Anda di halaman 1dari 6

FILSAFAT SEBAGAI PISAU ANALISIS

Disusun oleh:

Eligi Gala Duta 130904885

Elisabeth Novita 130904859

Elan Priananda 130904957

Benedicta Alvinta 130904987

Alfonsus Rendi 130904887

Etika dan Filsafat Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Atma Jaya Yogyakarta


Filsafat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan. Dalam filsafat kita diajak untuk melakukan
perenungan dan pertimbangan secara mendalam tentang sesuatu hal yang dapat diterima oleh
indera kita. Dengan kata lain filsafat membawa kita pada pemahaman tentang tindakan yang
lebih layak. Kita dapat menggunakan filsafat sebagai pisau analisis untuk menganalisa sebuah
masalah dengan mempertimbangkan beberapa sudut pandang. Hasil dari pertimbangan itulah
yang akan menjadi dasar kita dalam bertindak

Imperatif Kategoris

Imperatif kategoris merupakan perintah yang bukan bersifat permintaan atau komando,
tetapi bersifat keharusan, tetapi juga bukan merupakan paksaan melainkan keharusan yang
bersifat mutlak, tanpa syarat tanpa kekecualian. Sebagai suatu hal yang umum atau tanpa
kekecualian, perintah itu tidak mengandung hal-hal subjektif karena dia hanya menyediakan
sebuah prinsip umum dan kriteria dari semua perintah moral dan kewajiban-kewajiban
(Anggraini, 2012: 131). Bentuk yang paling sederhana dari imperatif kategoris adalah perintah
untuk “Bertindak secara moral” itulah perintah atau kewajiban mutlak satu-satunya.

Utilitarisme

Utilisme atau dalam bahasa Inggrisnya utilitarianism yang dijabarkan dalam bahasa Latin
“utilis” yang artinya bermanfaat. Suatu perbuatan dikatakan baik, jika membawa manfat,
dikatakan buruk jika menimbulkan mudarat. Paham ini mengatakan bahwa orang baik ialah
orang yang membawa manfaat, dan yang dimaksud ialah agar setiap orang menjadikan dirinya
membawa manfaat yang sebesar-besarnya. Sesuatu yang dianggap bermanfaat adalah sesuatu
yang memberikan kebaikan kepada kita atau yang membuat kita bahagia, sedangkan keburukan
ialah sesuatu yang menyengsarakan kita. Hedonisme dengan Utilisme mempunyai perbedaan,
walaupun keduanya dikategorikan dapat menciptkan kebahagiaan, yaitu hedonisme biasanya
memperhatikan kenikmatan yang ditimbulkan oleh perbuatan bagi yang melakukan perbuatan
sedangkan utilisme memperhatikan manfaat yang diberikan kepada sesama manusia.

Hedonisme

Hedonisme bertolak dari pendirian bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan


kenikmatan,yang dalam bahasa Yunaninya disebut “hedone”, Dari kata inilah timbul istilah
“hedonisme”. Usaha ini terungkap dalam sikap menghindari rasa sakit, dan secara positif
terungkap dalam sikap mengejar apa saja yang dapat menimbulkan rasa nikmat. Namun
hedonisme tidak sekedar menetapkan kenyataan kejiwaan, melainkan juga berpendapat bahwa
kenikmatan benar-benar merupakan kebaikan yang paling berharga atau yang tertinggi bagi
manusia, sehingga dengan demikian adalah baik baginya apabila mengusahakan kenikmatan (De
Vos, 2002: 161).
Bagi Aristippos, kesenangan itu bersifat badani atau jasmani, karena hakikatnya tidak lain
daripada gerak dalam badan. Mengenai gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang
kasar dan itulah ketidaksenangan, misalnya rasa sakit. Gerak yang halus dan itulah kesenangan.
Sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya, jika kita tidur. Epikuros
pun melihat“hedone” sebagai tujuan kehidupan manusia. Menurut kodratnya setiap manusia
mencari kesenangan, namun pengertian tentang kesenangan lebih luas daripada pandangan
Aristippos. Epikuros juga melihat kesenangan itu bersifat rohani, tetapi kesenangan rohani
hanyalah bentuk yang diperhalus dari kesenangan badani. Ada juga hedonisme estetik yang
memandang nikmat keindahan sebagai kebaikan tertinggi. Bahkan ada juga hedonisme
keagamaan yang memandang bahwa agama befungsi untuk membangkitkan perasaan-perasaan
tertentu yang dapat memberikan keinsyafan akan kenikmatan. Demikianlah hedonisme dapat
mengambil banyak bentuk dan hampir tidak dikenal, namun senantiasa menetapkan satu tujuan
belaka: menikmati sesuatu (De Vos, 2002, hlm. 163).

Veil of Ignorance
Tabir ketidaktahuan merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk membantu
seseorang dalam menentukan apakah sesuatu tindakan maupun lembaga tertentu sesuai dengan
moral (Rawl, 1971). Disebut sebagai konsepsi “keadilan sebagai kejujuran”, tujuannya dalam
merancang posisi aslinya adalah untuk menggambarkan situasi kesepakatan yang adil di antara
semua pihak dalam kontrak sosial hipotetis. Dengan menggunakan konsep ini, seseorang dipaksa
untuk mempertimbangkan implikasi dari tindakan yang dilakukan, maupun hal lainnya dari
perspektif orang yang berbeda. Hal ini memungkinkan seseorang untuk mempertimbangkan
moralitas sebenarnya yang diwujudkan melalui tindakan.

Golden Rule
Selain itu, dalam pembahasan mengenai hukum alam, Hobbes juga menunjukkan bahwa konsep
golden rule merupakan cerminan hukum alam (law of nature). Jika seseorang menginginkan agar
orang lain berbuat seperti yang dikehendaki, maka ia harus berbuat seperti apa yang dikehendaki
terhadap orang lain tersebut. Sebaliknya, apapun yang tidak dikehendaki terjadi, maka jangan
lakukan hal tersebut kepada orang lain. Dalam konsep golden rule manusia diharapkan dapat
menghargai seseorang dan memandang bahwa manusia memiliki hak yang sama secara alamiah.
Sehingga seseorang tidak akan melanggar hak dan menghargai orang lain karena memiliki
kedudukan yang setara.

Golden Means

Dalam etika media massa harus bisa membedakan proses komunikasi dalam kerangka
tindakan manusia. Dapat membedakan mana tindakan yang baik mana tindakan buruk
merupakan permasalahan utama dalam etika. Etika mengarahkan kita menuju kebijaksanaan
melalui aturan-aturan yang ada. Prinsip-prinsip etis yang dibentuk dapat diperlihatkan
menggunakan nilai tengah Aristoteles. Menurut Straubhaar, Robert &Lucinda (2009) dalam Nilai
Berita dan Etika media Dalam Tayangan liputan Penyeranagan teroris di Temanggung oleh
Sofiati Aminuddin nilai tengah atau golden mean memiliki makna bahwa tindakan etis yang
baik adalah tindakan diantara dua nilai ekstrim yang berlawanan. Terdiri dari prinsip imperatif
kategori Immanuel Kant yang menyatakan kita harus bertindak berdasarkan prinsip unuversal,
prinsip situasional merupakan prinsip bahwa tindakan manusia selalu bersikap kontekstual dan
relatif didasarkan pada situasi tertentu. Prinsip ainnya adalah prisip pragmatis yang menyatakan
bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang bisa dilakkukan atau diaplikasikan.

Potter Box

Potter Box adalah proses untuk melakukan tindakan etik/etis yang dibuat oleh professor
Ralph Potter. Potter Box memiliki empat tahap yang membantu menjelaskan masalah etik yang
sedang dihadapi. ( Straubhar dkk, 476) Potter membuat empat tahap ini dalam bentuk kotak. Jay
Black dan Chris Roberts (2011) dalam bukunya yang berjudul Doing Ethics in Media: Theories
and Practical Applications menjelaskan Potter Box mendukung pendekatan yang rasional dan
sistematis yang mengarahkan seseorang untuk:
1. Menjelaskan suatu situasi secara objektif dan detail. Pengumpulan fakta dan
penjelasan mengenai suatu situasi diharapkan membuat seseorang semakin objektif
dalam melihat masalah.
2. Mengidentifikasi nilai yang sesuai dengan keadaan tersebut. seseorang akan
membandingkan dan mepertentangkan nilai yang berbeda dan nantinya akan
mempengaruhi keputusan.
3. Menerapkan filosofi dalam mengambil keputusan yang adil. Maksud dari tahap ini
adalah kita mempertimbangkan beberapa prinsip etika seperti Golden Mean,
Categorial Imperative, dan Golden Rules. Dengan berpegang pada salah satu prinsip
tersebut, seseorang akan lebih mudah untuk menentukan sikap
4. Memilih kepada siapa akhirnya keputusan itu ditujukan. Dalam setiap pengambilan
keputusan akan membawa konsekuensi mana yang diuntungkan dan mana yang
dirugikan
Anggraini, S. 2012. Disertasi. Imperatif Kategoris Kehendak Baik dan Kehendak Bebas dalam
Persepsi Etis tentang Aborsi. Jawa Tengah: Universitas Kristen Satya Wacana.
Sofiati Aminuddin, Evie (2011) Nilai Berita Dan Etika Media Dalam Tayangan Liputan
Penyerangan Teroris di Temanggung. Masters thesis, Master Program in Communication
Science.

Black, Jay & Chris Robert. 2011. Doing Ethics in Media: Theories and Practical Applications.
New York: Routledge

Bertens. K. 2007. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

De Vos. H.2002. Pengantar Etika. Terjemahan. Yogyakarta: Tiara Wacana

Straubhaar, Joseph, Robert La Rose & Ucinda Davenport. 2010. Media Now, 2010 Update:
Understanding Media, Culture, and Technology. Boston: Wadsworth

Magnis-Suseno, Franz. 1997. Pustaka Filsafat 13 TOKOH ETIKA, Sejak Zaman Yunani Sampai
Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius

Tolulope, Rojaiye. Ethics: Perspective Of Aristotle, Immanuel Kant And Jo Stuart Mill.
(PAU/SMC/MSCPT5/130037)

Utama, T. (2012). Iklan Anak-anak Dan Etika Media Pada Tayangan Iklan Produk Makanan Dan
Minuman Di Televisi. Acta diurnA│ Vol, 8(2).

Swain, Kristen Alley. 1994.Beyond The Potter Box: A Decision Model Based On Moral
Development Theory. University of Mississippi

Plato Stanford. Jurnal online. Diakses melalui http://plato.stanford.edu/entries/original-position/


pada tanggal 2 Maret 2015 pukul 21.23
Jurnal online. Golden Rules. Diakses melalui etd.ugm.ac.id pada tanggal 2 Maret 2015 pukul
21.26

Anda mungkin juga menyukai