Anda di halaman 1dari 17

Judul Referat : Neuroradiologic Evaluation for Epilepsy Surgery: Magnetic Resonance Imaging

Hari/ Tanggal : Rabu, 30 Mei 2018


Pembimbing : dr. Ahmad Faried, Sp.BS, PhD
dr. Agung Budi, Sp.BS, PhD, DMSC
dr. Selfy Oswari, Sp.BS, S.Si
Penyaji : dr. Ingrid Widjaya
Sumber : Youmans and Winn, Chapter 65

Perkembangan MRI structural dan fungsional telah mengami revolusi untuk kepentingan investigasi dan
terapi penderita epilepsi Pada makalah kali ini akan dibahas mengenai abnormalitas serebral yang
mendasari epilepsi yang terlihat pada MRI, dan akan dibahas mengenai Diffusion tensor Imaging (DTI)
dan EEG yang dikombinasikan dengan MRI fungsional dan MRS. Bab ini juga mendeskripsikan kegunaan
imaging 3D multimodal dalam terapi epilepsi, dan membahas mengenai penggunaan MRI intervensi
sebagai tambahan terhadap terapi pembedahan

MRI pada epilepsi

Indikasi

Epilepsi intraktabel merupakan gangguan kronis yang mengganggu yang berpotensi baik disembuhkan
dengan pembedahan. Tingkat kesuksesan pembedahan tergantung dari ketepatan identifikasi zona
epileptogenic, yaitu area kortikal yang harus direseksi atau diputuskan hubungannya agar terbebas dari
kejang. Pencitraan struktural otak meliputi evaluasi pra-bedah yang komprehensif, mencakup
anamnesa, pemeriksaan fisik, electroencephalography, pemeriksaan neurofisiologi dan psikiatri

Komisi Neuroimaging dari ILAE mempublikasikan konsensus pertama terkait topik ini pada tahun 1997,
mengenai pencitraan otak pada penderita dengan epilepsy untuk identifikasi proses patologis pada
tahap awal dan menemukan formula yang mendasari sebuah sindrom dan diagnosis etiologis

MRI structural adalah pemeriksaan yang mendasari pencitraan epilepsy dan harus dilakukan pasa semua
pasien dengan diagnosis definitive epilepsy general idiopatik atau epilepsi dengan spike centrotemporal.
Indikasi MRI yaitu:

1. Kejang parsial
2. Kejang generalisata atau kejang tidak terklasifiksi pada tahun pertama kehidupan atau dewasa
muda
3. Adanya defisit pada pemeriksaan neurofisiologis
4. Sulit mengendalikan kejang dengan obat antiepilepsi lini pertama
5. Kejang yang tidak terkontrol atau pola kejang yang berubah

Protokol Epilepsi

MRI 3T menyediakaan gambar dengan resolusi tinggi dan bila memungkinkan seharusnya lebih
direkomendasikan dibandingkan MRI 1.5 T. Gambar yang harus didapat adalah orientasi koronal oblik
tegak lurus dengan aksis panjang hipokampus. Keseluruhan otak harus tercakup semua dalam
pencitraan. Sekuens MRI rutin termasuk
-Sekuens T1 dengan ketebalan slice 1-2 mm
-Resolusi aksial dan sagittal dengan resolusi T2 dengan ketebalan 2-3 mm
-Coronal FLAIR dengan bidang yang sama
-Coronal T2 gradient echo (sensitive dengan substansi paramagnetic seperti hemosiderin, berguna untuk
menyingkirkan lesi perdarahan seperti kavernoma)

Sekuens opsional

Banyak teknik MRI advance yang digunakan pada institusi yang berbeda

-Magnetisasi transfer gambar: gambar dibuat dengan dan tanpa magnetisasi untuk memperoleh rasio
transfer magnetisasi. Rasio ini adalah pengukuran dari kekuatan perubahan proton bebas pada
gumpalan besar dan proton yang terikat pada makromolekul seperti myelin atau membran. Rasio
transfer magnetisasi disebabkan oleh karena gliosis, yang merupakan marker sensitive untuk sclerosis
mesial temporal

-Waktu relaksasi T2 merupakan faktor identifikasi yang berguna untuk abnormalitas hipokampal.
Relaksasi T2 lebih tinggi pada pasien dengan sclerosis mesial temporal dan nilai intermediate dapat
diobservasi pada pasien dengan bukti MRI kualitatif sclerosis hipokampal.

-DWI. Melihat Area dengan difusi terbatas seperti infarct, abses atau nekrosis. Dalam kasus kejang
persisten, difusi terbatas juga dapat dilihat pada zona onset kejang dan sepanjang area propagasi
discharge yang menyebabkan kejang. Difusi restriktif menggambarkan kejang yang diinduksi edema
sitotoksik

-MRS. Penggunaan gadolinium tidak direkomendasikan pada penggunaan rutin kecuali dicurigai adanya
lesi tumoral

Abnormalitas struktural serebral yang diidentifikasi dengan MRI

Sklerosis hipokampus

Epilepsi mesial lobus temporal merupakan bentuk epilepsi tersering pada dewasa dan sclerosis
hipokampus atau sclerosis temporal mesial merupakan bentuk patologis utama yang berhubungan
dengan hal ini. Ketika sclerosis hipokampal diidentifikasi secara tepat dan dilakukan pembedahan,
tingkat kesuksesan untuk bebas kejang cukup tinggi (60% dalam 5 tahun)

Kebutuhan minimal untuk protocol MRI pada pasien dengan pasien epilepsy mesial temporal adalah
potongan tipis 1-3 mm (T1 dan T2) tegak lurus dengan aksis panjang hipokampus. Sekuens tambahan
seperti 3D recovery double inversi dapat membantu pada identifikasi perubahan white matter abnormal
pada lobus temporal anterior

Sklerosis hipokampus digambarkan sebagai atrofi hipokampus pada potongan koronal T1 dan
peningkatan intensitas sinyal pada T2
Gambaran yang berhubungan dengan sclerosis hipokampus sebagai berikut:

-dilatasi temporal horn di sebabkan karena berkurangnya volume hipokampus


-Atrofi struktur yang membentuk jaras keluar dari hipokampus (inferior: girus parahipokampus,
posterior: fornix ipsilateral yang berhubungan dengan mamilary body ipsilateral
-Atrofi struktur yang tidak berhubungan secara langsung dengan hipokampus (lobus temporal,
thalamus, dan nucleus kaudatus)

Inspeksi visual kualitatif dengan MRI oleh ahli neuroradiologis cukup menggambarkan sclerosis
hipokampus pada cukup untuk mendeteksi sclerosis hipokampus pada 80-90% kasus. Penilaian yang
hati-hati pada keseluruhan otak wajib dilakukan, karena pada 8- 22% pasien, proses penyakit sekunder
dapat ditemukan, menggambarkan diplasia kortikal

Keterbatasan inspeksi visual adalah sclerosis hipokampus dapat tidak dijumpai bila derajatnya ringan
atau bilateral. Penilaian sclerosis hipokampus dapat meningkatkan penilaian kuantitatif volume
hipokampus dan sinyal T2.

Sklerosis hipokampus. A. T1 koronal menunjukkan berkurangnya volume


hipokampus kiri dengan dilatasi sekunder temporal horn B. Coronal Flair
T2 menunjukkan peningkatan sinyal pada hipokampus kiri

Jack et al, menunjukkan bahwa pengukuran sclerosis hipokampal secara manual dapat meningkatkan
sensitivitas, memungkinkan deteksi atrofi pada 75-90% hipokampus pada sisi yang sesuai dengan onset
elektrik kejang. Perbedaan signifikan volume hipokampus (digambarkan sebagai perbedaan atau rasio)
antara kedua sisi merupakan indikator rasional sclerosis hipokampal unilateral. Bagaimanapun, terdapat
kerugian dalam membandingkan volume kedua hipokampus termasuk ketidakmampuan untuk
mendeteksi sclerosis hipokampus bilateral dan kemampuan false lateralisasi pada pasien dengan lesi
epileptogenic yang meluas hingga hipokampus. Tergantung referensi hipokampus pada populasi normal

Pada praktek klinis, segmentasi manual untuk menilai volume hippocampus merupakan proses panjang
yang tergantung pada ekspertise pemeriksanya, dengan beberapa variasi.

Malformasi pembentukan korteks

Malformasi pembentukan korteks dapat dibagi menjadi 3 kelompok


1. Kelompok pertama; malformasi yang merupakan hasil dari proliferasi abnormal sel neuron dan
sel glia. Pada kelompok ini termasuk microcephaly dan macrocephaly, hemimegalencephaly,
tuberous sclerosis, dyembrioblastic neuroepithelial tumors, ganglioglioma dan gangliositoma
2. Kelompok kedua: malformasi akibat dari meigrasi neuronal abnormal. Pada grup ini termasuk
lisssencephaly dan heterotopia
3. Kelompok ketiga: Malformasi merupakan hasil dari organisasi kortikal abnormal. Pada kelompok
ini termasuk polimikrogiria, schizencephaly

Kelompok I

Tuberous sclerosis dapat bermanifestasi sebagai multiple tuber atau hamartoma yang berisi sel balon,
terlihat pada MRI sebagai penebalan kortikal dengan sinyal T2 hiperintens. Pada pasien dengan nodul
tuberal subependimal menunjukkan kalsifikasi dan penyangatan. Subependimal giant cell astrocytoma
(SGA) dideferensiasi dari tuber subependimal karena sifatnya lebih jinak. Scan dengan kontras
direkomendasikan karena SGA secara tipikal menunjukkan penyangatan yang seragam.Hal lain yang
membedakan adalah lokasi mereka pada umumnya terletak pada foramen monro dan cederung
bertambah besar seiring waktu yang dapat menimbulkan hidrosefalus obstruktif pada 15 % kasus

Pada hemimegalencephaly, pelebaran hemisferik berhubungan dengan ventrikulomegali ipsilateral dan


dapat diasosiasikan dengan perubahan pada intensitas signal white matter, heterotopi, dan penebalan
kortikal

Malformasi kortikal, kelompok I. A. Axia T2 menunjukkan kalsifikasi multiple nodul periventricular pada ventrikel
lateral, menunjukkan “candle guttering sign”, tipikal untuk tuberous sclerosis. B. Axial T2 menunjukkan SGA pada
temporal horn kiri ventrikel lateral, yang menyebabkan obstruksi foramen monro. C (axial) D (kronal) T2
menunjukkan hemisfer asimetri dengan berkurangnya differensiasi dan penebalan korteks di sebelah kanan,
menunjukkan malformasi hemisfer kanan (hemimegalencephaly) Sinyal hiperintens pada hemisfer kiri
menunjukkan pola myelinisasi normal pada anak usia 12 tahun
Malformasi kortikal, kelompok II: Coronal T1 (A) axial T2 (B) bilateral subependimal nodular substansia grisea
bilateral heterotopia (C) Coronal T1 heterotopoa hemisfer kanan (D) T1 koronal: schizencephaly meluas hingga
ventrikel kanan

Kelompok II

Lissencephaly berarti “smooth brain’ dan kondisi ini dikarakterisasikan dengan kurangnya pertumbuhan
sulkus dan girus. Pada MRI, lissencephaly tampak agiria, sulkus dan fissure sylvii dangkal. Korteks
biasanya menebal. Heterotopia adalah adanya substansia grisea yang abnormal dan dapat dilokalisir
(nodular) atatu generalisata. Heterotopia nodular memproduksi sinyal yang isointense dengan gray
matter dan hiperintens pada T2. Subependimal nodular heterotopoa yang pada umumnya bilateral dan
sering berlokasi pada kornu occipital dari ventrikel lateral dan ditemukan predominan pada wanita.
Kejang biasanya berupa kejang parsial

Heterotopia generalisata sering dideskripsikan sebagai double cortex, terdiri dari pita substansi akelabu
dalam substansia alba, paralel dengan korteksi di bawahnya, dapat normal maupun makrogiria

Kelompok III

Polimikrogiria (secara harfiah berarti lekukan kecil) merupakan istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan konvolusi kecil pada permukaan hemisfer yang dapat unilateral maupun bilateral

Schizencephaly (dari schizein, berarti terbelah) adalah cleft pada otak yang menghubungkan ependim
ventrikel lateral dengan permukaan piamater pada konveksitas. Garis gray matter membatasi cleft dan
dindingnya dapat terpisah (open lip) maupun sebaliknya (closed lip) hal ini harus dibedakan dengan
porencephaly dimana porensefali merupakan hasil dari cedera otak destruktif dan dibatasi oleh jaringan
gliosis

Malformasi pembentukan korteks ringan

Malformasi ringan selalu berlokasi pada lobus temporal, gambaran MRI tersering pada 29% kasus adalah
hypoplasia lobar dan atrofi. Tanda-tanda lain seperti tidak jelasnya batas antara gray dan white matter
atau perubahan ketebalan korteks.

Focal cortical dysplasia (FCD)


FCD merupakan bentuk paling sering dari Malformasi kortikal pada pasien dengan epilepsi intraktabel
dan merupakan penyebab epilepsy paling sering pada anak-anak. Penemuan gambaran FCD pada MRI
dapat tidak terlalu jelas. Maka dari itu, penilaian harus dilakukan secara komprehensif seperti
semiology, karakteristik neurofisiologis. Bila MRI ditemukan tanpa kelainan, modalitas imaging yang
lainnya seperti florodeoxyglucose PET, SPECT dan magnetoencephalography dapat dipertimbangkan
untuk mencari kelainan.

FCD. A dan B Coronal T2: hypoplasia polus lobus temporal dan hilangnya diferensiasi substansia kelabu-alba. C-E
Tipe iI FCD: coronal T2 flair: Funnel track hyperintensity, meluas dari korteks ke girus supramarginal ventrikel

Beberapa jenis FCD di antaranya

FCD tipe 1, berupa hypoplasia atau atrofi lobar pada tingkat sublobar. Hal ini berhubungan dengan
berkurangnya volume substansia alba, yang terlihat dengan meningkatnya signal pada T2 dan T2 flair
dan penurunan sinyal pada T1. Ketebalan korteks biasanya normal, walaupun perbatasan antara gray
dan white matter dapat tidak jelas. FCD tipe 1 sering terdapat pada lobus temporal yang diasosiasikan
dengan sclerosis hipokampus pada lebih dari 70% kasus dan FCD sering berhubungan dengan tumor.
Apabila MRI structural menunjukkan adanya efek massa, komponen kistik atau kalsifikasi, tumor harus
dicurigai dan MRI harus diulang dengan kontras gadolinium

FCD tipe 2, yang dikarakterisasikan dengan meningkatnya ketebalan korteks dan kaburnya perbatasan
antara substaansia alba dan kelabu pada T1 T. Area subkortikal dapat menunjukkan peningkatan sinyal
T2 dan flair dan penurunan sinyal pada T1

Usia dan gambaran Focal Cortical Dysplasia

Colombo, et all melaporkan pentingnya penilaian usia pada seleksi sekuens yang paling baik untuk
evaluasi ketebalan korteks. Pada dewasa, dimana mielinisasi telah sempurna, T2, T1 dan T1 inversion
sesuai untuk tujuan ini. Pada bayi usia kurang dari 6 bulan mielinisasi belum sempurna, sehingga
substansia alba imatur dapat tampak isointens pada T1 dan T2. Pada Daerah FCD, substansia alba dapat
selalu tampak hiperintens dibandingkan dengan area yang mengalami dysplasia pada T2. Karena zat
kontras antara korteks dan substansia alba maksimal sebelum mielinasi dimulai, jika kejang dimulai
sebelum usia 6 bulan , scan harus segera dilakukan sehingga FCD hipointens pada T2 dapat dibedakan
dari substansia alba yang hiperintens. Selama proses mielinisasi yang terjadi antara usia 6 dan 18 bulan,
kontras antara substansia alba dan substansia kelabu hilang, dan FCD sulit terlihat. Pada keadaan MRI
negative, scan harus diulang pada usia 30 bulan, ketika mielinasi telah selesai

Tumor dan lesi vascular. A. Coronal T1: lesi kortikal multicystic hipointens pada girus temporalis superior, sesuai
dengan DNET B. T2 koronal menunjukkan kista temporal kanan dengan mural nodule, sesuai dengan
Ganglioglioma C. Axial T2 FLAIR: menunjukkan peningkatam sinyal abnormal ekstensif, berpusat di insula sebelah
kanan meluas ke are temporal sesuai dengan LGG. D Aksial T2 menunjukkan karakteristik “popcorn” yang
menunjukkan cavernoma pada polus temporal kanan

Tumor

Tumor dapat merupakan penyebab kejang. Pada epilepsi kronis, tumor merupakan 25-53% dari
keseluruhan kasus. Pada anak dan dewasa muda, kebanyakan tumor yang berhubungan dengan epilepsi
adalah DNET dan ganglioglioma. Pada 70% kasus berlokasi di lobus temporal.

DNET bermanifestasi sebagai massa cerebral fokal, batas tegas, dapat menempel pada permukaan
dalam calvaria dan meluas ke area subkortikal. DNET berbentuk multikistik yang hipointens pada T1 dan
hiperintens pada T2. Pada 1/3 kasus, kalsifikasi dan titik fokal yang pucat serta ring enhance dapat
muncul. Karakteristiknya adalah hiperintens pada flair

Ganglioglioma memiliki sinyal yang rendah pada T1 dan sinyal yang tinngi pada T2 dibandingkan dengan
substansia alba. Muncul dari substansia alba dan menyebabkan ekspasnsi gradual dari korteks
berdekatan dengan efek massa yang terlokalisir. Mereka akan tampak hiperintens pada T2 dan FLAIR,
tidak menyangat kontras.

Malformasi Vaskular

Pada umumnya berupa cavernoma yang bermanifestasi sebagai kejang pada 50% kasus. Karena
kavernoma tidak memiliki jaringan saraf, kejang dapat muncul dari hemosiderin yang muncul setelah
perdarahan. Pada MRI, cavernoma dapat tampak seperti popcorn, hasil dari fase perdarahan yang
berbeda pada T1 dan T2. AVM dapat juga bermanifestasi sebagai kejang pada 25% kasus, Aliran yang
cepat seperti pada malformasi vaskularr dapat terlihat sebagai void pada T2. Gold standarnya adalah
angiografi serebral.

Perubahan transien pada MRI yang berhubungan dengan kejang

Kejang parsial kompleks dan status epileptikus generalisata dapat mengakibatkan perubahan sementara
pada MRi , dengan area hiperintensitas fokal pada T2. Untuk membedakan dengan kelainan struktural,
MRI perlu diulang saat pasien sudah bebas kejang

MRI structural dan kognisi pada epilepsy

Bahasa dan memori telah dipelajari dalam hubungannya dengan gambaran struktural epilepsi lobus
temporal. Dapat berupa hubungan antara volume hipokampus dan disfungsi memori, berkurangnya
volume sebelah kiri berhubungan dengan gangguan kemampuan verbal dan memori, dan volume
sebelah kiri yang normal berhubungan dengan penurunan memori post operatif yang lebih besar.
Hampir sama, pada sisi kanan, pengurangan volume amigdala berhubungan dengan hilangnya memori
visual.

Pasien dengan epilepsi lobus temporal juga mengalami reduksi jaringan otak global, frontal, temporal
dan parietal, namun tidak lobus occipital. Pengurangan volume ini juga berhubungan dengan gangguan
kognitif

Pada pasien dengan epilepsi lobus temporal, meningkatnya ukuran amigdala dapat berhubungan
dengan depresi, distimia dan psikosis. Pengurangan ukuran amigdala berhubungan dengan agresi
interiktal

Pencitraan fungsional

MRI Fungsional

MRI fungsional (fMRI) merupakan teknik untuk memetakan area korteks yang fungsional. Dapat
digunakan untuk memetakan bahasa, motorik, memori dan aktivitas epileptik. Teknik yang digunakan
secara indirek dapat mendeteksi area peningkatan aktivitas neuronal fokal dengan mengidentifikasi
peningkatan cerebral blood flow ketika dilakukan pasien diminta melakukan aktivitas tertentu, seperti
mengangkat jari pada daerah fungsional motorik tangan dan tes kelancaran verbal pada daerah bahasa.
Scan dilakukan berdasarkan sensitivitas Blood-Oxygen Level (BOLD). Signal BOLD menggambarkan rasio
konsentrasi oksihemoglobin terhadap deoksihemoglobin. Mereka memiliki karakteristik sinyal yang
berbeda pada T2. Konsentrasi oksihemoglobin yang lebih dibandingkan deoksihemoglobin menghasilkan
sinyal BOLD yang tinggi dan dapat mengidentifikasi area dengan peningkatan aktivitas neuronal sebagai
akibat dari hiperperfusi local. Signal BOLD ditentukan pada masing-masing region yang diinginkan
kemudian dibandingkan dengan sisi sebelahnya pada keadaan istirahat. Pemetaan sinyal ini
digabungkan dengan MR konvensional untuk menyediakan resolusi spasial dan anatomis
Terdapat beberapa keterbatasan tekni, pertama, area aktivasi BOLD sangat dipengaruhi dengan
ambang batas, dapat menyebar atau fokal. Kedua, tidak ada hubungan langsung antara
intensitas BOLD dan elokuensi kortikal. Kemudian, area aktivasi BOLD mungkin tidak terlalu
penting dalam menjalankan fungsi tertentu, dan fungsi tersebut mungkin tidak akurat
menggambarkan kemampuan fungsional tersebut. Atas dasar alasan ini, ahli bedah harus lebih
memperhatikan interpretasi fMRI pada masing-masing individual

Fungsi Motorik
Fungsi motoric pada fMRI dapat dinilai dengan stimulasi kortikal langsung. Pada salah satu studi,
pre operatif motor fMRI dibandingkan dengan stimulasi kortikal langsung pada 25 pasien
dengan tumor perirolandic dengan 84% korelasi
Secara otomatis, karena arcade membrane piamater dan pembuluh darah kortikal, identifikasi
sulkus sentralis dengan inspeksi dapat sulit intraoperative, Motor fMRI berguna untuk
menentukan fungsi anatomi girus, khususnya pada penyakit perirolandic yang dapat
menyebabkan migrasi fungsi. Motor fMRI dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi daerah
otak yang menginisiasi jaras kortikospinal

Bahasa
Tes amytal intracarotis (WADA) merupakan pemeriksaan gold standar tradisiona; untuk
menentukan lateralisasi bahasa dan fungsi memori. Namun teknik ini memiliki kelemahan, 1.
Merupakan tes yang invasive dan dapat beresiko stroke sebanyak 0.6%. 2. Studi ini terbatas
pada ICA sisi otak yang akan dinilai fungsinya, tanpa ada persilangan hemisferik. fMRI berbahasa
saat ini banyak digunakan untuk menentukan lateralisasi berbahasa dominan
Berbahasa ekspresif dinilai dengan kelancaran verbal dan tes verbal dan fungsi reseptif
berbahasa dinilai dengan kemampuan membaca komprehensif. Tes kelancaran verbal umumnya
menghasilkan aktivasi yang lebih kuat daripada tes kemampuan berbahasa. Paradigma
berbahasa reseptif pada umumnya menunjukkan aktivasi bilateral. Derajat reorganisasi
fungsional juga telah dievaluasi: fungsi dari daerah yang dekat dengan area penyakit dapat
direlokasikan ke kontralateralnya, dan fungsi yang berasal dari area yang jauh dari area
penyakit akan tetap pada hemisfer yang sama. Lateralisasi fungsi pada umumnya tidak terlihat
Apabila reseksi dekat dengan korteks bahasa, area kritis harus tetap dipetakan melalui stimulasi
langsung baik dengan implant elektroda post op atau awake surgery

EEG-fMRI
EEG-fMRI merupakan teknik pencitraan multimodal yang dapat digunakan untuk melokalisir
region otak yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bangkitan epilepsi. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan memetakan perubahan pada level hemodinamik BOLD yang berhubungan
dengan bangkitan interiktal dan iktal. Paradigma fungsional pada kasus ini adalah adanya
aktivitas epileptic
EEG-fMRI adalah pemeriksaan non invasive yang memiliki keuntungan signifikan dari kombinasi
resolusi spasial yang tinggi dari fMRI dengan resolusi temporal EEG. Keterbatasan utama dari
teknik ini adalah kebutuhan akan aktivitas epileptiform selama scanning. Teknik baru (Grouiller)
menekankan pada limitasi ini dengan
menyatukan peta voltase dengan spike epilepsy
yang ditemukan pada pemeriksaan sebelumnya
dengan perekaman EEG jangka panjang dengan
EEG yang dilakukan pada scanner. Pada situasi
ideal, EEG-MRI dilakukan selama fase iktal.
Observasi dilakukan antara 10-40 menit .
EEG-fMRI telah tergabung pada beberapa
center untuk evaluasi pre surgical pada pasien
yang sedang dilakukan percobaan. Kesesuaian
antara sinyal BOLD dan lokalisasi elektroklinik
zona epileptic cocok pada 40-60% pasien.

DWI
DWI merupakan metode MRI yang memetakan
difusi dari jaringan biologis. Sekuens inilah yang
digunakan pada pemetaan jaras substansia alba
yang disebut dengan traktografi
Arah difusi air pada substansia alba seusi
dengan arah akson. Air berdifusi dengan arah
parallel dengan aksis longitudinal akson dan
difusi terbatas pada arah tegak lurus dengan
aksis longitudinal akson dan difusi terbatas
tegak lurus dengan aksis.
Keuntungan teknik ini adalah prosesnya cukuk
mudah dan cepat.

Traktografi secara klinis diaplikasikan paling sering pada terapi pembedahan tumor otak. Jaras
kortikospinal merupakan jaras yang paling sering dipertimbangkan untuk lesi tumor yang dekat
dengan korteks motorik. Penggunaan traktografi dikombinasikan dengan neuronavigasi
merupakan alat untuk proses pengambilan keputusan selama resesksi tumor.
Dalam konteks pembedahan epilepsy, DTI dapat diaplikasikan untuk kasus-kasus lesional yang
dekat dengan jaringan otak yang elokuen. DTI dapat membantu mengevaluasi hubungan antara
area epileptogenic dan serabut subkortikal. Keuntungan ini tidak hanya untuk perencanaan
pembedahan, tapi juga memberikan manfaat dalam hal neurofisiologi untuk lebih dapat
memehami konektivitas di balik aktivitas listrik pada kejang
Juga pernah dilaporkan mengenai kegunaan DTI dalam evaluasi post operatif pada operasi
diskoneksi. DTI post op pada pasien yang dilakukan corpus callosotomy dapat mengonfirmasi
apakah serabut saraf yang dimaksud telah terdiskoneksi, yang dapat membantu perencanaan
untuk intervensi pembedahan dibandingkan dengan terapi lainnya.
Magnetic Resonance Spectroscopy
MRS merupakan metode analitik yang memungkinkan identifikasi dan kuantifikasi zat metabolit
secara radiologis. Spektrum yang dihasilkan oleh MRS menyediakan informasi kimiawi dan
fisiologis, lebih baik dibandingkan data anatomis. Pada MRS, frekuensi resonansi dari sebuah
nucleus menyediakan informasi zat kimia yang dapat ditampilkan sebagai spektum dengan
intensitas sinyal melawan frekuensi. Pada otak manusia, proton dari nucleus Hidrogen adalah
yang paling sering digunakan karena sensitivitasnya tinggi
Nukleus lainnya dapat digunakan untuk mendapatkan spectrum magnetic, termasuk Fosfor,
fluorine, carbon, dan sodium.

Kejang dapat berasal dari spectrum penyebab yang luas seperti penyakit metabolic dan
penyakit genetic, dimana keduanya tidak membutuhkan pembedahan

Pada pasien dengan kejang dan diduga ada penyakit metabolic, seperti kelainan mitokondria
dan defisiensi keratin, MRS dapat mengindikasikan imbalance ini, dengan mengidentifikasi laktat
dan NAA.

Dari persepsi bedah, MRS memiliki 2 area aplikasi utama. Yang pertama, dapat berguna untuk
diagnosis lesi epileptogenic. MRS juga dapat membedakan sualu lokasi kejang apakah tumor
atau FCD. Tumor akan menunjukkan karakteristik sebagai berikut

- Berkurangnya NAA. Metabolit ini adalah marker neuronal dan pengurangan NAA
menandakan adanya kerusakan pada jaringan otak. Reduksi pada NAA menurunkan rasio
NAA/creatine
- Meningkatnya kadar kolin. Hal inii biasanya dibuktikan dengan peningkatan rasio kolin/NAA
dan kolin/keratin
- Perubahan minor level keratin

Penurunan rasio NAA/ creatin dapat juga merupakan temuan utama dalam FCD. Bagaimanapun
rasio kolin/creatin dapat membantu membedakan FCD dengan neoplasma

Penggunaan lain dari MRS adalah pada pasien dengan penemuan MRI yang tidak terlalu
bermakna. Cender et all melakukan MRS dan analisa MR volumetric dari lobus temporal pada
100 paien dengan epilepsy lobus temporal refakter. Proton MRS dapat mendeteksi dan
menghitung kerusakan neuronal fokal atau disfungsi berdasarkan berkurangnya sinyal dari
marker neuronal NAA yang akan memberikan hasil berkurangnya rasio NAA/ keratin. Pada 100
pasien dengan epilepsy lobus temporal dan MRI normal, Cendes et all melakukan MRS,
mengukur amigdala dan volume hipokampus secara kuantitatif dan menilai kesesuaian dengan
lateralisasi EEG. Temuan MRS sendiri berhubungan dengan lateralisasi yang ditentukan dengan
EEG pada 86% pasien, lebih baik dari MRI volumetric (83%) Lebih lanjut, temuan MRS abnormal
pada 12 pasien dimana analisis volumetric MRI menggambarkan temuan yang normal

Pencitraan multimodal pada pembedahan epilepsi


Prinsip multimodal

Pencitraan multimodal 3D adalah penggunaan alat-alat yang berbeda yang menyediakan


informasi tambahan yang lebih detail untuk memecahkan masalah kompleks. Konsep
fundamentalnya adalah integrasi data yag berbeda-beda menjadi suatu konsep suatu platform
3D . Kebanyakan informasi yang diimplementasikan pada 3D MMI berasal dari pemrosesan MRI,
bagaimanapun, modalitas pencitraan lainnya dapat ditampilkan secara terintegrasi sehingga
dapat menambahkan informasi esensial mengenai pasien yang bersangkutan

Aplikasi pada Pembedahan Epilepsi

Karena 3DMMI membutuhkan analisis simultan dari set data multiple dan pertimbangan
masing-masing data berkaitan satu dengan lainnya untuk pembedahan epilepsy. Hal ini
memungkinkan evaluasi optimal terhadap posisi spasial, structural, fungsional dan perubahan
elektrofisiologis terhadap struktur anatomi pada area ini.

Hal ini juga memungkinkan penentuan zona


epileptogenik terhadap jaringan korteks
elokuen atau zona deficit fungsional
(sebagai contoh, area otak yang
menunjukkan fungsi abnormal pada
periode interiktal sebagai akibat kelainan
structural, konsekuensi fungsional dari
kondisi epilepsy yang ada, atau keduanya.

Penggunaan 3D MMI mengubah beberapa


aspek tatalaksana pada 43 (80%) dari 54
kasus yang mendukung fakta bahwa
penggunaan 3D MMI secara substansial mempengaruhi pembuatan keputusan klinis

Berikut ini adalah langkah-lamgkah utama untuk membuat data 3DMMI

1. Akuisisi gambar
2. Koregistrasi gambar
3. Segmentasi daerah yang ditentukan
4. Visualisasi 3D permukaan atau volume

Identifikasi lesi struktural merupakan prediktor kuat untuk mencapai bebas kejang stelah
pembedahan. Pada epilepsi pada anak, penggunaan FDG-PET, DTI dan MRI secara signifikan
meningkatkan deteksi (lokalisasi) membantu identifikasi FCD, tuberous sclerosis,
hemimegalencephaly, mesial temporal sclerosis neoplasma, Rasmussen encephalitis, infeksi
perinatal, dan sindroma Sturge Weber. Data dari regio masing-masing dibandingkan dengan
data base normal sehingga dapat mengidentifikasi area yang perlu diteliti lebih lanjut. Data dari
area ini dapat disegmentasikan secara manual, diregistrasikan dengan MRI structural, dikirim ke
system neuronavigasi untuk direkam dengan menggunakan elektroda.

Beberapa kelompok telah melaporkan mengenai penggunaan 3DMMI pada pembedahan


epilepsy. Murphy et al melaporkan penelitan kohort terhadap 22 pasien yang dilakukan
pembedahan dengan 3DMMI guided antara April 1999 dan Oktober 2001. Kriteria untuk seleksi
pasien adalah tidak ada lesi yang ditemukan pada MRI konvensional, lesi multiple, atau adanya 1
lesi yang besar yang tidak dapat direseksi dengan aman tanpa resiko morbiditas postoperative
signifikan. Murphy et al menggunakan PET, FLAIR, dan SPECT dan substraction ICTAL SPEC yang
di koregistrasi dengan software untuk neuronavigasi.

3DMMI bukan hanya suatu modalitas fungsional untuk mendeteksi area baru namun juga
sebagai sebuah modalitas untuk mendemonstrasikan anatomi vaskular, Inkoporasi dengan
pencitraan vaskular ke dalam pencitraan anatomi meruakan konsep dasar dari
Stereoencephalography, pertama kali dideskripsikan oleh Taraich dan saat ini digunakan pada
banyak center di Eropa dan Amerika.

Akurasi

Meskipun 3DMMI cukupakurat dibandingkan MRI structural maupun dibandingkan set data
yang lain seperti traktografi, permeriksaan ini sangat memperhitungkan variabilitas antar
penggunanya. Beberapa set data dibatasi oleh prinsip biofisika, sebagai contoh, sinyal BOLD
pada fMRI merupakan pengukuran pengukuran indirek dari aktivitas neuronal, dan traktografi
dilakukan berdasarkan presumsikonektivitas substansia alba. Interpretasi dari data ini disajikan
dalam bentuk data terintegrasi
Integrasi dan presentasi pencitran
multimodal merupakan proses dari
koregistrasi spasial dan masing-masing
langkah memiliki tingkat kesalahan masing-
masing. Maka dari itu, data koregistrasi di
cek manual dan kerancuan lokalisasi
anatomis, seperti lateralisasi, diperiksa
pada masing-masing tahap.

Agar 3DMMI dapat tersedia di kamar


operasi, set data dimasukkan ke system
neuronavigasi dan registrasi lebih lanjut
dilakukan antara model 3D dan kepala
pasien. Hal ini juga dapat menambah
potensi kesalahan yang ditentukan oleh
software neuronavigasi dan kualitas
registrasi.

Akurasi dari registrasi spasial dapat


terganggu oleh prosedur selama
pembedahan, seperti adanya brain shift.
Perpindahan dan distorsi otak tidak dapat
dihindari sepanjang operasi, sebagai hasil
dari keluarnya LCS, gravitasi,
pembengkakan otak, dan reseksi jaringan
otak

MRI Intervensional

MRI intervensional merupakan modalitas yang digunakan pada fasilitas MRI. Hal ini
memungkinkan ahli bedah untuk melakukan scan intraoperative sebelum kepala ditutup.
Keuntungannya seperti penentuan area reseksi, deteksi lesi residual, dan reregistrasi software
neuronavigasi untuk mengoreksi brain shift. saraf. Faktor prognosis untuk outcome pada pasien-
pasien ini adalah jenis histologis dan eksisi komplit lesi. Adanya teknik identifikasi lesi residual
intraoperative dapat menghindarkan operasi kedua, meningkatkan outcome pasien, dan cost
effective

Rossler det al melaporkan 88 pasien dengan epilepsy lobus temporal yang dilakukan
pembedahan dengan iMRI. Jenis patologi yang paling sering adalah low grade tumor
(ganglioglioma dan DNET), cavernoma, dan FCD tapi pasien dengan sclerosis hipokampal
dieksklusi. iMRI pertama dilakukan ketika ahli bedah berpikir bahwa lesi sudah tereksisi
seluruhnya, scan intraoperative menunjukkan lesi residual pada 25% pasien (22 reseksi
inkomplit). Gambaran intraoperative kedua menunjukkan reseksi komplit pada 19 dari 22
pasien, Penulis menyimpulkan bahwa sebagai efek langsung dari iMRI, tingkat reseksi
keseluruhanmeningkat hingga 21.6 % dan reseksi komplit dicapai pada 96.6% pasien

Penelitian lain oleh Sommer et all melaporkan 25 kasus lesi ekstratemporal yang dipengaruhi
oleh epilepsi resisten obat. Lesi berlokasi di daerah otak yang elokuen, pemedahan dilakukan
dengan iMRI dikoordinasikan dengan fMRI dan DTI. iMRI membantu identifikasi reseksi
inkomplit pada 20% pasien dan difasilitasi untuk reseksi total pada cohort nya. Penulis
menggarisbawahi fakta bahwa pada kasus serupa yang sebelumnya pernah dilaporkan, reseksi
komplit berkisar antara 71-85% dan outcome fungsional meningkat dibandingkan studi yang
sebelumnya dpublish. Hal ini menekankan pentingnya mengkoordinasikan pencitraan fungsional
dan iMRI untuk mengurangi resiko deficit neurologis post op

Winston et al, menganalisa data dari penelitian cohort pada 21 pasien yang dilakukan lobektomi
temporal anterior untuk epilepsy refrakter, dengan penggunaan iMRI dengan ditampilkan
preoperative tractography dari radiasio optic pada mikroskop. Traktografi sebelumnya telah
mendemonstrasikan kemungkinan variabilitas perluasan Meyer loop, antara 24-43 m dari polus
temporal dalam sebuah penelitian. Pada penelitian ini, iMRI digunakan untuk membuat
arameter transformasi, yang kemudian diaplikasikan ke temuan traktografi pre operatif untuk
mengoreksi shift

Di samping keuntungan yang jelas , tantangan selanjutnya untuk pembedahan pada kasus
epilepsy, adalah saat ini pembedahan epilepsy bersifat non lesional. Pada kasus dengan MRI
negative, ahli bedah sering mengoperasi pada lokasi yang dalam dan sedikit landmark anatomi.

iMRI memungkinkan ahli bedah untuk mengonfirmasi batas anatomis dari jaringan yang akan
direseksi dan dapat membantu menentukan apakan area epileptogenic telah direseksi dengan
sempurna

Untuk kasus lesional dan non lesional, kemungkinan mengintegrasikan studi fungsional seperti
fMRI, DTI dan data tambahan (seperti elektorda yag diimplant untuk mengidentifikasi focus
epileptogenic) dan menampilkan temuan lapangan operasi melalui mikroskop memiliki
beberapa keuntungan potensial

Pembedahan epilepsy dilakukan pada kelompok pasien yang heterogen, dan evience kelas 1
sulit dicapai untuk intervensi bedah apapun. Bagaimanapun, iMRI merupakan tambahan yang
baik untuk operasi epilepsy yang lebih aman dan efektif
Kesimpulan

Kegunaan MRI pada evaluasi neuroradiologis berkembang seiring waktu dan


merepresentasikan kemajuan teknologi yang ada

Pertama, MRI structural sangat krusial dalam menentukan diagnosis lesi epileptogenic karena
dapat memandu managemen pembedahan lebih lanjut.

Yang pertama, MRI structural sangan krusial dalam diagnosis lesi epileptogenik untuk memandu
managemen pembedahan lebih lanjut. Metode kulatitatif, seperti morphometry voxel based
meningkatkan sensitivitas MRI sebagai alat diagnostik.

Kedua, adanya functional MRI dan MRI difusi memungkinkan lokalisasi area korteks elokuen dan
traktus substansia alba. Pada pembedahan epilepsy, hal ini merupakan informasi yang berharga
untuk lateralisasi berbahasa, dan membantu memetakan jaras substansia alba pada lapangan
operasi. Penggabungan fMRI dengan EEG merupakan teknologi yang menarik yang dapat
memperperkuat evaluasi pra bedah. Untuk memperoleh keuntungan maksimal terkait berbagai
modalitas pencitraan, mereka juga digabungkan ke dalam ruangan tunggal dan divisualisasikan
dalam 3D MMI

Akhir kata, keberadaan iMRI memberikan pandangan baru bahwa MRI tidak hanya digunakan
untuk diagnosis tapi juga berperan untuk terapeutik di kamar operasi. Penggunaan iMRI
meningkatkan kepercayaan ahli bedah di kamar operasi saat operasi berlangsung,

Untuk masa mendatang, penggunaan klinis dari MRI dapat meningkatkan evaluasi preoperative
pasien dengan epilepsy, dengan abnormalitas struktural pada kasus-kasus non lesional

Anda mungkin juga menyukai