Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

CEREBRAL PALSY

Pembimbing :
dr. Dyah Nuraini, Sp.S

Disusun Oleh :
Derianti Nur Hidayah
030.11.068

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG
Periode 28 Desember 2015-31 januari 2016
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Derianti Nur Hidayah
NIM : 03011068
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Trisakti
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Kedokteran
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit Saraf
Periode Kepaniteraan Klinik : 28 Desember 2015 – 31 Januari 2016
Judul Referat : Cerebral Palsy
Diajukan : Januari 2016
Pembimbing : dr. Dyah nuraini, Sp.S

Telah diperiksadan disahkan tanggal :

Mengetahui,

Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf


RSUD Kota Semarang

dr. Dyah nuraini, Sp.S

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................. ii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 2


2.1 Anatomi dan fisiologi otak .............................................................................................. 2
2.2 Definisi ............................................................................................................................. 5
2.3 Epidemiologi .................................................................................................................... 6
2.4 Etiologi dan faktor resiko ................................................................................................ 6
2.5 Klasifikasi ........................................................................................................................ 8
2.6 Patofisiologi .................................................................................................................... 11
2.7 Manifestasi Klinis ........................................................................................................... 14
2.8 Diagnosis.......................................................................................................................... 17
2.9 Penatalaksanaan ............................................................................................................... 18
2.10 Pencegahan .................................................................................................................... 19
2.11 Prognosis ........................................................................................................................ 20

BAB III. KESIMPULAN .................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu
kurun waktu dalam perkembangan anak, di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik
dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai
pertumbuhannya.Walaupun lesi serebral bersifat statis dan tidak progresif, tetapi
perkembangan tanda-tanda neuron perifer akan berubah akibat maturasi serebral.1
Yang pertama kali memperkenalkan penyakit ini adalah William John Little
(1843), yang menyebutnya dengan istilah cerebral diplegia, sebagai akibat
prematuritas atau afiksia neonatorum. Sir William Olser adalah yang pertama kali
memperkenalkan istilah Cerebral palsy, sedangkan Sigmund Freud menyebutnya
dengan istilah Infantile Cerebral Paralysis.2,3
Walaupun sulit, etiologi Cerebral palsy perlu diketahui untuk tindakan
pencegahan. Fisioterapi dini memberi hasil baik, namun adanya gangguan
perkembangan mental dapat menghalangi tercapainya tujuan pengobatan.4
Winthrop Phelps menekankan pentingnya pendekatan multi - disiplin dalam
penanganan penderita Cerebral palsy, seperti disiplin anak, saraf, mata, THT, bedah
tulang, bedah saraf, psikologi, ahli wicara, fisioterapi, pekerja sosial, guru sekolah
Iuar biasa. Di samping itu juga harus disertakan peranan orang tua dan masyarakat.2

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi Otak


Otak manusia kira-kira merupakan 2 % dari berat badan orang dewasa.otak
merupakan jaringan yang paling banyak memakai energy dalam seluruh tubuh
manusia dan terutama berasal dari metabolisme glukosa. Secara fungsional dan
anatomis otak dibagi menjadi:
a. Otak besar (cerebrum)
Cerebrum adalah bagian otak yang paling besar dan terbagi atas dua belahan
yaitu: hemisfer kiri dan kanan.Kedua hemisfer dipisahkan oleh fisura
longitudinalis mayor dan sebagian dipersatukan oleh pita serabut saraf yang
melebar (korpus kolosum). Bila otak dibelah secara vertical tampak bagian otak
sebelah luar berwarna abu-abu (gray matter) dan otak bagian dalam berwarna
putih (white matter). Di dalam white matter tertanam massa gray matter yan
disebut ganglia basalis. Yang termasuk ganglia basalis yaitu klaustrum, putamen,
globus palidus, nucleus kaudatus dan amigdala. Kapsula interna berada di dalam
ruang yang dibatasi oleh thalamus, nucleus kaudatus dan nucleus lentikularis.
Daerah ini penting sebagai jalur lintas bagi semua serabut saraf yang
menghubungka serebrum dengan bagian susunan saraf pusat lainnya.

Gambar 2.1. potongan horizontal serebrum

5
Serebrum terdiri dari dua hemisfer yaitu kiri dan kanan, dibagi ke dalam empat
lobus yang dibatasi oleh gyrus da sulkus yaitu
- Lobus frontal berfungsi mengontrol perilaku individu, membuat keputusan,
kepribadian dan menahan diri.
- Lobus parietal merupakan lobus sensori berfungsi menginterpretasikan
sensasi, berfungsi mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak
bagian tubuhnya.
- Lobus temporal berfungsi menginterpretasikan sensasi kecap, bau,
pendengaran dan ingatan jangka pendek.
- Lobus oksipital bertanggung jawab menginterpretasikan penglihatan

Gambar 2.2. Lobus otak


b. Otak kecil (cerebellum)
Cerebellum terletak dibelakang fossa kranialis dan melekat ke bagian belakang
batang otak. Cerebellum berperan penting dalam menjaga keseimbangan dan
mengatur koordinasi gerakan yang diterima dari segmenn posterior medulla
spinalis yang memberi informasi tentang keregangan otot dan tanda serta posisi-
posisi sendi.

6
Gambar 2.3. Permukaan posrterior cerebellum

Gambar 2.4. Potongan sagital cerebellum

c. Batang otak
Menghubungkan medulla spinalis dengan serebrum terdiri dari medulla
oblongata, pons dan mesensefalon (otak tengah).
o Medulla oblongata adalah bagian otak yang langsung menyambung dengan
medulla spinalis. Berkas saraf yang berjalan disini berasal dari serebrum dan
berfungsi untuk pergerakan otot rangka. Selain traktus piramidalis ada
kelumpuhan sel-sel saraf yang terdapat di medulla oblongata yakni pusat otot

7
yang mengontrol fungsi vital seperti pernafasan, denyut jantung dan tonus
pembuluh darah.
o Pons
o Mesensefalon merupakan bagian otak yang sempit terletak antara medulla
oblongata dan diensefalon. Pada mesensefalon terdapat formatio retikularis,
suatu rangkaian penting yang antara lain mengatur irama tidur dan bangun,
mengontrol refleks menelan dan muntah.
d. Diensefalon
Dibagi menjadi empat wilayah :
o Thalamus
Thalamus merupakan stasiun pemancar yang menerima impuls aferen dari
seluruh tubuh lalu memprosesnya dan meneruskannya ke segmen otak yang
lebih tinggi.
o Hipotalamus
Hipothalamus berkaitan dengan pengatura rangsangan susunan saraf
autonom perifer yang menyertai tingkah laku dan emosi.
o Subtalamus
Fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus
dapat menimbulkan diskinesia dramatis yang disebut hemibalismus yang
ditandai oleh gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu sis
tubuh. Gerakan involunter biasanya lebih nyata pada tangan dan kaki.
o Epitalamus
Epitalamus dengan sistim limbik dan berperan pada beberapa dorongan
emosi dasar dan integrasi informasi olfaktorius

2.2 Definisi
Cerebral palsy merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan motorik
dan postur tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak sejak dalam
kandungan atau di masa kanak-kanak. Kelainan tersebut biasanya disertai dengan
gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi, tingkah laku, epilepsi, dan masalah
muskuloskeletal. Cerebral berarti bahwa penyebab kesulitannya berada di otak, bukan
di otot. Palsy dapat berarti memiliki kesulitan dengan pergerakan dan postur tubuh.
Gejala cerebral palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur 3
tahun, yaitu manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan pertama hingga 1 tahun

8
dan umumnya diikuti spastisitas. Cerebral palsy merupakan penyakit yang tidak
progresif. Pengaruh gangguan otak terhadap pergerakan dan postur tidak hilang.
Namun, efeknya pada tubuh bisa menjadi lebih atau kurang jelas seiring berjalannya
waktu. Misalnya pada penderita cerebral palsy yang dapat menjadi semakin lebih
baik dalam mengelola kesulitan mereka sebagai hasil dari intervensi terapi.2, 4

2.3 Epidemiologi
Prevalensi cerebral palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000
kelahiran hidup dengan insiden meningkat pada kelahiran prematur.Di negara maju,
prevalensi cerebral palsy dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup
sedangkan di negara berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus per 1.000 kelahiran
hidup.2
Beberapa instansi kesehatan di Indonesia sudah mulai bisa mendata kasus
cerebral palsy, antara lain yaitu YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat) cabang
Surakarta jumlah anak dengan kondisi cerebral palsy pada tahun 2001 berjumlah 313
anak, tahun 2002 berjumlah 242 anak, tahun 2003 berjumlah 265 anak, tahun 2004
berjumlah 239 anak, sedangkan tahun 2005 berjumlah 118 anak, tahun 2006 sampai
dengan bulan Desember berjumlah 112 anak, sedangkan tahun 2007 sampai dengan
bulan Desember yaitu berjumlah 198 anak. Pada klinik tumbuh kembang Rumah
Sakit dr. Kariadi Semarang sepanjang tahun 2005 mencatat kunjungan pasien anak
dengan diagnosis cerebral palsy sebanyak 2,16%.

2.4 Etiologi dan faktor resiko


Penyebabnya dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu prenatal, perinatal, dan
pascanatal.
1. Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan menyebabkan kelainan pada janin,
misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubella, dan penyakit inklusi sitomegalik.
Kelainan yang mencolok biasanya gangguan pergerakan dan retardasi mental.
Anoksia dalam kandungan, terkena radiasi sinar x, dan intoksikasi kehamilan
dapat menimbulkan cerebral palsy.
2. Perinatal
a. Anoksia/hipoksia

9
Penyebab yang terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah trauma
kepala. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini
terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvik,
partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan
instrumen tertentu, dan lahir dengan seksio kaesar.
b. Perdarahan otak
Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak,
mengganggu pusat pernapasan, dan peredaran darah sehingga terjadi
anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subarakhnoid akan menyebabkan
penyumbatan cairan serebrospinal sehingga mengakibatkan hidrosefalus.
Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga
timbul kelumpuhan spatis.
c. Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak
lebih banyak dibandingkan bayi cukup bulan karena pembuluh darah,
enzim, faktor pembekuan darah, dan lain-lain masih belum sempurna.
d. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak
yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada
kelainan inkompatibilitas golongan darah.
e. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat
pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa cerebral palsy.
3. Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat
menyebabkan cerebral palsy. Misalnya pada trauma kapitis, meningitis,
ensefalitis, dan luka parut pada otak pasca-operasi.7

Faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar


antara lain adalah: 2
a. Letak sungsang.
b. Proses persalinan sulit.

10
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda
awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak
berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan
kerusakan otak permanen.
c. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.
d. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <2500gram dan
bayi lahir dengan usia kehamilan <37 minggu. Resiko akan meningkat sesuai
dengan rendahnya berat lahir dan usia kehamilan.
e. Kehamilan ganda.
f. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan
malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali).
Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada saat
perkembangan SSP sejak dalam kandungan.
g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.
Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan
jumlah protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
CP pada bayi
h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
Kejang pada bayi baru lahir

2.5 Klasifikasi
a. Berdasarkan keterlibatan alat gerak atau ekstremitas, yaitu:
1. Monoplegia, hanya satu anggota tubuh yang terserang (jarang terjadi).
2. Hemiplegia, yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya satu
sisi.
3. Triplegia, menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki.
4. Diplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih berat pada
bagian di bawah pinggang.
5. Quadriplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang semuanya.

b. Berdasarkan karakteristik disfungsi neurologis, yaitu

11
1. Spastik
Spastik merupakan bentuk terbanyak (70-80%). Otot mengalami kekakuan
dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika tungkai mengalami
spastisitas, maka pada saat berjalan akan akan tampak bergerak kaku dan
lurus.
2. Atetosis
Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang
ditampakkan adalah gerakan-gerakan yang involunteer dengan ayunan yang
melebar. Atetosis dibagi menjadi:
a. Distonik, umumnya menyerang kaki dan lengan bagian proksimal.
Gerakan yang dihasilkan lambat dan berulang-ulang.
b. Diskinetik, didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan-gerakan
involunteer, tidak terkontrol, berulang-ulang, dan biasanya melakukan
gerakan stereotype.
3. Ataksia
Kondisi ini melibatkan cerebellum dan yang berhuungan dengannya.
Cerebral palsy tipe ini mengalami abnormalitas bentuk postur tubuh
dan/atau disertai dengan abnormalitas gerakan.
4. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan atetosis.8

c. Gross Motor Function Classification System (GMFCS)


GMFCS terdiri dari 5 level yang menggambarkan gerak motorik kasar pada
anak-anak dengan cerebral palsy.
 Level 1
Mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta menaiki tangga tanpa
hambatan. Anak-anak juga bisa berlari dan melompat namun kecepatan,
keseimbangan, dan koordinasinya terganggu.
 Level 2
Anak-anak mampu berjalan di dalam dan luar rumah serta menaiki
tangga dengan berpegangan pada alat bantu tetapi memiliki keterbatasan
berjalan di permukaan yang tidak rata maupun pada tempat yang ramai atau

12
sempit. Anak-anak tersebut memiliki kemampuan yang minimum untuk
berlari dan melompat.
 Level 3
Mampu berjalan di dalam dan luar rumah menggunakan alat bantu,
menaiki tangga dengan berpegangan, dan bisa menggunakan kursi roda
sendiri atau ditransportasikan pada jarak yang jauh dan di luar rumah pada
permukaan yang tidak rata.
 Level 4
Anak-anak bisa berjalan pada jarak yang dekat dengan menggunalan
walker atau dengan kursi roda di rumah, sekolah, dan komunitas.
 Level 5
Memiliki pergerakan yang sangat terbatas dan kemampuan untuk
mempertahankan postur kepala dan badan terganggu. Semua fungsi
motorik terganggu. Anak-anak ini tidak bisa bergerak sendiri dan harus
ditransportasikan.9

d. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional.


1. Ringan
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan aktifitas sehari- hari
sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan
bantuan khusus.
2. Sedang
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bermacam-macam
bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya
sendiri, dapat bergerak atau berbicara. Dengan pertolongan secara khusus,
diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara
sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan
baik.
3. Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak
mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau
pendidikan khusus yang diberikan sangat Sedikit hasilnya. Sebaiknya
penderita seperti ini ditampung dalam rumah perawatan khusus. Rumah
perawatan khusus ini hanya untuk penderita dengan retardasi mental

13
berat, atau yang akan menimbulkan gangguan sosial-emosional baik bagi
keluarganya maupun lingkungannya

2.6 Patofisiologi
Presentasi klinik yang tampak dapat disebabkan oleh abnormalitas struktural
yang mendasar pada otak; cedera yang terjadi pada prenatal awal, perinatal atau
postnatal karena vascular insufficiency; toksin atau infeksi risiko–risiko patofisiologi
dari kelahiran prematur. Bukti–bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor–faktor
prenatal berperan dalam 70 – 80 % kasus cerebral palsy. Dalam banyak kasus,
penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi hampir sebagian besar kasus disebabkan
oleh multifaktor. Selama periode prenatal, pertumbuhan yang abnormal dapat terjadi
kapan saja (dapat karena abnormalitas yang bersifat genetik, toksik atau infeksi, atau
vascular insufficiency).
Menurut Volpe, dalam perkembangan otak manusia terdapat beberapa waktu
penting, dan waktu–waktu puncak terjadinya, sebagai berikut:
1. Primary neurulation – terjadi pada 3 – 4 minggu kehamilan.
2.Prosencephalic development – terjadi pada 2 – 3 minggu kehamilan.
3. Neuronal proliferation – penambahan maksimal jumlah neuron terjadi pada
bulan ke 3 – 4 kehamilan.
4.Organization – pembentukan cabang, mengadakan sinaps, kematian sel,
eliminasi selektif, proliferasi, dan diferensiasi sel glia terjadi bulan ke 5
kehamilan sampai beberapa tahun setelah kelahiran.
5. Myelination – penyempurnaan sel–sel neuron yang terjadi sejak kelahiran
sampai beberapa tahun setelah kelahiran.
Karena kompleksitas dan kerentanan otak selama masa perkembangannya,
menyebabkan otak sebagai subjek cedera dalam beberapa waktu. Cerebral ischemia
yang terjadi sebelum minggu ke–20 kehamilan dapat menyebabkan defisit migrasi
neuronal, antara minggu ke–24 sampai ke–34 menyebabkan periventricular
leucomalacia (PVL) dan antara minggu ke–34 sampai ke–40 menyebabkan focal atau
multifocal cerebral injury.
Cedera otak akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai faktor saat
terjadinya cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi aliran darah ke otak
dan sistem peredaran darah, serta respon biokimia jaringan otak terhadap penurunan
oksigenasi.

14
Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak. Pada
keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik yang
menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di daerah
paraventrikular substansia alba dan dapat terjadi atrofi yang difus pada substansia
grisea korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau menyeluruh tergantung tempat yang
terkena.
Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran prematur seperti
imaturitas pada otak dan vaskularisasi serebral merupakan suatu bukti yang
menjelaskan mengapa prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap
kejadian cerebral palsy. Sebelum dilahirkan, distribusi sirkulasi darah janin ke otak
dapat menyebabkan tendensi terjadinya hipoperfusi sampai dengan periventrikular
white matter. Hipoperfusi dapat menyebabkan haemorrhage pada matrik germinal
yang berhubungan dengan kejadian diplegia spastik.
Pada saat di mana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak
dewasa, hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari arteri
cerebral mayor), yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik quadriplegia. Ganglia
basal juga dapat terpengaruh dengan keadaan ini, yang selanjutnya menyebabkan
terjadinya ekstrapiramidal (seperti koreoatetoid atau distonik). Kerusakan vaskular
yang terjadi pada saat perawatan seringkali terjadi dalam distribusi arteri serebral
bagian tengah yang menyebabkan terjadinya fenotip spastik hemiplegia.
Tidak ada hal–hal yang mengatur dimana kerusakan vaskular akan terjadi, dan
kerusakan ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak janin.
Autoregulasi peredaran darah serebral pada neonatal sangat sensitif terhadap asfiksia
perinatal yang dapat menyebabkan vasoparalysis dan cerebral hyperemia. Terjadinya
kerusakan yang meluas diduga berhubungan dengan vaskular regional dan faktor
metabolik, serta distribusi regional dari rangsangan pembentukkan sinaps.
Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa
kehamilan, area periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles
sangat rentan terhadap cedera. Apabila area ini membawa fiber yang
bertanggungjawab terhadap kontrol motorik dan tonus otot pada kaki, cedera dapat
menyebabkan spastik diplegia (yaitu spastisitas utama dan kelemahan pada kaki,
dengan atau tanpa keterlibatan lengan dengan derajat agak ringan). Saat lesi yang
lebih besar menyebar sebelum area fiber berkurang dari korteks motorik, hal ini dapat

15
melibatkan centrum semiovale dan corona radiata, yang dapat menyebabkan
spastisitas pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.
Suatu pengetahuan tentang urutan fase embrionik dan perkembangan otak
janin, dapat ditentukan kapan waktu terjadinya kerusakan otak. Suatu penemuan
tentang kelainan migrasi (disordered migration), seperti lissencephaly atau
heterotopia grey matter, mengindikasikan bahwa kerusakan yang terjadi sebelum 22
minggu masa gestasi akan mengganggu migrasi neuronal normal. Periventricular
leucomalacia (PVL) menunjukkan kerusakan pada white matter. PVL pada umumnya
simetris dan diduga disebabkan oleh iskemik white matter pada anak–anak prematur.
Cedera asimetrik pada periventrikular white matter dapat menyebabkan salah satu sisi
tubuh lebih kuat daripada yang lainnya. Keadaan ini menyebabkan gejala yang
menyerupai spastik hemiplegia tetapi karakteristiknya lebih menyerupai spastik
diplegia. Matriks kapiler germinal dalam daerah periventrikular, sebagian rentan
terhadap cedera akibat hipoksik-iskemik. Hal ini disebabkan karena lokasinya yang
terletak pada zona batas vaskular di antara zona akhir striate dan arteri thalamik.
Kerentanan otak janin terhadap PVL bervariasi tergantung pada usia gestasi,
mencapai puncak pada usia gestasi 22 minggu dengan satu langkah penurunan pada
awal kematian postnatal dan setelah PVL. PVL akan tampak sebagai diplegia dan
sekitar 70% bayi yang mengalami cerebral palsy dilahirkan sebelum usia gestasi
mencapai 32 minggu dan 30% bayi yang mengalami cerebral palsy lahir tepat waktu
(cukup bulan).
Volpe mengklasifikasikan sistem tingkatan untuk periventricular-
intraventricular hemorrhages, sebagai berikut :
a.Grade I adalah hemorrhage yang berdampak hanya perdarahan pada
subependymal (<10% dari area periventrikular terisi dengan darah).
b.Grade II adalah hemorrhage yang melibatkan 10 – 50% area periventrikular.
c. Grade III adalah hemorrhage yang melibatkan >50% area periventrikular
d. Beberapa ahli lain mengemukakan grade IV, yaitu ada tidaknya darah
parenchymal. Hal ini diduga tidak berhubungan dengan ekstensi pendarahan
ventrikular. Tetapi sebaliknya, hemorrhagic infarction dapat berhubungan
dengan periventricular-intraventricular hemorrhage.
Hiperbilirubin encephalopathy akut dapat menyebabkan bentuk cerebral palsy
diskinetik (atau ekstrapiramidal) yang dapat terjadi baik pada bayi lahir cukup bulan
yang ditandai dengan hiperbilirubinemia atau pada bayi prematur tanpa ditandai

16
hiperbilirubinemia. Kernikterus mengacu pada encephalopathy dari
hiperbilirubinemia yang termasuk di dalamnya noda kelompok nuclear yang spesifik
dan nekrosis neuronal. Efek–efek ini utamanya melibatkan ganglia basalia, sebagian
globus pallidus dan subthalamic nucleus; hippocampus; substantia nigra; beberapa
nervus cranial nuclei – sebagian oculomotor, vestibular, cochlear dan facial nerve
nuclei; saraf batang otak seperti formasi retikular pada pons; saraf olivary inferior,
saraf cerebellar seperti pada dentate dan horn cells anterior dari tulang belakang.
Hal–hal yang memberikan distribusi kerusakan dalam kernikterus, kehilangan
pendengaran dan kelainan gerakan (terutama koreoathetosis atau distonia) adalah ciri–
ciri utama hiperbilirubin encephalopathy. Dengan perbaikan dalam manajemen awal
hiperbilirubinemia, banyak kasus cerebral palsy diskinetik (atau ekstrapiramidal)
tidak berhubungan dengan riwayat hiperbilirubinemia tetapi sebaliknya diduga
berhubungan dengan hypoxic injury pada ganglia basal. Dalam ketidakhadiran
hiperbilirubinemia, prematuritas, atau hipoksia, kemungkinan suatu kelainan
metabolik atau neurodegeneratif sebagai dasar fenotip perlu dipertimbangkan.
Cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10% dari semua bentuk
cerebral palsy, umumnya terjadi pada bayi cukup bulan. Kernikterusakibat haemolitik
pada bayi baru lahir terjadi akibat Rhesus isoimmunisation yang menjelaskan
peningkatan insiden pada dekade terakhir. Sosialisasi kebijakan antenatal untuk
memberikan antibodi anti-D pada ibu dengan Rhesus negatif setelah kelahiran bayi
dengan Rhesus positif telah menunjukkan eradikasi pada seluruh bentuk cerebral
palsy.
Status marmoratus adalah suatu akibat neuropatologi yang ditimbulkan oleh
neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy dan diduga lebih banyak terjadi pada bayi
cukup bulan daripada bayi prematur. Lesi ini adalah keadaan khusus munculnya
gumpalan karena suatu abnormalitas pembentukan myelin. Lesi ini merusak ganglia
basal dan thalamus yang menyebabkan fenotipcerebral palsy diskinetik.

2.7 Manifestasi klinis


Manifestasi klinisnya tampak gangguan motorik berupa kelainan fungsi dan
lokalisasi serta kelainan bukan motorik yang menyulitkan gambaran klinis cerebral
palsy. Kelainan fungsi morik terdiri dari:
1. Spastisitas

17
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan
refleks Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak
hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak
sama derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sikap yang khas
dengan kecenderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam adduksi,
fleksi pada sendi siku, dan pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari
dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan. Tungkai
dalam sikap adduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam plantar
fleksi, dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks
neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus
kortikospinalis. Golongan spastisitas ini meliputi ⅔ – ¾ penderita cerebral
palsy.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung pada letak dan besarnya
kerusakan, yaitu:
 Monoplegia/monoparesis
Kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi salah satu anggota gerak
lebih hebat dari yang lainnya.
 Hemiplegia/hemiparesis
kelumpuhan lengan dan tungkai di sisi yang sama.
 Diplegia/diparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat daripada
lengan.
 Tetraplegia/tetraparesis
kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi lengan lebih atau sama
hebatnya dibandingkan dengan tungkai.

2. Tonus otot yang berubah


Bayi pada golongan ini pada usia bulan pertama tampak flaksid dan
berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada
lower motor neuron. Menjelang usia 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus
otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak flaksid dan
sikapnya seperti kodok terlentang tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa
tonus ototnya berubah menjadi spastik. Refleks otot yang normal dan refleks

18
Babinski negatif tetapi yang khas ialah refleks neonatal dan tonicneck reflex
menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh
asfiksia perinatal atau ikterus. Golongan ini meliputi 10-20% dari kasus
cerebral palsy.
3. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas ialah sikap yang abnormal dengan pergerakan yang
terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama
tampak bayi flaksid tetapi sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut.
Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat
timbul juga gejala spastisitas dan ataksia. Kerusakan terletak pada ganglia
basal dan disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus.
Golongan ini meliputi 5-15% dari kasus cerebral palsy.
4. Ataksia
Ataksia ialah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya
flaksid dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Kehilangan
keseimbangan tampak bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat
dan semua pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak di cerebellum.
Terdapat kira-kira 5% dari kasus cerebral palsy.
5. Gangguan pendengaran
Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi
sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis
dan pada 5-10% anak dengan cerebral palsy.
6. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan
yang terjadi dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar
mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan
sering tampak anak berliur.
7. Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan
refraksi. Pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25%
penderita cerebral palsy menderita kelainan mata.7

19
2.8 Diagnosis
Cerebral palsy merupakan diagnosis klinis yang dibuat berdasarkan
kewaspadaan terhadap faktor risiko, screening perkembangan regular pada bayi-bayi
yang berisiko tinggi, dan pemeriksaan neurologis. Seperti dalam semua kondisi
medis, pendekatan yang sistemastis berfokus pada riwayat maternal, obstetrik, dan
perinatal, tinjau perkembangan mental dan fisik anak (developmental milestones), dan
pemeriksaan neurologi seara menyeluruh serta observasi anak dalam berbagai posisi
seperti tengkurap, telentang, duduk, berdiri, berjalan, dan berlari.
Tidak memungkinkan untuk mendiagnosis cerebral palsy pada bayi berusia
kurang dari 6 bulan kecuali pada kasus yang sangat parah. Pola dari berbagai bentuk
cerebral palsy muncul perlahan-lahan dengan petunjuk awal adanya keterlambatan
dalam perkembangan mental dan fisik anak dan tonus otot yang abnormal. Pada
cerebral palsy, riwayatnya tidak progresif. Milestones sekali mendapatkan tidak
ditemukan adanya regresi pada cerebral palsy. Tonus bisa hipertonik atau hipotonia.
Banyak hipotonia dini berubah menjadi spastisitas atau distonia pada usia 2-3 tahun.
Tanda-tanda awal meliputi adanya preferensi tangan pada tahun pertama,
kelainan tonus berupa spastisitas atau hipotonia dengan berbagai distribusi, adanya
refleks neonatus yang abnormal, keterlambatan dalam refleks melindungi dan
postural, dan pergerakan yang tidak simetris. Refleks primitif seharusnya menghilang
secara bertahap pada usia 6 bulan. Di antara refleks primitif yang paling berguna
secara klinis adalah Moro, Tonic labyrinthine, dan Asymmetric Tonic Neck Reflex
(ATNR). Pada banyak kasus, diagnosis cerebral palsy tidak memungkinkan hingga
usia 12 bulan.
Pada pemeriksaan lebih lanjut pada anak-anak dengan cerebral palsy, EEG
dilakukan apabila terdapat riwayat epilepsi. Neuroimaging dilakukan jika belum
dilakukan pada masa nenonatus yang mendukung etiologi cerebral palsy. MRI lebih
dianjurkan disbanding CT-scan Pemeriksaan genetik dan metabolik jika terdapat bukti
kemunduran atau kompensasi metabolik, riwayat keluarga dengan gangguan
neurologis di masa kanak-kanak berhubungan dengan cerebral palsy. Pemeriksaan
untuk menentukan koagulopati pada anak-anak dengan strok juga penting.
Evaluasi lengkap pada anak dengan cerebral palsy meliputi pemeriksaan
penglihatan, berbicara, pendengaran, sensoris, epilepsi, dan fungsi kognitif. Evaluasi
ortopedi suatu keharusan karena ketidakseimbangan otot dan spastisitas menyebabkan
subluksasi/dislokasi panggul, deformitas equina, kontraktur, dan skoliosis.11

20
2.9 Penatalaksanaan
Prinsip terapi:
- Meningkatkan kualitas hidup pada anak-anak yang terkena cerebral palsy
- Memberikan fasilitas rehabilitasi dini
- Meningkatkan kapasitas fungsional anak untuk menjadi mandiri
- Menurunkan komplikasi cerebral palsy

Intervensi:
- Mengurangi spastisitas otot
- Mengontrol kejang karena kebanyakan resisten terhadap pengobatan
antiepilepsi yang konvensional
- Mencegah masalah ortopedi seperti subluksasi panggul, skoliosis,
deformitas equina, dan lain-lain.
- Meningkatkan kognitif, pembelajaran, dan memori untuk penerimaan yang
lebih baik12
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simptomatik. Pada keadaan ini perlu kerja
sama yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter anak, neurolog, psikiater,
dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi, occupational therapist,
pekerja sosial, guru sekolah luar biasa, dan orang tua penderita.

Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu
program latihan di rumahuntuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi
penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk
sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang penderita
hidup.

Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan
pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan
stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan pergerakan koreo-atetosis yang
berlebihan.

21
Pendidikan
Penderita cerebral palsy dididik sesuai dengan tingkat kecerdasannya di sekolah
luar biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal.
Mereka sebaiknya diperlakukan sama seperti anak yang normal, yaitu pulang ke
rumah dengan kendaraan bersama-sama sehingga mereka tidak merasa diasingkan,
hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan
dan untuk ini pekerja social dapat membantu di rumah dengan nasehat seperlunya.

Farmakoterapi
Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang sesuai
dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan sebagainya. Pada
keadaan tonus otot yang berlebihan, obat dari golongan benzodiazepine dapat
menolong, misalnya diazepam, klordiazepoksid (Librium), nitrazepam (mogadon).
Pada keadaan koreoatetosis diberikan artan. Imipramine (tofranil) diberikan kepada
penderita dengan depresi.7

2.10 Pencegahan
Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian CP pun
bisa dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi antara lain: 3
1. Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan alat
pengaman pada saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat
bersepeda, dan eliminasi kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan,
pengamatan optimal selama mandi dan bermain.
2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru lahir
dengan fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan transfusi tukar.
Inkompatibilitas faktor rhesus mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan darah
rutin ibu dan bapak. Inkompatibilitas tersebut tidak selalu menimbulkan
masalah pada kehamilan pertama, karena secara umum tubuh ibu hamil
tersebut belum memproduksi antibodi yang tidak diinginkan hingga saat
persalinan. Pada sebagian besar kasus-kasus, serum khusus yang diberikan
setelah kelahiran dapat mencegah produksi antibodi tersebut. Pada kasus yang
jarang, misalnya jika pada ibu hamil antibodi tersebut berkembang selama
kehamilan pertama atau produksi antibodi tidak dicegah, maka perlu
pengamatan secara cermat perkembangan bayi dan jika perlu dilakukan

22
transfusi ke bayi selama dalam kandungan atau melakukan transfusi tukar
setelah lahir.
3. Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan
imunisasi sebelum
hamil.

2.11 Prognosis
Prognosis penderita dengan gejala motorik yang ringan adalah baik; makin
banyak gejala penyertanya (retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan penglihatan
dan pendengaran) dan makin berat gejala motoriknya, makin buruk prognosisnya.

23
BAB III
KESIMPULAN

Cerebral palsy (CP) adalah suatu kelainan dari fungsi motorik (sebagai lawan
dari fungsi mental) dan nada postural yang diperoleh pada usia dini, bahkan sebelum
kelahiran. Tanda dan gejala cerebral palsy biasanya menunjukkan pada tahun pertama
kehidupan.
Seorang anak berkembang sesuai dengan tahapan perkembangannya, walau
pun dengan berbeda – beda tahap perkembangannya. Bila dijumpai keterlambatan
dalam perkembangan si anak maka harus dilakukan tindakan – tindakan latihan yang
diperlakukan oleh si anak.
Pencegahan untuk beberapa etiologi penyebab cerebral palsy dapat dilakukan.
Untuk mengatasi permasalahan yang dijumpai pada anak yang mengalami
keterlambatan perkembangan mototrik, dan berikan latihan – latihan yang tujuannya
untuk mengatasi anak yang mengalami keterlambatan perkembangan terutama pada
pergerakannya.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Netter, F. H. 2011. Atlas of Human Anatomy . 5th edition.


Philadelphia: Saunders. 104-114
2. Wibowo, Alinda R., & Saputra, Deddy R., 2012. Prevalens dan Profil
Klinis pada Anak Palsi Serebral Spastik dengan Epilepsi. Sari
Pediatri.Volume 14.
3. Merlina, M., Kusnadi, Y., & Artati. 2012. Prospek Terapi Sel Punca
untuk Cerebral Palsy. Cermin Dunia Kedokteran 198. Volume 39.
4. Jan, M. M. S. 2006. Cerebral Palsy: Comprehensive Review and
Update. Ann Saudi Med. Volume 26.
5. Oxford University Student Union(OUSU). Cerebral Palsy Fact Sheet.
United Kingdom: University of Oxford.
6. Maimunah, S. 2014. Studi Eksploratif tentang Konsep Diri dan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi pada Remaja Cerebral Palsy.
Pendidikan yang Memberdayakan. Jakarta.
7. Selina, H., Priambodo, W. S., & Sakundarno, M. 2012. Gangguan
Tidur pada Anak Palsi Serebral. Medica Hospitalia.Volume 1.
8. Dahlan, A. & Aminullah, A. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Volume 11.
9. Poetry, R. V., Ramli, A. H. & Pratiwi, A. Resiliensi pada Mahasiswa
Baru Penyandang Cerebral Palsy(CP). Universitas Brawijaya.
Malang.
10. Graham, H. K. 2005. Classifying Cerebral Palsy. Asia-Pacific
Childhood Disability Update.
11. Mardiani, E. 2006. Faktor-faktor Risiko Prenatal dan Perinatal
Kejadian Cerebral Palsy. Semarang: Universitas Diponegoro.
12. Sankar, C. & Mundkur, N. 2005. Cerebral Palsy−Definition,
Classification, Etiology and Early Diagnosis. Indian J. Pediatric.
Volume 72.
13. Kuldeep, C. R. 2014. Recent Advances in Ayuverdic Management of
Cerebral Palsy Affected Children. Int. J. Res. Ayurveda Pharm.
Volume 5.

25

Anda mungkin juga menyukai