Anda di halaman 1dari 23

Mata Kuliah : EPIDEMIOLOGY PENYAKIT TIDAK MENULAR

Dosen : dr.Sekplin A. S. Sekeon, Sp,S, MPH

HUBUNGAN KEJADIAN DIABETES DENGAN KONDISI SOSIO-


DEMOGRAFIK-GEOGRAFIK

KELOMPOK 2 KELAS 06-EPIDEMIOLOGY


CLAUTHYA M. PANDEY 14111101056
ASHARI WICAKSONO 14111101062
GRALIA M. LALUHAN 14111101068
FORTUNA GLORY 14111101074
HOLY RUMAGIT 14111101093
SILVIANE MAMONTO 14111101122
WA ODE ASFAH S. HAMZAH 14111101129
RINA AZIZAH 14111101131
WINDY G. AMISI 14111101132
DEWI S. PARI 14111101133

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
tuntunannya kami boleh menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini membahas tentang
“HUBUNGAN KEJADIAN DIABETES DENGAN KONDISI SOSIO GEOGRAFI
DEMOGRAFI” Dalam penulisan makalah ini kami memiliki banyak sekali tantangan dan
hambatan, akan tetapi dengan bantuan dari beberapa pihak tantangan itu bisa di atasi. Olehnya
itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal
dari Tuhan Yang Maha Esa.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Manado, Juni 2017

Kelompok 2

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................. ii
Bab 1 Pendahuluan ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan masalah ........................................................................ 4
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................... 5
Bab 2 Pembahasan ....................................................................................... 6
2.1 kondisi sosio................................................................................. 6
2.2 kondisi geografik ......................................................................... 11
2.3 kondisi demografi ....................................................................... 17
2.4 Metode Penelitian ........................................................................18
2.5 Hasil Penelitian ........................................................................... 18
Bab 4 Penutup .............................................................................................. 19
4.1 Kesimpulan .................................................................................. 19
4.2 Saran ............................................................................................ 19
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi
normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan
kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini dibiarkan tak
terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka
panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati (Darmono dalam Hasdianah, 2007 : 1).
Diabetes mellitus perlu diwaspadai karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah
penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan.
Prevalensi merupakan banyaknya kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di
wilayah tertentu. Meningkatnya prevalensi diabetes mellitus di beberapa negara berkembang
akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti.
Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal
ini berkaitan dengan jumlah penduduk yang meningkat, urbanisasi yang mengubah pola
hidup tradisional ke pola hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik
kurang.
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi diabetes mellitus tipe I atau Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) dan tipe II atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) (Hidayah dalam Hasdianah, 2010 : 3). Diabetes mellitus tipe I umumnya
disebabkan oleh faktor genetika (keturunan), faktor imunologik dan faktor lingkungan.
Diabetes mellitus tipe II umumnya disebabkan oleh obesitas dan kekurangan olahraga. Faktor
yang mempengaruhi timbulnya diabetes mellitus secara umum yaitu usia lebih dari 40 tahun,
obesitas, dan riwayat keluarga.
Di Indonesia penyandang diabetes melitus (DM) tipe I sangat jarang. Demikian pula di
negara tropis lain. Hal ini rupanya ada hubungannya dengan letak geografis Indonesia yang
terletak di daerah khatulistiwa. Dari angka prevalensi berbagai negara tampak bahwa makin
jauh letaknya suatu negara dari khatulistiwa makin tinggi prevalensi DM tipe I-nya. Ini
menunjukkan bahwa pada DM tipe I faktor lingkungan juga berperan selain yang sudah
diketahui yaitu faktor genetik (Soegondo dkk, 2013 : 3-4).

Lain halnya pada DM tipe II yang meliputi 90% dari semua populasi diabetes, faktor
lingkungan sangat berperan, terutama peningkatan kemakmuran suatu bangsa akan
meningkatkan prevalensi diabetes. Pada DM tipe II, intoleransi (tubuh seseorang tidak dapat
menghasilkan) glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang berkurang,
kurangnya massa otot, penyakit lain yang dimiliki, penggunaan obat-obatan, disamping karena
pada lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resistan (ketidakmampuan tubuh untuk
memanfaatkan insulin). Individu yang tidak menerapkan gaya hidup sehat berisiko menderita
penyakit diabetes mellitus. Untuk itu hidup sehat harus selalu diterapkan dengan mengkonsumsi
makanan sehat juga rutin berolahraga supaya gula darah tetap stabil berada dalam batas normal
sehingga terhindar dari penyakit diabetes mellitus.
Diabetes mellitus seringkali tidak terdeteksi sebelum diagnosis dilakukan, sehingga
morbiditas (terjadinya penyakit atau kondisi yang mengubah kesehatan dan kualitas hidup) dan
mortalitas (kematian) dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Uji diagnostik DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda dengan salah satu risiko DM yaitu usia ≥
45 tahun dan usia lebih muda yang disertai dengan faktor risiko seperti kebiasaan tidak aktif
(tidak banyak bergerak), turunan pertama dari orang tua dengan DM, riwayat melahirkan bayi
dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat DM-gestasional, hipertensi, kolesterol HDL ≤
35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL, menderita keadaan klinis lain yang terkait dengan
resistensi insulin, adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu atau glukosa darah puasa
terganggu sebelumnya, dan memiliki riwayat penyakit kardiovaskular (Soegondo dkk, 2013 : 20-
21).
Diabetes mellitus merupakan suatu keadaan hiperglikemik kronis dan perlahan namun
pasti akan merusak jaringan dalam tubuh jika tidak ditangani secara tepat dan serius (Agus dkk,
2011 : 1). Dengan ditemukannya beberapa faktor penyebab terjadinya diabetes mellitus
diantaranya faktor genetik, faktor lingkungan, faktor kegemukan, faktor demografi, dan lainnya,
maka faktor-faktor tersebut mempengaruhi seseorang akan mengalami DM tipe I atau DM tipe II.
Penelitian yang menjadi acuan dalam tugas akhir ini adalah klasifikasi penyakit diabetes
mellitus yang dilakukan oleh Dita Dwi Arini (2014) dengan menggunakan model jaringan syaraf
tiruan Backpropagation yang menghasilkan nilai ketepatan klasifikasi sebesar 92,19% untuk data
training dan 93,75% untuk data testing. Faktor risiko yang digunakan adalah usia, berat badan,
tinggi badan, tekanan darah, riwayat keluarga, usia timbul penyakit DM, timbulnya penyakit
secara perlahan atau tiba-tiba, pola makan, dan suka makanan manis atau tidak.
Penelitian lain yang telah dilakukan berkaitan dengan klasifikasi penyakit diabetes
mellitus adalah klasifikasi penyakit diabetes mellitus menggunakan jaringan syaraf tiruan
Backpropagation dan Learning Vector Quantization oleh Agus Nurkhozin (2011) yang
menghasilkan nilai keakurasian untuk data training sebesar 98,1% pada metode LVQ dan 99,3%
pada metode Backpropagation. Faktor risiko yang digunakan pada penelitian ini adalah usia,
berat badan, tinggi badan, riwayat keluarga, terdapat gangguan destruksi sel beta atau tidak, dan
pengaruh pola makan.
Metode statistika banyak diterapkan dalam berbagai bidang keilmuan sebagai alat untuk
menganalisis data untuk tujuan-tujuan tertentu, baik dalam bidang komputasi, sosial, kesehatan,
keuangan, ekonomi, dan lain-lain. Sebagai contoh metode statistika dapat digunakan untuk
tujuan klasifikasi. Dalam ilmu statistika ada beberapa metode klasifikasi yang digunakan untuk
melakukan klasifikasi data diantaranya regresi logistik, analisis diskriminan, pohon klasifikasi
dan jaringan syaraf tiruan (Artificial Neural Network). Banyaknya alternatif metode statistika
yang digunakan untuk membangun model pengklasifikasian, Regresi logistik adalah suatu model
logistik yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antara prediktor dan respon (yang bersifat
dikotomus atau ada dua kategori/kelompok), serta untuk mengelompokkan obyek ke dalam salah
satu dari dua kategori respon. Dalam perkembangannya, regresi logistik dapat juga digunakan
untuk respon kategori lebih dari dua kelompok, yang dikenal dengan regresi logistik polikotomus
(Yuniarti, 2010 : 119). Regresi logistik merupakan metode statistika yang paling umum
digunakan untuk mengklasifikasi.
Metode statistika lainnya yang dapat digunakan untuk pengklasifikasian objek dengan
melibatkan variabel respon kategori dengan sejumlah variabel prediktor kontinu adalah analisis
diskriminan. Analisis diskriminan adalah metode statistika yang digunakan untuk
mengelompokkan atau mengklasifikasikan sejumlah obyek ke dalam beberapa kelompok,
berdasarkan beberapa variabel independen, sedemikian sehingga setiap obyek menjadi anggota
dari salah satu kelompok dan tidak ada obyek yang menjadi lebih dari satu kelompok (Johnson &
Wichern, 2007 : 575). Analisis diskriminan mengasumsikan data berdistribusi normal multivariat
dan matriks kovariannya sama. Pelanggaran asumsi multivariat normal pada analisis diskriminan
biasanya menghasilkan tingkat ketepatan klasifikasi yang rendah (Pujiati, 2008 : 4).
Pada kenyataannya, tidak selalu asumsi-asumsi pada metode statistika yang bersifat parametrik
tersebut terpenuhi. Untuk itu, diperlukan solusi lain dalam mengklasifikasi agar didapatkan hasil
yang optimal, seperti menggunakan metode klasifikasi yang bersifat nonparametrik. Neural
network diketahui memiliki kemampuan yang sangat baik untuk melakukan berbagai proses
klasifikasi. Neural network merupakan suatu sistem pemrosesan informasi yang memiliki
karakteristik kinerja tertentu yang mirip dengan jaringan saraf biologis. Neural network telah
dikembangkan sebagai model matematika secara umum dari pemahaman manusia atau saraf
biologi yang didasarkan pada asumsi bahwa pemrosesan informasi terjadi pada elemen
sederhana yang disebut neuron, sinyal mengalir di antara sel saraf/neuron melalui suatu
sambungan penghubung, setiap sambungan penghubung memiliki bobot yang bersesuaian, bobot
ini akan digunakan untuk menggandakan/mengalikan sinyal yang dikirim melaluinya, serta
setiap neuron akan menerapkan fungsi aktivasi terhadap sinyal hasil penjumlahan berbobot yang
masuk kepadanya untuk menentukan sinyal keluarannya (Fausett, 1994 : 3).
Adapun metode neural network yang digunakan pada klasifikasi penyakit diabetes
mellitus ini adalah Learning Vector Quantization (LVQ). LVQ adalah suatu metode klasifikasi
pola dimana masing-masing unit output mewakili kelas atau kategori tertentu. Vektor bobot
untuk unit output sering dinyatakan sebagai sebuah vektor referensi yang mewakili kelas. Selama
proses pembelajaran, unit output diatur dengan menyesuaikan bobot melalui pembelajaran
terawasi. Serangkaian pola pembelajaran dengan klasifikasi yang diketahui ditentukan bersama
dengan vektor referensi awal. Setelah proses pembelajaran, jaringan LVQ mengklasifikasikan
vektor input dengan menugaskan ke kelas yang sama sebagai output yang memiliki vektor bobot
yang paling dekat dengan vektor input (Fausett, 1994 : 187). Mengingat penyakit diabetes
mellitus ini merupakan permasalahan yang komplek dan memerlukan penanganan yang tepat,
penulis akan melakukan klasifikasi menggunakan dua metode diantaranya dengan analisis
diskriminan dan model neural network Learning Vector Quantization agar mendapatkan hasil
yang optimal. Berpijak dari hal tersebut, maka penulis menyusun tugas akhir ini dengan judul
“Klasifikasi Diabetes Mellitus dengan Analisis Diskriminan dan Model Neural Network
Learning Vector Quantization”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Hubungan kejadian Diabetes mellitus dengan kondisi sosio?


2. Hubungan kejadian Diabetes mellitus dengan kondisi geografik?
3. Hubungan kejadian Diabetes mellitus dengan kondisi demografi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui hubungan kejadian Diabetes mellitus dengan kondisi sosio.
2. Untuk mengetahui hubungan kejadian Diabetes mellitus dengan kondisi geografik
3. Untuk mengetahui hubungan kejadian Diabetes mellitus dengan kondisi demografi

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sosial
a. Definisi
Cobb (Taylor, 1995) menyebutkan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari individu
lain bahwa seorang individu dicintai, diperhatikan, dihargai, dan dihormati dan menjadi bagian
jaringan komunikasi dan kontrak kerja yang saling menguntungkan. Informasi tersebut dapat
berasal dari pasangan hidup atau kekasihnya, rekan kerja, teman, kelompok lain, seperti gereja
atau klub atau orang yang paling dekat (Siegel, dalam Taylor, 1995). Ganellen dan Blaney
(Kurnia, 1996) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah derajat dukungan yang diberikan
kepada individu, khususnya sewaktu dibutuhkan, oleh orang-orang yang memiliki kaitan erat
dengan individu itu.
Dukungan sosial berarti informasi ( tindakan nyata/berupa potensi ) yang membuat
individu berkeyakinan bahwa mereka disayangi, diperhatikan, akan mendapat bantuan dari
orang lain bila mereka membutuhkannya. Dukungan sosial diartikan sebagai sumber coping
yang mempengaruhi situasi yang dinilai stressful (Major, dkk., 1997) dan membuat orang yang
stres mampu mengubah situasi, mengubah arti situasi atau mengubah reaksi emosinya terhadap
situasi yang ada (Thoits, dalam Major, dkk, 1997).

Hobfoll (Norris dan Kaniasty, 1996) mendefinisikan dukungan sosial sebagai interaksi
atau hubungan sosial yang memberikan individu-individunya bantuan nyata atau yang
membentuk keyakinan individu dalam suatu sistem sosial bahwa dirinya dicintai, disayangi
dan ada kelekatan terhadap kelompok sosial atau pasangannya. Definisi ini menunjukkan ada
dua aspek utama dalam dukungan sosial yaitu : received support (dukungan yang diterima)
dan perceived support (dukungan yang dirasakan ). Received support artinya perilaku
membantu yang muncul secara alamiah yang diberikan, sedangkan perceived support diartikan
sebagai keyakinan bahwa perilaku membantu akan tersedia ketika diperlukan. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa received support adalah perilaku membantu yang benar-benar terjadi
dan perceived support adalah perilaku membantu yang mungkin akan terjadi (Barrera, dalam
Norris dan Kaniasty, 1996).
Beberapa riset menunjukkan perceived support lebih tinggi tingkatannya dari pada
received support karena perceived support lebih konsisten dalam mendukung kesehatan
psikologis dan melindungi selama masa stres (Norris dan Kaniasty, 1996). Hal tersebut juga
didukung oleh Wethington dan Kessler (Norris dan Kaniasty, 1996) yang menemukan
beberapa bukti bahwa efek received support terhadap gangguan psikologis dipengaruhi oleh
persepsi tentang tersedianya dukungan.

Dukungan sosial yang diungkap dalam penelitian ini adalah perceived support, yaitu
dukungan yang dipersepsi dan dirasakan oleh seseorang dari orang-orang di sekitarnya.

b. Aspek-aspek dukungan sosial

Menurut Cohen dan Syme, 1998 (dalam Ika, 2008) ada empat aspek dukungan sosial.
Aspek-aspek tersebut adalah Aspek Emosional, Aspek Informasi, Aspek Instrumental, dan
Aspek Penilaian positif terhadap individu.
1) Emosional. Individu membutuhkan empati, cinta, dan kepercayaan dari orang lain
merupakan motivasi utama dalam tingkah laku menolong. Individu yang berempati merasa
mengalami sendiri emosi yang dialami oleh orang lain. Merasa atau mengantisipasi kesusahan
orang lain dapat memotivasi tingkah laku atau tindakan yang ditujukan untuk mengurangi
kesusahan itu. Pengantisipasian emosi positif orang lain dapat memotivasi tingkah laku yang
akan meningkatkan kesejahteraan orang lain tersebut.
2) Informasi. Dukungan yang berupa informasi diberikan untuk menambah pengetahuan
seseorang dalam mencari jalan keluar atau memecahkan masalah, meliputi nasehat serta
pengarahan.
3) Instrumental. Penyediaan sarana untuk mempermudah perilaku menolong orang yang
menghadapi masalah, dalam bentuk materi, akan tetapi dapat juga pemberian kesempatan dan
peluang waktu.
4) Penilaian positif terhadap individu. Dukungan tersebut berupa pemberian penghargaan
ataupun memberi penilaian atas usaha yang telah dilakukan, memberikan umpan balik
mengenai hasil atau prestasinya serta memperkuat dan meninggikan perasaan harga diri dan
kepercayaan akan kemampuan individu tersebut.

c. Sumber-sumber dukungan sosial


Sumber dukungan sosial yang terpenting adalah Keluarga dan Sahabat atau Teman.
1) Keluarga. Anggota keluarga adalah orang-orang yang berada di lingkungan paling dekat
dengan diri individu yang sangat besar kemungkinannya untuk saling memberikan dukungan
(Levit dkk., 1993). Menurut Argyle (dalam Veiel & Baumann, 1992) bila individu dihadapkan
pada suatu stressor, maka hubungan intim yang muncul karena adanya sistem keluarga dapat
menghambat, mengurangi, bahkan mencegah timbulnya efek negatif stressorkarena ikatan
dalam keluarga dapat menimbulkan efek buffering terhadap dampak stressor. Munculnya efek
ini dimungkinkan karena keluarga selalu siap dan bersedia untuk membantu individu ketika
dibutuhkan serta hubungan antara anggota keluarga memunculkan perasaan dicintai dan
mencintai. Intinya adalah bahwa anggota keluarga merupakan orang-orang yang penting dalam
memberikan dukungan instrumental, emosional, dan kebersamaan dalam berbagai aktivitas
maupun minat.
2) Sahabat atau teman. Derajat kepentingan sahabat bagi individu memang berada setelah
anggota keluarga, namun hal ini tidak berarti bahwa dukungan sosial dari sahabat atau teman
kurang bermanfaat. Suatu studi yang dilakukan oleh Argyle & Furnham (dalam Veiel &
Baumann, 1991) menemukan tiga proses utama dimana sahabat atau teman dapat berperan
dalam memberikan dukungan sosial. Proses yang pertama adalah membantu material atau
instrumental. Stres yang dialami individu dapat dikurangi bila individu mendapatkan
pertolongan untuk memecahkan masalahnya. Pertolongan ini dapat berupa informasi tentang
cara mengatasi masalah atau pertolongan berupa uang. Proses kedua adalah dukungan
emosional. Tekanan emosional dapat dikurangi dengan membicarakannya dengan teman yang
simpatik. Dengan demikian harga diri meningkat, depresi dan kecemasan dapat dihilangkan
dengan penerimaan sahabat karib. Proses yang terakhir adalah integrasi sosial, menjadi bagian
dalam suatu aktivitas waktu luang yang kooperatif dan diterimanya seseorang dalam suatu
kelompok sosial dapat menghilangkan perasaan kesepian dan menghasilkan perasaan sejahtera
serta memperkuat ikatan sosial. Meyerowitz (dalam Smet, 1994) dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa ada tiga sumber dukungan sosial yang potensial bagi mereka yang
mengalami gangguan kesehatan serius, yaitu pasangan dan keluarga, teman dan pasien lain
yang memiliki kondisi sama serta dokter dan perawat.Dengan demikian, dukungan sosial dapat
diperoleh dari pasangan (suami/ istri), anak-anak atau anggota keluarga yang lain, dari teman,
professional, komunitas atau masyarakat atau dari kelompok dukungan sosial.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas dukungan sosial
Cohen & Syme, 1985 (dalam Ika, 2008) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi
dukungan sosial adalah :
1) Pemberi dukungan sosial. Dukungan yang diterima melalui sumber yang sama akan lebih
mempunyai arti daripada yang berasal dari sumber yang berbeda-beda setiap saat. Hal ini
berkaitan dengan dukungan yang diberikan yang akan memberikan keakraban dan tingkat
kepercayaan penerima dukungan.
2) Jenis Dukungan. Jenis dukungan yang diterima akan mempunyai arti bila dukungan itu
bermanfaat dan sesuai dengan situasi yang dihadapi, seperti orang yang kekurangan
pengetahuan, dukungan informatif yang diberikan akan lebih bermanfaat bagi dirinya.
3) Penerima Dukungan. Karakteristik atau ciri-ciri penerima dukungan akan menentukan
keefektifan dukungan yang diperoleh. Karakteristik tersebut diantaranya kepribadian,
kebiasaan, dan peran sosial. Proses yang terjadi dalam pemberian dan penerimaan dukungan
itu dipengaruhi oleh kemampuan penerima dukungan untuk mencari dan mempertahankan
dukungan yang diperoleh.
4) Lamanya Pemberian Dukungan. Lama atau singkatnya pemberian dukungan tergantung
pada kapasitasnya. Kapasitas berkaitan dengan kemampuan dari pemberi dukungan untuk
memberikan dukungan yang ditawarkan selama suatu periode tertentu.

e. Manfaat dukungan sosial


Setiap orang mempunyai pengalaman yang secara langsung atau tidak langsung
dipengaruhi oleh hubungan antar individu dalam kelompok dan hubungan antar kelompok satu
dengan lainnya. Dari hubungan tersebut diperoleh keuntungan bagi individu. Manfaat jenis-
jenis hubungan sosial yang dirasakan seseorang menurut Cohen dan Syme, 1985 (dalam Ika,
2008) tergantung pada ketepatan dukungan yang diberikan ketika menghadapi situasi yang
tengah terjadi dan tergantung pada penerimaan orang yang diberi dukungan tersebut.
Tingkatan dukungan sosial tersebut dapat berbeda-beda antara satu orang dengan orang
lainnya. Hal tersebut disebabkan persepsi yang berbeda dalam menerima dan merasakannya.
Dukungan akan dirasakan artinya apabila diperoleh dari orang-orang yang dipercayainya.
Dengan demikian individu mengerti bahwa orang lain memperhatikan, menghargai, dan
mencintai dirinya. Hal tersebut dapat mengurangi rasa cemas yang dirasakan dalam mengatasi
permasalahannya.
Dukungan sosial dapat juga bermanfaat sebagai suatu cara untuk menjaga harga diri
individu, contohnya pada dukungan sosial dengan cara memberikan penilaian positif terhadap
kemampuan individu dalam menghadapi situasi yang dihadapi tersebut.
Manfaat dukungan sosial dalam bidang klinis sangat besar karena terbukti dapat
membantu manusia dalam mencapai perkembangan yang optimal. Penelitian La Rocco, dkk
(dalam Sarafino, 1990) menyimpulkan bahwa dukungan sosial memiliki peranan yang sangat
besar terhadap kesehatan mental. Dukungan sosial berhubungan dengan berkurangnya
kecemasan, gangguan umum, dan depresi. Dukungan dari lingkungan sosial merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi depresi.
Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Derajat Depresi pada Pendertia Diabetes
Melitus dengan Komplikasi Perubahan besar terjadi dalam hidup seseorang setelah mengidap
penyakit diabetes melitus. Ia tidak dapat mengkonsumsi makanan tanpa aturan dan tidak dapat
melakukan aktivitas dengan bebas tanpa khawatir kadar gulanya akan naik pada saat kelelahan.
Selain itu, penderita diabetes melitus juga harus mengikuti tritmen dokter, pemeriksaan
kadar gula darah secara rutin dan pemakaian obat sesuai aturan. Seseorang yang menderita
penyakit diabetes melitus memerlukan banyak sekali penyesuaian di dalam hidupnya, sehingga
penyakit diabetes melitus ini tidak hanya berpengaruh secara fisik, namun juga berpengaruh
secara psikologis pada penderita.
Saat seseorang didiagnosis menderita diabetes melitus maka respon emosional yang
biasanya muncul yaitu penolakan, kecemasan dan depresi, tidak jauh berbeda dengan penyakit
kronis lain (Taylor, 1995). Penderita diabetes melitus memiliki tingkat depresi dan kecemasan
yang tinggi, yang berkaitan dengan tritmen yang harus dijalani dan terjadinya komplikasi
serius. Depresi yang dialami penderita berkaitan dengan tritmen yang harus dijalani seperti diet
atau pengaturan makan, pemeriksaan kadar gula darah, konsumsi obat dan juga olahraga.
Selain itu, risiko komplikasi penyakit yang dapat Alexander dan Seyle (dalam Pennebaker,
1988) mengatakan konflik psikologis, kecemasan, depresi, dan stres dapat menyebabkan
semakin memburuknya kondisi kesehatan atau penyakit yang diderita oleh seseorang.
Penderita diabetes melitus jika mengalami depresi, akan mempengaruhi proses kesembuhan
dan menghambat kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pasien diabetes yang mengalami
depresi memiliki kontrol gula darah yang buruk dan meningkatnya gejala-gejala penyakit
(Lustman, dalam Taylor, 1995). Depresi merupakan hal yang tidak mudah untuk dihadapi oleh
penderita diabetes melitus. Oleh karena itu, penderita diabetes melitus tentu sangat
membutuhkan dukungan dari lingkungan sosialnya. Manfaat dukungan sosial dalam bidang
klinis sangat besar karena terbukti dapat membantu manusia dalam mencapai perkembangan
yang optimal. Penelitian La Rocco, dkk (dalam Sarafino, 1990) menyimpulkan bahwa
dukungan sosial memiliki peranan yang sangat besar terhadap kesehatan mental. Dukungan
sosial berhubungan dengan berkurangnya kecemasan, gangguan umum, somatisasi, dan depresi.
Dukungan dari lingkungan sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi depresi.
Menurut Taylor (1995) dukungan sosial pada penderita diabetes melitus dapat diperoleh dari
anggota keluarga, teman, kerabat maupun paramedis yang merupakan sumber eksternal yang
dapat memberikan bantuan bagi penderita dalam mengatasi dan menghadapi suatu
permasalahan terutama yang menyangkut penyakit yang diderita. Bentuk dari dukungan sosial
yang dibutuhkan oleh penderita diabetes melitus dapat berupa dukungan informasi (berupa
saran, nasehat, pengarahan atau petunjuk); dukungan emosional (berupa afeksi, kepercayaan,
kehangatan, kepedulian dan empati); dukungan penilaian (berupa penghargaan positif,
dorongan maju atau persetujuan terhadap gagasan dan perasaan); dukungan instrumental
(berupa barang atau materi). Dukungan dari luar yang diberikan pada penderita dapat
mempengaruhi depresi dan kecemasan yang dialami penderita.

2. Geografi
Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang lokasi serta persamaan, dan perbedaan
(variasi) keruangan atas fenomena fisik, dan manusia di atas permukaan bumi. Kata geografi
berasal dari Bahasa Yunani yaitu gêo ("Bumi"), dan graphein ("tulisan", atau "menjelaskan").
Geografi juga merupakan nama judul buku bersejarah pada subjek ini, yang terkenal adalah
Geographia tulisan Klaudios Ptolemaios (abad kedua). Geografi lebih dari sekadar kartografi,
studi tentang peta. Geografi tidak hanya menjawab apa, dan di mana di atas muka bumi, tapi
juga mengapa di situ, dan tidak di tempat lainnya, kadang diartikan dengan "lokasi pada
ruang." Geografi mempelajari hal ini, baik yang disebabkan oleh alam atau manusia. Juga
mempelajari akibat yang disebabkan dari perbedaan yang terjadi itu.

a. Pendekatan Geografi
1. Pendekatan Spasial (Keruangan)
Analisis keruangan merupakan pendekatan yang khas dalam geografi karena
merupakan studi tentang keragaman ruang muka bumi dengan menelaah masing-
masing aspek-aspek keruangannya. Aspek-aspek ruang muka bumi meliputi faktor
lokasi, kondisi alam, dan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Dalam mengkaji aspek-
aspek tersebut, seorang ahli geografi sangat memperhatikan faktor letak, distribusi
(persebaran), interelasi serta interaksinya. Salah satu contoh pendekatan keruangan
tersebut adalah sebidang tanah yang harganya mahal karena tanahnya subur, dan
terletak di pinggir jalan. Pada contoh tersebut, yang pertama adalah menilai tanah
berdasarkan produktivitas pertanian, sedangkan yang kedua menilai tanah berdasarkan
nilai ruangnya yaitu letak yang strategis.
2. Pendekatan Ekologi (Lingkungan)
Pendekatan lingkungan didasarkan pada salah satu prinsip dalam disiplin ilmu biologi,
yaitu interelasi yang menonjol antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Di dalam
analisis lingkungan geografi menelaah gejala interaksi, dan interelasi antara komponen
fisikal (alamiah) dengan nonfisik (sosial). Pendekatan ekologi melakukan analisis
dengan melihat perubahan komponen biotik, dan abiotik dalam keseimbangan
ekosistem suatu wilayah. Misalnya, suatu padang rumput yang ditinggalkan oleh
kawanan hewan pemakan rumput akan menyebabkan terjadinya perubahan lahan, dan
kompetisi penghuninya.
3. Pendekatan Regional (Kompleks Wilayah)
Analisis kompleks wilayah membandingkan berbagai kawasan di muka bumi dengan
memperhatikan aspek-aspek keruangan, dan lingkungan dari masing-masing wilayah
secara komprehensif. Contohnya, wilayah kutub tentu sangat berbeda karakteristik
wilayahnya dengan wilayah khatulistiwa.
Diabetes melitus akan menimbulkan komplikasi jangka panjang jika tidak ditangani dengan
benar. Beberapa komplikasi yang akan timbul diantaranya adalah terjadi gangguan retinopati
dengan potensi kebutaan, gangguan nefropati yang dapat menyebabkan gagal ginjal, amputasi,
gangguan neuropati otonom yang dapat mengganggu sistem gastrointestinal, genitourinaria,
gangguan kardiovaskuler, jantung, stroke, serta disfungsi seksual dan gangguan neuropati perifer
dengan resiko terjadinya ulkus kaki yang berujung amputasi (American Diabetes
Assotiation/ADA, 2013). Berbagai kondisi tersebut menyebabkan penderita diabetes melitus
mengalami gangguan psikologis seperti depresi. Kadang sulit mendeteksi apakah seseorang itu
mengalami depresi, karena yang muncul dominan justru pada keluhan fisik. Beberapa penyakit
fisik pada umumnya komorbid (tumpang tindih) dengan gangguan mood. Depresi lebih sulit
didiagnosis bila seseorang memiliki penyakit fisik lainnya (Rochmawati, 2009). Oleh karena itu
kita harus melihat suatu penyakit secara holistik, tidak hanya secara fisik namun juga dari sisi
psikis.
Prevalensi depresi pada beberapa penyakit kronis termasuk diabetes melitus memberikan
gambaran bahwa depresi perlu mendapatkan perhatian dan terapi yang adekuat karena kasusnya
cukup banyak. Menurut Siverstone (1996) diabetes melitus memiliki risiko dapat menyebabkan
depresi sebesar 9-27%, sedangkan menurut Cavanaugh (1998) risiko depresi yang disebabkan
oleh diabetes melitus sebesar 8,5-27,3%. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa diabetes
melitus memiliki komorbiditas dengan gangguan depresi (Mujaddid, 2001).
Di Kabupaten Gunungkidul selama tahun 2015 tercatat 860 kasus gangguan depresi. Depresi
menduduki peringkat ke-4 pada prevalensi gangguan jiwa setelah somatoform, skizofrenia dan
penyakit YDK (yang diklasifikasikan di tempat lain). Hal tersebut berhubungan dengan
tingginya prevalensi penyakit kronik diabetes melitus .
Diabetes melitus akan menimbulkan komplikasi jangka panjang jika tidak ditangani dengan
benar. Beberapa komplikasi yang akan timbul diantaranya adalah terjadi gangguan retinopati
dengan potensi kebutaan, gangguan nefropati yang dapat menyebabkan gagal ginjal, amputasi,
gangguan neuropati otonom yang dapat mengganggu sistem gastrointestinal, genitourinaria,
gangguan kardiovaskuler, jantung, stroke, serta disfungsi seksual dan gangguan neuropati perifer
dengan resiko terjadinya ulkus kaki yang berujung amputasi (American Diabetes
Assotiation/ADA, 2013). Berbagai kondisi tersebut menyebabkan penderita diabetes melitus
mengalami gangguan psikologis seperti depresi.
Kadang sulit mendeteksi apakah seseorang itu mengalami depresi, karena yang muncul dominan
justru pada keluhan fisik. Beberapa penyakit fisik pada umumnya komorbid (tumpang tindih)
dengan gangguan mood. Depresi lebih sulit didiagnosis bila seseorang memiliki penyakit fisik
lainnya (Rochmawati, 2009). Oleh karena itu kita harus melihat suatu penyakit secara holistik,
tidak hanya secara fisik namun juga dari sisi psikis.
Prevalensi depresi pada beberapa penyakit kronis termasuk diabetes melitus memberikan
gambaran bahwa depresi perlu mendapatkan perhatian dan terapi yang adekuat karena kasusnya
cukup banyak. Menurut Siverstone (1996) diabetes melitus memiliki risiko dapat menyebabkan
depresi sebesar 9-27%, sedangkan menurut Cavanaugh (1998) risiko depresi yang disebabkan
oleh diabetes melitus sebesar 8,5-27,3%. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa diabetes
melitus memiliki komorbiditas dengan gangguan depresi (Mujaddid, 2001).
Di Kabupaten Gunungkidul selama tahun 2015 tercatat 860 kasus gangguan depresi. Depresi
menduduki peringkat ke-4 pada prevalensi gangguan jiwa setelah somatoform, skizofrenia dan
penyakit YDK (yang diklasifikasikan di tempat lain). Hal tersebut berhubungan dengan
tingginya prevalensi penyakit kronik diabetes melitus di
melitus mengalami gangguan psikologis seperti depresi.
Kadang sulit mendeteksi apakah seseorang itu mengalami depresi, karena yang muncul dominan
justru pada keluhan fisik. Beberapa penyakit fisik pada umumnya komorbid (tumpang tindih)
dengan gangguan mood. Depresi lebih sulit didiagnosis bila seseorang memiliki penyakit fisik
lainnya (Rochmawati, 2009). Oleh karena itu kita harus melihat suatu penyakit secara holistik,
tidak hanya secara fisik namun juga dari sisi psikis.
Prevalensi depresi pada beberapa penyakit kronis termasuk diabetes melitus memberikan
gambaran bahwa depresi perlu mendapatkan perhatian dan terapi yang adekuat karena kasusnya
cukup banyak. Menurut Siverstone (1996) diabetes melitus memiliki risiko dapat menyebabkan
depresi sebesar 9-27%, sedangkan menurut Cavanaugh (1998) risiko depresi yang disebabkan
oleh diabetes melitus sebesar 8,5-27,3%. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa diabetes
melitus memiliki komorbiditas dengan gangguan depresi (Mujaddid, 2001).
Di Kabupaten Gunungkidul selama tahun 2015 tercatat 860 kasus gangguan depresi. Depresi
menduduki peringkat ke-4 pada prevalensi gangguan jiwa setelah somatoform, skizofrenia dan
penyakit YDK (yang diklasifikasikan di tempat lain). Hal tersebut berhubungan dengan
tingginya prevalensi penyakit kronik diabetes melitus di
melitus mengalami gangguan psikologis seperti depresi.
Kadang sulit mendeteksi apakah seseorang itu mengalami depresi, karena yang muncul dominan
justru pada keluhan fisik. Beberapa penyakit fisik pada umumnya komorbid (tumpang tindih)
dengan gangguan mood. Depresi lebih sulit didiagnosis bila seseorang memiliki penyakit fisik
lainnya (Rochmawati, 2009). Oleh karena itu kita harus melihat suatu penyakit secara holistik,
tidak hanya secara fisik namun juga dari sisi psikis.
Prevalensi depresi pada beberapa penyakit kronis termasuk diabetes melitus memberikan
gambaran bahwa depresi perlu mendapatkan perhatian dan terapi yang adekuat karena kasusnya
cukup banyak. Menurut Siverstone (1996) diabetes melitus memiliki risiko dapat menyebabkan
depresi sebesar 9-27%, sedangkan menurut Cavanaugh (1998) risiko depresi yang disebabkan
oleh diabetes melitus sebesar 8,5-27,3%. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa diabetes
melitus memiliki komorbiditas dengan gangguan depresi (Mujaddid, 2001).
Di Kabupaten Gunungkidul selama tahun 2015 tercatat 860 kasus gangguan depresi. Depresi
menduduki peringkat ke-4 pada prevalensi gangguan jiwa setelah somatoform, skizofrenia dan
penyakit YDK (yang diklasifikasikan di tempat lain). Hal tersebut berhubungan dengan
tingginya prevalensi penyakit kronik diabetes melitus di
Kabupaten Gunungkidul yang memiliki komplikasi gangguan jiwa depresi (Dinas Kesehatan
Kabupaten Gunungkidul, 2015). Dari data tersebut dapat kita ketahui secara nyata bahwa kasus
depresi banyak terjadi dan masih banyak juga yang tidak terdeteksi karena berbagai faktor.
Berdasarkan fakta-fakta sebelumnya, faktor risiko terjadinya depresi dapat dikelompokkan
menjadi beberapa faktor, antara lain: faktor psikososial, faktor biologis, karakteristik personal,
faktor medikasi, dan faktor demografi. Faktor psikososial dapat meliputi stress kehidupan
seperti: kesedihan, masalah finansial, dan kesepian. Faktor biologis atau genetik dapat meliputi:
jenis kelamin , defisiensi folat dan vitamin B12, dan penyakit kronis. Karakteristik personal
antara lain: sifat ketergantungan, pesimis, dan rendah diri. Sedangkan faktor medikasi dapat
meliputi penggunaan obat-obatan anxiolytics tranquilizers, anti inflamasi, dan sebagainya. Selain
itu jenis kelamin, usia, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, status pernikahan, merupakan
beberapa faktor demografi yang turut berperan dalam terjadinya depresi (Mudjaddid, 2001).
Dari uraian fakta-fakta di atas, dikhawatirkan faktor demografi berhubungan dengan depresi
pada penyakit diabetes melitus. Untuk itu peneliti merasa tertarik untuk melihat hubungan antara
faktor demografi dengan kejadian depresi pada penderita
diabetes melitus di Kabupaten Gunungkidul, DIY.
Metode Penelitian
Penelitian ini merpakan penelitian studi non-eksperimental dengan rancangan penelitian cross
sectional. Sampel penelitian adalah 36 pasien diabetes melitus dari Puskesmas Wonosari.
Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dan pengambilan sampel
dilakukan selama bulan September - Oktober 2016. 36 pasien diabetes melitus yang masuk
kriteria inklusi diukur skor depresi menggunakan kuesioner Beck Depression Invntory (BDI).
Data dari penelitian ini kemudian dianalisis menggunakan uji Chi-Square Tests.
Hasil Penelitian
Tabel 1. Sebaran Jumlah Prosentase
Depresi Secara
Umum Pada
Penderita Diabetes
Melitus di
Kabupaten
Gunungkidul DIY
Bulan September-
Oktober 2016
Tingkat Depresi
Normal atau 26 72,2%
Minimal
Depresi Ringan 6 16,7%
Depresi Sedang 3 8,3%
Depresi Berat 1 2,8%
Total 36 100%
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Diabetes Mellitus adalah Suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh adanya peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif (Subekti, et al.., 1999). Klasifikasi Etiologis
Diabetes Melitus Menurut ADA 2003 terdriri atas Diabetes Melitus Tipe 1, Diabetes
Melitus Tipe 2 dan Diabetes Melitus Tipe Lain.
Secara epidemiologi DM seringkali tidak terdeteksi. Berbagai faktor genetik,
lingkungan dan cara hidup berperan dalam perjalanan penyakit diabetes. Ada
kecenderungan penyakit ini timbul dalam keluarga. Disamping itu juga ditemukan
perbedaan kekerapan dan komplikasi diantara ras, negara dan kebudayaan. DM tipe 2
akan meningkat menjadi 5 – 10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-
tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologis adalah
bertambahnya usia, jumlah dan lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya
aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa
faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2 (Soegondo, 1999).

3.2 Saran
Dianjurkan diet seimbang dengan kaya vitamin terutama vitamin A non karotin,
tambahan vitamin C untuk mengimbangi vitamin C yang keluar, begitu juga dengan
protein, vitamin B1, B2, B12, asam pantotenat, serta konsumsi makanan yang
mengandung sedikit kalori namun sering dapat membantu merangsan pembentukan
insulin. Mineral yang dibutuhkan adalah seng, krom dan mangan. Selain upaya
pengaturan makanan, diet dengan penggunaan obat/insulin, olahraga untuk membakar
gula, penggunaan senyawa alami lainnya untuk memperbaiki kondisi pancreas,
antioksidan untuk mencegah kerusakan oksidatif lebih lanjut pada pancreas.
DAFTAR PUSTAKA

https://ejournalhealth.com/index.php/ikmas/article/download/82/80

http://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/akper/article/view/407

http://www.library.gunadarma.ac.id/journal/view/4220/hubungan-antara-faktor-faktor-psiko-sosial-
dan-somatik-pada-penderita-diabetes-mellitus-suatu-tinjauan-literatur.html/

http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/hsr/article/view/2744/1527

Anda mungkin juga menyukai