Anda di halaman 1dari 3

Nama : Novita Indri Astuti

Nim : P1337424615022

Kode Etik Kebidanan


Kode etik bidan di Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986 dan yang
disahkan dalam kongres nasional IBI X pada tahun 1988, sedangkan petunjuk
pelaksanaannya di sahkan dalam rapat kerja nasional ( RAKERNAS ) IBI pada tahun
1991, yang kemudian disempurnakan dan disahkan pada kongres nasional IBI XII pada
tahun 1998. Sebagai sebuah pedoman dalam berperilaku, kode etik bidan di Indonesia
mengandung beberapa kekuatan yang semuanya tertuang dalam mukadimah, tujuan dan
bab.

Secara umum kode etik tersebut berisi 7 Bab yaitu :

1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir)


a. Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
jabatan dalam melaksanakan tugas dan pengabdiannya terhadap masyarakat.
b. Setiap bidan dalam menjalankan tugas dalam sebua profesinya menjunjung tinggi
harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan dalam
masyarakat.
c. Setiap bidan dalam melakukan dan manjalankan tugasnya senantiasa berpedoman
pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai kebutuhan klien, keluarga dan
masyarakat.
d. Setiap bidan dalam melakukan tugasnya harus bisa mendahulukan kepentingan
dari klien, menghormati hak klien dan menghormati nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat.
e. Setiap bidan dalam menjalankan sebuah profesinya senantiasa harus
mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang
sama dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
f. Setiap bidan harus bisa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan
pelaksanaan tugasnya, dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam
meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.

2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir)


a. Setiap bidan memberikan pelayanan paripurna terhadap seorang klien, keluarga
dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang telah dimilikinya
berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
b. Setiap bidan mempunyai hak untuk memberikan pertolongan dan mempunyai
kewenangan dalam mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk keputusan
mengadakan konsultasi dan atau rujukan.
c. Setiap bidan harus bisa menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat dan atau
dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau diperlukan
sehubungan kepentingan klien.

3. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir)


a. Setiap bidan harus bisa menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk
menciptakan suasana kerja yang serasi.
b. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya harus bisa saling menghormati baik
terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.

4. Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir)


a. Setiap bidan harus bisa menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesinya
dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberikan pelayanan yang
bermutu kedapa masyarakat.
b. Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan sebuah
kemampuan yang dimiliki sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
c. Setiap bidan harus berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan
sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan cita profesinya.

5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (2 butir)


a. Setiap bidan harus bisa memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik.
b. Setiap bidan dalam melakukan tugasnya harus bisa berusaha dengan terus
menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air (2 butir)


a. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, harus bisa melaksanakan ketentuan-
ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayanan
KIA/KB, kesehatan keluarga dan masyarakat.
b. Setiap bidan melalui sebuah profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan
pemikirannya kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu jangkauan pelayanan
kesehatan terutama pada pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.

7. Penutup (1 butir)
a. Setiap bidan dalam melakukan ataupun melaksanakan tugasnya sehari-hari
senantiasa menghayati dan mengamalkan Kode Etik Bidan Indonesia.
Metaetika
Awalan meta yaitu berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti “melebihi”,
“melampaui”. Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas disini bukanlah
moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita dibilang moralitas. Metaetika
bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf bahasa etis atau
bahasa yang kita pergunakan dibidang moral. Metaetika merupakan suatu bentuk analitik
yang berkaitan dengan semua peraturan dan tingkah laku baik dan buruk.

Metaetik yaitu sebagai suatu jalan menuju konsepsi atas benar atau tidaknya suatu
tindakan atau peristiwa. Dalam metaetika, tindakan atau peristiwa yang dibahas dipelajari
berdasarkan hal itu sendiri dan dampak yang dibuat. Salah satu masalah yang ramai
dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question. Yang dipersoalkan disini adalah
ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu ada atau kalau sesuatu
merupakan kenyataan (is:faktual), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus
atau boleh dilakukan (ought:normatif). Dengan menggunakan peristilahan logika dapat
ditanyakan juga apakah dari dua premis deskriptif bisa ditarik suatu kesimpulan preskriptif.
Kalau satu preskriptif dan premis lain deskriptif, kesimpulannya pasti preskriptif. Itu tidak
menjadi sebuah masalah. Contohnya:

o Setiap manusia harus menghormati orangtuanya (premis deskriptif)


o Lelaki itu adalah orang tua saya (premis deskriptif)
o Jadi, lelaki itu harus saya hormati (kesimpulan preskriptif)

Tetapi soalnya yaitu apakah dua premis deskriptif pernah dapat membuahkan kesimpulan
preskriptif. Kini para filsuf yang mendalami masalah ini umumnya sepakat untuk hal itu tidak
mungkin. Kesimpulan preskriptif hanya dapat ditarik dari premis-premis yang sekurang-
kurangnya untuk sebagian bersifat preskriptif juga. Jika kita berbicara tentang prilaku moral,
dengan sendirinya kita berefleksi tentang istilah-istilah dan bahasa yang kita pakai. Jika kita
berusaha mendefinisikan pengertian-pengertian etis seperti “norma”, “nilai”, “hak”,
“keadilan”, dan sebagainya, usaha itu bisa saja digolongkan dalam metaetika, tapi dalam
etika normatif tentu tidak dapat dihindarkan merumuskan definisi-definisi semacam itu.
Dalam pendekatan normatif si peneliti mengambil suatu posisi atau standpoint moral: hal itu
terjadi dalam etika normatif (bisa etika umum dan bisa juga etika khusus). Dalam pendekatan
non-normatif si peneliti tinggal netral terhadap setiap posisi moral: hal itu terjadi dalam etika
deskriptif dan metaetika.

Anda mungkin juga menyukai