamin, mineral
 infeksi yang tidak terdeteksi, sehingga tidak diobati.
 masalah psikologik.

D. Penanganan Pasien Pulang Sebelum Rehabilitasi Tuntas


Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila gejala klinis
sudah menghilang, BB/U mencapai minimal 70% atau BB/TB mencapai
minimal 80%.

39
Anak KEP berat yang pulang sebelum rehabilitasi tuntas, dirumah harus
diberimakanan tinggi energi (150 Kkal/kgBB/hari) dan tinggi protein (4-6
gram/kgBB/hari):
 beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein) dengan porsi paling
sedikit 5 kali sehari
 beri makanan selingan diantara makanan utama
 upayakan makanan selalu dihabiskan
 beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit
 teruskan ASI.

E. Tindakan Kegawatan
1. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan
sulitmembedakan keduanya secara klinis saja. Syok karena dehidrasi akan
membaik dengan cepat pada pemberian cairanintravena, sedangkan pada
sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.
Pedoman pemberian cairan :
a. Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer
dengan kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam
pertama. Evaluasi setelah 1 jam.
b. Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan)
dan status hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian
cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan
dengan pemberian Resomal / pengganti, peroral / nasogastrik, 10
ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula
khusus (F-75 / pengganti).
c. Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik. Dalam
hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan
transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3
jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F-75 / pengganti)

40
2. Anemia berat
Transfusi darah diperlukan bila:Hb< 4 g/dl, atau Hb 4-6 g/dl disertai
distress pernapasan atau tanda gagal jantung. Transfusi darah :
 Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.
 Bila ada tanda gagal jantung, gunakan packed red cells untuk transfusi
dengan jumlah yang sama.
 Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila
pada anak dengan distres napas setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau
antara 4-6 g/dl, jangan diulangi pemberian darah.

8. Pencegahan KEP
Prevalensi KEP ringan seperti pendek dan kurus kering adalah 40-50 %
sementara KEP berat mencapai 5-10 % pada negara yang sedang
berkembang.Jika kasus KEP ini bisa dideteksi awal dengan pengukuran berat
badan dan tinggi badan serta langkah yang tepat maka KEP berat dapat dicegah
dengan mudah.Tidaklah bijaksana jika hanya mengobati malnutrisi berat yang
datang ke sarana layanan kesehatan.Seolah-olah seperti fenomena gunung es.
Oleh karena itu diperulkan pendekatan kepada masyarakat terutama masyarakat
level ekonomi menengah ke bawah. Di bawah ini adalah beberapa pendekatan
penanganan nutrisi yang bisa dilakukan di masyatakat :

1. Penganekaragaman makanan dan pendidikan gizi


Pendekatan ini difokuskan kepada pendidikan ibu / pengasuh terhadap
pentingnya makanan seimbang melalui penganekaragaman makanan.Ini juga
ditujukan agar ibu bisa mengolah bahan makanan dari kebun dan hasil pertanian.
Pendidikan gizi ini berfokus pada :
 Mengubah pola pikir ibu yang salah tentang pemberian makan dan
proses menyusui, serta paparan sinar matahari, yang sering dipengaruhi
oleh budaya dan kepercayaan yang keliru.
 Memperbaiki kesalahan pembagian jatah makanan di rumah
antaranggota keluarga yang dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.

41
 Menumbuhkan kesadaran terhadap status gizi anak serta penanganan
praktis dan tepat jika terjadi gangguang status gizi pada anak.
 Pentingnya ASI eksklusif.
 Meningkatkan higiene (hygiene personal, makanan, dan lingkungan).
 Pentingnya imunisasi.
 Pentingnya menanam buah-buahan dan sayur-sayuran yang bisa
dikonsumsi oleh anggota kelarga di pekarangan rumah.
 Pentingnya memantau pertumbuhan anak dengan membawanya ke pusat
pelayanan kesehatan.

2. Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan komunitas target
sebagai solusi terhadap masalah gizi mereka. Beberapa metode yang bisa
digunakan adalah :
 Food for work
Menawarkan sejumlah pekerjaan kepada masyarakat miskin atau yang
membutuhkan dan membayarnya dengan makanan.
 Food subsidy
Metode ini berupa pemberian makanan jadi atau bahan makanan oleh
pemerintah.
 Income generating project
Metode ini telah dipraktikkan di beberapa daerah di Ethiopia dengan
menggunakan cara mengumpulkan dana dari masyarakat untuk dibelikan
makanan. Metode ini melibatkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat
(Depkes RI, 2008).

9. Komplikasi
Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara lain
(Shetty, 2006):
 Masalah pada mata
 Anemia berat
 Lesi kulit pada kwashiorkor

42
 Diare persisten (giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi
laktosa, diare osmotik)
Penyakit penyerta yang dapat terjadi pada obesitas adalah antara lain:
- Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler
- Diabetes Mellitus tipe-2
- Obstruktive sleep apnea
- Gangguan ortopedik
- Pseudotumor serebri
10 Prognosis
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian
sering disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara
kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari
stadium saat pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun
kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak
dapat dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang irrever-sibel dari set-sel
tubuh akibat under nutrition maupun overnutrition ( Pudjiadi, 2000).

43
BAB III
PENUTUP

Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di dunia,
terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.Salah satu
klasifikasi dari gizi buruk adalah tipe marasmik-kwashiorkor, yang diakibatkan defisiensi
protein berat dan pemasukan kalori yang sedikit atau tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan gizi.
Manifestasi klinis marasmik-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain hambatan
pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit, atrofi otot, perubahan tekstur dan
warna rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur yang tegas dalam, pembesaran hati,
anemia, anoreksia, edema, dan lain-lain.
Diagnosis marasmik-kwashiorkor ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
(gejala klinis dan abnormalitas pada pemeriksaan antropometrik) dan laboratorium yang
memperlihatkan penurunan kadar albumin, kolesterol, glukosa, gangguan keseimbangan
elektrolit, hemoglobin, serta defisiensi mikronutrien yang penting bagi tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Bose, K & Mandal GC. 2010. Proposed New Anthropometric Indices ofChildhood
undernutrition. Malaysian Juornal of Nutrition : 16 (1). p:131-36.
Das, S & Bose, K. 2011. Assesment of Nutritional Status by Anthropometric Indices in
Santal Tribal Children. Journal Life science ,3 (2). p:81-5
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat.Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi
Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2008.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2007.
Muller O, Krawinkel M. Malnutrition and Health in Developing Countries. CMAJ 173:279-
86
Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk Di Indonesia Tahun 2005.Diakses dari
http://www.gizi.net/busung-
apar/Laporan%20Gizi%20Buruk%20sampai%20Des2005-Final.pdf tanggal 3 Maret
2011.
Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI.Glosarium Data dan Informasi
Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2006.
Pudjiadi, S. Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Dalam Ilmu Gizi Klinis pada Anak.Edisi
4 2000. Hal 97-190.
Ryadinency, R. 2012. Asupan Gizi Makro, Penyakit Infeksi dan Status Pertumbuhan Anak
Usia 6-7 Tahun di Kawasan Pembuangan Akhir Makassar. Artikel Penelitian. Prodi
Gizi. FKM, Universitas Hasanuddin. Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol.2, No.1,
Agustus 2012. hal. 49-53.
Sartika, R.A. 2010. Analisis Pemanfaatan Program Pelayanan Kesehatan Status Gizi Balita.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 2, Oktober 2010. Departemen
Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok.
hal.76-83.
Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC; 2012.
Soekirman. 2000. Ilmu GIzi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Sulistya, H & Sunarto.2013. Hubungan Tingkat Asupan Energi dan Protein dengan Kejadian
Gizi Kurang Anak Usia 2-5 Tahun. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah
Semarang, April 2013, Volume 2, Nomor1.hal.25-30.
Direktorat Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Admin.Program Perbaikan
Gizi Makro.Diakses dari
http://www.gizi.net/kebijakangizi/download/GIZI%20MAKRO.doc, 2004.
Simanjuntak,E. Faktor Resiko Kurang Energi Protein Pada Balita Di Kota Medan. Diakses
darihttp://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_jo
urnalreview&id=3197&task=view, 2008.
Heird, WC. Food Insecurity, Hunger, and Undernutrition In Nelson Textbook of Pediatrics,
19th ed. P. 167-73. Philadelphia: Sauders Elsevier.
Shetty, P. Malnutrition and Undernutrition.Medicine, 2006. 34:524-29.
Gulden, MHN.Malnutrition.In Textbook of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2004.
USA: Taylor and Franchis. P.489-523.
Braun TV, McComb J, et al. Urban Food Inseconts and Malnutrition in Developing
Countries. 1993. USA: International Food Policy Research Institute. P. 12-16.
World Health Organization. Gizi Buruk. Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit. 2009. Hal 193-222.

Anda mungkin juga menyukai