Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qunut adalah mengharap doa kepada allah namun disini banyak perbedaan dagan VI madzab
dalam hal pelaksanaannya ada yang sebelum ruku’ dan ada juga yang sesudah ruku’.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian qunut ?
2. Apa pendapat qunut VI madzhab ?
3. Mengapa terjadi perbedaan pendapat ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian qunut ?
2. Untuk mengetahui pendapat qunut VI madzhab ?
3. Untuk mengetahui terjadi perbedaan pendapat ?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Qunut
Qunut adalah doa mengharap kepada allah swt. Dalam menolak budaya
ataumendatangkan kebaikan yang pelaksanaannya dalam rangkaian pelaksanaan sebelum
ruku’ atau sesudah ruku’ terakhir pada shalat yang dikerjakan. Bagi syfi’I dan maliki
mengatakan bahwa hukum qunut adalah sunnah muakkad pada salat subuh, padasalat witir
setiap tahun pada paruh kedua (malam ke-16) hingga akhirdan pada salat istisqa (mintak
hujan).
A. Menurut VI Madzhab
Pada dasarnya persoalan membaca qunut atau tidak dalam shalat shubuh telah
menjadi perselisihan di kalangan ulama sejak generasi salaf yang shaleh. Menurut Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, membaca qunut tidak disunnahkan dalam shalat
shubuh. Sementara menurut Imam Malik dan Imam al-Syafi’i, membaca qunut disunnahkan
dalam shalat shubuh.
Kedua pendapat tersebut, baik yang mengatakan sunnah atau tidak, sama-sama berdalil
dengan hadits-hadits Rasulullah SAW. Hanya pendapat yang satunya berpandangan bahwa
riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW tidak membaca qunut itu lebih kuat.
Sementara pendapat yang satunya lagi berpendapat bahwa riwayat yang menerangkan bahwa
Rasulullah SAW membaca qunut justru yang lebih kuat. Jadi pandangan kaum Salafi-
Wahabi yang mengatakan bahwa membaca qunut itu tidak ikut Rasulullah SAW adalah
salah dan tidak benar. Nah untuk menjernihkan persoalan ini, marilah kita kaji dalil tentang
qunut ini dari perspektif ilmu hadits.

Sebagaimana dimaklumi, pandangan Imam al-Syafi’i yang menganjurkan membaca


qunut dalam shalat shubuh diikuti oleh mayoritas ulama ahli hadits, karena agumentasinya
lebih kuat dari perspektif ilmu hadits. Terdapat beberapa hadits yang menjadi dasar Imam al-
Syafi’i dan pengikutnya dalam menganjurkan membaca qunut dalam shalat shubuh.
Dalil pertama :

ً ‫الر ُكوعِ يَس‬


‫ رواه مسلم في‬- .‫ِيرا‬ ُّ َ‫ْح قَا َل نَعَ ْم بَ ْعد‬ ُّ ‫صالَةِ ال‬
ِ ‫صب‬ ُ ‫ع ْن ُم َح َّم ٍد ب ِْن ِسي ِْريْن قَا َل قُ ْلتُ ألَن ٍَس ه َْل قَنَتَ َر‬
َ ‫سو ُل هللاِ فِى‬ َ
‫صحيحه‬

“Dari Muhammad bin Sirin, berkata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah
Rasulullah
SAW membaca qunut dalam shalat shubuh?” Beliau menjawab: “Ya, setelah ruku’ sebentar.”
(HR. Muslim, hadits no. 1578).

Dalil kedua :

.
َ َ‫ َما زَ ا َل َرسُ ْو ُل هللاِ يَ ْقنُتُ فِي ْالفَجْ ِر َحتَّى ف‬: ‫ع ْن أَن َِس ب ِْن َمالِكٍ قَا َل‬
‫ارقَ الدُّ ْنيَا‬ َ . ( ‫رواه أحمد والدارقطني والبيهقي وغيرهم‬
‫)بإسناد صحيح‬.

“Dari Anas bin Malik, berkata: “Rasulullah SAW terus membaca qunut dalam shalat fajar
(shubuh) sampai meninggalkan dunia.

Hadits di atas juga dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-
Muhadzdzab. Beliau berkata: “Hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh banyak kalangan
huffazh dan mereka menilainya shahih. Di antara yang memastikan keshahihannya adalah al-
Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa
tempat dalam kitab-kitabnya dan al-Baihaqi. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-
Daraquthni dari beberapa jalur dengan sanad-sanad yang shahih.

Sebagian kalangan ada yang mendha’ifkan hadits di atas dengan alasan, di dalam sanadnya
terdapat perawi lemah bernama Abu Ja’far Isa bin Mahan al-Razi. Alasan ini jelas keliru.
Karena Abu Ja’far al-Razi dinilai lemah oleh para ulama ahli hadits seperti Yahya bin Ma’in,
dalam riwayatnya dari Mughirah saja. Sementara dalam hadits di atas, Abu Ja’far
meriwayatkan tidak melalui jalur Mughirah, akan tetapi melalui jalur al-Rabi’ bin Anas.
Sehingga hadits beliau dalam riwayat ini dinilai shahih.

B. Perbedaan pendapat VI MADZHAB

Pendapat imam madzhab dalam masalah qunut adalah sebagai berikut.


Pertama: Ulama Malikiyyah
Imam Malik Imam Malik mengatakan bahwa qunut itu merupakan ibadah sunnah
pada shalat subuh dan lebih afdhal dilakukan sebelum ruku'. Meskipun bila dilakukan
sesudahnya tetap dibolehkan. Menurut beliau, melakukan Qunut secara zhahir dibenci untuk
dilakukan kecuali hanya pada shalat subuh saja. Dan qunut itu dilakukan dengan sirr, yaitu
tidak mengeraskan suara bacaan. Sehingga baik imam maupun makmum melakukannya
masing-masing atau sendiri-sendiri. Dibolehkan untuk mengangkat tangan saat melakukan
qunut. 3. Imam As-Syafi'i ra Imam As-Syafi'i ra mengatakan bahwa Qunut itu disunnahkan
pada shalat subuh dan dilakukan sesudah ruku' pada rakaat kedua. Imam hendaknya berqunut
dengan lafaz jama' dengan menjaharkan (mengeraskan) suaranya dengan diamini oleh
makmum hingga lafaz (wa qini syarra maa qadhaita). Setelah itu dibaca secara sirr (tidak
dikeraskan) mulai lafaz (Fa innaka taqdhi ...), dengan alasan bahwa lafaz itu bukan doa tapi
pujian (tsana`). Disunnahkan pula untuk mengangkat kedua tangan namun tidak disunnahkan
untuk mengusap wajah sesudahnya. Menurut mazhab ini, bila qunut pada shalat shubuh tidak
dilaksanakan, maka hendaknya melakukan sujud sahwi, termasuk bila menjadi makmum dan
imamnya bermazhab Al-Hanafiyah yang meyakini tidak ada kesunnahan qunut pada shalat
subuh. Maka secara sendiri, makmum melakukan sujud sahwi.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak
ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.
Kedua: Ulama Syafi’iyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh
akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima waktu yang lainnya selain
pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin tertimpa musibah
ataupun tidak, -pen). Qunut juga berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa
musibah (yaitu qunut nazilah).
Ketiga: Ulama Hanafiyyah
Disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya
kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil ini
hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu diaminkan oleh
jama’ah dan tidak ada qunut jika shalatnya munfarid (sendirian).
Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali)
Mereka berpendapat bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak disyariatkan
qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar selain musibah penyakit. Pada
kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalat lima waktu selain shalat
Jum’at.
Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang menunjukkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau
sesudah ruku’.
Inilah pendapat para imam madzhab. Namun pendapat yang lebih kuat, tidak
disyari’atkan qunut pada shalat fardhu kecuali pada saat nawazil (kaum muslimin tertimpa
musibah). Adapun qunut witir tidak ada satu hadits shahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang menunjukkan beliau melakukan qunut witir. Akan tetapi dalam kitab Sunan
ditunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al Hasan bin ‘Ali
bacaan yang diucapkan pada qunut witir yaitu “Allahummah diini fiiman hadayt …”.
Sebagian ulama menshahihkan hadits ini. Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu
baik. Jika meninggalkannya, juga baik. Hanya Allah yang memberi taufik. (Ditulis oleh
Syaikh Muhammad Ash Sholih Al ‘Utsaimin, 7/ 3/ 1398).
Adapun mengenai qunut shubuh secara lebih spesifik, Syaikh Muhammad bin Sholih
Al Utsaimin menjelaskan dalam fatwa lainnya. Beliau pernah ditanya: “Apakah disyari’atkan
do’a qunut witir (Allahummah diini fiiman hadayt …) dibaca pada raka’at terakhir shalat
shubuh?”
Beliau rahimahullah menjelaskan: “Qunut shubuh dengan do’a selain do’a ini (selain
do’a “Allahummah diini fiiman hadayt …”), maka di situ ada perselisihan di antara para
ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali jika di
sana terdapat sebab yang berkaitan dengan kaum muslimin secara umum. Sebagaimana
apabila kaum muslimin tertimpa musibah -selain musibah wabah penyakit-, maka pada saat
ini mereka membaca qunut pada setiap shalat fardhu. Tujuannya agar dengan do’a qunut
tersebut, Allah membebaskan musibah yang ada.
BAB III
PENUTUP
Oleh karena itu, seandainya imam membaca qunut shubuh, maka makmum
hendaklah mengikuti imam dalam qunut tersebut. Lalu makmum hendaknya mengamininya
sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah memiliki perkataan dalam masalah ini. Hal ini
dilakukan untuk menyatukan kaum muslimin.
Dari dulu salah satu hal yang terus bergulir di sekitar wacana Islam Nusantara adalah
perdebatan mengenai yang sunnah dan yang bid’ah. Dulu perdebatan semacam ini bertujuan
untuk mendudukkan porsi masalah tersebut pada posisi ubudiyah yang ‘benar’. Hal ini cukup
menggembirakan, karena menunjukkan masih adanya semangat keber-agama-an. Justru
ketika tidak ada perdebatan itu, malah menjadi sesuatu yang menggelisahkan. Karena itu
membuktikan melemahnya semangat keberagamaan di Indonesia, baik dikarenakan serangan
globalisasi maupun firus liberalisasi. Akan tetapi, munculnya kembali perdebatan ‘yang
sunnah’ dan ‘yang bid’ah’ akhir-akhir ini merupakan fenomena lain. Karena perdebatan ini
bermuara pada kepentingan politik, bukan berniat mendudukkan sunnah bid’ah pada porsi
ubudiyah.<>Untuk menjaga stabilitas isu keagamaan, kali ini tim redaksi menurunkan tulisan
Gus Mus mengenai hukum menggunakan tasbih. Selanjutnya beliau menulis bahwa:
Tasbih dalam bahasa Arab disebut sebagai subhah atau misbahah, dalam bentuknya yang
sekarang (untaian manik-manik), memang merupakan produk ‘baru’. Sesuai namanya tasbih
digunakan untuk menghitung bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (la ilaha illallah), dan
sebagainya. Untuk zaman Rasulullah saw. untuk menghitung bacaan dalam berdzikir
digunakan jari-jari, kerikil-kerikil, biji-biji kurma atau tali-tali yang disimpul.
)‫رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يعقد التسبيح بيمينه (رواه أبو داود‬
Pernah kulihat Nabi saw menghitung bacaan tasbih dengan tangan kanannya.
Rasulullah saw. juga pernah menganjurkan para wanita untuk bertasbih dan bertahlil serta
menghitungnya dengan jari-jemari, sebagaimana hadis dikeluarkan oleh Ibnu Syaiban, Abu
Dawud, At-Turmudzi, dan Al-Hakim sebagai berikut:
‫عليكن بالتسبيح والتهليل والتقديس واعقدن باألنامل فإنهن مسؤالت مستنطقات والتغفلن فتنسين الرحمة‬

Wajib atas kalian untuk membaca tasbih, tahlil, dan taqdis. Dan ikatlah (hitungan bacaan-
bacaan itu) dengan jari-jemari. Karena sesunggunya jari-jari itu akan ditanya untuk
diperiksa. Janganlah kalian lalai (jikalau kalian lalai) pasti dilupakan dari rahmat (Allah)
Sahabat Abu Hurairah r.a bila bertasbih menggunakan tali yang disimpul-simpul konon
sampai seribu simpul. Sahabat Sa’ad bin Abi Waqash r.a diriwayatkan kalau bertasbih
dengan menggunakan kerikil-kerikil atau biji-biji kurma. Demikian pula sahabat Abu Dzar
dan beberapa sahabat lainnya.
Memang ada sementara ulama bahwa menggunakan jari-jemari lebih utama daripada
menggunakan tasbih. Pendapat ini didasarkan atas hadits Ibnu Umar yang sudah disebutkan
di atas. Namun dari segi maknanya(untuk sarana menghitung), saya pikir kedua cara itu tidak
berbeda.
Dari sisi lain, untuk menghitung tasbih dan tahlil, sebenarnya tasbih mempunyai manfaat
utamanya bagi kita yang hidup di zaman sibuk ini. Dengan membawa tasbih, seperti
kebiasaan orang-orang Timur Tengah (di sana tasbih merupakan assesori macam cincin dan
kacamata saja), sebenarnya kita bisa selalu atau sewaktu-waktu diingatkan untuk berdziki
mengingat Allah. Artinya, setiap kali kita diingatkan bahwa yang ada di tangan kita adalah
alat untuk berdzikir, maka besar kemungkinan kita pun lalu berdzikir.

Dari dulu salah satu hal yang terus bergulir di sekitar wacana Islam Nusantara adalah
perdebatan mengenai yang sunnah dan yang bid’ah. Dulu perdebatan semacam ini bertujuan
untuk mendudukkan porsi masalah tersebut pada posisi ubudiyah yang ‘benar’. Hal ini cukup
menggembirakan, karena menunjukkan masih adanya semangat keber-agama-an. Justru
ketika tidak ada perdebatan itu, malah menjadi sesuatu yang menggelisahkan. Karena itu
membuktikan melemahnya semangat keberagamaan di Indonesia, baik dikarenakan serangan
globalisasi maupun firus liberalisasi. Akan tetapi, munculnya kembali perdebatan ‘yang
sunnah’ dan ‘yang bid’ah’ akhir-akhir ini merupakan fenomena lain. Karena perdebatan ini
bermuara pada kepentingan politik, bukan berniat mendudukkan sunnah bid’ah pada porsi
ubudiyah.<>Untuk menjaga stabilitas isu keagamaan, kali ini tim redaksi menurunkan tulisan
Gus Mus mengenai hukum menggunakan tasbih. Selanjutnya beliau menulis bahwa:
Tasbih dalam bahasa Arab disebut sebagai subhah atau misbahah, dalam bentuknya yang
sekarang (untaian manik-manik), memang merupakan produk ‘baru’. Sesuai namanya tasbih
digunakan untuk menghitung bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (la ilaha illallah), dan
sebagainya. Untuk zaman Rasulullah saw. untuk menghitung bacaan dalam berdzikir
digunakan jari-jari, kerikil-kerikil, biji-biji kurma atau tali-tali yang disimpul.
)‫رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يعقد التسبيح بيمينه (رواه أبو داود‬
Pernah kulihat Nabi saw menghitung bacaan tasbih dengan tangan kanannya.
Rasulullah saw. juga pernah menganjurkan para wanita untuk bertasbih dan bertahlil serta
menghitungnya dengan jari-jemari, sebagaimana hadis dikeluarkan oleh Ibnu Syaiban, Abu
Dawud, At-Turmudzi, dan Al-Hakim sebagai berikut:
‫عليكن بالتسبيح والتهليل والتقديس واعقدن باألنامل فإنهن مسؤالت مستنطقات والتغفلن فتنسين الرحمة‬

Wajib atas kalian untuk membaca tasbih, tahlil, dan taqdis. Dan ikatlah (hitungan bacaan-
bacaan itu) dengan jari-jemari. Karena sesunggunya jari-jari itu akan ditanya untuk
diperiksa. Janganlah kalian lalai (jikalau kalian lalai) pasti dilupakan dari rahmat (Allah)
Sahabat Abu Hurairah r.a bila bertasbih menggunakan tali yang disimpul-simpul konon
sampai seribu simpul. Sahabat Sa’ad bin Abi Waqash r.a diriwayatkan kalau bertasbih
dengan menggunakan kerikil-kerikil atau biji-biji kurma. Demikian pula sahabat Abu Dzar
dan beberapa sahabat lainnya.
Memang ada sementara ulama bahwa menggunakan jari-jemari lebih utama daripada
menggunakan tasbih. Pendapat ini didasarkan atas hadits Ibnu Umar yang sudah disebutkan
di atas. Namun dari segi maknanya(untuk sarana menghitung), saya pikir kedua cara itu tidak
berbeda.
Dari sisi lain, untuk menghitung tasbih dan tahlil, sebenarnya tasbih mempunyai manfaat
utamanya bagi kita yang hidup di zaman sibuk ini. Dengan membawa tasbih, seperti
kebiasaan orang-orang Timur Tengah (di sana tasbih merupakan assesori macam cincin dan
kacamata saja), sebenarnya kita bisa selalu atau sewaktu-waktu diingatkan untuk berdziki
mengingat Allah. Artinya, setiap kali kita diingatkan bahwa yang ada di tangan kita adalah
alat untuk berdzikir, maka besar kemungkinan kita pun lalu berdzikir.
Ada beberapa amalam berupa dzikir atau shalawat yang ditentukan bilangannya. Seperti
sehabis shalat wajib disunnahkan membaca "Subhanallah" sebanyak 33 kali. "Alhamdulillah"
33 kali, "Allahu akbar" 33 kali dan "La Ilaha illallah" 100 kali. Demikian pula
membaca shalawat nariyah 4444 kali.

Untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang memakai tasbih. Ada yang mengklaim
bahwa penggunaan tasbih itu adalah bid’ah, sebab tidak ada pada zaman Rasulullah SAW.
Lalu bagaimana sebetulnya?<>

Tasbih dalam bahasa Arab disebut dengan as-subhah atau al-misbahah. Yaitu untaian
mutiara atau manik-manik dengan benang yang biasa digunakan untuk menghitung jumlah
tasbih (bacaan Subhanallah), doa dan shalawat. Dan ternyata pada masa Rasulullah
pemakaian tasbih ini sudah dilaksanakan. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

“Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya bahwa dia bersama
Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-
bijian atau krikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih. Lalu Rasulullah SAW
bersabda:

‫عدَدَ َما ُخلِقَ فِي‬


َ ِ‫س ْب َحانَ هللا‬ َّ ‫عدَدَ َما ُخ َلقَ فِي ال‬
ُ ، ِ‫س َماء‬ ُ ‫ض ُل فَقَا َل قُ ْو ِل ْي‬
َ ِ‫س ْب َحانَ هللا‬ َ ‫علَيْكِ مِ ْن َهذَا ْأو أ ْف‬ َ ‫س ُر‬َ ‫أ ُ ْخ ِب ُركِ ِب َما ه َُو أ َ ْي‬
ُ ‫هللا‬ َّ
‫إَل‬ َ ‫ه‬ ‫إل‬ َ
‫َل‬ ‫و‬ ،
َ َ‫ِك‬‫ل‬َ ‫ذ‬ ُ
‫ل‬ ْ ‫ث‬ ‫ه‬
‫ُلِل‬ ‫د‬‫م‬‫ح‬ ْ
‫ال‬‫و‬ ‘ ‫ل‬َ ‫ذ‬ ‫ل‬
ِ‫َ ُ َ ُ مِ َ ِكَ َ َ ْ ِ ِ م‬ْ ‫ث‬ ‫ر‬ ‫ب‬‫ك‬ْ ‫أ‬ ‫هللا‬ ‫و‬ ، ٌ
‫ِق‬ ‫ل‬‫َا‬
‫خ‬ ‫ُو‬ ‫ه‬ ‫ا‬‫م‬
َ َ َََ ‫د‬ ‫د‬‫ع‬ ‫هللا‬ َ
َ‫س ْب َحانَ ِ َ َ َ َ َ ْنَ ِكَ ُ ْ َ ان‬
‫ح‬ ‫ب‬‫س‬ ، ‫ل‬ ‫ذ‬ ‫ي‬‫ب‬ ‫ا‬‫م‬ ‫د‬‫د‬ ‫ع‬ ‫هللا‬ ُ ،‫ض‬ ِ ‫األر‬
ْ
َ ْ ْ
َ‫ي ِ العَظِ ي ِْم َمث ُل ذلِك‬‫مِ ثْ َل ذَلِكَ ‘ َوَل َح ْو َل َوَلق َّوة َ إَلب ِاهللِ العَ ِل ه‬
ْ َّ ُ َ َ

Aku akan memberitahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama
dari menggunakan kerikil ini. Bacalah “Maha Suci Allah” sebanyak bilangan makhluk
langit, “Maha Suci Allah” sebanyak hitungan makhluk bumi, “Maha Suci Allah” sebilangan
makhluk antara langit dan bumi, “Maha Suci Allah” sebagai Sang Khaliq. “Segala Puji
Bagi Allah” seperti itu pula (bilangannya), “Tiada Tuhan Selain Allah” seperti itu pula,
”Allah Maha Besar” seperti itu pula, dan ”Tidak Ada Upaya dan Kekuatan Seian dari
Allah” seperti itu pula." (HR Tirmidzi)
Menomentari hadits ini Abi al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim al-
Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak
mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk
memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntutan bacaan yang umum dalam
tasbih yang memiliki keutamaan yang besar.

Bertolak dari pendapat ini, kami bisa memahami bahwa para sahabat sudah biasa
menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah di dalam menghitung dzikir-dzikir
yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.

Ini membuktikan bahwa Nabi mengamini (setuju) terhadap apa yang dilakukan oleh para
Sahabat itu. Oleh sebab itu, memakai tasbih dalam berdzikir bukannya bid’ah dhalalah (hal
baru yang menyesatkan) sebagaimana yang diklaim oleh beberapa orang selama ini. Sebab
jika memang menggunakan tasbih itu termasuk hal-hal yang menyesatkan niscaya sejak awal
Rasul sudah melarang para sahabat untuk memakainya.

KH Muhyiddin Abdushomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
Perbedaan Pendapat Tentang Hukum Menggunakan Biji Tasbih
Fatawa

Pengantar

Pembicaraan bahkan fitnah terkait masalah ini sangatlah meresahkan, bagaimana tidak.
Sejatinya hal ini merupakan wilayah furu yang selayaknya hanya dibicarakan dalam tataran
pencarian terhadap kebenaran lewat diskusi-diskusi hangat yang konstruktif.

Namun harapan-harapan tersebut pupus lewat mulut-mulut sembrono yang dengan mudahnya
mengklaim sesuatu dan memaksakan klaim tersebut kepada orang awam yang bermodal
kehanifan dan taqlid dalam beragama. Akibatnya nafsu ammarah menguasai mereka lalu
terjadilah caci maki yang disebabkan pemahaman yang keliru dan kurang menyeluruh terhadap
pendapat para ulama mengenai hal tersebut.

Masalah apakah itu? Biji tasbih!


Yah, pengetahuan yang keliru dan atau tidak menyeluruh serta taqlid buta menyebabkan caci
maki terkait perdebatan seputar hukum syar’i menggunakan tasbih untuk berdzikir kepada
Allah Subahanahu Wataala.

Sebagai blog yang memaparkan tentang biografi dan sikap serta fatwa Ibnu Taimiyah, maka
saya mencoba untuk mengulas pendapat beliau yang begitu wasath dalam masalah ini.

Semoga tulisan ini menjadi pemberat dalam timbangan amal baik serta amal jariyah bagi
pemilik dan pengelola blog ini. Amin.

Perselisihan tentang Tasbih

Para ulama berselisih menjadi 3 pendapat besar tentang penggunaan tasbi untuk berdzikir.

Pertama, Sebagian ulama membolehkannya. Inilah pendapat yang Umum

Berkata Ibnu Nujaim Al Hanafi dalam kitab al Bahri al Râiq sebagai komentar terhadap Hadits
Nabi tentang berdzikir dengan biji-biji tasbih:

َُ ْ ‫سبَ َح ُِة بِاِتِ َخا ُِذ بَأ‬


ُ‫س َُل قَ ْولُ ُه‬ ْ ِ‫س ُِر ) ا ْلم‬ ُِ ِ‫ ا ْلم‬: ُ‫يحِ آلَ ُة‬
ْ ‫يم بِ َك‬ ْ َّ ‫ الت‬، ‫ِن َوا ْلحِ ْليَ ُِة ا ْلبَحْ ُِر فِي َواَلَّذِي‬
ُ ِ‫سب‬ ُِ ‫ُون َوا ْل َخ َزائ‬
ُِ ‫) مِ يمُ بِد‬

ُ‫احِ فِي قَا َل‬ ْ ِ‫ ا ْلم‬: ُ‫س ْبح َُة‬


ُ َ‫صب‬ ُ ‫ َم ْن‬، ‫ع ََر ِبيَّةُ ك َْونَهَا يُ ْقتَضَى َوه َُُو‬
ُّ ‫ظو َمةُ َخ َر َزاتُ ال‬

ُُّ ‫ ْاْل َ ْزه َِر‬: ُ‫ ُم َولَّدَةُ َك ِل َمة‬، ‫غ َرفُ غُ ْرفَةُ مِ ثْ ُُل َو َج ْمعُهَا‬
ُ‫ي َوقَا َل‬ ُ ‫و‬.‫ا‬
َ ‫هـ‬

ُ‫ور‬
ُ ‫ش ُه‬ ُُ ‫س ْب َح ُِة إ ْط ََل‬
ْ ‫ق ش َْرعا َوا ْل َم‬ ُّ ‫علَى بِالض َُِّم ال‬
َ ‫النَّافِلَ ُِة‬

ُِ ‫ ا ْل ُم ُْغ ِر‬: ُ‫ح ِْلَنَّ ُه‬


ُ‫ب فِي قَا َل‬ ُُ َّ‫سب‬
َ ُ‫فِيهَا ي‬

ُ‫از َو َدلِي ُل‬ ُِ ‫َاود أَبُو َر َواهُُ َما ا ْلج ََو‬ ُ ‫ِي د‬
ُُّ ‫ِي َوالت ِْرمِ ذ‬ َ َّ‫ح َوقَا َُل َوا ْلحَا ِك ُُم حِ بَّانَُ َوابْنُُ َوالن‬
ُُّ ‫سائ‬ َُ ‫سنَا ُِد صَحِ ي‬ ْ ‫اْل‬ِ ْ ‫َن‬ ُْ ‫س ْع ُِد ع‬
َ ‫ْن‬ُِ ‫{ َوقَّاصُ أ َ ِبي ب‬
ُ‫سو ُِل َم َُع َد َخ َُل أَنَّ ُه‬ َُّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ َُّ ‫علَ ْي ُِه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ َُم‬
َ ‫علَى َو‬ َ ُ‫ح حَصى أ َ ُْو نَوى يَ َد ْيهَا َوبَيْنَُ ا ْم َرأَة‬ ُُ ‫س ِب‬ َ ‫أ َ ْي‬
َ ُ ‫ فَقَا َُل ِب ُِه ت‬: ‫س ُُر ه َُُو بِ َما أ ُ ْخبِ ُرك‬
‫ع َليْك‬ َ ‫ن‬ ُْ ِ‫ض ُُل أ َ ُْو َهذَا م‬َ ‫ فَ َقا َُل ؟ أ َ ْف‬: َُ‫س ْبحَان‬ُ ِ‫ّللا‬
َُّ ‫ع َد َُد‬ َ ‫س َماءُِ فِي َخ َلقَُ َما‬ َّ ‫ ال‬، َُ‫س ْبحَان‬ ُ ‫ّللاِ َو‬ َ ‫ض فِي َخ َلقَُ َما‬
َُّ ‫ع َد َُد‬ ُ ِ ‫ ْاْل َ ْر‬، َُ‫س ْبحَان‬ ُ ‫ّللاِ َو‬
َُّ
َ ‫ ذَلِكَُ َبيْنَُ َما‬، َُ‫س ْبحَان‬
‫ع َد َُد‬ ُ ‫ّللاِ َو‬ َ ‫لِلِ َوا ْل َح ْم ُُد ؛ َخالِقُ ه َُُو َما‬
َُّ ‫ع َد َُد‬ َُّ َ ‫ ذَلِكَُ مِ ثْ ُُل أ َ ْك َب ُُر َو‬، ‫إل إ َل َهُ َو َُل‬
َُّ ِ ‫ ذَلِكَُ مِ ثْ ُُل‬، ُ‫ّللا‬ َُّ ‫ ذَلِكَُ مِ ثْل‬،
َُّ ُ‫ّللا‬
‫إل قُ َّو ُةَ َو َُل ح َْو َُل َو َُل‬
َُّ ِ‫لِل‬َُّ َ ‫ } ذَلِكَُ مِ ثْ ُُل بِا‬: ‫َن يَ ْن َههَا فَلَ ُْم‬
ُْ ‫ ذَلِكَُ ع‬.

َ ‫س ُُر ه َُُو َما إلَى أ َ ْر‬


‫ش َدهَا َوإِنَّ َما‬ َ ‫ ذَلِكَُ لَهَا لَبَيَّنَُ َم ْك ُروها كَانَُ َولَ ُْو َوأ َ ْف‬، ‫س ْبح َُةُ يَ ِزي ُُد َو َُل‬
َ ‫ض ُُل أ َ ْي‬ ُّ ‫علَى ال‬ َ ‫ون‬ ُِ ‫ض ُم‬ ْ ‫ث َهذَا َم‬ ُِ ‫إل ا ْل َحدِي‬ َُّ
ْ
‫ َخيْطُ فُِي النَّ َوى ِبض َُِم‬، ‫ ا ْل َم ْن ُِع فِي ت َأثِي ُرهُُ يَ ْظه َُُر َُل ذَلِكَُ َومِ ثْ ُُل‬، ‫َل‬ ُْ َ ‫َن بِهَا َوا ْلعَ َم ُُل اتِ َخاذُهَا نُ ِق َُل أ‬
َُ ‫ن ج ََر َُم َف‬ ُْ ‫ن َج َماعَةُ ع‬ ُْ ِ‫م‬
ُِ َ‫غي ِْر ِه ُْم ْاْل َ ْخي‬
‫ار الصُّوفِيَّ ُِة‬ َُّ ‫َّب إذَا‬
َ ‫إل اللَّ ُه َُّم ؛ َو‬ َُ ‫ع َل ْي ُِه ت ََرت‬
َ ُ‫س ْمعَةُ ِريَاء‬ ُ ‫َل َو‬َُ َ‫ََل َُم ف‬
َُ ‫فِي ُِه َل َنا ك‬

(Ucapannya: tidak mengapa menggunakan misbahah) dengan huruf mim dikasrahkan adalah
alat untuk bertasbih, ada pun yang tertulis dalam Al Bahr, Al Hilyah, dan Al Khazain adalah
tanpa mim. Disebutkan dalam Al Mishbah: “Subhah adalah manik-manik yang terangkai, kata
ini menunjukkan bahwa ia adalah bahasa arab asli. Al Azhari berkata: “Itu adalah kata yang
muwalladah (tidak asli Arab), bentuk jamaknya seperti ghurfah dan ghuraf.

Yang masyhur secara syariat adalah penggunaaan subhah ini terdapat pada shalat sunnah.
Disebutkan dalam Al Maghrib: “karena dia bertasbih padanya.”

Ada pun dalil kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi, An
Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, dia berkata: shahih sanadnya.

ُ‫ّللاِ َرسُو ُِل َم َُع َد َخ َُل أَنَّ ُه‬َُّ ‫صلَّى‬ َُّ ‫علَ ْي ُِه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ َُم‬
َ ‫علَى َو‬ َ ُ‫ح حَصى قَا َُل أ َ ُْو نَوى يَ َد ْيهَا َوبَيْنَُ ا ْم َرأَة‬ َ ُ ‫ه َُُو بِ َما أ ُ ْخبِ ُركُِ أ َ َُل فَقَا َُل بِ ُِه ت‬
ُُ ِ‫سب‬
‫س ُُر‬َ ‫ع َليْكُِ أ َ ْي‬
َ ‫ن‬ َ ‫س ْبحَانَُ أ َ ْف‬
ُْ ‫ض ُُل أ َ ُْو َهذَا ِم‬ ُ ِ‫ّللا‬ َ ‫س َماءُِ فِي َخ َلقَُ َما‬
َُّ ‫ع َد َُد‬ َّ ‫س ْبحَانَُ ال‬ ُ ‫ّللاِ َو‬
َُّ ‫ع َد َُد‬َ ‫ض فِي َخ َلقَُ َما‬ ُ ِ ‫س ْبحَانَُ ْاْل َ ْر‬ ُ ‫ّللاِ َو‬
َُّ
َ ‫س ْبحَانَُ ذَلِكَُ بَيْنَُ َما‬
‫ع َد َُد‬ ُ ‫ّللاِ َو‬ َ ‫ّللاُ َخالِقُ ه َُُو َما‬
َُّ ‫ع َد َُد‬ َُّ ‫لِلِ َوا ْل َح ْم ُُد ذَلِكَُ مِ ثْ َُل أ َ ْكبَ ُُر َو‬
َُّ ِ ‫الِلِ ِإ َُّل قُ َّو َةُ َو َُل ح َْو َُل َو َُل ذَلِكَُ مِ ثْ َُل‬
َُّ ‫مُِثْ َُل ِب‬
َُ‫ذَلِك‬

“Bahwa dia (Sa’ad) bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui
seorang wanita, dan dihadapan wnaita itu terdapat biji-bijian atau kerikil. Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Maukah kau aku beritahu dengan yang lebih mudah
bagimu dari ini atau lebih utama? (Lalu nabi menyebutkan macam-macam dzikir yang tertulis
dalam teks di atas ..)[1]

Lalu katanya: “Nabi tidak melarangnya. Beliau hanyalah menunjukkan cara yang lebih mudah
dan utama, seandainya makruh tentu Beliau akan menjelaskan hal itu kepada wanita tersebut.
Dari kandungan hadits ini, kita dapat memahami bahwa subhah tidak lebih dari kumpulan
bijian yang dirangkai dengan benang. Masalah seperti ini tidak berdampak pada pelarangan.
Maka, bukan pula kesalahan jika ikut menggunakannya sebagaimana sekelompok kaum sufi
yang baik dan selain mereka. Kecuali jika didalamnya tercampur muatan riya dan sum’ah,
tetapi kami tidak membahas hal ini.[2]

Al Imâm al Syaukânî membahas hadits-hadits terkait biji-bijian tasbih dan berkomentar


sebagai berikut

‫السبحة من أولى الحيثية هذه من بالتسبيح عقدهن فكان بذلك يشهدن أنهن يعني مستنطقات مسئولت اْلنامل بأن‬
‫ والحصى‬. ‫ّللا صلى لتقريره الفارق لعدم بالسبحة وكذا والحصى بالنوى التسبيح عد جواز على يدلن اآلخران والحديثان‬
َُّ
‫ ذلك على للمرأتين وسلم وآله عليه‬. ‫الجواز ينافي ل أفضل هو ما إلى واْلرشاد إنكاره وعدم‬

“ … sesungguhnya ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan
menjadi saksi hal itu. Maka, menghimpun (menghitung) tasbih dengan jari adalah lebih utama
dibanding dengan untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits yang lainnya, menunjukkan
bolehnya menghitung tasbih dengan biji, kerikil, dan juga dengan untaian biji tasbih karena
tidak ada bedanya, dan ini perbuatan yang ditaqrirkan (didiamkan/disetujui) oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap dua wanita tersebut atas perbuatan itu. Dan, hal yang
menunjukkan dan mengarahkan kepada hukum yang lebih utama tidak berarti menghilangkan
hukum boleh.” [3]

Syaikhُ Abuُ alُ ‘Alaُ Muhammadُ Abdurrahmânُ binُ Abdurrahîmُ Alُ


Mubârakfûri Rahimahullah Beliau menerangkan dalam Tuhfah al Ahwâdzi, ketika
menjelaskan hadits Ibnu Amr dan Yusairah binti Yasir, sebagai berikut:

َ ‫ِيرةَ الَّذِي أَش‬


‫َار إِلَ ْي ِه‬ َ ‫ث يَس‬ ِ ‫سلَّ َم فِي َحدِي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫علَّ َل ذَ ِلكَ َر‬َ ‫سبِيحِ بِ ْاْلَنَامِ ِل َو‬ َ ُ‫ش ُرو ِعيَّة‬
ْ َّ ‫ع ْق ِد الت‬ ْ ‫ث َم‬ ِ ‫َوفِي ا ْل َحدِي‬
‫س ِبيحِ ِم ْن َه ِذ ِه ا ْل َح ْيثِيَّ ِة أ َ ْولَى م ِْن‬
ْ َّ ‫ع ْق ُدهُنَّ ِبالت‬ ْ َ‫طقَاتٌ يَ ْعنِي أ َنَّ ُهنَّ ي‬
َ َ‫ فَكَان‬، َ‫ش َهدْنَ بِذَ ِلك‬ َ ‫ست َ ْن‬
ْ ‫ُوَلتٌ ُم‬ َ ‫سئ‬ ْ ‫ِي ِبأَنَّ ْاْلَنَامِ َل َم‬
ُّ ‫الت ِْر ِمذ‬
‫صلَّى‬َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ِل‬ُ ‫اص أَنَّهُ َد َخ َل َم َع َر‬
ٍ َّ‫س ْع ِد ب ِْن أ َ ِبي َوق‬ ُ ‫س ِبيحِ ِبالنَّ َوى َوا ْل َحصَى َحد‬
َ ‫ِيث‬ ْ َّ ‫علَى ج ََو ِاز ع َِد الت‬ َ ‫ َو َي ُد ُّل‬، ‫س ْب َح ِة َوا ْل َحصَى‬ ُّ ‫ال‬
َّ ‫صلَّى‬
ُ ‫َّللا‬ َّ ‫علَ َّي َرسُو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ َ ‫ص ِفيَّةَ قَالَتْ َد َخ َل‬
َ ‫ِيث‬ َ ‫ح بِ ِه ا ْل َحد‬
ُ ‫ َو َحد‬، ‫ِيث‬ ُ ِ‫سب‬َ ُ ‫صى ت‬ ً ‫علَى اِ ْم َرأ َ ٍة َوبَ ْينَ يَ َد ْيهَا نَ ًوى أ َ ْو َح‬
َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫َّللا‬
َّ
ْ
َ ‫سبِ ُح بِهَا ال َحد‬
. ‫ِيث‬ ُ
َ ‫ف نَ َوا ٍة أ‬ ُ
ِ ‫َي أ ْربَعَة َآَل‬ َ َّ
َّ ‫سل َم َوبَ ْينَ يَد‬ َ
َ ‫عل ْي ِه َو‬ َ

“Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bertasbih menggunakan ujung jari jemari, alasan
hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Yusairah yang
diisyaratkan oleh At Tirmidzi bahwa ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara,
yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Dalam hal ini, menghitung tasbih dengan
menggunakan ujung jari adalah lebih utama dibanding dengan subhah (untaian biji tasbih)
dan kerikil. Dalil yang menunjukkan kebolehan menghitung tasbih dengan kerikil dan biji-
bijian adalah hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa beliau bersama Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita yang dihadapannya terdapat biji-biji atau
kerikil yang digunakannya untuk bertasbih (Al Hadits). Dan juga hadits Shafiyah bin Huyai,
dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku dan dihadapanku
ada 4000 biji-bijian yang aku gunakan untuk bertasbih. (Al Hadits).” [4]

Syaikh Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz Al Hambali Rahimahullah pernah ditanya
tentang seseorang yang berdzikir setelah shalat menggunakan subhah, bid’ahkah?

Beliau menjawab:

‫ فعلها ينبغي ل المسبحة‬، ‫ وأحوط أولى تركها‬، ‫ أفضل باْلصابع والتسبيح‬، ‫أو كالحصى بشيء سبح لو له يجوز لكن‬
‫ النوى أو المسبحة‬، ‫ بيته في ذلك وتركها‬، ‫ يعمله السلف بعض كان فقد الناس يقلده ل حتى‬، ‫اْلصابع لكن واسع واْلمر‬
‫ مكان كل في أفضل‬، ‫ اليمنى باليد واْلفضل‬، ‫ ينبغي ل فهذا المساجد وفي يده في كونها أما‬، ‫الكراهة اْلحوال أقل‬

“Berzikir dengan subhah tidak patut dilakukan, meninggalkannya adalah lebih utama dan
lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya kalau bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat
tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan subhah tersebut dirumahnya, agar manusia tidak
mentaklidinya. Dahulu para salaf -pun melakukannya. Masalah ini lapang, tetapi
menggunakan jari adalah lebih utama pada setiap tempat, dan utamanya dengan tangan
kanan. Ada pun membawanya ditangan ke masjid, sepatutnya jangan dilakukan, minimal hal
itu makruh.” [5]

Syaikh MuhammadُbinُShalihُAlُ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hadits: ‘Setiap bid’ah


adalah sesat’, artinya tidak ada bid’ah kecuali sesat dan tidak ada bid’ah yang baik, bahkan
setiap bid’ah adalah sesat.
Pertanyaan: apakah tasbih dipandang sebagai bid’ah? Apakah ia termasuk bid’ah yang baik
atau yang sesat?

Beliau menjawab: tasbih tidak termasuk bid’ah dalam agama, karena manusia tidak bertujuan
beribadah kepada Allah swt dengannya. Tujuannya hanya untuk menghitung jumlah tasbih
yang dibacanya, atau tahlil, atau tahmid, atau takbir. Maka ia termasuk sarana, bukan tujuan.

Akan tetapi yang lebih utama darinya adalah bahwa seseorang menghitung tasbih dengan jari
jemarinya:

 karena ia adalah petunjuk dari Nabi saw.[6]

 Karena menghitung tasbih dan yang lainnya dengan alat tasbih bisa membawa kepada
kelalaian. Sesungguhnya kita menyaksikan kebanyakan orang-orang yang
menggunakan tasbih, mereka bertasbih sedangkan mata mereka menoleh ke sana ke
sini, karena telah menjadikan jumlah tasbih menurut jumlah yang mereka inginkan dari
tasbihnya atau tahlilnya atau tahmidnya atau takbirnya. Maka engkau mendapatkan
mereka menghitung biji-bii tasbih ini dengan tangannya, sedangkan hatinya lupa
sambil menoleh ke kanan dan kiri. Berbeda dengan orang yang menghitungnya dengan
jemarinya, maka biasanya hal itu lebih menghadirkan hatinya.

 Alasan ketiga: sesungguhnya menggunakan tasbih bisa membawa kepada riya.


Sesungguhnya kita menemukan kebanyakan orang yang menyukai banyak bertasbih,
menggantungkan di leher mereka tasbih yang panjang. Seolah-olah mereka berkata:
lihatlah kepada kami, sesungguhnya kami bertasbih kepada Allah swt sejumlah
bilangan ini. Aku meminta ampun kepada Allah swt dalam menuduh mereka seperti
ini, akan tetapi dikhawatirkan terjadinya hal itu.
Tiga alasan ini menuntut manusia agar meninggalkan tasbih dengan biji tasbih ini dan
hendaklah ia bertasbih kepada Allah swt dengan jari jemarinya.
Kemudian, sesungguhnya yang utama agar menghitung tasbih dengan jari tangan kanannya,
karena Nabi saw menghitung tasbih dengan tangan kanannya, dan tanpa diragukan lagi yang
kanan lebih baik dari pada yang kiri. Karena inilah yang kanan lebih diutamakan atas yang kiri.
Nabi saw melarang seseorang makan atau minum dengan tangan kirinya dan menyuruh
manusia makan dengan tangan kanannya. Nabi saw bersabda:

َ ,‫يَا غُالَ ُم‬


َ‫س ِم هللاَ َو ُك ْل ِبيَ ِم ْينِكَ َو ُك ْل ِم َّما يَ ِل ْيك‬

“Wahai gulam (anak kecil), bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan
makanlah yang dekat denganmu.”[7]

Dan beliau saw bersabda:

‫ش َما ِل ِه‬
ِ ِ‫ب ب‬ ِ ِ‫طانَ يَأْكُ ُل ب‬
ُ ‫ش َما ِل ِه َويَش َْر‬ َ ‫ش ْي‬ َ ‫إِذَا أ َ َك َل أ َ َح ُد ُك ْم فَ ْليَأ ْ ُك ْل بِيَمِ ْينِ ِه َوإِذَا ش َِر‬
َّ ‫ب فَ ْليَش َْر ْب بِيَمِ ْينِ ِه فَ ِإنَّ ال‬

“Apabila seseorang darimu makan maka hendaklah ia makan dengan tangan kanannya, dan
apabila minum hendaklah ia minum dengan tangan kanannya. Sesungguhnya syetan makan
dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.”[8]

Tangan kanan lebih utama dengan tasbih daripada tangan kiri karena mengikuti sunnah dan
mengambil dengan kanan. Dan Nabi saw menyukai yang kanan dalam memakai sendal,
bersisir, bersuci dan dalam seluruh perkaranya. Atas dasar inilah, maka membaca tasbih
dengan alat tasbih tidak termasuk bid’ah dalam agama, namun hanya sebagai sarana untuk
mencatat hitungan. Ia merupakan sarana yang tidak utama, dan yang utama darinya adalah
menghitung tasbih dengan jemarinya.[9]
Kedua, sebagian ulama menganggapnya Mustahab

Imam Muhammad Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Faidhul


Qadir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, ketika menerangkan hadits Yusairah:

‫له كان هريرة أبا أن أحمد بن هللا عبد أخرج فقد الصحابة بين معروفا ذلك وكان المعروفة السبحة ندب في أصل وهذا‬
‫بعض عن المؤلف نقل لكن السبحة المذكر نعم الديلمي رواه حديث وفي به يسبح حتى ينام فَل عقدة ألفا فيه خيط‬
‫الحديث هذا لظاهر أفضل باْلنامل التسبيح عقد أن بعضهم عن نقل أنه البلقيني الجَلل معاصري‬

“Hadits ini merupakan dasar terhadap sunahnya subhah (untaian biji tasbih) yang sudah
dikenal. Hal itu dikenal pada masa sahabat, Abdullah bin Ahmad telah meriwayatkan bahwa
Abu Hurairah memiliki benang yang memiliki seribu himpunan, beliau tidaklah tidur sampai
dia bertasbih dengannya. Dalam riwayat Ad Dailami: “Sebaik-baiknya dzikir adalah subhah.”
Tetapi mu’allif (yakni Imam As Suyuthi) mengutip dari sebagian ulama belakangan, Al Jalal
Al Bulqini, dari sebagian mereka bahwa menghitung tasbih dengan jari jemari adalah lebih
utama sesuai zhahir hadits.”[10]

Ketiga, Sebagian Ulama secara tegas melarang dan membid’ahkan penggunaan Tasbih untuk
berdzikir.

Inilah yang masyhur dari pendapat al Imâm al Albâni dan murid-muridnya. Pendapat Ini juga
didukung oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr. Bahkan syaikh Bakr Abu Zaid
memiliki risalah khusus yang menegaskan larangan menggunakan biji-bijian tasbih dalam
menghitung Dzikir.

Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:


1. Hal itu menyalahi Sunnah dan tidak disyariatkan oleh Rasulullah bahkan bid’ah yang
tidak memiliki asal dalam syariat sedangkan permasalah ibadah
adalah Tauqifiyah oleh karena itu ibadah kepada Allah itu hanya boleh dilakukan jika
ada syariatnya
2. adanya riwayat ketidaksukaan Ibnu Mas’ud dan Sahabat lain terhadap hal tersebut.
Ibnu Waddhah[11] berkata dalam kitabnya al Bid’u wan nahyu anha: Dari Ibrahim
berkata : “Dahulu ‘Abdullah (Ibnu Mas’ud) membenci berdzikir dengan tasbih seraya
bertanya : “Apakah kebaikan-kebaikannya telah diberikan kepada Allah?” (Riwayat
Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf No. 7667) dengan sanad shohih. Dari as-Shalt
bin Bahram berkata : “Ibnu Mas’ud melewati seorang wanita yang berdzikir dengan
tasbih, maka segera beliau potong tasbih lalu membuangnya. Kemudian beliau
melewati seorang lai-laki berdzikir dengan kerikil, maka beliau menendangnya,
kemudian berkata : “Sungguh kalian telah mendahului Rasulullah, kalian melakukan
bid’ah dengan zhalim dan ilmu kalian telah melebihi ilmu Sahabat-Sahabat
Muhammad.
Dalam Mushannaf Ibnu Abi syaibah disebutkan: telah menceritakan kepadaku yahya Bin Said
al Qatthâni dari Al Taimi dari Abi Tamimiyah dari seorang perempuan bani Kulaib yang
berkata bahwa ia dilihat oleh Aisyah sedang berdzikir dengan biji-biji tasbih, maka Aisayah
berkata: Mana Syawahid? yang dimaksud adalah jari jemari. Dari Atsar ini bisa dipahami
bahwa Asiyah menegur perempuan tersebut dan menyuruhnya menggunakan jari, namun
sayang dalam atsar ini ada rawi yang mubham
‫‪Pendapat Ibnu Taimiyah dan Tarjih‬‬

‫]‪Ibnu Taimiyah memberi pendapat yang wasath dalam hal ini, beliau mengatakan[12‬‬

‫مستنطقات مسؤولت فإنهن باْلصابع واعقدن سبحن للنساء النبي قال كما سنة باْلصابع التسبيح وعد‬

‫المؤمنين أم النبي رأى وقد ذلك يفعل من عنهم هللا رضي الصحابة من وكان فحسن ذلك ونحو والحصى بالنوى عده وأما‬
‫به يسبح كان هريرة أبا أن وروى ذلك على واقرها بالحصى تسبح‬

‫فهو النية فيه أحسنت وإذا ‪ ,‬يكرهه لم من ومنهم كرهه من الناس فمن ونحوه الخرز من نظام في يجعل بما التسبيح وأما‬
‫مكروه غير حسن‬

‫‪“Menghitung tasbih dengan jari jemari adalah sunah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu‬‬
‫‪‘Alaihi wa Sallam kepada kaum wanita: “Bertasbihlah dan menghitunglah dengan jari jemari,‬‬
‫”‪karena jari jemari itu akan ditanya dan diajak bicara.‬‬
Adapun menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan
semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dahulu sebagian sahabatpun (Radhiallahu
‘Anhum )ada yang memakainya dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul
mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil dan beliau menyetujuinya. Diriwayatkan pula
bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengan batu-batu kecil tersebut

hukum menggunakan tasbih sebagai alat untuk berdzikir adalah boleh dan mubah bukan
bid’ah, inilah yang masyhur dari pendapat para ulama dari 4 Mazhab dan juga ulama-ulama
Salafi serta sesuai dengan kaidah bahwa asal sesuatu adalah Mubah selama tidak ada dalil yang
melarang. Adapun jika ada kesan menganggapnya hasan maka hal tersebut adalah kelaziman
dari hukum mubah yang diniatkan untuk kebaikan

Dalam matan zubad, Ibnu Ruslan berkata:

‫باستوى يباح ما خص و‬ ‫السواء على والترك الفعل‬

‫القوى بأكله نوى إذا لكن‬ ‫نوى قد ما به هللا لطاعة‬

Dikhususkan kesamaan dalam hukum mubah baik meninggalkan maupun melakukan

Namun jika seseorang makan agar kuat dalam ketaatan kepada Allah, maka ia mendapatkan
sesuai yang ia Niatkan.

Syaikh Muhammad bin sholih al Utsaimin menjelaskan ketika membahas tentang hukum
Mubah dalam kitab al ushul min ilmil Ushul:

Seandainya ada kaitannya dengan perintah karena keberadaannya (yakni suatu yang mubah)
sebagai wasilah terhadap hal yang diperintahkan, atau ada kaitannya dengan larangan karena
keberadaannya sebagai wasilah terhadap hal yang dilarang, maka bagi hal yang mubah
tersebut hukumnya sesuai dengan keadaan wasilah tersebut.
Adapun yang menyunahkan, maka hal tersebut keliru Karena tidak ada dalil khusus yang
mengindikasikan hal tersebut, bahkan Rasulullah menyarankan agar menggantinya dengan
menggunakan jemari.

Adapun yang mengharamkannya dengan dalil dari kebencian Ibnu Mas’ud, maka tidak
diketahui secara jelas ada indikasi Ibnu Mas’ud membenci biji-biji tasbih, namun yang dzohir
adalah beliau membenci menghitung tasbih (zikir). Dalam menyebutkan atsar-atsar terkait hal
tersebut, Ibnu Abi syaibah membuat “fasal tentang orang-orang yang membenci menghitung-
hitung tasbih” lalu beliau menyebutkan riwayat dari Ibnu Mas’ud dan ibnu Umar. Begitu juga
yang terdapat dalam Sunan Al Dârimi, hal tersebut tidak mengindikasikan secara tegas tentang
kebencian beliau. Apakah terkait menunggu waktu sholat dengan menghitung-hitung zikir dan
melakukannya secara berjamaah dengan pimpinan satu orang ataukah kebencian beliau terkait
kerikil-kerikilnya saja. Namun yang zohir larangan tersebut adalah terkait yang pertama.
Wallahu a’lam

Peringatan
Fatwa-fatwa terkait kebolehan menggunakan tasbih selalu diiringi dengan beberapa peringatan.
Ibnu Taimiyah mengatakan setelah membolehkan tasbih:

Adapun Tasbih yang dibentuk seperti manik-marik yang terangkai dan semisalnya, maka
sebagian manusia ada yang membencinya dan sebagian lagi tidak membencinya. Kalau
niatnya baik maka hal itu menjadi baik dan tidak makruh. Adapun menggunakannya tanpa
keperluan atau memamerkannya kepada manusia, misanya digantungkan dileher atau
dijadikan gelang atau semisalnya, maka hal ini bisa saja riya terhadap manusia atau
merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan riya dan menyerupai orang yang riya. Yang
pertama (riya, red) adalah haram sedangkan yang kedua minimal makruh. Sesunggunhya riya
kepada manusia dalam ibadah-ibadah khusus seperti sholat, puasa, zikir, dan membaca qur’an
adalah termasuk dosa yang paling besar.

Anda mungkin juga menyukai