Anda di halaman 1dari 26

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Resusitasi Jantung Paru Otak

Program resusitasi yang berbasis komunitas dan rumah sakit secara sistematis
memantau kejadian serangan jantung, tingkat pelayanan resusitasi yang tersedia dan
dampaknya terhadap pasien. Peningkatan kualitas yang berkelanjutan mencakup
evaluasi yang sistematis, pengukuran dan penentuan tolok ukur, serta analisis.9

Konsep chain of survival pada resusitasi klasik menghubungkan komunitas


(community) dengan system kegawatdaruratan (Emergency Medical System/EMS)
dan EMS dengan rumah sakit (hospital). Pasien henti jantung dapat dimasukkan ke
dalam sistem chain of survival melalui salah satu titik tersebut. Sistem ini akan
mempermudah penanganan kasus henti jantung dimanapun hal tersebut terjadi.6

Gambar 2.1.1 Titik-titik masuk pasien ke dalam system pelayanan

Chain of survival mencakup hal-hal vital yang dibutuhkan untuk keberhasilan


resusitasi. Chain of survival dapat digunakan pada henti jantung primer maupun
henti jantung sekunder/asfiksia. 16

3
Gambar 2.1.2 Chain of Survival16

Resusitasi jantung otak meningkatkan harapan hidup pasien henti jantung


yang terjadi di luar rumah sakit pada hampir semua kelompok usia. Pasien yang
bertahan hidup sampai ke rumah sakit memiliki hasil akhir neurologis yang lebih
baik. Prediktor yang signifikan terhadap survival pasien adalah waktu respon yang
cepat dan tidak berubah berdasarkan usia.4,8

Penanganan pasien yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit sangat
tergantung pada dukungan komunitas. Penolong harus dengan cepat mengenali
bahwa pasien mengalami henti jantung, memanggil bantuan, dan melakukan
resusitasi awal dan defibrilasi awal (public-access defibrilation/PAD) sampai tim
profesional emergency medical service (EMS) tiba dan membawa pasien ke instalasi
gawat darurat atau ke ruang kateterisasi jantung dan ICU untuk perawatan post
cardiac arrest. Penanganan pasien yang mengalami henti jantung di rumah sakit
sangat tergantung pada sistem surveilan dan pencegahan henti jantung di rumah sakit
tersebut. Tim multidisiplin akan memberikan respon dan penanganan secara
profesional terhadap pasien yang mengalami henti jantung di rumah sakit. 6

4
Gambar 2.1.3 Resusitasi pada pasien OHCA dan IHCA6

Pada henti jantung primer oksigenasi darah arteri saat onset normal dan
kemudian aliran darah dengan cepat melambat dan berhenti, oksigenasi darah tetap
normal untuk beberapa menit. Pada henti jantung sekunder karena insufisiensi
pernapasan seperti pada kasus tenggelam, overdosis obat, dan penyakit paru kronis
diperlukan ventilasi dan kompresi dada. Pada henti jantung sekunder sirkulasi darah
tetap berlanjut untuk beberapa saat, namun darah arteri secara progresif menjadi lebih
desaturasi dan berwarna gelap karena kekurangan ventilasi, dan kemudian terjadi
ventricular fibrilasi (VF) atau asystole. 4,7

Keberhasilan CPR dan tatalaksana lanjutan setelah CPR sangat menentukan


hasil akhir neurologis pasien henti jantung. American heart association menyadari
bahwa cedera otak setelah henti jantung merupakan hal yang penting dalam penelitian
klinik. Pada Guidelines Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency

5
Cardiovascular Care, cardiopulmonary-cerebral resuscitation diusulkan dalam
upaya untuk menurunkan kejadian cedera otak. 13

2.2 Basic Life Support (BLS)

Penyedia layanan kesehatan menggunakan systematic approach untuk menilai


dan menangani henti jantung, henti nafas dan penyakit akut atau cedera untuk
perawatan yang optimal. Intervensi tim dengan performa yang tingggi terhadap
pasien yang mengalami henti jantung atau henti nafas bertujuan untuk mendukung
dan memberikan oksigenasi yang efektif, ventilasi dan sirkulasi agar dapat
mengembalikan fungsi neurologis yang intact. Tujuan intermediate resusitasi adalah
untuk mengembalikan sirkulasi spontan (return of spontaneus circulation/ROSC).
Urutan systematic approach terdiri dari : BLS, primary survey dan secondary survey.

Gambar 2.2.1 Pendekatan sistematik penilaian BLS, Primary Assesment dan Secondary
Assement15

6
Basic Life Support merupakan bantuan hidup dasar untuk menyelamatkan
pasien setelah henti jantung. Aspek penting BLS dewasa termasuk mengenali segera
henti jantung tiba-tiba dan mengaktifasi Emergency Response System (EMS),
melakukan CPR, dan defibrilasi dengan Automated External Defibrilation (AED).
Istilah bantuan hidup dasar dimaksudkan untuk membebaskan jalan napas, membantu
pernapasan dan mempertahankan sirkulasi darah. Tujuan utamanya adalah untuk
memberikan oksigenasi darurat agar dapat mempertahankan ventilasi paru dan
mendistribusikan darah yang mengandung oksigen ke jaringan tubuh.9,11

Basic Life Support merupakan suatu metode sistematis yang terdiri dari CPR
dan defibrilasi bertujuan agar setiap orang dapat melakukan CPR dan defibrilasi dini.
BLS tidak mencakup intervensi lanjutan seperti teknik pembebasan jalan nafas, dan
pemberian obat-obatan. Penyedia layanan kesehatan dapat memberikan oksigenisasi,
ventilasi dan sirkulasi yang efektif sampai terjadi ROSC atau intervensi awal ACLS
dengan penilaian BLS. Hal ini dapat meningkatkan harapan hidup dan hasil akhir
pasien. 9

Langkah – langkah dalam memberikan BLS terdiri dari tatalaksana dan aksi,
yang diilustrasikan dalam sebuah algoritma yang belum berubah sejak tahun 2010.
Algoritma tersebut memperlihatkan langkah-langkah BLS yang mudah untuk
dipelajari, diingat, dan dilaksanakan oleh semua orang. 11

7
Gambar 2.2.2 Algoritma BLS AHA 20159

8
1. Pastikan lingkungan aman untuk penolong dan pasien9
2. Cek respon dan pengaktifan segera sistem tanggapan darurat9

Gambar 2.2.3 Cek respon15

Gambar 2.2.4 Memanggil bantuan terdekat dan mengaktifkan EMS15

Penolong harus segera meminta bantuan terdekat bila menemukan


korban tidak menunjukkan reaksi saat dipanggil atau diberikan rangsangan.
Namun akan lebih praktis bagi penolong untuk melanjutkan penilaian
terhadap pernapasan dan denyut nadi secara bersamaan sebelum
mengaktifkan Emergency medical system. Perubahan rekomendasi bertujuan
untuk meminimalkan penundaan dan mendukung penilaian serta tanggapan
yang cepat secara bersamaan. Pendekatan langkah demi langkah yang
berjalan lambat berdasarkan metode yang sudah ada akan menunda penilaian

9
dan tanggapan.9,17

Nyeri dada merupakan salah satu tanda iskemik miokard. Henti


jantung terjadi pada seperempat sampai sepertiga pasien dengan iskemik
miokard dalam satu jam pertama setelah munculnya nyeri dada. Pengenalan
terhadap nyeri dada segera yang berasal dari jantung dan menghubungi
layanan emergensi sebelum kolaps akan memungkinkan pelayanan gawat
darurat tiba lebih cepat sebelum henti jantung terjadi. Hal ini akan
meningkatkan harapan hidup yang lebih baik padda pasien henti jantung.10,11
3. Periksa pernapasan dan nadi
Seperti yang telah direkomendasikan pada Guideline tahun 2010,
petugas kesehatan akan melakukan pemeriksaan nadi dengan waktu tidak
lebih dari 10 detik untuk mencegah keterlambatan kompresi dada. Secara
ideal, nadi diperiksa bersamaan dengan pemeriksaan pernapasan untuk
mengurangi keterlambatan deteksi henti jantung dan CPR dini. Pada
pemeriksaan pernapasan dinilai pasien bernapas, tidak bernapas atau
tersengal. Pada penolong awam tidak diperlukan pemeriksaan nadi.9
Tanda utama cardiac arrest pada orang yang tidak sadar dapat berupa
hilangnya pernapasan yang normal. Pertama kali dilakukan pemeriksaan
sirkulasi, jika tidak teraba nadi arteri karotis selama 10 detik, maka dapat
segera dilakukan tindakan kompresi. Ini dengan pertimbangan bahwa
kebutuhan oksigen masih tercukupi.7

Gambar 2.2.5 Cek pernapasan dan nadi secara bersamaan15

10
Gambar 2.2.6 Cek nadi Carotis15

4. Kompresi
Kompresi dada harus dilakukan segera setelah penolong menentukan
penderita mengalami henti jantung. Pada Guideline AHA tahun 2010 terdapat
sebuah perubahan besar untuk penolong terlatih yang diinstruksikan untuk
memulai urutan CPR dengan mendahulukan kompresi dada dari pernafasan
(C-A-B versus A-B-C) untuk mengurangi waktu dan inisiasi kompresi dada.9
Inisiasi segera CPR dapat meningkatkan 2 sampai 4 kali harapan
hidup penderita henti jantung. Penolong yang telah mendapatkan pelatihan
CPR dapat memberikan kompresi dada bersamaan dengan ventilasi, jika
kondisi memungkinkan. Pada penolong yang belum pernah mendapatkan
pelatihan CPR, dispatcher dapat memberikan arahan untuk memberikan CPR
yang hanya berupa kompresi dada sambil menunggu tim professional tiba.9,16
Penilaian sistem sirkulasi darah dilakukan dengan menilai pulsasi
arteri karotis. Penilaian ini maksimal dilakukan selama 10 detik. Bila tidak
ditemukan denyut nadi maka dilakukan kompresi jantung yang efektif, yaitu
kompresi dada dengan kecepatan 100 – 120x/menit, kedalaman 5 – 6 cm. hal
ini akan memberikan kesempatan jantung melakukan pengisian ventrikel.
Penolong melakukan kompresi dengan waktu kompresi dan relaksasi yang
sama serta meminimalkan terputusnya kompresi dada.9
Pada orang dewasa yang mengalami henti jantung, penolong perlu

11
melakukan kompresi dada pada kecepatan 100 hingga 120 kali per menit.
Nilai kecepatan kompresi minimum yang direkomendasikan tetap 100 kali
per menit. Kecepatan kompresi maksimum telah ditetapkan 120 kali per
menit. Kecepatan kompresi lebih dari 120 kali per menit akan menyebabkan
kedalaman kompresi yang tidak memadai.15
Pada CPR secara manual, penolong harus melakukan kompresi dada
pada dewasa sampai kedalaman minimum 2 inci (5cm) dan menghindari
kedalaman kompresi dada lebih dari 2,4 inci (6cm)). Kompresi dengan
kedalaman sekitar 5 cm memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan kompresi yang lebih dangkal. Meskipun terdapat sedikit bukti tentang
adanya ambang batas kedalaman kompresi, namun satu penelitian sangat
kecil baru-baru ini menunjukkan potensi cedera (yang tidak mengancam jiwa)
akibat kedalaman kompresi dada yang berlebihan. Kedalaman kompresi dada
lebih sering terlalu dangkal daripada terlalu dalam.9,15
Penolong tidak boleh bertumpu di atas dada di antara kompresi untuk
mendukung rekoil penuh dinding dada pasien. Rekoil penuh dinding dada
terjadi apabila tulang dada kembali ke posisi sebenarnya saat fase dekompresi
CPR berlangsung. Rekoil dinding dada memberikan tekanan intrathoraks
negatif relatif yang mendorong pengembalian vena dan aliran darah
kardiopulmonari. Sikap bertumpu diatas dinding dada di antara kompresi
akan menghalangi recoil penuh dinding dada yang akan meningkatkan
tekanan intrathoraks dan mengurangi pengembalian vena, tekanan perfusi
coroner, dan aliran darah miokardium, serta dapat mempengaruhi hasil akhir
resusitasi.9,16
Coronary perfusion pressure (CPP) adalah tekanan relaksasi aorta
(diastolic) dikurangi tekanan relaksasi atrium kanan (diastolic). CPP
berhubungan dengan aliran darah miokardial dan return of spotaneus
circulation (ROSC) selama CPR. Pada sebuah penelitian disebutkan bahwa
ROSC terjadi apabila tercapai CPP 15 mmhg atau lebih besar selama CPR.15

12
Gambar 2.2.7 Hubungan CPR yang berkualitas terhadap tekanan perfusi koronaria
memperlihatkan perlu interupsi yang minimal selama kompresi15
Penolong harus berupaya meminimalkan frekuensi dan durasi
gangguan selama kompresi untuk mengoptimalkan jumlah kompresi yang
dilakukan per menit. Untuk orang dewasa yang mengalami serangan jantung
dan menerima CPR tanpa saluran udara lanjutan, mungkin diperlukan CPR
dengan sasaran fraksi kompresi dada setinggi mungkin, dengan target
minimum 60%. Fraksi kompresi dada adalah pengukuran proporsi waktu
resusitasi total yang dilakukan saat kompresi. Peningkatan fraksi kompresi
dada diperoleh dengan meminimalkan jeda dalam kompresi dada. Sasaran
optimal untuk fraksi kompresi dada belum didefinisikan. Penambahan target
fraksi kompresi bertujuan untuk membatasi gangguan selama kompresi dan
mengoptimalkan perfusi coroner dan aliran darah saat CPR berlangsung.9
Perangkat umpan balik audiovisual yang digunakan saat CPR
berlangsung yang bertujuan untuk mengoptimalkan performa CPR secara
real-time mungkin diperlukan. Teknologi tersebut memungkinkan
pemantauan, perekaman, dan tanggapan tentang kualitas CPR secara real-
time, termasuk parameter fisiologi pasien dan metric kinerja penolong. Data
penting tersebut dapat digunakan secara real-time selama resusitasi,

13
wawancara setelah resusitasi, dan untuk program peningkatan kualitas
diseluruh system. Tantangan yang sangat sult bagi penolong bahkan yang
sudah professional untuk mempertahankan tetap fokus pada kecepatan dan
kedalaman kompresi, serta recoil dada dengan tetap meminimalkan gangguan
selama CPR berlangsung. Penggunaan umpan balik CPR mungkin efektif
dalam mengubah kecepatan kompresi dada yang terlalu tinggi dan
mengurangi tenaga tumpuan saat kompresi dada berlangsung. Namun,
penelitian hingga saat ini belum menunjukkan adanya peningkatan hasil
neurologis yang diharapkan atau kelangsungan hidup pasien setelah keluar
dari rumah sakit dengan penggunaan perangkat umpan balik CPR saat terjadi
serangan jantung. 9,16
Kompresi dada tanpa ventilasi dalam waktu yang lama kurang efektif
dibandingkan CPR konvensional ( kompresi ditambah bantuan pernapasan)
karena kandungan oksigen dalam darah arteri akan menurun seiring dengan
peningkatan durasi CPR. Hal ini khususnya pada henti jantung asfiksia. 9,18
Tabel 2.3.1 Anjuran dan larangan BLS untuk CPR berkualitas tinggi dewasa9
Penolong harus Penolong tidak boleh
Melakukan kompresi dada pada Mengkompresi pada kecepatan
kecepatan 100-120/menit lebih rendah dari 100/menit
atau lebih cepat dari 120/menit
Mengkompresi ke kedalaman minimum Mengkompresi ke kedalaman
2 inci ( 5 cm) kurang
dari 2 inchi( 5 cm ) atau lebih
dari 2,4 inchi (6cm)
Membolehkan recoil penuh setelah Bertumpu di atas dada di
setiap kali kompresi antara
kompresi yang dilakukan
Meminimalkan jeda dalam kompresi Menghentkan kompresi lebih

14
dari
10 menit
Memberikan ventilasi yang cukup, dua Memberikan ventilasi
nafas buatan setelah setiap 30 kali berlebihan,
kompresi Misalnya terlalu banyak nafas
buatan atau memberikan nafas
buatan dengan kekuatan
berlebihan
5. Manajemen Airway
Ketika pasien tidak memberikan respon atau pasien tidak
sadar, lidah dapat menyumbat jalan nafas. Head tilt – chin lift dapat
memperbaiki sumbatan pada pasien yang tidak sadar. Jika dicurigai ada
cedera servikal, penolong dapat menggunakan metode jaw thrust tanpa
ekstensi kepala. 15

Gambar 2.3.9 Obstruksi jalan nafas oleh lidah dan epiglotis. A. obstruksi
lidah terhadap jalan nafas. B. Head tilt-chin lift. C. Jaw thrust tanpa ekstensi
kepala9

6. Bantuan Pernapasan
Henti nafas merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak bisa bernafas.
Henti nafas biasanya disebabkan oleh suatu kejadian seperti tenggelam atau cedera
kepala. Untuk orang dewasa pada henti nafas, volume tidal sekitar 500 sampai 600 ml

15
( 6 sampai 7 mL/kg). Hal ini sesuai dengan volume tidal untuk menghasilkan
pengembangan paru. Sumbatan jalan nafas atau compliance paru yang buruk dapat
meningkatkan tekanan sehingga memerlukan ventilasi yang benar untuk membuat
pengembangan paru. Alat bag-mask dapat membantu penolong untuk mencapai
pengembangan paru yang diinginkan.14,15

Pasien dengan henti napas ditidurkan dalam posisi terlentang. Napas buatan
tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (mouth-to-mouth), mulut ke
hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via
sungkup muka. Ventilasi juga bisa dilakukan dengan alat bag-mask dengan oksigen
jika tersedia. Bag mask dapat memberikan ventilasi bertekanan positif. 16
Bantuan pernafasan yang efektif dengan menggunakan bag mask atau bag
tube ventilation memerlukan kemampuan dan latihan yang essensial. Rasio kompresi
dan ventilasi dengan menggunakan alat bantu atau tanpa alat bantu saluran nafas
adalah 30:2. Penolong memberikan 1 bantuan pernafasan setiap 6 detik atau 10 kali
bantuan pernafasan dalam 1 menit. Penolong berhenti melakukan kompresi sejenak
untuk memberian bantuan nafas dalam waktu kira-kira satu detik. 9,19
Ventilasi yang berlebihan dapat menyebabkan inflasi gaster dan
meningkatkan komplikasi, seperti regurgitasi dan aspirasi. Ventilasi yang berlebihan
berbahaya karena meningkatkan tekanan intrathorak, menurunkan aliran balik vena
ke jantung dan mengurangi cardiac output. Ventilasi yang berlebihan selama
resusitasi henti nafas dan henti jantung harus dicegah untuk menghindari
komplikasi.15

Untuk pasien yang mengalami serangan jantung diluar rumah sakit dengan
ritme dapat dikejut, sistem pelayanan emergensi dapat menunda ventilasi bertekanan
positif hingga 3 siklus dari 200 kompresi berkelanjutan dengan insuflasi oksigen pasif
dan tambahan saluran udara. Beberapa sistem pelayanan emergensi telah menguji
strategi penerapan kompresi dada awal secara berkelanjutan dengan menuda ventilasi
tekanan positif untuk korban dewasa yang terkena serangan jantung diluar rumah

16
sakit. Dalam semua sistem ini, penyedia layanan mengadakan pelatihan tambahan
dengan penekanan pada penerapan kompresi dada berkualitas tinggi. Tiga penelitian
yang berbasis prioritas dalam komunitas perkotaan dan pedesaan yang mengalami
serangan jantung yang dapat dikejut dengan memberikan pelayanan hingga 3 siklus
insuflasi oksigen pasif, penyisipan tambahan saluran udara dan 200 kompresi dada
berkelanjutan dengan defibrilasi, menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup
pasien dengan hasil neurologis yang lebih baik.15

Penolong awam yang tidak terlatih hanya melakukan kompresi dada pada
resusitasi pasien henti jantung. Penolong yang terlatih dapat memberikan bantuan
ventilasi sebagai tambahan kompresi dada. Penyedia layanan medis mungkin perlu
memberikan 1 napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) sambil tetap
melakukan kompresi dada berkelanjutan (misalnya, saat CPR berlangsung dengan
saluran udara lanjutan).9,15

7. Defibrilasi awal dengan Automated External Defibrilator (AED)


Setelah mengaktivasi emergency response system, penolong yang sendiri
dapat mengambil AED (jika dekat dan mudah dicapai) dan kemudian kembali ke
tempat kejadian untuk menggunakan AED dan melakukan CPR. Ketika terdapat 2
atau lebih penolong yang terlatih, 1 penolong memulai CPR, memulai kompresi
dada, sementara penolong yang kedua mengaktivasi emergency response system dan
mengambil AED ( atau defibrillator manual pada kebanyakan rumah sakit) dan
peralatan emergensi lainnya. AED atau defibrillator manual digunakan secepat
mungkin dan kedua penolong dianggap mampu melakukan CPR dengan kompresi
dan ventilasi. Penggunaan AED tidak terdapat pada Guideline 2010. 9,20
Defibrilasi dalam 3 sampai 5 menit sejak kolaps dapat menghasilkan angka
survival yang tinggi 50-70%. Hal ini dapat dicapai sesuai dengan akses public dan
ketersediaan AED. Setiap menit keterlambatan melakukan defibrilasi akan
mengurangi kemungkinan survival 10-12%. 16

17
Tabel 2.3.2. Urutan Basic Life Support9
Langkah Penolong awam yang tidak Penolong awam Penyedia layanan
terlatih yang terlatih kesehatan
1 Pastikan keamanan Pastikan keamanan Pastikan keamanan
2 Cek respon Cek respon Cek respon
3 Panggil bantuan terdekat. Panggil bantuan Panggil bantuan
Telpon atau mintalah orang terdekat.Telpon 9- terdekat. Aktifkan
lain untuk menelpon 9-1-1 1-1,EMS. Pastikan tim resusitasi. Tim
(telpon atau penelpon harus telpon berada di resusitasi boleh
di tempat kejadian dan tempat kejadian, diaktifkan sebelum
menggunakan pengeras jika kondisi atau sesudah
suara) memungkinkan. memeriksa
pernafasan dan
nadi.
4 Ikuti instruksi dispatcher Cek apakah ada Cek pernafasan dan
nafas atau hanya nadi secara
gasping,jika tidak bersamaan. Segera
ada lakukan CPR aktivasi dan ambil
dengan kompresi AED/peralatan
emergency dengan
bantuan orang lain
/penolong kedua.
5 Lihatlah apakah ada nafas Jawab pertanyaan Segera lakukan
atau hanya gasping, sesuai dispatcher dan ikuti CPR dan gunakan
arahan dispatcher arahannya AED jika
memungkinkan
6 Ikuti instruksi dispatcher Kirim orang kedua Ketika penolong
untuk mengambil kedua tiba, lakukan
AED jika tersedia CPR 2 orang dan

18
gunakan AED

2.3 Bantuan Hidup Lanjutan

Gambar 2.4.1. Formasi tim yang disarankan15


Bantuan hidup lanjutan dengan tatalaksana jalan nafas, obat-obatan dan
memperbaiki faktor penyebab mungkin dibutuhkan jika resusitasi awal berhasil
dilakukan. Kualitas tatalaksana selama fase post resusitasi mempengaruhi hasil
akhir.16
1. Kontrol Jalan Nafas dan Ventilasi
Pasien diletakkan pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan
papan kalau pasien di atas kasur apabila pasien tidak sadar. Jika tonus otot pasien

19
hilang, lidah akan menyumbat faring dan epiglotis akan menyumbat laring. Periksa
apakah ada sumbatan di jalan napas. Bila terdapat sumbatan di jalan napas berupa
benda asing dapat dilakukan finger sweep, back blow, heimlich maneuver atau chest
thrust. Jika tidak terdapat benda asing, pembebasan jalan napas dapat dilakukan
dengan cara : 9,15
• Head tilt: leher diekstensikan sejauh mungkin dengan menggunakan
satu tangan.
• Chin lift: dagu bagian sentral ditarik ke depan dengan menggunakan
tangan yang lain.
• Jaw thrust: jari indeks dan lainnya ditempatkan pada kedua sisi antara
sudut rahang dan telinga serta rahang ditarik ke depan.
Ketika pasien tidak memberikan respon/tidak sadar, lidah dapat menyumbat
jalan nafas. Head tilt – chin lift dapat memperbaiki sumbatan pada pasien yang tidak
sadar. Jika dicurigai ada cedera servikal, penolong dapat menggunakan metode jaw
thrust tanpa ekstensi kepala. 15

Gambar 2.3.1. Anatomi Jalan Nafas15

20
Pada pasien yang dapat benapas dengan spontan penolong wajib
memposisikan jalan nafas yang benar. Pada pasien yang tidak sadar dengan
tanpa batuk atau gag reflex, masukkan OPA (oropharyngeal airway) atau
NPA (nasopharyngeal airway). Jika menemukan pasien tidak sadar atau tidak
respon karena tersedak, dan kemudian mengalami henti nafas , buka
mulutnya lebar untuk melihat benda asing. Benda asing dapat diambil dengan
jari. Jika tidak terdapat benda asing maka mukailah melakukan CPR. 15

Alat-alat saluran nafas lanjutan terdiri dari :

a. Oropharyngeal airway (OPA)


Oropharyngeal airway digunakan pada pasien yang beresiko mengalami
obstruksi jalan nafas akibat relaksasi lidah atau otot-otot jalan nafas
bagian atas. OPA dapat digunakan agar jalan nafas tetap terbuka selama
diberikan ventilasi menggunakan bag mask. OPA juga dapat digunakan
pada saat proses penyedotan cairan dari mulut atau tenggorokan dan pada
pasien yang terintubasi agar tidak tergigit dan menutup jalan
endotracheal tube. 15,16

Gambar 2.3.2 Oropharyngeal airway. A. alat-alat oropharyngeal airway. B. cara penentuan


ukuran alat OPA. C. alat OPA yang sudah terpasang15

b. Nasopharyngeal airway (NPA)


NPA merupakan alternatif OPA untuk pasien yang memerlukan alat
saluran nafas lanjutan. NPA terbuat dari karet atau plastic lunak. 15

21
Gambar 2.3.3 Nasopharyngeal airway. A. Alat nasopharyngeal airway. 15

B. Pengukuran alat NPA. C. NPA terpasang

Pemilihan alat saluran nafas lanjutan tergantung dari pelatihan, cakupan


praktek, dan alat yang tersedia. Alat saluran nafas lanjutan tersebut termasuk ;
Laryngeal mask airway, Laryngeal tube, Esophageal-tracheal tube dan Endotracheal
tube. Sebagian kecil pasien tidak bisa diventilasi dengan laryngeal mask air way
sehingga petugas yang menggunakan alat ini harus memiliki sebuah strategi
manajemen saluran nafas alternatif. Bag mask dapat menjadi sebagai alternative saat
dibutuhkan.9,15

Penyedotan cairan merupakan komponen penting dalam menjaga jalan nafas


pasien. Petugas harus segera menyedot jika terdapat sekret, darah atau muntah. Alat
penyedotan ada yang portable dan ada yang terpasang di dinding. Alat suction yang
portable mudah untuk dipindahkan tapi mungkin tidak menghasilkan kekuatan
penyedotan yang akurat. Gaya hisap yang sesuai pada umunya 80 sampai 120
mmHg. Suction yang terpasang di dinding diharapkan mampu menyediakan aliran
udara lebih dari 40 L/menit pada ujung tabung pengiriman dan pada vakum lebih dari
-300mmHg ketika tabung dijepit saat isapan penuh. 15

2. Memantau parameter fisiologi selama CPR


Intubasi harus secara cepat dilakukan dengan interupsi kompresi dada dan
seminimal mungkin dan tanpa menunda defibrillasi, akan mengoptimalkan
oksigenasi dan pengeluaran CO2 selama resusitasi. Bila ada alatnya dikonfirmasi

22
dengan kapnografi.15,21,22

Gambar 2.3.4 Monitor fisiologi selama CPR. A. Kompresi berkualitas tinggi terlihat melalui

23
pola gelombang capnography dan tekanan relaksasi intra arterial. B. kompresi yang tidak
efektif terlihat melalui pola gelombang capnography dan tekanan relaksasi intra arterial15

Gambar 2.3.5 Pola gelombang capnography selama CPR dengan ROSC 15

3. Defibrilasi
Defibrilasi dini pada CPR dapat meningkatkan harapan hidup pasien. Ventricle
Tachycardia (VT) dan Ventricle Fibrillation (VF) bila berlangsung lama akan
mengakibatkan aktifitas jantung menurun dan sulit untuk dikonversi ke ritme yang
normal. Beberapa jenis terapi energi defibrilasi yang dapat dilakukan sesuai indikasi
disrtimia yang terjadi pada pasien, yaitu : 9,15
 Biphasic waveform defibrillations. Energi optimal untuk mengakhiri VF yang
dipakai bergantung pada spesifikasi alat antara 120 – 200 Joule, bila tidak ada
pakai yang 200 Joule. Bilamana VF berhasil diatasi tetapi timbul VF ulang, shock
selanjutnya digunakan energi yang sama.
 Monophasic waveform defibrillators, masih digunakan di banyak institusi,
memberikan energi secara unidirectional dengan energi awal 360J.

4. Obat-obatan antiarhitmia pada henti jantung


Akses intravena merupakan keharusan untuk resusitasi agar berhasil. Tempat
terbaik adalah vena perifer. Jika tidak bisa mendapatkan akses intravena(IV) maka
bisa diberikan intraosseus(IO). Pemberian obat melalui intra vena atau intraosseus
adalah lebih baik dibandingkan pemberian obat melaui endotracheal tube (ET). 15
a. Terapi antiarhitmia untuk Refractory VF/pVT Arrest

24
• Amiodarone obat yang paling bermanfaat dalam ACLS. Memiliki sifat sifat
antiaritmia, memperpanjang aksi potensial, blokade kanal natrium dan
kronotropik negatif. Obat ini sangat efektif dan tidak memiliki efek
prodisritmik, sehingga disukai sebagai antidisritmia pada gangguan fungsi
kardiak yang berat. Dosis untuk VF dan VT yang tidak stabil, 300mg
diencerkan dalam 20 – 30 ml NaCl 0.9% atau Dextrose 5% secara cepat.
Untuk pasien dengan kondisi lebih stabil dosis 150mg diberikan dalam
waktu 10 menit, dilanjutkan dengan infus 1mg/menit selama 6 jam kemudian
0,5mg/menit. Dosis maksimal adalah 2g sehari. Efek samping yang timbul
segera adalah bradikardia dan hipotensi. Pada anak dosis loading 5mg/kg,
dosis maksimum 15mg/kg/hari. Indikasi penggunaan amiodarone adalah: (1)
VT tidak stabil (2) VF setelah gagal dilakukan defibrilasi elektrik dan terapi
adrenalin (3) Mengendalikan laju jantung selama VT yang monomorphic
dan VT polymorphik (4) Mengendalikan laju ventrikel pada aritmia atrium
yang tidak berhasil dengan terapi digitalis atau pada takikardia sekunder oleh
jalur lain, (5) Bagian dari kardioversi elektrik PSVT yang refrakter atau
takikardia atrial. 9,15
• Lidocaine dapat bermanfaat mengendalikan (bukan profilaksis) ektopik
ventrikel selama infark miokard akut. Dosis initial cardiac arrest adalah 1.0 –
1.5 mg/kg, dan ini dapat diulang 0.5 – 0.75mg/kg bolus setiap 3 – 5 menit
sampai dosis total 3mg/kg. Infus kontinyu lidocaine 2 sampai 4 mg/menit
diberikan setelah resusitasi berhasil. Dosis lidocaine harus diturunkan pada
pasien dengan cardiac output menurun, fungsi hepar terganggu, atau umur
lanjut. (1mg/kg; infus, 20 -50mikro/kg/menit). Lidocaine mungkin dapat
digunakan sebagai alternatif amiodaron pada VF/pVT yang tidak respon
terhadap CPR, defibrilasi, dan terapi vasopressor.9,15
• Procainamide hanya tersedia dalam formulasi parenteral di Amerika Serikat.
Pada pasien yang sadar, procainamide dapat diberikan dengan infus yang

25
terkontrol (20mg/menit) karena efek hipotensinya dan resiko prolong QT ,
membuat susah digunakan saat henti jantung.9,15
• Magnesium berperan sebagai vasodilator dan merupakan kofaktor dalam
regulasi sodium, potassium, dan kalsium melewati membran sel. Pada 3
penelitian, magnesium tidak meningkatkan rasio ROSC pada henti jantung.
9,15

Tidak ada obat antiarhitmia yang memperlihatkan peningkatan survival atau


perbaikan neurologis setelah henti jantung yang dikarenakan VF/pVT. Rekomendasi
penggunaan obat antiarhitmia pada henti jantung berdasarkan keuntungan potensial
terhadap hasil jangka pendek sampai terdapat penelitian yang menunjukkan efek
obat-obatan tersebut terhadap survival dan perbaikan neurologis.9,15
b. Terapi antiarhitmia setelah resusitasi
• Obat β-Adrenergik Blocker
Obat β-Adrenergik Blocker menurunkan peningkatan aktifitas katekolamin
yang dapat menimbulkan arhitmia jantung. Obat ini juga mengurangi cedera
iskemik dan mungkin memiliki efek stabilisasi membran. Pada sebuah
penelitian penggunaan metoprolol atau bisoprolol secara oral atau intravena
selama perawatan di rumah sakit setelah henti jantung karena VF/pVT ,
meningkatkan angka survival dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan
109cpr part
terapi tersebut pada 72 jam setelah ROSC dan 6 bulan selanjutnya.
7
Selanjutnya, β-bloker dapat menyebabkan atau memperburuk
hemodinamik, gagal jantung dan menyebabkan bradiaritmia. Tidak ada
bukti yang adekuat untuk mendukung penggunaan β-blocker secara rutin
setelah henti jantung.9,15
• Lidokain
Lidokain dapat bermanfaat mengendalikan (bukan profilaksis) ektopik
ventrikel selama infark miokard akut. Dosis initial cardiac arrest adalah 1.0
– 1.5 mg/kg, dan ini dapat diulang 0.5 – 0.75mg/kg bolus setiap 3 – 5 menit
sampai dosis total 3mg/kg. Infus kontinyu lidocaine 2 sampai 4 mg/menit

26
diberikan setelah resusitasi berhasil. Dosis lidocaine harus diturunkan pada
pasien dengan cardiac output menurun, fungsi hepar terganggu, atau umur
lanjut (1mg/kg; infus, 20 -50mikro/kg/menit). Tidak ada bukti yang adekuat
yang mendukung penggunaan rutin lidokain setelah henti jantung.
Pemberian lidokain dosis awal atau lanjutan mungkin disetujui segera
setelah ROSC dari henti jantung yang disebabkan VF/pVT .
c. Vasopressor
• Epinephrine masih merupakan terapi farmakologik utama pada cardiac
arrest , meskipun sedikit bukti akan memperbaiki survival pasien. Efek
vasokonstriksi alpha-adrenergik pembuluh non-cerebral dan non-coroner
menimbulkan kompensasi shunting darah ke otak dan jantung. Pemberian
dosis tinggi tidak dianjurkan karena dapat ikut menimbulkan disfungsi
miokard. Pembrian dosis tinggi diindikasikan pada overdosis beta-blockers
atau Ca-channel blockers. Dosis yang dianjurkan adalah 1.0 mg IV, diulangi
tiap 3-5 menit, atau dengan pemberian infus 1-4mikro/menit.
• Vasopressin
Pada guideline 2010, penggunaan vasopressor 40 mg secara IV/IO dapat
menggantikan dosis epinephrine yang pertama maupun kedua. Pada
Guideline 2015 disebutkan penggunaan epinephrine dan vasopressin secara
bersamaan tidak meningkatkan angka ROSC pada pasien henti jantung.
Untuk memberikan kemudahan vasopressin telah dihapus dari algoritma
tatalaksana henti jantung pada orang dewasa. 9,15
d. Steroid
Steroid dapat memberikan beberapa manfaat jika diberikan bersamaan
vasopressin atau epinephrine dalam menangani kasus henti jantung yang terjadi di
rumah sakit. Bagaimanapun penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk
penggunaan rutin sebagai strategi terapi. Untuk pasien yang mengalami serangan
henti jantung di luar rumah sakit, penggunaan steroid sudah ditentukan tidak
bermanfaat. 9,15

27
Gambar 2.3.6 Algoritma Henti Jantung 2015 14

28

Anda mungkin juga menyukai