Identitas Pasien
Nama : Nurmiah
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bone
Tanggal MRS : 27-9-2015
RM : 723648
BB : 43 kg BMI : 18,3 kg/m2
TB : 153 cm
Pre-operatif
Anamnesa pre-operatif
Keluhan utama :
Pasien masuk dengan otore berulang sejak ±10 tahun, ada otalgia pada
telinga kanan, pendengaran kesan menurun, ada pembengkakan di
belakang telinga kiri.
Riwayat operasi sebelumnya (-)
Riwayat asma (-), batuk lama (-), menderita tuberkulosis/terapi OAT (-)
1
Riwayat menderita penyakit jantung (-), hipertensi (-), DM (-), gangguan
pembekuan darah (-)
Riwayat kejang (-)
Riwayat alergi makanan/obat-obatan/bahan tertentu (-), riwayat
mengkonsumsi jamu/obat herbal (-), merokok (-), konsumsi alkohol (-).
Riwayat medikasi prabedah : keluhan saat ini tidak ada
2
o Kalium : 4,3 mmol/l
o Chlorida : 106 mmol/l
Faal Hemostasis
o PT : 10,7 detik
o APTT : 27 detik
o INR : 1,04
Kimia klinik: Faal Hati
o AST/SGOT : 20 U/L
o ALT/SGPT : 22 U/L
Metabolisme Karbohidrat : Glukosa darah sewaktu : 93 mg/dL
Faal Ginjal
o Ureum : 33 mg/dL
o Kreatinin : 0,5 mg/dL
Pemeriksaan Foto Rontgen Thorax: cor dan pulmo tidak tampak kelainan
3
- Dexametashone 10 mg/iv (pukul 09.00)
- Ranitidin 50 mg/iv (pukul 09.30)
- Ondansetron 4 mg/iv (pukul 09.30)
- Ketorolac 30 mg/iv (pukul 09.30)
8. Dorong pasien ke OK (pukul 09.30)
Durante Operasi
4
Produksi urin : Durante operatif : 100 cc
EBV : 2275 cc
MABL : 995 cc
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-), saturasi
oksigen 99% dengan O2 6 lpm via simple mask
5
Pada pasien ini Aldrette score 10/10
6
TINJAUAN PUSTAKA
7
1.1.1 History Taking
History taking dapat dimulai dengan menanyakan riwayat alergi terhadap
makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus
dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat
penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan
(termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen
anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi
anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk
mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.
8
Gambar 4.1. Kriteria Mallampati
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA
secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena
underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap
komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak
sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.
9
1.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur
pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari
prosedur bedah yang direncanakan.
10
5 Chest X-ray Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
6 Arterial blood gases Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis
8 Skreen koagulasi Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan
oral (warfarin) atau heparin
9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alkohol
Tumor dengan metastase ke hepar
10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti
tumor pituitari
Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari
yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1
bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam
keadaan berikut;
Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk
hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan
gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.
11
mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan
resikonya.
12
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible water losses
yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan dari tabel dibawah:
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
13
Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi
No. Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1 Sedatif:
Diazepam 5-10 mg
Difenhidramin 1 mg/kgBB
Promethazin 1 mg/kgBB
Midazolam 0,1-0,2 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat
Petidin 1-2 mg/kgBB
Morfin 0,1-0,2 mg/kgBB
Fentanil 1-2 µg/kgBB
Analgetik non opiat Disesuaikan
3 Antikholinergik:
Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik:
Ondansetron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklopramid 10 mg (iv) dewasa
5 Profilaksis aspirasi
Cimetidin Dosis disesuaikan
Ranitidine
Antasid
14
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.
i. Kartu catatan medic anestesia
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
15
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui
apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah
ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu.
Pertanyaan mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada
tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum
alkohol, dan obat-obatan. Harus menjadi suatu perhatian saat pasien
memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai
adanya penyakit neuromuskular, antara lain poliomielitis dan miastenia
gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan
neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang telah
ada.
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari
penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal
atau regional.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan
jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul
gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional,
spinal, atau anestesi umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi
umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian
juga dengan pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah
plastik, dan lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
16
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat
menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik
anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak
membahayakan keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah
pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama
karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau
perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila
dengan anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup
17
merupakan hal yang penting. Anestesi umum bukan hanya masalah
farmakologi melainkan juga merupakan suatu keseimbangan antara kerja obat
dan rangsangan pembedahan.
Pada tahap premedikasi ada dua tujuan jelas dalam penggunaan obat
premedikasi yang pertama, adalah mencegah efek parasimpatometik anastesi,
dan yang kedua berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan sedasi
aktif atau untuk menimbulkan amnesia. Tahap Induksi adalah bagian kedua
anestesi, tujuan dari tahap ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk
memulai agar proses anestesi cepat dan nyaman. Masa pemeliharaan
merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah masa sesudah induksi dan
ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain dilaksanakan. Sesudah masa
pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu masa pengembalian.
Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangat penting dan
berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan dan
dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya
dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum
adalah masa pasca operasi.
2.2 Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium
(stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu :
Stadium I (analgesi):
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium
analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-
operasi kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh
hilangnya refleks bulu mata.
Stadium II (eksitasi):
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler,
pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur,
lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks
menelan dan kelopak mata.
Stadium III (pembedahan):
18
Plana 1: Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama
kuat dgn pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-
kadang letaknya eksentrik, pupil mengecil lagi dan refleks cahaya
(+), lakrimasi akan meningkat, refleks farings dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.
Plana 2: Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun
dan frekuensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan
torakal, bola mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan
refleks cahaya menurun dan refleks kornea menghilang. Reflek kornea
dan laring hilang.
Plana 3: Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan
daripada torakal karena paralisis otot interkostal yang makin
bertambah sehingga pada akhir plana 3 terjadi paralisis total otot
interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot diafragma, pupil
melebar dan refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana 3 ini,
lakrimasi refleks faring & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin
menurun.
Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal.
Pernafasan tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’ karena paralisis otot
diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma,
tonus otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan
refleks cahaya (-), refleks sfingter ani menghilang.
19
obstruksi respirasi, batuk, depresi respirasi, hipotensi, hipertensi, aritmia,
hiccup (cegukan), gigi patah, mual muntah, menggigil.
3. Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.
Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu memudahkan atau
mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea adalah :
Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).
Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).
Relaksasi otot yang baik.
Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting yang
harus diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang disebut
SALT, yaitu:
Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien
terdapat benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping
itu, aspirasi dari paru juga harus dihindari.
Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya
lidah ke bagian belakang faring.
Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu
penempatan pipa endotracheal.
Tube. Pipa Endotrakeal memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya pada
orang dewasa menggunakan ukuran 7 atau 7,5
20
Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat
diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup).
Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak
bergerak (malposisi).
4. Monitoring
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
21
memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional
untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Post
Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara
ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.
0
Tekanan Darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2
2. Berubah 20-50% dari pra bedah
3. Berubah > 50% dari pra bedah 1
0
Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik 2
2. Sadar setelah dipanggil
3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang 1
0
Warna Kulit 1. Kemerahan 2
2. Pucat agak suram 1
3. Sianosis 0
Nilai Total
22
5.3 Kunjungan Post-Operatif
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 – 48 jam setelah operasi
dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review
dari rekam medis, anamnesis terkait perasaan atau keluhan subjektif post
operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan
kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi,
cedera saraf, cedera okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila
diperlukan, harus dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut.
23
PEMBAHASAN
Pasien An. Rina umur 15 tahun datang ke Instalasi RSWS pada tanggal 27
Agustus 2015 pukul 10.00 dengan keluar cairan dari telinga yang dialami + 10
tahun, keluhan diserati nyeri pada telinga kiri, pendengaran kesan menurun, ada
pembengkakan di belakang telinga kiri. Berdasarkan history taking pada
kunjungan preoperatif, didapatkan bahwa pasien tidak pernah berobat
sebelumnya. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi abnormalitas yang
tidak muncul pada anamnesa. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini
meliputi tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, laju pernafasan, serta suhu.
Dilakukan juga pemeriksaan airway, jantung dan paru-paru. Tidak ditemukan
kelainan.
B1 – Breathing
Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi yang perlu
diperhatikan. Lain-lain dalam breathing dalam batas normal.
B2 – Blood
Pada blood, dalam batas normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan
anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi.
B3 – Brain
Dalam batas normal.
B4 – Bladder
BAK lancar berwarna kuning
B5 – Bowel
Pada bowel, peristaltik kesan normal
B6 – Bone
Tulang dan sendi pasien termasuk mobilitas dalam batas normal.
24
penunjang, pasien dalam kondisi sehat fisik tanpa penyakit sistemik, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari, sehingga diklasifikasikan dengan ASA-1.
Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama
anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah
menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa
pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American
Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi,
makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam
preoperasi, dimana pasien tidak mengkonsumsi makanan sejak pukul 02.00 (8 jam
sebelum operasi). Pada pasien ini telah terpasang IV line dengan IV cath 18G,via
transfusi set, dengan cairan maintenance RL 20 tpm.
Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari pasien ini (berat badan
+43 kg):
Berat Badan Jumlah Perhitungan untuk
pasien ini
10kg pertama 4 mL/kg/jam 40 mL/jam
10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam + 20 mL/jam
Tiap kg di atas + 1 mL/kg/jam + 23 mL/jam
20kg
Total kebutuhan cairan maintenance 83 mL/jam
pasien ini:
25
dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan
cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan
untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik
air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek
yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi
cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah
durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali
jumlah volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah, namun pada
operasi pasien ini tidak dilakukan.
Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan dari suction + kassa
besar + kassa kecil dengan perkiraan total 50cc.
Pemberian input cairan preoperatif maupun durante operasi sangat penting
dalam keseimbangan hemodinamik pasien saat operasi berlangsung. Dengan
menghitung Estimated Blood Volume (EBV) = berat badan x average blood
volume (65 ml/kgBB pada wanita, 70 ml/kgBB pada pria)= 35 kg x 65 ml/kgBB
= 2275 ml.
26
ℎ𝑐𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−ℎ𝑐𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡
Maximum Allowed Blood Loss (MABL) = EBV x ( (ℎ𝑐𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙+ℎ𝑐𝑡 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡) ) = 995 cc
2
Proses monitoring pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen
pesien tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S:
100 - 110, D: 50 - 70), nadi antara 70-90x/menit. RR : 16-20x/menit.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa di
PACU(RR OK sentral) sampai pasien stabil. Monitoring tambahan didapatkan
tidak ada mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, dan
perdarahan dalam batas normal. Pasien mendapatkan oksigen 6 lpm melalui
simple mask serta dimonitor dengan pulse.
Dua jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum
dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini
27
didapatkan Aldrete score dengan total 10. Dengan nilai total aldrete score pasien
kemudian dipindahkan ke ruang biasa dengan rencana monitoring yang dilakukan
sudah benar dan sesuai kebutuhan pasien.
Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 jam setelah operasi. Kunjungan
ini meliputi review dari rekam medis, anamnesa terkait perasaan atau keluhan
subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik post operasi. Pada kunjungan
postoperatif pasien ini dari anamnesa tidak didapatkan keluhan dan pada
pemeriksaan fisik dan penunjang secara keseluruhan dalam batas normal.
28
DAFTAR PUSTAKA
29