Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria. Sebelum era vaksinasi,
racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat
menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan sanitasi rendah. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi
imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar
tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih
rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
Penyebaran atau penularan bakteri ini melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu
dapat pula melalui benda atau makanan yang terkontaminasi, dan yang sering terjangkit penyakit
ini adalah anak-anak.

Sebagai petugas kesehatan perawat wajib memberikan asuhan keperawatan pada klien
yang menderita difteri termasuk anak-anak, dengan tidak hanya memperhatikan keadaan umum
klien tetapi juga memperhatikan aspek tumbuh kembang dari anak tersebut yang mengalami
penyakit difteri sehingga usaha untuk mencapai kesejahteraan anak terwujud.

Maka dari itu salah satu tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk mengetahui
sejauh mana penyakit difteri ini dapat mempengaruhi tumbuh kembang pada anak.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal di atas, maka dalam pembahasan makalah ini selanjutnya akan penulis
bahas lebih dalam dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Konsep penyakit difteri;
2. Asuhan keperawatan pada anak dengan difteri.

C. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami definisi difteri;


2. Mengetahui dan memahami etiologi difteri;
3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri;
4. Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri;
5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan difteri;
6. Mengetahui dan memahami pencegahan penyakit difteri;
7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari difteri;
8. Mengetahui dan memahami pengaruh penyakit difteri terhadap tumbuh kembang anak;
9. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan difteri.

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian penyakit difteri


Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun)
Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae
dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008)
Jadi kesimpulannya Dipteria / diphtheri merupakan salah satu penyakit yang disebabkan
oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria. Bakteri ini mampu menghasilkan eksotoksin
(racun yang dialirkan melalui darah) yang menghambat sintesis protein. Kemampun eksotoksin
ini menyebabkan penyakit Dipteria memiliki gambaran klinis yang tersebar tidak hanya di lokasi
infeksi, melainkan di organ-organ yang lain. Penyakit ini sering menyerang tonsil, faring, laring,
hidung dan kadang menyerang selaput lendir atau kulit bahkan kadang menyerang konjungtiva
atau vagina. Difteri mudah menular, dan menyerang organ tubuh bagian lain terutama saluran
napas bagian atas, dengan gejala demam tinggi, pembengkakan amandel (tonsil) dan terlihat
selaput putih kotor yang makin lama makin membesar dan dapat menutup jalan napas.

B. Etiologi

Disebabkan oleh corynebacterium diphtheria, bakteri gram positif yang bersifat polimorf,
tidak bergerak dan tidak membentuk spora, aerobic dan dapat memproduksi eksotoksin.
Penyakit ini ditularkan melalui droplet saat batuk ataupun berbicara. Bahkan, diketahui
pula dapat menyebar melalui pencemaran air dan melalui benda atau makanan yang
terkontaminasi. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin
ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,
terutama jantung dan saraf. Karena penyebaran melalui droplet ini, penyakit dipteri mudah
terjadi pada pemukiman yang padat dengan sanitasi yang buruk, karena manusia merupakan
reservoir (istilah untuk menunjukkan organisme tempat hidup Corynebacterium diphtheria).

3
C. Prognosis Penyakit Difteria

Prognosis Penyakit ini tergantung pada:


a. Umur pasien. Makin muda usianya makin jelek prognosisnya.
b. Perjalanan penyakit; makin terlambat diketemukan makin buruk keadaannya.
c. Letak lesi difteria. Bila di hidung tergolong ringan.
d. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizi buruk, juga buruk.
e. Terdapatnya komplikasi miokorditas sangat memperburuk prognosis.
f. . Pengobatan, terlambat pemberian ads, prognosis makin buruk.

D. Manifestasi Klinis

Secara klasik bermanifestasi pada anak berusia 1-9 tahun, tetapi dapat terjadi pada orang
dewasa yang tidak diimunisasi.
Terjadi tergantung pada lokasi infeksi, imunitas penderita, ada/tidaknya toksin difteri
yang beredar dalam sirkulasi darah.
Masa inkubasi umumnya 2-5 hari. (range 1-10 hari), pada difteri butan adalah 7 hari
sesudah infeksi primer pada kulit.
a. Gejala umum :
1) Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,
2) Batuk dan pilek yang ringan.
3) Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
4) Mual, muntah , sakit kepala.
5) Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu-abuan kotor
6) Kaku leher

4
b. gejala local

1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret
yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran
pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
2. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita
akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa
pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada
penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan
peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa
bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau,
dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat
terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi
sumbatan laring.
3. Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer.
Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat
timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium.
Ada bull’s neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan
ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan
trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
4. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan
membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka
yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah
konjungtiva dan umbilikus.

5
5. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva
berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

E. Patofisiologi

Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila
terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva,
kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk
pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar
kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan
membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan
menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul
paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati
dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada
umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada laring
dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya
bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga
melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat
mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan
bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa
keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak
jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan
berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat
dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan
nafas (Ngastiyah).
Menurut Iwansain,2008 dalam http://www.iwansain.wordpress.com secara sederhana
pathofisiologi difteri yaitu :

6
1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva,
kulit, mata.

2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal


dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak
membengkak dan mengandung toksin.

3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul
paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.

4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea dan
dapat menyebabkan kondisi yang fatal.

F. Klasifikasi penyakit difteri


Klasifikasi penyakit difteri secara klinis adalah menurut lokasinya sebagai berikut:
a. Difteri nasal anterior
b. Difteri nasal posterior
c. Difteri fausial (farinks)
d. Difteri laryngeal
e. Difteri konjungtiva
f. Difteri kulit
g. Difteri vulva/vagina
Menurut tingkat keparahannya:
a. Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan
b. Infeksi sedang, apabila pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan laring
sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak
c. Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis dan nefritis.

7
G. Komplikasi

Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus


komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan hampir satu dari lima
penderita difteri balita meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi.
Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu
beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi:
a. Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri
akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-
partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu
inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan
menyebabkan gagal napas.
b. Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan
menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat menyebabkan
masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung dan kematian mendadak.
c. Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit
menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta
pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi indikasi
awal dari kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan
membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau
respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul gejala
atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri anak-anak
yang mengalami komplikasi apa pun umumnya dianjurkan untuk tetap di rumah sakit
hingga 1,5 bulan dan di isolasi untuk mencegah penularan.
d. Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain
gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang
parah dan gagal ginjal.

8
H. Pemeriksaan Diagnostik
Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan
tenggorok (nasofaringeal swab)
a. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
b. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
c. Enzim CPK, segera saat masuk RS
d. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
e. Tes schick,Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin.Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan
dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan
sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri
disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin
yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila
terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan.
Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
(Sumarmo: 2008)

I. Pencegahan
1. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri
dua kali berturut-turut negatif.
2. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam
pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada
gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
3. Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi
DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun
dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4
bulan dan boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah
vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya

9
karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan
yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.

4. Pencarian orang carier difteria dengan uji shick


Pencarian orang carier difteria dengan uji shick dan kemudian diobati.
Dengan tujuan : Untuk mengetahui apakah tubuh mengandung anti toksin terhadap
kuman difteri.
Cara : Dengan menyuntikan IC 1/50 Minimal Lethal Dose (MLD) sebanyak 0,02 ml,
jika positif akan terlihat merah kecoklatan selama 24 jam

cara Pencegahan
a. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama
kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif
diberikan kepada bayi dan anak-anak.
b. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara
luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi
dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular
pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung
“whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan
tetanus toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-
Hib) saat ini juga telah tersedia.
c. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara
lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi
dasar).
1. Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan
dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8
minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini
tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan
jadwal tersebut.

10
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini
tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila
komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat
diberikan vaksin DT.
2. Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya
usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai
adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah.
Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka
diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria
toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan
6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia
menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan
tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu
perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian
dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
3. Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita
seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar
lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
4. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem
kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV
diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang
normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon
kekebalan yang optimal.

11
I. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai gaun
khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila
kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai
celemek tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan
cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selalu kering (bila ada tisu) air bersih jika
ada kran juga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Jika anak
menderita difteri, ia harus dirawat di rumah sakit karena seringkali menjadi gawat.
Pada saat memerlukan isolasi dalam kamar pribadi, rasa kesepian dapat timbul karna
hubungan social yang normal terganggu. Situasi ini dapat menjadi ancaman psikologis,
khususnya bagi anak-anak.

Sebelum tindakan isolasi dilakukan, klien dan keluarga harus memahami sifat dari
penyakit atau kondisi, tujuan isolasi, dan langkah untuk melakukan kewaspadaan spesifik. Jika
mereka mampu berpartisipasi untuk mempertahankan pencegahan infeksi, kemungkinan untuk
mengurangi penyebaran infeksi akan meningkat. Klien dan keluarga harus diajarkan untuk
mencuci tangan dan menggunakan pelindung sederhana jika perlu.

Pada awal tahun 1900, perawatan isolasi berkembang sejak ditemukan penyakit menular,
orangtua dilarang untuk mengujungi anak dan membawa barang-barang atau mainan dari rumah
ke rumah sakit. Keadaan ini menimbulkan efek psikologis dari tindakan isolasi, dimana anak
menjadi stres selama berada di rumah sakit. Akhirnya, orientasi pelayanan keperawatan anak
berubah menjadi rooming in, yaitu orang tua boleh tinggal bersama anaknya sakit. Dengan
demikian, pendidikan kesehatan untuk orang tua menjadi hal yang penting dilakukan oleh
perawat. Kerja sama antara orang tua dan tim kesehatan dirasakan besar menfaatnya dan orang
tua didorong untuk berpartisipasi aktif dalam perawatan anak.

Memaksimalkan Manfaat Hospitalisasi Anak. Menurut Supartini (2004), cara


memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak adalah sebagai berikut:

a. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan orang tua
mempelajari tumbuh-kembang anak dan reaksi anak terhadap stressor yang dihadapi selama
dalam perawatan di rumah sakit.

12
b. Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua.Untuk itu, pearawat dapat memberi
kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang didapat, dan
prosedur keperawatan yang dilakukan pada anak, tentunya sesuai dengan kapasitas belajarnya.
c. Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi kesempatan
pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain dan percaya diri.
Tentunya hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar, bukan bayi. Berikan selalu
penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian atas kemampuan anak dan orang tua
dan dorong terus untuk meningkatkannya.
d. Fasilitasi anak untuk menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien yang ada, teman sebaya atau
teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling kenal dan berbagi pengalamannya.
Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang tua harus difasilitasi oleh
perawat karena selama di rumah sakit orang tua dan anak mempunyai kelompok sosial yang
baru.

13
BAB III
Teori Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan
pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
b. Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara miskin
c. Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat
pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
d. Keluhasn Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah
e. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia.
Difteria Tonsil dan Faring: Panas tidak tinggi, nyeri telan ringan, mual, muntah, nafas berbau,
Bullneck.
Difteria Laring dan Trachea: Sesak nafas hebat, stridor inspirator, terdapat retraksi otot supra
sternal dan epigastrium, laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret, permukaan tertutup
oleh pseudomembran.
f. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan
mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
g. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dimungkinkan ada keluarga/ lingkungan yang menderita penyakit Difteria
h. Riwayat Tumbuh Kembang
Pertumbuhan dan perkembangan motorik, sensorik klien dengan difteri biasanya
terganggu pernapasan sehingga sulit menelan.
i. Riwayat kehamilan dan persalinan
1) Riwayat kehamilan
Apakah selama hamil ibu klien selalu memeriksa kehamilanya kebidan.
2) Riwayat persalinan
Kaji dimana klien dilahirkan, berat badan, panjang badan.
j. Riwayat Imunisasi

14
Imunisasi DPT 1, 2, 3 pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan yang kurang memadai
k. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolism,Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
2) Pola aktivitas,Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
3) Pola istirahat dan tidur,Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan
Tidur
4) Pola eliminasi,Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan
nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
l. Pemeriksaan
1) Pemeriksaan umum
B1 : Breating
Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bull’s neck), timbul peradangan pada laring/trakea, suara
serak, stridor, sesak napas.
B2 : Blood
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan miokarditis dengan
tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda
payah jantung.
B3 : Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.
B4 : Bladder
Tidak ada kelainan.
B5 : Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung menurun, pucat.
B6 : Bone
Bedrest.

2. Pemeriksaan fisik

a) Pada diptheria tonsil - faring

b) Diptheriae laring

15
c) Diptheriae hidung

3) Pemeriksaan Penunjang:
a) Laboratorium Bakteriologi : Hapusan tenggorokan di temukan kuman
corinebakterium difteria
b) Darah : Penurunan kadar HB dan leukosit polimorfonukleus, penurunan jumlah
eritrosit dan kadar albumin.
c) Skin test : Test kulit untuk menentukan status imunitas

2. Diagnosis Keperawatan

a. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
b. Resiko infeksi
c. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan terlepasnya eksotoksin
d. Gangguan pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan gangguan menelan

3. Intervensi

PERENCANAAN KEPERAWATAN

NAMA PASIEN :
NO. MR :

Perencanaan
No Diagnosa Keperawatan
Tujuan Intervensi
( NOC ) ( NIC )
1
Status pernafasan (noc 256) Monitor pernafasan (nic
Ketidakefektifan pola nafas
1. Frekuensi pernafasan 236)
berhubungan dengan dalam kisaran normal 1. Monitor
2. Kedalaman inspirasi kecepatan,kedalam
keletihan otot pernafasan
normal an dan kesulitan
(nanda 243) 3. Kepatenan jalan nafas bernafas pasien
normal 2. Monitor suraa
4. Penggunan otot bantu nafas tambahan
pernafasan tian ada 3. Monitor pola nafas
5. Suar nafas tambahan 4. Palpasi
tidak ada kesimetrisan

16
ekpansi paru
5. Auskultasi suara
nafas
6. Berikan bantuan
bernafas jika perlu

Risiko infeksi (nanda ,405) Keparahan infeksi (noc.145) Kontrol infeksi (nic 134)
1. Lihat kemerahan tidak 1. Bersihkan
ada ligkungan yang
2. Caira / luka yang berbau baik setelah
busuk digunakan pasien
3. Demam tidak ada 2. Ganti peralatan er
4. Hipotermia tidak ada pasien
5. Gejala grjala gastro 3. Isolssikan yang
intestinal tidak ada terkena penyakit
6. Nyeri tidak ada menular
7. Peningkatan jumlah sel 4. Batasi jumlah
darah putih sedang pengunjung
5. Anjurkan pasen
meminum
antibiotic

Ketidakseimbangan nutrisi
Status nutrisi bayi (noc 552) Manajemen nutrisi(nic
kurang dari kebutuhan 1. Intake utrisi sepenuhnya 197)
adekuat 1. Tentukan status
tubuh berhubungan dengan
2. Perbandingan berat gizi pasien untyk
gangguan dengan tinggi cukup memenuhi status
adekuat gizi pasien
menelan(NANDA,177)
3. Hidrasi sebagian adekuat 2. Identifikasi
4. Pertumbuhan tidak intolernsi makanan
adekuat yang dimiliki
5. Hemoglobin cukup pasien
adekuat 3. Tentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrisi yang
dibutuhkan
4. Anjurkan pasien
dengna kebutuhan
makanan tertentu
tergantng dengan
perkembangan usia
5. Monitor kalori dan

17
asupan makanan
6. Monitor kenaikan
dan penurunan
berat badan

18
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan

a. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, oleh
karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
b. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi
ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.
c. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri laring
dan difteri kutaneus dan vaginal
d. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 °C.
b. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
c. Sakit waktu menelan.
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher.

B. Saran
Difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, Difteri ini bisa mengakibatkan
miokarditis untuk itu mencegah penyebaran infeksi merupakan tindakan yang harus dilakukan,
untuk itu petugas kesehatan (perawat) harus tahu hal itu dan keluarga harus sensitif terhadap
keadaan anak jika mengidap difteri.
Maka dari itu penulis menyarankan kepada pembaca untuk memberikan penyuluhan
kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit ini, dan juga upaya pencegahan pada anak-anak
untuk diberikan imunisasi yaitu vaksin dpt yang merupakan wajib pada anak.

19
daftar pustaka

Hidayat, aziz alimul A. 2008. Pengantar ilmu keperawatan anak. Jilid 2. Jakarta: Salemba
Medika.
Nurarif, Amin Huda dkk. 2013. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnose
medis & NANDA. Jakarta: Medi Action.
Suriadi, dan Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 2. Jakarta:
Sagung seto.

20

Anda mungkin juga menyukai