Anda di halaman 1dari 5

Banjir Darah Di Gorang Gareng[1]

(Kesaksian KH Roqib)[2]

KH Roqib kini (2005)adalah Imam Masjid Jami’ Baitus Salam di Kabupaten Magetan . Pada 1948,
usianya belum genap 20 tahun dan hanya seorang guru mengaji yang tidak memiliki peran politik
ataupun peran lain yang menonjol. Karena itu, ketika ditangkap PKI ia merasa kejadian itu sebagai
salah tangkap. Dalam pengalamannya, PKI sangat anti kepada orang beragama, terutama umat
Islam. Setiap masih ada orang yang mendirikan dan menj alankan shalat, PKI merasa sangat
terganggu. Sikap tak suka pada agama seringkali diperlihatkan dengan kata-kata sinis dan bahkan
tindakan yang memancing provokasi . Berikut penuturan Kiai Roqib yang mengalami sendiri
keganasan PKI di Magetan.

Di Magetan ketika itu, beberapa tokoh Islam sebenarnya sudah berkumpul dan
sepakathendakmengadakanperlawananterhadapPKI.Paratokohitumemfatwakan:

“Kalau tidak melawan, kita nanti yang akan dilawan.” Harus tidak ada rasa takut dalam membela
kebenaran. Kita inginkan surga, tentu harus bersedia ‘kangelan’ (menempuh kesulitan apapun).
“Itu, menjadi dalil, dan semua yang hadir dalam perkumpulan itu, bersemangat,” ungkap Kiai
Roqib.

Keadaan kota Magetan, semakin hari terasa semakin genting.

Terlebih setelah terdengar kabar bahwa PKI telah memberontak dan merebut kota Madiun. Saya
sekeluarga, di Magetan sebenarnya pendatang baru. Kami baru saja pindah dari Kawedanan
Walikukun di Kabupaten Ngawi. Tapi karena kondisi keamanan yang memang demikian mengancam,
keluarga saya dapat menerima keadaan yang saat itu memang harus menyingkir dari kota Magetan.

Seperti diperkirakan sebelumnya, PKI akhirnya mendahului menyerang kami. Pada suatu malam di
bulan September 1948 sekitar pukul 19.00, harinya saya lupa, rumah kami digerudug (diserbu) tidak
kurang dari sepuluh orang anggota PKI. Ketika itu saya berada di rumah sendirian saja. Alhamdulilllah,
seluruh keluarga saya, pada siang sebelumnya, sudah berangkat mengungsi ke luar kota. Tidak jelas
kota mana, tapi menjauh dari Magetan rum mencari perlindungan di tempat lain.

Orang-orang PKI yang “nggrudug” inimenyatakan bahwa saya ini penghalang PKI nomor wahid. Saya
disebut sebagai nomor wahid itu rasanya sangat senang. Tapi, barang-barang seisi rumah saya di
kumpulkan dan dirampas. Mereka seperti perampok.

Saya katakan pada orang-orang PKI itu bahwa saya ini hanya guru ngaji, tidak memusuhi mereka.
“Apa nggak salah saya ditangkap,” kata Kiai Roqib pada sejumlah aktivis PKI itu.

Mereka menjawab
“Justru karena guru ngaji yang jelas menghalangi maksud dan tujuan PKI. Dan kamu adalah
anteknya Masyumi.”

Dari rumah saya yang berada di kawasan Kauman ini, saya kemudian dibawa ke daerah yang
namanya Bangsri —masih di dalam wilayah Kabupaten Magetan. Di sebuah rumah, ketika saya
datang, sudah ada puluhan tawanan lain. Tidak ada seorangpun yang saya kenal di antara para
tawanan yang banyak itu. Kami diawasi dan diancam. Tak ada yang berani buka mulut dan berbicara
satu dengan lainnya.

Kami, para tawanan ini diikat dengan tali yang dibuat dari bambu (tutus), yang sakit sekali di tangan,
hingga pergelangan terluka. Cara mengikatnya pun sungguh sangat keji. Tujuh hingga delapan orang
tawanan, “direntengi” (diikat terangkai satu sama lain) jadi satu. Kalau ada satu tawanan ingin
kencing atau buang air besar, enam orang lain yang dalam satu rentengan ikut terbawa ke belakang.
Yang ada ketika itu, rasanya seperti menjadi orang yang mulia. Mau kencing dan buang air besar saja
sampai tujuh orang ikut mengantar.” Sama sekali tidak ada perasaan takut ketika itu. Paling-paling
ya, mati. “Sungguh nggak ada rasa takut apa-apa,” papar Kiai Roqib.

Di pinggang para anggota PKI yang menjadi pengawal, selalu ada pistol dan granat nanas.
Wajah mereka diseram-seramkan. Tapi kami semua tawanan, tidak ada satu-pun yang merasa
ketakutan. Hanya saja, setiap ada tawanan yang berusaha berbicara berbisik-bisik ke tawanan lain,
granat nanas itu di “gedug” kan (dibenturkan) ke Jidad.

Ada pula anggota PKI lain yang setiap saat keliling memeriksa tawanan. Mungkin itu semacam
pemimpinnya . Tangannya juga memegang granat nanas. Lalu, di antaranya juga memukulkan granat
itu ke kepala tawanan sambil mengatakan :

“Ini tho orang yang menjadi pepalang (penghalang)-nya PKI.“

Kami disekap di sebuah rumah di kawasan Bangsri ini lebih dari seminggu. Suatu hari datang para
anggota PKI membawa daging-daging lembu. Banyak sekali. Tapi, suasana di tempat tawanan itu
terasa sangat sepi. Malam harinya, di halaman rumah ini berkumpul banyak anggota PKI, mereka
membuat semacam pesta kecil dengan membakar daging lembu itu. Mereka juga tampak minum-
minuman keras, tapi mereka tidak tampak ada yang sampai benar-benar mabuk. Mungkin,
jumlah minuman keras yang mereka dapat dari menjarah memang terbatas, sedang yang meminum
banyak orang.

Rupanya pesta malam itu merupakan pertanda seluruh tawanan harus dipindahkan ke lokasi lain.
Rumah di Bangsri ini dikosongkan, dan semua tawanan dipindahkan ke daerah Gorang-Gareng.
Selama perjalanan menuju Gorang-Gareng sejauh 12 km dari Bangsri, para anggota PKI yang
menggiring tawanan juga melakukan perampasan, perampokan dan mem bumihanguskan rumah-
rumah penduduk . Penduduk yang masih kedapatan tinggal di rumah-rumah itu juga diseret dijadikan
tawanan dan perisai. Sehingga jumlah tawanan ketika itu semakin banyak.

Mereka membawa kami ke komplek Pabrik Gula GorangGareng (kini Pabrik Gula Rejosari) . Di situ
terdapat rumah-rumah besar (loji) untuk asrama karyawan pabrik dan juga untuk gudang. Rumah-
rumah ini kamarnya banyak dan berderet-deret. Ketika tawanan dari Bangsri ini datang, kamar-kamar
rumah loji ini sudah tampak penuh tawanan lain. Satu kamar ukuran 3×3 meter atau 4×4 meter, diisi
lebih dari 40 atau 45 orang tawanan .

Saya, bersama tawanan dari Bangsri, hanya berjumlah puluhan orang. Sebagian di antaranya masih
dijejal-jejalkan ke kamar itu. Saya bersama tiga ikatan tawanan berjumlah sekitar 18 orang, dilepas
ikatannya dan dimasukkan ke kamar paling ujung. Kamar ini paling kecil, hanya kira-kira ukuran 2,5×2
meter saja, urai Kiai Roqib.

Kiai Roqib dan para tawanan Bangsri dijebloskan ke rumah loji ini agaknya sudah pada saat-saat
terakhir. Ketika itu, PKI sudah mulai terdesak oleh gerak majunya pasukan pembersih dari Siliwangi.

Karena itu, setiap malam, ada saja tawanan yang digiring ke luar dari kamar tahanan. Mereka
mengatakan sejumlah tawanan akan dipindahkan ke tempat lain. Sedangkan tawanan yang masih
ditinggal, menunggu giliran pemindahannya.

“Ternyata tidak demikian. Mereka yang telah dibawa ke luar dati loji ini, dinaikkan gerbong yang
ditarik kereta Iori yang biasa digunakan untuk mengangkut tebu. Mereka ternyata dieksekusi, di
antaranya di Desa Soco,” kata Kiai Roqib.

Ketika itu PKI sudan mendengar kabar langkan maju pasukan Siliwangi semakin mendekati Gorang-
Gareng. Mereka agaknya sudab mengetabui masuknya tentara Siliwangi ini dibagi dua kelompok.
Satu kelompok datang dari arab Tawangmangu, kemudian Sarangan, Ngerong, Plaosan, Magetan
dan GorangGareng. Kelompok lainnya masuk dari arah Ngawi, Madiun, Ponorogo ke arah Magetan
melalui Gorang Gareng pula. “Saya tidak tahu tanggal dan harinya ketika itu. Tapi yang saya tahu,
baru kali itu tentara Siliwangi, yang sudah kondang menjaga di garis depan, masuk wilayah Kabupaten
Magetan. Gorang-Gareng, rupanya dijadikan target penyerbuan tentara Siliwangi. Mungkin targetnya
ingin menyelamatkan ratusan tawanan ini,” tutur Kiai Roqib.

Kalangan PKI panik mendengar kabar gerak maju pasukan Siliwangi ini. Mereka kemudian dengan
membabi-buta dan secara keji mulai mengbabisi para tawanan yang masih ada dan disekap di kamar-
kamar loji ini.

Cara mereka sangat kejam dilakukan dengan menembakkan senapan laras panjang dati luar jendela.
Dari bagian lain, diantaranya saya dengar bunyi rentetan tembakan senapan mesin otomatis walau
tidak berlangsung lama. Mungkin kebabisan peluru. Tapi, yang digunakan di bagian kamar-kamar lain,
juga di tempat saya ditawan, hanya menggunakan senapan kokangan. Kalau hendak menembak,
senapan harus dikokang dulu. Tembakan-tembakan terdengar sangat riuh. Kira-kira, dari setiap
jendela yang berterali besi itu, ada satu penembak dari luar.

Ketika itu saya bersama 18 orang tawanan disekap dalam

sebuah kamar. Ada seorang tentara- -sudah lupa namanya– mendorong saya agar merebut senjata
dari arah dalam bawah jendela. Kok saya ya mau disuruh dan berani sekali melakukan. Setelah
senjata meletus, penembak masih berusaha mengokang lagi, sedang lup (laras) senjata saya raih
dari dalam jendela. Mau saya tarik ke dalam, tapi terpaksa saya lepas lagi. Saya kaget, dan sclama
ini tak mengerti, kalau senjata habis meletus, larasnya sangat panas.

Sulit rasanya berlindung dari tembakan yang mengarah ke dalam kamar. Mencolot (meloncat) ke sana
ke mari sangat susah: sejumlah 18 orang berada di dalam kamar yang hanya berukuran 5 meter
persegi. Akhirnya, saya bertahan dan berlindung di bawah jendela, dan selamat hingga sekarang.

Demi Allah, saya bercerita sesungguhnya, inilah yang terjadi dan inilah yang saya alami. Kecuali saya,
masih ada lagi dua orang yang selamat. Di antaranya yang saya masih sangat ingat adalah seorang
bernama Tsalis, ketika itu sebagai Naib (Penghulu) di Kecamatan Plaosan. Satu orang lagi dari
tentara, CPM–sudah lupa namanya. Kami bertiga duduk dan berlindung di bawah jendela dan
selamat dari maut.
Penembakan itu berlangsung cukup lama, kira-kira mulai pukul 09.00 dan baru berakhir pukul 11.00.
Beberapa saat kemudian, lanjut Kiai Roqib, suasana terasa sepi.

“Saya bersama dua orang yang selamat, berusaha bangkit dari timbunan mayat. Astaghfirullah
… ruangan ini benar-benar banjir darah. Saya masih ingat, ketika Siliwangi datang pada lewat
tengah hari, pintu kamar didobrak dari luar. Daun pintunya sempal dan roboh, jatuh ke lantai.
Saking banyaknya darah membanjir di lantai, daun pintu yang tebalnya lebih 4 cm itu mengapung
di atas genangan darah. Saya melangkah ke luar-pun, merasakan betapa banjir darah yang
menggenang di lantai kamar dan sepanjang koridor, mencapai di
atas mata kaki saya,” kisah Kiai Roqib terbata-bata.

Ketika Pasukan Siliwangi mencapai tempat ini, para anggota PKI itu sudah pergi dan tak satupun
berhasil ditemukan. Dapat dibayangkan, betapa kejamnya PKI itu terhadap orang yang bukan
PKI walaupun sebenarnya juga bangsa sendiri. PKI berpendapat, sepanjang masih ada orang yang
shalat, PKI senantiasa merasa terganggu. Agama dinyatakan sebagai penghalang misi dan strategi
komunis di Indonesia. lnilah peristiwa yang saya alami dan menjadi kesaksian atas kekejaman PKI eli
tahun 1948 ketika mereka memberontak.

Alhamdulillah, pemberontakan PKI 1948 itu dapat diredam. Tak lama, Belanda berusaha merebut
kembali Indonesia . Tapi akhirnya negara ini tetap dapat selamat dan pemerintah dapat kembali
menata bangsa .

Melalui Pemilu pertama tahun 1955, KH Roqib terpilih sebagai anggota Badan Perwakilan Daerah
(BPD) Kabupaten Magetan. Ia pensiun dari Pcgawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten
.Magetan dan senantiasa mengabdi bagi kemajuan umat Islam di Magetan.

[1] Dikutip dari buku “KESAKSIAN KORBAN KEKEJAMAN PKI 1948, Kesaksian KH. Roqib “, Komite
Waspada Komunisme, Jakarta:2005, hal 13-22

[2] KH Roqib Tahun 2005adalah Imam Masjid Jami’ Baitus Salam di Kabupaten Magetan

Anda mungkin juga menyukai