Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

Tatalaksana Anestesi Pada Tindakan Mastoidektomi Radikal Dengan


General Anestesi – Intubasi

Identitas Pasien
Nama : Nurmiah
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bone
Tanggal MRS : 27-9-2015
RM : 723648
BB : 43 kg BMI : 18,3 kg/m2
TB : 153 cm

 Tanggal dilakukan Anesthesia : 28-9-2015


 Lama anesthesia : ±2 jam 35 menit (10.30-13.05)
 Diagnosa pra bedah :
Otitis media supuratif kronik dextra + mastoiditis dextra + fistel retroaurikuler
dextra
 Nama operasi : Mastoidektomi radikal
 Jenis anesthesia : General endotrakeal anestesi

Pre-operatif
Anamnesa pre-operatif
 Keluhan utama :
Pasien masuk dengan otore berulang sejak ±10 tahun, ada otalgia pada
telinga kanan, pendengaran kesan menurun, ada pembengkakan di
belakang telinga kiri.
 Riwayat operasi sebelumnya (-)
 Riwayat asma (-), batuk lama (-), menderita tuberkulosis/terapi OAT (-)

1
 Riwayat menderita penyakit jantung (-), hipertensi (-), DM (-), gangguan
pembekuan darah (-)
 Riwayat kejang (-)
 Riwayat alergi makanan/obat-obatan/bahan tertentu (-), riwayat
mengkonsumsi jamu/obat herbal (-), merokok (-), konsumsi alkohol (-).
 Riwayat medikasi prabedah : keluhan saat ini tidak ada

Pemeriksaan fisik pre-op


 B1 : Airway paten, napas spontan, bunyi pernapasan bronkovesikuler,
simetris, RR 16x/mnt, Rh (-/-), Wh(-/-), Struma (-), Stiffness (-),
Buka mulut > 3 jari, Mandibulahyoid 3 jari, Mallampati score I,
pernafasan cuping hidung (-), gigi geligi tidak tampak kelainan,
gerak leher bebas, nyeri telan (-), massa di leher (-), trakea di
tengah.
 B2 : Nadi 80 x/mnt kuat angkat, TD 110/70 mmHg, S1S2 murni
regular, murmur(-), suhu: 36,7oC
 B3 : GCS 15, pupil bulat isokor 2,5mm/2,5mm, Reflek Kornea +/+,
Reflek Cahaya +/+,
 B4 : Urine spontan
 B5 : Supel, ikut gerak napas, peristaltik kesan normal
 B6 : Mobilitas (+),edema (-), nyeri tekan (-), massa tumor (-), fraktur (-)

Pemeriksaan Laboratorium (27 Agustus 2015)


 Darah Lengkap
o Hb :12,6 gr/dl
o Eritrosit : 4,6 x 106/ µl
o Leukosit : 9,2 x 103/mm3
o Trombosit : 359.000 /µl
o Hematokrit : 39 %
 Serum Elektrolit
o Natrium : 144 mmol/l

2
o Kalium : 4,3 mmol/l
o Chlorida : 106 mmol/l
 Faal Hemostasis
o PT : 10,7 detik
o APTT : 27 detik
o INR : 1,04
 Kimia klinik: Faal Hati
o AST/SGOT : 20 U/L
o ALT/SGPT : 22 U/L
 Metabolisme Karbohidrat : Glukosa darah sewaktu : 93 mg/dL
 Faal Ginjal
o Ureum : 33 mg/dL
o Kreatinin : 0,5 mg/dL

Pemeriksaan Foto Rontgen Thorax: cor dan pulmo tidak tampak kelainan

Laporan Anestesi Preoperatif

Kesimpulan : pasien termasuk kategori PS ASA I


Rencana anestesi : General endotrakeal anestesi

Instruksi preoperatif visite

1. Premedikasi : ranitidin tab 150 mg dan alprazolam 0,5 mg pukul 02.00


2. Telah terpasang IV line dengan IV cath 18G,via transfusi set, dengan cairan
maintenance RL 20 tpm.
3. Siapkan PRC 1 unit (MABL : 995 cc)
4. Pasang kateter urine, takar urine output per jam
5. Puasa mulai pukul 02.00
6. Inj. Ab profilaksis cefotaxime 1gr / intravena pukul 09.00
7. Inj. Premedikasi :

3
- Dexametashone 10 mg/iv (pukul 09.00)
- Ranitidin 50 mg/iv (pukul 09.30)
- Ondansetron 4 mg/iv (pukul 09.30)
- Ketorolac 30 mg/iv (pukul 09.30)
8. Dorong pasien ke OK (pukul 09.30)

Durante Operasi

 Jenis anesthesia : General endotrakeal anestesi


 Lama anesthesia : 10.30-13.10
 Lama operasi : 10.45-13.00
 Posisi : Supine
 Infus : RL 20 tpm, 1 line tangan kanan
 Obat premedikasi : 1. Inj. Midazolam 1,5 mg
2. Inj. Fentanyl 80 µg
 Obat induksi : Inj. Propofol 100 mg
 Obat intubasi : atracurium 25 mg + lidocain 1% 50 mg
Identifikasi plica vocalis (+) dengan laringoskop, insersi ETT no. 7.
Kembangkan cuff (+), cek bunyi pernapasan bronkovesikuler, simetris kanan
dengan kiri, bunyi tambahan Rh -/-, wh-/-. Fiksasi ETT 19 cm pada sudut
mulut kanan.
 Obat maintenance anestesia : Isofluran 1,2 vol % + 02 60%
Inj. Fentanyl 25 mg/30 mnt
Inj. Atracurium 10 mg/30 mnt
 Cairan masuk:
 Pre operatif : RL 664 cc
 Maintenance : RL 750 cc
 Cairan keluar:
 Perdarahan : +50 cc

4
 Produksi urin : Durante operatif : 100 cc
 EBV : 2275 cc
 MABL : 995 cc

Postoperatif di PACU jam 13.15

Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
 B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-), saturasi
oksigen 99% dengan O2 6 lpm via simple mask

 B2 : Nadi 78x/menit, TD 105/60 mmHg, S1S2 murni regular, murmur(-),


T.ax: 36,5o C

 B3 : GCS 15, pupil bulat isokor diameter 2,5mm/2,5mm, Reflek Cahaya


+/+, Reflek kornea +/+

 B4 : Terpasang kateter, produksi urine 50 cc/jam, warna kuning jernih

 B5 : Supel, ikut gerak napas, peristaltik kesan normal

 B6 : udema -/-,, fraktruk -/-

Instruksi Pasca Bedah

 Awasi keadaan umum dan tanda vital


 02 6 lpm via simple mask
 Infus: infus RL 20 tpm
 Head up 30o
 Takar urine output/jam
 Boleh makan minum jika sadar penuh
 Obat analgetik postoperasi : 1. Inj. Tramadol 100mg/8jam/IV
2. Inj. Ketorolac 30 mg/8jam/IV
 Terapi lain sesuai terapi TS THT-KL
 ACC pindah ruangan jika Aldrette score >8 & tidak ada nilai 0.

5
Pada pasien ini Aldrette score 10/10

MONITOR RR : Skala Aldrette Jam ke 1 / 15’ Jam ke 2 / 15’


Gerakan
Dpt menggerakkan ke 4 esktremitasnya sendiri / 2 * * * * * *
dg perintah 1 * *
Dpt menggerakkan ke 2 esktremitasnya sendiri / 0
dg perintah
Tdk dpt menggerakkan esktremitasnya sendiri /
dg perintah
Pernapasan
Bernapas dalam dan kuat serta batuk 2 * * * * * * * *
Bernapas berat atau dispnu 1
Apnu atau napas bantu 0
Tekanan darah
Sama dengan nilai awal + 20% 2 * * * * * * * *
Berbeda lebih dari 20-50% dari awal 1
Berbeda lebih dari 50% dari awal 0
Kesadaran
Sadar penuh 2 * * * * * * * *
Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1
Tidak sadar, tidak ada reaksi terhadap 0
rangsangan
Warna kulit
Merah 2 * * * * * * * *
Pucat, dan lain-lain 1
Sianosis 0

TOTAL SKOR > 8 keluar RR 9 9 1 1 1 1 1 1


0 0 0 0 0 0

6
TINJAUAN PUSTAKA

1. Manajemen Anestesi Pre-operatif


1.1 Penilaian Preoperatif
Sebelum tindakan operasi dilakukan, penting diperhatikan persiapan
preoperasi salah satunya adalah kunjungan pasien sebelum dibedah sehingga
dapat diketahui kelainan di samping kelainan yang akan dioperasi.
Tujuannya adalah:
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu
maupun urtikaria).
3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status
praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed
consent) kepada pasien.
6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat
induksi

Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan


anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio
cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan.
Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah
identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE),
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG,
foto thorax, dan sebagainya. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan
mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan,
hal ini tercermin dalam inform consent

7
1.1.1 History Taking
History taking dapat dimulai dengan menanyakan riwayat alergi terhadap
makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus
dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat
penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan
(termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen
anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi
anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk
mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.

1.1.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya
meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, laju pernapasan, suhu) dan
pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan
neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui
bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi
geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Kesesuaian masker untuk anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan
abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu
dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion
yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang
pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.
Skoring Mallampati:
I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
IV. Hanya terlihat palatum durum

8
Gambar 4.1. Kriteria Mallampati
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA
secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena
underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap
komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak
sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.

Tabel 1.3 Klasifikasi ASA


Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa
limitasi aktivitas sehari-hari.
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas
normal.
Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan
maupun tanpa operasi.
Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap
dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi.
Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan
diambil untuk tujuan donor
E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI diatas.

9
1.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur
pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari
prosedur bedah yang direncanakan.

Tabel 1.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan

Pemeriksaan rutin Indikasi


Urinalisis Pada semua pasien (periksa
konsentrasi glukosa darah jika
glukosa urine positif)
FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun;
semua bedah mayor
Ureum, Creatinin, Bedah mayor
Elektrolit
ECG Umur > 50 tahun
Foto Torak Umur > 60 tahun
Tes fungsi hati (Liver Bedah mayor pada pasien umur > 50
Function Test) tahun.

Tabel 1.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:


No Test Indikasi
1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik
lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
2 Ureum, creatinin dan Penyakit ginjal
konsentrasi elektrolit Penyakit metabolik misalnya; diabetes
mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan
elektrolit atau menunjukkan efek toksik
dari adanya abnormalitas elektrolit seperti
digitalik, diuretic, antihipertensi,
kortikosteroid, hipoglikemik agent.
3 Konsentrasi glukosa Diabetes Mellitus
darah Penyakit hati yang berat
4 Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit
paru kronik
Diabetes Mellitus

10
5 Chest X-ray Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
6 Arterial blood gases Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis
8 Skreen koagulasi Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan
oral (warfarin) atau heparin
9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alkohol
Tumor dengan metastase ke hepar
10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti
tumor pituitari

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari
yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1
bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam
keadaan berikut;
 Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
 Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk
hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan
gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.

1.1.4 Informed Consent


Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent.
Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi
dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien

11
mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan
resikonya.

1.2 Masukan Oral


Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Tabel 1.4 Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist,


2011)
Usia Intake oral Lama ∑ puasa yg
pasien puasa diberikan
(jam)
< 6 bln Clear fluid 2 20 cc/kg
Breast 3
milk 4
Formula
milk
6 bln – 5 Clear fluid 2 10 cc/kg
thn Formula 4
milk 6
Solid
>5 thn Clear fluid 2 10 cc/kg
Solid 6
Adult, Clear fuid 2
op. Solid Puasa
pagi mulai jam
12 mlm
Adult, Clear fluid 2
op. Solid Puasa
siang mulai jam
8 pagi

1.3 Terapi Cairan


Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya

12
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible water losses
yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan dari tabel dibawah:

Tabel 1.5 Kebutuhan Maintenance Normal


Berat Badan Jumlah
10kg pertama 4 mL/kg/jam
10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.

1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anesthesia
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestetik
 Mengurangi mual muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi reflek yang membahayakan

13
Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi
No. Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1 Sedatif:
Diazepam 5-10 mg
Difenhidramin 1 mg/kgBB
Promethazin 1 mg/kgBB
Midazolam 0,1-0,2 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat
Petidin 1-2 mg/kgBB
Morfin 0,1-0,2 mg/kgBB
Fentanil 1-2 µg/kgBB
Analgetik non opiat Disesuaikan
3 Antikholinergik:
Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik:
Ondansetron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklopramid 10 mg (iv) dewasa
5 Profilaksis aspirasi
Cimetidin Dosis disesuaikan
Ranitidine
Antasid

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler,


diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan
5-10 menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi
yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan
masalah yang dijumpai pada pasien.

1.5 Persiapan Di Kamar Operasi


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.

14
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.
i. Kartu catatan medic anestesia
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel 1.7 Komponen STATICS


S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon
(cuffed).
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway)
atau pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway).
Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk mengelakkan sumbatan jalan napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

2. Pemilihan Teknik Anestesi


Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan
keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam hal ini adalah:
1. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien
dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dapat dilakukan teknik
anestesi lokal atau umum.
2. Status fisik pasien

15
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui
apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah
ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu.
Pertanyaan mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada
tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum
alkohol, dan obat-obatan. Harus menjadi suatu perhatian saat pasien
memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai
adanya penyakit neuromuskular, antara lain poliomielitis dan miastenia
gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan
neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang telah
ada.
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari
penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal
atau regional.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan
jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul
gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional,
spinal, atau anestesi umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi
umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian
juga dengan pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah
plastik, dan lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi

16
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat
menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik
anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak
membahayakan keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah
pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama
karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau
perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila
dengan anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup

2.1 General Anesthesia


General anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan
rasa nyeri secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih
kembali (reversibel). Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari
hipnotik, analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat dicapai dengan
menggunakan obat yang berbeda secara terpisah. Sekarang anestesi umum
tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut namun lebih luas, hypnosis
(hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia (hilangnya
reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien), relaksasi otot
(memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi trakeal),
amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur)
Perjalanan anestesi umum terdiri dari enam bagian yang berbeda yang
meliputi: premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan dan
masa pasca operasi. Obat yang dipakai pada masing – masing bagian
berinteraksi dengan obat yang dipakai pada bagian lain dan interaksi obat ini

17
merupakan hal yang penting. Anestesi umum bukan hanya masalah
farmakologi melainkan juga merupakan suatu keseimbangan antara kerja obat
dan rangsangan pembedahan.
Pada tahap premedikasi ada dua tujuan jelas dalam penggunaan obat
premedikasi yang pertama, adalah mencegah efek parasimpatometik anastesi,
dan yang kedua berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan sedasi
aktif atau untuk menimbulkan amnesia. Tahap Induksi adalah bagian kedua
anestesi, tujuan dari tahap ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk
memulai agar proses anestesi cepat dan nyaman. Masa pemeliharaan
merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah masa sesudah induksi dan
ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain dilaksanakan. Sesudah masa
pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu masa pengembalian.
Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangat penting dan
berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan dan
dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya
dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum
adalah masa pasca operasi.
2.2 Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium
(stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu :
 Stadium I (analgesi):
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium
analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-
operasi kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh
hilangnya refleks bulu mata.
 Stadium II (eksitasi):
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler,
pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur,
lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks
menelan dan kelopak mata.
 Stadium III (pembedahan):

18
 Plana 1: Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama
kuat dgn pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-
kadang letaknya eksentrik, pupil mengecil lagi dan refleks cahaya
(+), lakrimasi akan meningkat, refleks farings dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.
 Plana 2: Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun
dan frekuensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan
torakal, bola mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan
refleks cahaya menurun dan refleks kornea menghilang. Reflek kornea
dan laring hilang.
 Plana 3: Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan
daripada torakal karena paralisis otot interkostal yang makin
bertambah sehingga pada akhir plana 3 terjadi paralisis total otot
interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot diafragma, pupil
melebar dan refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana 3 ini,
lakrimasi refleks faring & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin
menurun.
 Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal.
Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’ karena paralisis otot
diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma,
tonus otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan
refleks cahaya (-), refleks sfingter ani menghilang.

 Stadium IV (paralisis medulla oblongata):


 Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III
plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernafasan
pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernafasan buatan
 Komplikasi general anestesi meliputi durante operasi dan pasca operasi.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada durante operasi dapat meliputi

19
obstruksi respirasi, batuk, depresi respirasi, hipotensi, hipertensi, aritmia,
hiccup (cegukan), gigi patah, mual muntah, menggigil.

3. Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.
Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu memudahkan atau
mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea adalah :
 Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).
 Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).
 Relaksasi otot yang baik.
Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting yang
harus diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang disebut
SALT, yaitu:
 Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien
terdapat benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping
itu, aspirasi dari paru juga harus dihindari.
 Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya
lidah ke bagian belakang faring.
 Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu
penempatan pipa endotracheal.
 Tube. Pipa Endotrakeal memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya pada
orang dewasa menggunakan ukuran 7 atau 7,5

Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk:


 Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi udara
inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai
stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk ke bronkus
kanan sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik
sedikit, lalu periksa kembali dengan stetoskop.

20
 Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat
diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup).
 Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak
bergerak (malposisi).

4. Monitoring
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

5. Manajemen Anestesi Post-Operasi


5.1 Recovery dari General Operasi
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa
tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus
dimonitor terus menerus pada pasien yang masih berada dalam proses
recovery dari general anestesi, paling tidak sampai pasien mulai sadar. Fungsi
neuromuskuler juga harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring
tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau
tidak mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin,
drainase, dan perdarahan.
Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus
mendapatkan oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hipoksemia pada
pasien yang sehat sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada pasien-
pasien yang menjalani operasi di daerah upper abdominal atau toraks,
sehingga harus terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan mungkin

21
memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional
untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Post
Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara
ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.

5.2 Kriteria Discharge dari PACU


Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU
berdasarkan kriteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah
Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge
ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.

Tabel 2.8 Aldrete Score


Objek Kriteria Nilai
Aktivitas 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2
2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
3. Tidakmampu menggerakkan 1
ekstremitas
0
Respirasi 1. Mampu nafas dalam dan batuk 2
2. Sesak atau pernafasan terbatas
3. Henti nafas 1

0
Tekanan Darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2
2. Berubah 20-50% dari pra bedah
3. Berubah > 50% dari pra bedah 1

0
Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik 2
2. Sadar setelah dipanggil
3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang 1

0
Warna Kulit 1. Kemerahan 2
2. Pucat agak suram 1
3. Sianosis 0
Nilai Total

22
5.3 Kunjungan Post-Operatif
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 – 48 jam setelah operasi
dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review
dari rekam medis, anamnesis terkait perasaan atau keluhan subjektif post
operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan
kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi,
cedera saraf, cedera okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila
diperlukan, harus dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut.

23
PEMBAHASAN

Pasien An. Rina umur 15 tahun datang ke Instalasi RSWS pada tanggal 27
Agustus 2015 pukul 10.00 dengan keluar cairan dari telinga yang dialami + 10
tahun, keluhan diserati nyeri pada telinga kiri, pendengaran kesan menurun, ada
pembengkakan di belakang telinga kiri. Berdasarkan history taking pada
kunjungan preoperatif, didapatkan bahwa pasien tidak pernah berobat
sebelumnya. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi abnormalitas yang
tidak muncul pada anamnesa. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini
meliputi tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, laju pernafasan, serta suhu.
Dilakukan juga pemeriksaan airway, jantung dan paru-paru. Tidak ditemukan
kelainan.
 B1 – Breathing
Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi yang perlu
diperhatikan. Lain-lain dalam breathing dalam batas normal.
 B2 – Blood
Pada blood, dalam batas normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan
anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi.
 B3 – Brain
Dalam batas normal.
 B4 – Bladder
BAK lancar berwarna kuning
 B5 – Bowel
Pada bowel, peristaltik kesan normal
 B6 – Bone
Tulang dan sendi pasien termasuk mobilitas dalam batas normal.

Luas cakupan pemeriksaan penunjang preanestesi telah sesuai dengan


keadaan dan kebutuhan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah
yang direncanakan. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

24
penunjang, pasien dalam kondisi sehat fisik tanpa penyakit sistemik, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari, sehingga diklasifikasikan dengan ASA-1.
Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama
anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah
menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa
pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American
Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi,
makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam
preoperasi, dimana pasien tidak mengkonsumsi makanan sejak pukul 02.00 (8 jam
sebelum operasi). Pada pasien ini telah terpasang IV line dengan IV cath 18G,via
transfusi set, dengan cairan maintenance RL 20 tpm.

Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari pasien ini (berat badan
+43 kg):
Berat Badan Jumlah Perhitungan untuk
pasien ini
10kg pertama 4 mL/kg/jam 40 mL/jam
10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam + 20 mL/jam
Tiap kg di atas + 1 mL/kg/jam + 23 mL/jam
20kg
Total kebutuhan cairan maintenance 83 mL/jam
pasien ini:

Premedikasi pada pasien ini diberikan 10 menit sebelum induksi, dengan


obat premedikasi berupa inj. Fentanyl 80 µg, inj. Ondansetron 50 mg, dan
dexametason 10 mg. Mekanisme kerja ondansetron sebenarnya belum diketahui
dengan pasti. Meskipun demikian yang saat ini sudah diketahui adalah bahwa
Ondansetron bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada
reseptor 5HT3, dengan cara menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga
menekan terjadinya refleks muntah. Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus
kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan

25
dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan
cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan
untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek
yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi
cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah
durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali
jumlah volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah, namun pada
operasi pasien ini tidak dilakukan.
Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan dari suction + kassa
besar + kassa kecil dengan perkiraan total 50cc.
Pemberian input cairan preoperatif maupun durante operasi sangat penting
dalam keseimbangan hemodinamik pasien saat operasi berlangsung. Dengan
menghitung Estimated Blood Volume (EBV) = berat badan x average blood
volume (65 ml/kgBB pada wanita, 70 ml/kgBB pada pria)= 35 kg x 65 ml/kgBB
= 2275 ml.

26
ℎ𝑐𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−ℎ𝑐𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡
Maximum Allowed Blood Loss (MABL) = EBV x ( (ℎ𝑐𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙+ℎ𝑐𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡) ) = 995 cc
2

Kebutuhan cairan maintenance adalah 83 cc/jam, maka dapat diperkirakan jumlah


cairan yang masuk tiap jamnya demi mempertahankan keseimbangan
hemodinamik cairan selama operasi berlangsung.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga ke
luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :
• 6-8 ml/kg/jam untuk bedah besar
• 4-6 ml/kg/jam untuk bedah sedang
• 2-4 ml/kg/jam untuk bedah kecil
Operasi ini termasuk bedah sedang sehingga menggunakan rumus cairan 4-6
ml/kg = 258 cc/jam.
Oleh karena operasi berlangsung selama 2 jam 15 menit, maka kebutuhan
cairan selama operasi adalah:
Kebutuhan cairan maintenance : 83 cc/jam x 2jam15menit = 187 cc
Cairan yang hilang : 258 cc/jam x 2jam15menit = 580 cc
Jumlah darah yang hilang x 3 RL : 50 cc x 3 = 150 cc +
917cc ≈ 900cc
Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi:
RL : 900 cc

Proses monitoring pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen
pesien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S:
100 - 110, D: 50 - 70), nadi antara 70-90x/menit. RR : 16-20x/menit.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa di
PACU(RR OK sentral) sampai pasien stabil. Monitoring tambahan didapatkan
tidak ada mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, dan
perdarahan dalam batas normal. Pasien mendapatkan oksigen 6 lpm melalui
simple mask serta dimonitor dengan pulse.
Dua jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum
dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini

27
didapatkan Aldrete score dengan total 10. Dengan nilai total aldrete score pasien
kemudian dipindahkan ke ruang biasa dengan rencana monitoring yang dilakukan
sudah benar dan sesuai kebutuhan pasien.
Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 jam setelah operasi. Kunjungan
ini meliputi review dari rekam medis, anamnesa terkait perasaan atau keluhan
subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik post operasi. Pada kunjungan
postoperatif pasien ini dari anamnesa tidak didapatkan keluhan dan pada
pemeriksaan fisik dan penunjang secara keseluruhan dalam batas normal.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for


Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures:
An Updated Report by The American Society of Anesthesiologists Committee
on Standards and Practice parameters. USA: Lippincott Williams & Wilkins
2. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins.
3. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based
Management of Suspected Appendicitis In The Emergency Department
Vol.13 Number 10. 2011:1-32
4. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison,
Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The
Massachusets General
5. Frogat, P. Harmston, C. 2011. Acute Appendicitis. North American Journal
of Surgery 29:8.
6. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI
7. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology.
4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
8. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Miller’s
Anesthesia 7th ed. US : Elsevier
9. Soenarto, Ratna F dan Chandra, Susilo. 2012. Buku Ajar Anestesiologi.
Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI, Jakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai