Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Nyeri neuropatik pascastroke (NNPS) atau nyeri sentral pasca stroke adalah
nyeri yang timbul pascastroke bersamaan dengan gangguan sensibilitas lainnya akibat
lesi pada system somatosensorik pusat khususnya pada otak.Lokasi lesi NNPS
umumnya pada talamus, akan tetapi beberapa area lainnya seperti bagian dorsolateral
dari medula, kapsular talamus dan lobus parietal juga dapat menimbulkan NNPS, hal
ini dapat dimengerti karena area-area tersebut terkait dengan sistem
somatosensorik.1,3
Nyeri sentral pasca stroke (NSPS), juga dikenal sebagai nyeri talamik dan
sindrom Déjerine-Roussy, merupakan nyeri neuropatik sentral yang terjadi pada
pasien yang terkena stroke. Ini adalah salah satu manifestasi dari nyeri sentral, yang
secara luas didefinisikan sebagai nyeri neuropatik sentral yang disebabkan oleh lesi
atau disfungsi dalam sistem saraf pusat. Nyeri sentral pasca stroke ditandai dengan
adanya rasa nyeri yang konstan atau intermiten. Hal ini berkaitan dengan adanya
kelainan sensorik, terutama sensasi termal, pada bagian tubuh yang sakit. Rasa sakit
tersebut dapat digambarkan seperti rasa terbakar, panas atau terasa membeku, gejala
lain biasanya lemah tubuh yang sulit untuk dijelaskan, sehingga sangat sulit untuk
membuat diagnosis. Pasien juga mengalami disestesia spontan dan gangguan sensorik
bangkitan stimulus dari disestesia, alodinia dan hiperalgesia.3
Nyeri sentral pasca stroke dapat muncul segera setelah stroke tetapi biasanya
tidak muncul sampai beberapa minggu, bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian.
Menurut sebuah studi, sekitar dua pertiga dari pasien yang mengalami nyeri sentral
pasca stroke pertama kali mengalami rasa sakit dalam waktu satu bulan, sementara
sisanya mengatakan mereka tidak mengalami rasa sakit hingga enam bulan sampai
satu tahun setelah mereka terkena stroke. Dalam beberapa kasus, gejala nyeri sentral
pasca stroke baru muncul hingga 18 bulan.5

3
2.2 Insidensi

Prevalensi NNPS bervariasi antara 1%-12%. Dari total penderita stroke,


diperkirakan penderita NNPS 8% lebih. Sebuah studi populasi yang dilaksanakan di
Denmark dengan menggunakan kuesioner. Berdasarkan pemeriksaan klinis dari 608
pasien stroke dijumpai 51 pasien yang kemungkinan NNPS.1,4

Dari total sekitar 700.000 kasus baru stroke dan stroke berulang per tahun di
Amerika Serikat, 56.000 diantaranya merupakan kasus NNPS. Sebuah studi populasi
di Rumini, Italia, yang dipublikasikan pada tahun 2013, menyatakan dari 601 pasien
stroke, 66 diantaranya NNPS. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa insidensi NNPS 11% dari total stroke. Umumnya 58% NNPS
muncul segera pascastroke, 20% NNPS muncul dalam 1 bulan pascastroke.1,6

Prevalensi nyeri sentral pasca stroke dilaporkan bervariasi antara 1% hingga


12%. Pada sebuah penelitian population based dari Denmark, berdasarkan kuesioner
dari 608 pasien stroke dan pemeriksaan klinis dari 51 pasien dengan kemungkinan
nyeri sentral pasca stroke, minimum prevalensi yang pasti atau kemungkinan
menderita nyeri sentral pasca stroke adalah 7,3% (N = 35) dan 8,6% (N = 41) jika
nyeri sentral pasca stroke seperti dysesthesia termasuk didalamnya, dengan waktu
follow up rata-rata 4,4 tahun.1
Dalam studi prospektif di Aarhus University Hospital, Denmark menemukan
dalam pengamatan 6 bulan, sebanyak 45,8% pasien mengalami serangan nyeri baru.
Dimana 13% diantaranya adalah nyeri kepala, 16,4% nyeri bahu, 11,7% nyeri sendi
lainya dan 20% tergolong dalam nyeri lainya serta terdapat 8% nyeri yang distimulasi
suhu dan sentuhan. Dan 10,5% pasien digolongkan dalam possible nyeri sentral pasca
stroke. Sebuah studi Finlandia menyatakan, nyeri sentral pasca stroke pada pasien
muda dengan stroke iskemik,dalam waktu pengamatan rata-rata 8,5 tahun, 49 dari
824 (5,9 %) pasien memiliki nyeri sentral pasca stroke. Sedangkan sisa 775 pasien,
246 memiliki kelainan sensorik dan 529 tidak memiliki abnormalities sensorik atau

4
nyeri sentral pasca stroke. Para peneliti menemukan bahwa pasien dengan nyeri
sentral pasca stroke memiliki kualitas hidup yang rendah dibandingkan dengan
pasien tanpa nyeri sentral pasca stroke, baik dengan dan tanpa kelainan sensorik.
Sedangkan dari 40 pasien dengan nyeri sentral pasca stroke (82%) memiliki keluhan
nyeri lainnya. Nyeri sentral pasca stroke sering dikaitkan dengan keparahan stroke,
tapi tidak dengan usia saat onset stroke, seks, atau subtipe stroke berdasarkan
etiologi stroke.1
Dalam sebuah studi berbasis populasi dari Rimini, Italia, diterbitkan pada
2013, nyeri sentral pasca stroke didiagnosis pada 66 dari 601 pasien atau sekitar
11%. Nyeri sentral pasca stroke memiliki angka kejadian yang sama pada pria dan
wanita. Pada sebagian besar pasien, nyeri segera muncul pada 58% pasien atau dalam
bulan pertama setelah stroke sebesar 20%.1
Dalam studi Anderson et al juga menyebutkan tidak ada perbedaan signifikan
dalam hal usia, jenis kelamin, riwayat stroke atau hasil pemeriksaan fisik antara 16
pasien nyeri sentral pasca stroke dan 71 pasien dengan defisit somatosensori tapi
tanpa rasa sakit. Anderson et al tidak menemukan perbedaan dalam usia antara pasien
yang berkembang menjadi nyeri sentral pasca stroke (n = 87) dibandingkan dengan
mereka yang tidak (n = 120). Selanjutnya, di antara subyek dengan defisit
somatosensori, tidak ada perbedaan usia antara 16 pasien yang berkembang menjadi
nyeri dan sisanya yang tidak nyeri.3
Dalam sebuah studi berikutnya, Bowsher menemukan perbedaan yang
signifikan pada usia awitan stroke antara 130 pasien nyeri sentral pasca stroke (usia
rata-rata 57 tahun) dan populasi seluruh stroke (median usia 75 tahun). Metode
perekrutan untuk studi ini mungkin telah dikenakan bias seleksi, karena subyek yang
digunakan pada studi ini merupakan pasien rujukan sehingga mereka mungkin tidak
mewakili populasi nyeri sentral pasca stroke.3

5
2.3 Patofisiologi
Patofisiologi dari NNPS belum diketahui sepenuhnya dan masih
membingungkan. Pasien stroke dengan yang sama lokasi lesi dan gambaran klinis
tidak semua mengalami NNPS. Sejauh ini yang sudah jelas adalah adanya lesi pada
jaras spinotalamikus merupakan penyebab timbulnya NNPS. Dari penelitian tentang
lokasi lesi di talamus pada stroke dengan atau tanpa nyeri menunjukkan bahwa lokasi
lesi pada ventral posterior nukleus/pulvinar border zone dari talamus
mengindikasikan odds ratio yang tinggi untuk timbulnya NNPS. 7,8,9
Nyeri neuropatik pascastroke dapat timbul pada kedua jenis stroke (iskemik
dan hemoragik) apabila lesi tersebut mengenai sistem somatosensorik pada otak.
Lokasi lesi NNPS lebih sering dijumpai pada talamus, regio insular opercular,dan
batang otak. Akibat terkena area tersebut maka akan menyebabkan gejala NNPS tidak
hanya terdiri dari nyeri saja akan tetapi bersamaan dengan gangguan sensorik lainnya
seperti rasa tebal, kesemutan. Bila kita menjumpai pasien stroke dengan gangguan
sensorik berupa evoked distosia dan evoked nyeri maka pasien tersebut berisiko tinggi
munculnya NNPS.3,6,10
Adanya kerusakan saraf pada serabut somatosensorik di otak akan
menimbulkan aktivitas abnormal pada daerah lesi tersebut berupa ‘ectopic dicharge’.
‘Ectopic dicharge’ ini semakin lama semakin terakumulasi yang pada akhirnya
terbentuk generator ektopik. Generator ektopik adalah suatu tempat dibentuknya
impuls elektrik pada sistim saraf pusat yang mengalami kerusakan, keadaan ini dapat
menyebabkan terjadinya nyeri secara terus-menerus, sehingga timbul sensitisasi
sentral dan perifer, yang pada akhirnya timbul keluhan nyeri neuropatik. Pada
keadaan jaringan saraf yang sehat, tidak dijumpai generator ektopik.11
Adapun beberapa teori yang menunjukkan terjadinya nyeri sentral pasca
stroke:
a. Sensitisasi Sentral
Adanya lesi pada sistem saraf pusat yang menghasilkan baik perubahan
anatomi, neurokimia, eksitotoksik, dan inflamasi, dapat memicu peningkatan

6
rangsangan saraf. Dikombinasikan dengan hilangnya inhibisi dan
meningkatnya fasilitasi, peningkatan rangsangan ini dapat mempengaruhi
sensitisasi sentral (central sensitization), yang dapat menyebabkan nyeri
kronis. Mekanisme ini didukung oleh fakta bahwa banyak dari obat
farmakologi yang tersedia untuk pengobatan nyeri sentral bertindak sebagian
dengan mengurangi hipereksitabilitas neuronal. Nyeri spontan pada nyeri
sentral pasca stroke mungkin terkait dengan hipereksitabilitas atau
spontaneous discharge dari neuron di talamus atau korteks.12
b. Perubahan dalam Fungsi Traktus Spinotalamikus
Gangguan nyeri dan sensasi suhu merupakan keluhan yang terjadi secara
umum pada pasien dengan nyeri sentral pasca stroke, dan lesi pada traktus
spinotalamikus mungkin penyebab dari munculnya sindrom ini. Defisit dalam
fungsi jaras spinotalamikus dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan laser-
evoked potential (LEP). Namun biasanya gangguan tersebut juga terjadi pada
lesi sistem saraf pusat tanpa keluhan nyeri. Adanya hipersensitivitas dengan
rangsang nyeri dan rangsangan termal (dingin) lebih umum terjadi pada
pasien stroke dengan nyeri sentral dibandingkan dengan yang tanpa nyeri
sentral. Hal menunjukkan bahwa hipereksitabilitasidan aktivitas yang sedang
berlangsung di traktus spinotalamikus mungkin merupakan mekanisme yang
mendasari pada kejadian ini.13
c. Teori Disinhibisi
Input ke sistem saraf pusat terus dikontrol dengan keseimbangan antara sistem
fasilitasi dan inhibisi, termasuk interaksi antara nukleus batang otak (medula
ventromedial rostral & periaqueductal gricea), sumsum tulang belakang dan
sirkuit talamokortikal supraspinal. Ketidakseimbangan mekanisme diatas
diduga menjadi mekanisme yang mendasari nyeri sentral, termasuk yang
menunjukkan bahwa nyeri sentral adalah hasil dari lesi dari sistem lateral,
menyebabkan disinhibisi dari sistem medial.12.

7
Head dan Holmes pada tahun 1911 menyarankan bahwa nyeri sentral
disebabkan oleh lesi di talamus lateralis yang mengganggu jalur inhibisi,
menyebabkan disinhibisi dari talamus medial. Sebuah modifikasi dari
hipotesis ini diusulkan dalam teori disinhibisi thermosensory, yang
menyatakan bahwa nyeri sentral pasca stroke adalah hasi dari hilangnya
inhibisi normal nyeri dari dingin akibat adanya lesi. Ini menghasilkan
ketidakseimbangan antara traktus spinotalamikus lateralis yang menghasilkan
sensasi dingin dan traktus spinotalamikus medial yang menghasilkan sensasi
nyeri. Lesi dari lateral traktus spinotalamikus, juga telah diduga menyebabkan
disinhibisi dari Spinoretikulotalamikus yang terletak di medial atau jalur
paleospinotalamic.14
Perubahan dalam aliran darah otak regional yang dapat divisualisasikan
dengan menggunakan MRI fungsional, PET (Positron Emmision
Tomography), atau SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography).
Perubahan tersebut telah ditunjukkan selama nyeri timbul pada pasien dengan
infark medulla lateralis dan nyeri sentral pasca stroke. Peningkatan aliran
darah otak regional di talamus, area somatosensori, parietal inferior, insula
anterior, dan medialkorteks prefrontal yang ditemukan selama stimulasi
daerah alodinia. Pada individu sehat, ada peningkatan aktivitas dalam korteks
cingulate anterior yang dihubungkan dengan rangsangan bahaya, tetapi respon
ini tidak terlihat selama alodinia. Studi ini menunjukkan bahwa perubahan
dari jalur somatosensori dan nyeri terjadi setelah stroke mungkin terjadi pada
sistem diskriminatif nyeri lateral. 14,15.
d. Perubahan Talamus
Talamus diduga memainkan peranan penting dalam mekanisme yang
mendasari nyeri sentral, dimana nyeri sentral pasca stroke umum terjadi
setelah adanya lesi pada talamus. Dalam satu studi, sebanyak 9 dari 11 pasien
dengan lesi talamus dan murni stroke sensorik memiliki infark kecil di
talamus, yang semua terbatas pada inti posterolateral. 6 dari pasien ini tidak

8
memiliki gangguan sensorik, dan 3 pasien mengeluhkan disaestesia. Dalam
serangkaian pasien dengan infark talamus, hanya lesi terletak di bagian ventral
posterior talamus yang menyebabkan terjadinya nyeri sentral pasca stroke.13,15
Talamus juga diduga terlibat dalam nyeri sentral di pasien yang lesinya tidak
langsung melibatkan talamus. Data dari studi PET menunjukkan penurunan
aliran darah otak regional di talamus pada pasien dengan nyeri sentral pasca
stroke yang memiliki rasa sakit spontan pada saat istirahat.14,15
Hipoaktivitas ini hanya mungkin menunjukan adanya kehilangan sensori, tapi
mungkin juga terkait dengan patofisiologi nyeri neuropatik. Hiperaktif
talamus telah ditemukan selama alodinia dengan menggunakan SPECT dan
PET. Peningkatan aktifitas ini telah ditemukan nukleus ventralis di kaudal
talamus pada pasien dengan nyeri sentral yang dilihat oleh penggunaan
mikroelektrode selama operasi otak. Studi nyeri sentral terbaru pada hewan
dalam primata dan hewan pengerat menunjukkan bahwa peningkatan
rangsangan nukleus adalah hasil plastisitas homeostatik maladaptif karena
hilangnya input ascending yang normal melalui saluran spinotalamikus.
Meskipun pola kerusakan yang terjadi tidak spesifik untuk pasien dengan
nyeri kronis, aktivitas yang terjadi pada pasien dengan nyeri sentral
tampaknya berbeda dalam lokasi dan karakteristik dibandingkan dengan
pasien yang bebas rasa sakit dengan kehilangan sensoris yang serupa.
Stimulasi listrik oleh microelectrodes pada daerah-daerah tertentu di kedua
lateral dan talamus medial dapat menimbulkan rasa sakit. Adanya peningkatan
kejadiann stimulus nyeri di daerah ventro-kaudal dan posteroinferior talamus,
dan mikrostimulasi lebih cenderung menyebabkan sensasi terbakar pada
pasien dengan nyeri sentral pasca stroke dibandingkan dengan pasien dengan
nyeri kronis lainnya. Oleh karena itu, talamus mungkin memiliki peran
substansial dalam beberapa pasien dengan nyeri sentral, baik sebagai
generator nyeri atau dengan pengolahan abnormal input ascending.
Deafferentation, hilangnya penghambatan neuron yang mengandung GABA

9
di talamus, dan aktivasi mikroglial juga telah diduga mendasari perubahan
talamus14,15
e. Perubahan Lain
Teori reverberation dinamis menunjukkan bahwa nyeri sentral timbul sebagai
akibat dari kekacauan dari pola osilasi di dalam corticothalamocortical
sensorik reverberatory loop yang berjalan antara talamus dan korteks. 13,15

2.4 Gambaran Klinis


Nyeri pada nyeri sentral pasca stroke munculnya bervariasi, mulai dalam
beberapa hari (53%) hingga beberapa minggu atau 1-3 bulan (20%) setelah serangan
stroke. Onset nyeri tidak jelas kapan mulainya. Nyeri tidak muncul secara tersendiri
akan tetapi bersama-sama dengan gangguan sensorik lainnya terutama sensasi suhu
pada sisi paresis anggota gerak, disamping defisit neurologis yang telah ada sejak
awal serangan stroke. Nyeri timbul dapat secara terus menerus ataupun periodik,
spontan ataupun `evoked` atau campuran keduanya. Keluhan nyeri dapat seperti rasa
terbakar, tertusuk, tercabit, tertembak, tertekan, berdenyut, tajam, rasa seperti
tersiram air, rasa beku. Selain itu juga ditemukan keluhan yang tidak jelas/samar
sehingga mempersulit diagnosis. Hal ini akan memperlama terdiagnosisnya NNPS,
bahkan dapat menyebabkan misdiagnosis yang pada akhirnya terlambat mendapatkan
penanganan yang tepat.Tingkat nyeri berkisar antara sedang sampai berat. Nyeri
umumnya kronik, terkadang ‘long life’ dan konstan, Beberapa pasien ada yang
mengalami disestesia spontan, allodynia dan hiperalgesia. Gejala stroke lainnya
seperti gangguan kognitif, gangguan bicara dan gangguan fungsional lainnya seperti
depresi, gelisah dan gangguan tidur juga dapat dijumpai.1,3,16
Pasien dengan nyeri sentral pasca stroke juga serng mengalami gangguan
autonomic pada area yang nyeri. Dimana pada area tersebut dapat dirasakan dingin
dan gangguan berkeringat.1

10
Gambar dibawah ini memperlihatkan lokasi nyeri, gangguan sensibilitas dan
trigger point nyeri miofasial pada 40 pasien pascastroke.

Gambar 1. Gambar 40 pasien dengan NNPS, titik-titik merah : area nyeri, kuning: area gangguan
sensibilitas (gangguan termal), tanda + : trigger point nyeri miofasial3

11
2.5 Diagnosis
Dalam menentukan nyeri pascastroke, sangat penting untuk dapat
membedakan apakah nyeri yang dialami itu adalah nyeri nosiseptif atau nyeri
neuropatik sentral atau campuran keduanya. Penentuan jenis nyeri ini sangat
menentukan dalam pengobatan nyeri pascastroke. Tidak ada gambaran yang khusus,
baik secara anamnesis maupun pemeriksaan fisik untuk menentukan secara pasti
apakah nyeri tersebut nyeri muskuloskeletal (nosiseptif ) atau neuropatik, sehingga
kadangkala menyulitkan dalam mendiagnosis.1 Pada tahun 2009 dipublikasikan
kriteria diagnostik NNPS berdasarkan sistem ‘grading’ (tabel 1)
Tabel 1. Kriteria diagnostik nyeri neuropatik Pascastroke1
Evaluasi kriteria NNPS Data
1. Penyebab nyeri lainnya Tidak dijumpai penyebab nyeri lainnya.
Nyeri tidak berhubungan dengan gerak sendi,
inflamasi, gangguan jaringan sekitar lainnya.
Nyeri dirasa seperti terbakar, kesetrum, nyeri
dipicu rasa dingin.

2. Anamnesis : adakah dijumpai keluhan Keluhan nyeri berlokasi di sisi unilateral atau
nyeri yang distribusinya sesuai dengan kontra lateral dari sisi gangguan serebrovaskular
pola yang seharusnya

3. Adakah riwayat stroke Dijumpai deficit neurologi yang timbul secara


tiba-tiba dan disertai timbulnya nyeri setelah
serangan stroke

4. Pemeriksaan fisik : apakah dijumpai Dijumpai gangguan sensorik positive maupun


pola gangguan sensoris sesuai dengan gangguan sensorik negative sesuai pola anatomi
pola yang seharusnya menurut lokasu akibat adanya lesi vaskular
kesi vascular di otak

12
5. Imaging : adakah lokasi lesi vascular Tampak lesi sesuai keluhan nyeri dan gangguan
sesuai keluhan nyeri dan gangguan sensorik baik pada CT maupun MRI
sensoriknya
‘Possible’ NNPS: memenuhi kriteria 1+2+3. ‘Probable, NNPS: memenuhi kriteria 1+2+3 dan
+ salah satu kriteria 4 atau 5. ‘Definive’ NNPS: memenuhi kriteria 1-5
Modalitas lain yang dapat digunakan dalam mendeteksi nyeri pusat pasca
stroke diantaranya kuisioner nyeri, termasuk skala nyeri neuropati seperti DN4
(Douleur Neurophatique en 4 Quentions) dan The Leeds Assessment of Neurophatic
Symptoms and Signs (LANSS) Scale. Kadang penting untuk melakukan pemeriksaan
lebih lanjut seperti Quantitative Sensory Test (QST), imaging tambahan, ataupun
pemeriksaan neurofisiologi untuk menyingkirkan penyebab lain nyeri.1

2.5 Pemeriksaan Penunjang pada Nyeri Neuropatik Pascastroke


Secara umum tidak dibutuhkan pemeriksaan untuk NNPS dengan gangguan
sensorik. Pemeriksaan imaging hanya untuk membuktikan bahwa ada lesi yang
lokasinya sesuai dengan keluhan nyeri dan gangguan sensorik lainnya, yaitu pada
jaras somatosensorik, meliputi talamus dan proyeksi talamokortikal, khususnya pada
regio insular opercular. Pemeriksaan PET menunjukkan adanya perubahan aliran
pada talamus baik pada saat istirahat maupun saat ‘evoked pain’. Pada pemeriksaan
neurofisiologi dengan menggunakan mikroelektroda dijumpai spontaneus abnormal
dan ‘evoked activity’ di talamus. Pada pemeriksaan MRI dengan metode ‘diffusion
sensor tractografy’ tampak ada perubahan pada traktus spinotalamikus.17,18

2.6 Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik Pascastroke


Penanganan NNPS sama seperti penanganan nyeri neuropatik jenis lainnya.
Kendala yang biasanya muncul adalah 1) obat-obat antinyeri neuropatik yang
digunakan terbatas kemampuan antinyerinya, 2) dosis obat yang digunakan terbatas
karena ada efek samping. Kedua hal ini sampai saat ini masih sangat luas kesempatan
pengembangan obat untuk penanganan NNPS dan nyeri neuropatik lainnya.19

13
Jenis obat-obatan yang digunakan antara lain yaitu golongan trisiklik
antidepressan, golongan antikonvulsan, opioid, cannabinoid, dan lainnya.
Berdasarkan ‘guidelines’ yang diterbitkan oleh European Federation of Neurological
Societies (EFNS) merekomendasikan pregabalin (level A), amitriptilin (level B) atau
gabapentin sebagai obat pilihan pertama untuk nyeri neuropatik sentral. Tramadol
(level B) sebagai obat pilihan kedua, dan opioid kuat sebagai obat pilihan ketiga.19
Pregabalin sudah diakui sebagai obat antinyeri neuropatik sentral di Amerika
dan Eropa. Penelitian yang dilakukan di Jepang oleh Onouchi, Koga, Yokoyama,
Yoshikawa, 2014, menunjukkan bahwa pregabalin dapat menurunkan nilai visual
analog scale (VAS) pada nyeri neuropatik sentral dan VAS yang paling menurun
adalah NNPS (Gambar 2).20

Gambar 2. Nilai VAS pada pasien nyeri neuropatik sentral setelah pemberian pregabalin
selama 53 minggu, tampak nilai VAS paling menurun pada NNPS. 20
Pregabalin adalah ligan alfa-2-delta serupa dengan gamma aminobutyric acid
(GABA) tetapi tidak bekerja pada reseptor GABA. Ia terikat lebih kuat dengan
subunit alfa-2-delta dari pintu voltase kanal kalsium di presinap. Akibatnya, aliran
kalsium melalui kanal berkurang sehingga menghambat pelepasan neurotransmiter,
termasuk glutamat, norepinefrin, dan substansi P.4 Percobaan pada hewan

14
menunjukan penurunan level neurotransmiter eksitatorik sebagai mekanisme kerja
pregabalin, menghasilkan manfaat analgesik, antikonvulan, dan antiansietas.20,21,22
Efek samping pregabalin yang sering ditemukan antara lain pusing,
mengantuk, penambahan berat badan, dan edema perifer. Sedangkan efek samping
yang jarang ditemukan antara lain agioedema, reaksi hipersensitivitas, peningkatan
ringan kreatin kinase, penurunan jumlah trombosit, perpanjangan interval PR pada
electrocardiography (EKG). Pada penghentian terapi dapat di temukan keluhan
insomnia, mual, sakit kepala, atau diare yang menandakan adanya gejala
ketergantungan. Pada 4% pasien dilaporkan efek samping euforia.23,24
Dosis awal pregabalin yang direkomendasikan adalah 150 mg/hari dalam 2
atau 3 dosis terbagi. Secara bertahap, dosis ditingkatkan menjadi 300 mg/hari selama
1 minggu berdasarkan batas toleransi dan efikasinya. Dosis dapat ditingkatkan
sampai maksimal 450 mg/hari. Peningkatan dosis sampai 600 mg/hari tidak
ditemukan manfaat tambahan yang berarti, tetapi memiliki efek samping yang lebih
besar. Selama pengobatan, harus dihindari obat-obatan lain untuk nyeri atau
insomnia, serta diketahui berinteraksi dengan pregabalin.24
Tabel 2. Perbedaan farmakokinetika antara gabapentin dan pregabalin24
Jenis Gabapentin Pregabalin
Bioavalibiliti 27-60% 90%
Tmax (jam) 2-3 1
“Plasma protein binding” <3% 0
Potensi + ++++++
t ½ (jam) 5-7 5,5 - 6,7
Metabolisme None None
Eliminasi Renal (100%, tidak Renal (92-99%, tidak
berubah) berubah)
Jadwal pemberian 3 x perhari 2-3 x perhari
Dosis nyeri neuropatik 1800-3600 mg/ hari 150-600mg/hari
Waktu untuk mencapai dosis efektif 9 hari 1 hari

15
Golongan Trisiklik antidepresan (TCA) yaitu amitriptilin dan nortriptilin lebih
efektif dalam kontrol nyeri pada nyeri sentral pasca stroke jika dibandingakan
Carbamazepin. Dalam upaya meminimalisir efek samping pasien disarankan
mengkonsumsi mulai dari dosis rendah ditirasi hingga dosis pemeliharan. Amitriptilin
dapat dimulai dari dosis 25mg perhari dititrasi hingga 75mg perhari. Pada kelompok
usia tua, akan memunculkan efek samping berupa sedasi sehingga disarankan
memulai dosis amitriptilin dari 10mg per hari.15,25
Antikonvulsan lebih sering diberikan dalam tatalaksana pasien dengan nyeri
neuropati dimana antridepresan cendrung inefektif dalam penanganan nyeri jenis ini.
Carbamazepine dan phenytoin kurang efektif dan sedikit bukti menyatakan
manfaatnya dalam tatalaksana NSPS. 15,25
Opioid oral seperti levorphanol didapatkan memberi manfaat sedikit dari nyeri
sentral pasca stroke. Pemberian intravena morfin dapat dipertimbangkan. Pemberian
anestesi lokal Lignocain (5 mg/kg IV) memberikan manfaat pereda nyeri. Mexiletin
(10 mg/kg/day) merupakan golongan anastesi lokal oral yaitu sebagai penghambat
celah sodium yang mirip dengan lignocain. Mexiletin dinilai memiliki peran sebagai
terapi tambahan dalam tatalaksana pasien NPSP dangan terapi TCA. 15,25
Baclofen Intratekal telah dilaporkan mampu mengurangi nyeri dan allodinia
pada pasien nyeri sentral pasca stroke terutama pada pasien dengan lesi otak maupun
medula spinalis. Namun terapi ini baru dapat dipertimbangkan apabila pasien dengan
nyeri sentral pasca stroke gagal berespon dari terapi farmakologi lainnya.15,25
Selain pendekatan dengan terapi farmakologi, terdapat beberapa terapi non-
farmakologi yang juga dikembangkan dalam tatalaksana pasien dengan nyeri sentral
pasca stroke. Terapi non farmakologi ini dapat berupa pembedahan maupun
pendekatan psikoterapi.15,25
a. Pembedahan
Traktotomi stereotaktik mesensepalik telah banyak digunakan dalam
penanganan nyeri sentral pasca stroke. Terapi ini dinilai mampu menjamin
pembebasan nyeri dalam jangka panjang. Namun disisi lain mortalitas dalam

16
modalitas ini adalah sekitar 7.4%9. Stimulasi kortek motorik (SKM)
merupaan salah satu prosedur baru yang dikembangkan dalam
penatalaksanaan pasien dengan nyeri neuropati sentral. Dalam follow up 1
tahun didapatkan 60% pasien berespon baik dengan 25% pasien tidak
merasakan manfaatnya. Dalam 159 kasus nyeri sentral akibat stroke iskemik
dan perdarahan, 52% kasus menunjukan kesuksesan SKM dengan risiko
komplikasi yang kecil. Sehingga SKM dianggap bermanfaat bagi pasien
dengan NPSP refrakter.15,25,26
Stimulasi medula spinalis (SMS) merupakan teknik neurostimulasi yang
paling luas digukankan dalam penanganaan nyeri kronik. Hal ini didasari oleh
pertimbangan bahwa teknik SMS ini minimal invasif dengan angka kejadian
komplikasinya rendah. Mekanisme efek bebas nyeri dari SMS ini belum
sepenuhna dimengerti namun dinilai ada efek inhibisi segmen spinal dan
mekanisme aktivasi supraspinal.25,26
b. Psikoterapi
Terapi kognitif prilaku (Cognitive Behavioural Therapy/CBT) juga menjadi
salah satu modalitas terapi multidisplin dalam tatalaksana nyeri sentral pasca
stroke. Modalitas terapi ini sudah sering dikerjakan dalam penanganan nyeri
kronis. CBT mampu menolong pasien memodifikasi pikiran negative terkait
nyeri dan mengajarkan strategi mengatasi nyeri sisa. Dari terapi ini
diharapkan fungsi dan aktivitas pasien dapat membaik, meningkatkan suasana
hati, meningkatkan kualitas tidur dengan tujuan akhir berupa kualitas hidup
yang meningkat.15

2.7 Prognosis

Di Eropa insiden stroke pada tahun 2000 sekitar 1,1 juta pertahun dan
diperkirakan akan menjadi 1,5 juta pada 2025 seiring dengan peningkatan proporsi
dari lansia. Meningkatnya angka kejadian stroke diikuti oleh peningkatan angka

17
kejadian nyeri pasca stroke termasuk nyeri sentral pasca stroke. Prognosis dari nyeri
sentral pasca stroke dipengaruhi oleh tipe nyeri yang dialami dan penatalaksanaan
yang dilakukan. Selain mengalami nyeri sentral pasca stroke, nyeri pasca stroke lain
dapat juga terjadi secara bersamaan seperti nyeri bahu hemiplegi, nyeri akibat spasme
atau spastisitas, sakit kepala pasca stroke. Dengan demikian nyeri yang terjadi
bersama akan semakin menyulitkan penanganan dan menyebabkan prognosis yang
lebih buruk. semakin cepat pengobatan yang dilakukan semakin baik prognosis
pasien. Namun kriteria pasti untuk diagnosis nyeri sentral pasca stroke masih belum
ada sehingga akan sulit dalam memulai terapi. Ditambah lagi saat ini regimen
pengobatan untuk nyeri sentral pasca stroke juga masih mengalami kesulitan akibat
dari keterbatasan efikasi obat-obat yang tersedia dan efek samping terkait dosis dari
obat-obat tersebut sehingga penatalaksanaan akan semakin sulit dilakukan. 1,12

18

Anda mungkin juga menyukai