Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perilaku kekerassan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrem dari marah atau
ketakutan/panik. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan sering dipandang sebagai
rentang dimana agresiv verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) disisi yang
lain. Suatu keadaan yang menimbulkan emosi, perasaan frustasi, benci atau marah. Hal
ini kan mempengaruhi perilaku seseorang berdasarkan keadaan emosi secara mendalam
tersebut terkadang perillaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan koping
yang kurang bagus (Wati, 2010).
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah yang di ekspresikan dengan
melakukan ancaman mencederai orang lain, dan atau merusak lingkungan. Respon
tersebut biasanya muncul akibat adanya stressor.Respon ini dapat menimbulkan kerugian
baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan.Melihat dampak dari kerugian
yang di timbulkan, maka penanganan pasien dengan perilaku kekerasan perlu di lakukan
secara cepat dan tepat oleh tenaga-tenaga professional (Keliat, Model praktik
keperawatan profesional jiwa, 2012).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai orang lain atau secara fisik maupun psikologis ( Berkowitz dalam
Hernawati 1993.
Hasil riset WHO dan World Bank menyimpulkan bahwa gangguan jiwa dapat
mengakibatkan penurunan produktivitas sampai dengan 8,5 %, saat ini gangguan jiwa
menempati urutan kedua setelah penyakit infeksi dengan 11,5 % (Dayly lost (1998)
dalam Rasmun,2001).
WHO menyatakan satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental atau
jiwa.Who memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan
kesehatan jiwa. Dalam hal ini, Azrul Azwar (Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes)
mengatakan angka itu menunjukan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di
masyarakat yang sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk indonesia menderita
kelainan jiwa dari rasa cemas, setress, depresi, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja,
sampai skizofrenia (Yosep, 2007).
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan
fisik ( Ketner et al., 1995 dalam Keliat, Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas, 2012).

1
Melihat dampak dari kerugian yang ditimbulkan, maka penanganan pasien dengan
perilaku kekerasan perlu dilakukan secara cepat dan tepat oleh tenaga-tenaga profesional.
Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa individu yang sakit jiwa adalah
aib dan memalukan, tidak bermoral bahkan tidak beriman.Pada umumnya pasien
gangguan jiwa di bawa keluarga ke rumah sakit jiwa atau unit pelayanan kesehatan jiwa
lainnya karena keluarga tidak mampu merawat dan terganggu perilaku pasien.
Masalah tindakan kekerasan perilaku agresi merupakan kejadian kompleks yang
bukan hanya mencakup aspaek perilaku (behavior) tapi merupakan suatu problema
kesehatan jiwa yang dapat dialami oleh siapapun. Fenomena social yang terjadi beberapa
tahun belakangan ini seperti krisis berkepanjangan, adakan penduduk yang tidak merata
karena sulitnya mencari kehidupan layak sehingga penduduk melakukan migrasi
(urbanisasi) ke wilayah yang lebih menjanjikan pendapatan layak secara ekonomi seperti
di negara Indonesia banyak terjadi PHK, antara lapangan pekerjaan yang sedikit .
Berdasarkan latar belakang di atas mengenai gangguan kesehatan jiwa yang salah
satunya merupakan perilaku kekerasan maka penulis tertarik untuk menulis makalah
dengan judul asuhan keperawatan dengan perilaku kekerasan, guna membantu klien dan
keluarga dalam menangani masalah kesehatan yang di hadapi melalui penerapan asuhan
keperawatan jiwa.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep teori perilaku kekerasan?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan?
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui :
1. Konsep teori prilaku kekerasan.
2. Konsep asuhan keperawatan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Perilaku Kekerasan


A. Definisi
Patricia D Barry (1998: 140), menyatakan ;
Agression: An emotion comfounded of frustation and hate or rage. It is an
emotion deeply rooted in every one of us, a vital part of our emotional being that
must be either projected outward on the environtment or inwar, destructively, on the
self.
Suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau
marah. Hal ini didasari keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebaga
bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan
ke dalam diri atau secara destruktif.
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai
atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut (Purba dkk, 2008). Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan
adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif.
Perasaan marah normal bagi tiap individu. Namun, pada pasien perilaku
kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara fluktuasi sepanjang rentang
adaptif dan maladaptif. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai
respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan
sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1995). Marah merupakan emosi yang memiliki
ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak
suka yang sangat kuat biasanya ada kesalahan, yang mungkin nyata-nyata
kesalahannya atau mungkin juga tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin
menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul
pikiran yang kejam. Bila hal ini disalurkan maka akan terjadi perilaku agresif (Purba
dkk, 2008).

3
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat menimbulkan
respon asertif yang merupakan kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang
lain dan akan memberikan kelegaan pada individu serta tidak akan menimbulkan
masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan
melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan
menentang merupakan respon yang maladaptif yaitu agresi-kekerasan (Purba dkk,
2008).
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan. Pasif
merupakan respons lanjutan dari frustasi dimana individu tidak mampu
mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan
nyata. Agresif adalah perilaku menyertai marah dan merupakan dorongan untuk
bertindak dalam bentuk destruktif dan masih dapat terkontrol. Perilaku yang tampak
dapat berupa muka masam, bicara kasar, menuntut, dan kasar disertai kekerasan.
Amuk atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan. Apabila marah tidak terkontrol sampai respons maladaptif (kekerasan)
maka individu dapat menggunakan perilaku kekerasan (Purba dkk, 2008).
B. Etiologi
Faktor predisposisi
a) Teori biologi
1) Neurologic faktor, beragam komponen dari sistem saraf seperti synap,
neurotransmitter, dendrit, axon terminalis mempunyai peran
memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yamg akan
mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif.
2) Genetic faktor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua,
menjadi potensi perilaku agresif. Menurut riset Kazuo Murakami (2007)
dalam gen manusia terdapat dormant (potensi) agresif yang sedang tidur
dan akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut
penelitian genetik tipe karkotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh
penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut
hukum akibat perilaku agresif.
3) Cyrcardian Rhytm (irama sirkardian tubuh), memegang peranan pada
individu. Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia

4
menghalangi peningkatan cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti
menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya pkerjaan sekitar jam
9 dan jam 13. Pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untul
bersikap agresif.
4) Biochemistry faktor (Faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmiter di
otak (epinephrin, norepinephrin, dopamin, asetikolin, dan serotonin)
sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem
persyarafan dalam tubuh, adanya stimulus dari luar tubuh yang di anggap
mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui implus
neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent.
Peningkatan hormon androgen dan norephinephrin serta penurunan
serotonin dan GABA pada cairan cerebospinal vertebra dapat menjadi
faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
5) Brain Area dirsorder, gangguan pada sistem imbik dan lobus temporal,
sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis,
epilesi ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan
tindak kekerasan.
b) Faktor psikologis
1) Teori Psikoanalisa
Agresif dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang
seseorang (life span hystori). Teori ini menjelaskan bahwa adanya
ketidakpusan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak
mendapatkan kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang
cukup cendurung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah
dewasa sebagai kompesasi adanya ketidakpercayaan pada
lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang
rendah.Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaanya dan rendahnya harga
diri pelaku tindak kekerasan.
2) Imitation, modeling, and information processing theory:
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan
yang menolelir kekerasan.Adanya contoh, model dan perilaku yang
ditiru dari madia atau lingkungan sekitar memungkinkan individu

5
meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak
dikumpulkan untuk menonton tayangan pamukulan pada boneka dengan
raward positif (makin keras pukulanya akan diberi coklat), anak lain
menonton tayangan cara mengasihii dan mencium boneka tersebut
dengan reward positif pula (makin baik belainya mendapat hadiah
coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-
masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah
dialaminya.
3) Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya.Ia mengamati bagaimana respon ayah saat
menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respons ibu saat
marah. Ia juga belajar bahwa dengan agresifitas lingkungan sekitar
menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa dirinya
eksis dan patut untuk diperhitungkan.
c) Aspek Religiusitas
Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresifitas merupakan
dorongan dan bisikan syetan yang menyukai kerusakan agar menusia
menyesal (devil support). Semua bentuk kekerasan adalah bisikan syetan
yang dituruti masunia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya
terancam dan segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal (ego) dan norma
agama (super ego) (Yosep, 2011).
Faktor presipitasi
Menurut Yosep (2011) Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan
sering kali berkaitan dengan:
a) Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
b) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c) kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuati dalam keluarga serta tidak
membisakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d) ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.

6
e) adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.
f) kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa tereancam, baik berupa
injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa factor pencetus
injury perilkau kekerassan adalah sebagai berikut(Wati, 2010) :
a) Klien: kelemahan fisik, keputasasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh
dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, mersa
terancam baik internal dari permasalan diri klien sendiri maupun eksternal dari
lingkungan.
c) Lingkungan: panas, padat, dan bising.
C. Manifestasi
Menurut Fitria (2009) tanda dan gejala perilaku kekerasan diantaranya adalah :
a) Fisik : mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang serta postur tubuh kaku.
b) Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, bicara dengan nada
keras, kasar dan ketus.
c) Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri, atau orang lain, merusak
lingkungan, amuk atau agresif.
d) Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk ingin berkelahi, menyalahkan
dan menuntut.
e) Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak
jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f) Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral
dan kreatifitas terhambat.
g) Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
h) Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.

7
D. Pathway

E. Penatalaksanaan
a) Farmakoterapi
Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.
Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi
contohnya Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan
psikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya
Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan
Transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun
demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
b) Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan
dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini
tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca

8
Koran, main catur dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka
melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman
dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi ini merupakan langkah awal yangb
harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannyan seleksi
dan ditentukan program kegiatannya.
c) Peran serta keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan(sehat-sakit) klien. Perawat membantu
keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah
kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada
anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan
menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai
kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptive
(pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptive (pencegahan
skunder) dan memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku adaptif (pencegahan
tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan kieluarga dapat ditingkatkan secara
optimal. (Budi Anna Keliat,1992).
d) Terapi somatic
Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic
terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan
mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan
tindankan yang ditunjukkan pada kondisi fisik klien, tetapi target terapi adalah
perilaku klien
e) Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien.
Terapi ini ada awalnya untukmenangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali
terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).

9
2.2 Konsep asuhan keperawatan
I. Identitas Klien
Nama : Tn.X
Umur : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : Tidak Terkaji
Pekerjaan : Tidak terkaji
Suku Bangsa : Tidak terkaji
Alamat : Tidak terkaji
No RM : Tidak terkaji
Informan : Tidak terkaji

II. Alasan Masuk


Tn. X berusaha 37 tahun dirawat di RSJ Provinsi Jawa Barat setelah setiap malam di
rumah berteriak-teriak tanpa sebab di kamarnya dan memukul orang yang dilihatnya.
III. Riwayat Kesehatan Sekarang
Saat dikaji oleh perawat Tn. X sedang di restrains berteriak dengan nada suara
tinggi , “Aku ingin mati!!! Jangan Ganggu!!! Data yang didapatkan klien bunuh diri
anomik, koping destruktif, intelektualisasi, rasionalisasi, regresi, disorientasi,
disorganisasi, sikap tubuh klien tegang, impulsif, agresif, agitasi, menarik diri,
katatonia, perilaku panik , personal space terganggu, gerakan mengancam, ekspansi
gerakan, kontak mata melotot, over rejection, seduction orang tua mempengaruhi
trust klien dam self esteem.
IV. Faktor presipitasi (pencetus)
Biologis : Tidak terkaji
Psikologis : Tidak terkaji
Sosial : Kehilangan anggota keluarga akibat kecelakaan
V. Faktor predisposisi (pendukung)
Biologis : Tidak terkaji
Psikologis : Tidak terkaji
Sosial : Keluarga
VI. Riwayat kesehatan sebelumnya
1. Pernah mengalami masalah gangguan jiwa di masa lalu : Tidak terkaji
2. Riwayat Pengobatan sebelumnya dan keberhasilannya : Tidak terkaji

10
VII. Riwayat kesehatan keluarga
1. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa?
Tidak terkaji
2. Genogram (minimal 3 generasi, termasuk keterangan siapa yang tinggal
serumah, yang meninggal, mengidap penyakit keturunan, dan sebagainya)
Tidak terkaji
VIII. Penilaian terhadap stresor (Kognitif, fisiologis, afektif, perilaku, sosial)
Tidak terkaji
IX. Sumber koping (Kemampuan personal, aset/ material, sumber dukungan, keyakinan
positif)
Tidak terkaji
X. Mekanisme koping
Tidak terkaji
XI. Pengkajian fisik
Tidak terkaji

Psikososial
1. Genogram : Tidak terkaji
(Genogram dibuat 3 generasi, adanya riwayat perceraian, adanya anggota
keluarga yang meninggal dan penyebab meninggal, gambarkan pasien tinggal dengan
siapa, bagaimana pola komunikasi antar anggota keluarga yang dilakukan dalam
keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga oleh siapa, bagaimana pola asuh
orang tua terhadap anak terutama pada pasien, mencakup situasi lingkungan
rumah/posisi kamar tidur pasien dengan anggota keluarga yang lain).
2. Konsep diri
a) Gambaran diri atau citra tubuh : Tidak terkaji
1) Bagaimanakan persepsi pasien terhadap bentuk dan fungsi tubuhnya
2) Menurut pasien, apakah ada bagian dari tubuh pasien yang tidak atau kurang
disukai oleh pasien
3) Menurut pasien, apakah ada bagian dari tubuh pasien yang mengalami
kehilangan atau penurunan fungsi
4) Bila tidak ada bagian tubuh yang bentuk tidak disukai dan fungsinya tidak
menurun, apakah pasien mampu menerima keadaan fisiknya tersebut

11
5) Jika ada bagian tubuh yang bentuknya tidak disukai dan fungsinya menurun,
bagaimana perasaan pasien terkait dengan perubahan tersebut, apakah sampai
mempengaruhi dalam berhubungan sosial dengan orang lain
b) Identitas diri : Tidak terkaji
1) Berisi status dan posisi pasien sebelum dirawat
2) Bagaimana kepuasan pasien terhadap sekolahnya, tempat kerjanya dan
kelompoknya
3) Tanyakan jenis kelamin pasien, apakah merasa puas dengan jenis kelaminnya
dan apakah perilakunya sesuai dengan jenis kelaminnya
4) Tanyakan pada pasien bagaimana kepuasannya terhadap sekolah, pekerjaan
dan kelompoknya serta jenis kelaminnya Apakah mempengaruhi hubungan
sosial dengan orang lain
5) Bila pasien puas dengan posisinya dalam sekolah, pekerjaan, kelompok dan
jenis kelaminnya, apakah pasien mampu menerima keadaan tersebut
c) Peran diri
1) Peran terkait dengan tugas dan peran pasien sebagai individu, anggota
keluarga, anggota kelompok dan anggota masyarakat
2) Apakah pasien dalam menjalankan perannya dari segi individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat
3) Sebagai individu sekarang usianya berapa (sesuai SPberkembangan) pasien
dapat menjalankan perannya atau tidak. Misalnya pasien berusia 35 tahun
termasuk usia dewasa, sudah bekerja atau menikah atau belum, jika belum
apakah kondisi ini mempengaruhi hubungannya denga orang lain
4) Sebagai anggota keluarganya, apakah sudah menikah atau belum, jika belum
apakah pasien dapat membantu pekerjaan orang tua di rumah. Misalnya
sebagai seorang laki-laki : apabila sudah apakah ada hambatan menjalankan
peran sebagai ayah, sebagai suami, sebagai pencari nafkah. Jika ada
hambatan dalam menjalankan peran sebagai anggota keluarga apa sampai
mengganggu hubungan dengan orang lain
5) Sebagai anggota masyarakat, apakah pasien dapat mengikuti kegiatan
kemasyarakatan yang ada di masyarakat (misalnya gotong royong, pengajian,
arisan) jika tidak dapat mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, apakah
mempengaruhi hubungannya dengan orang lain

12
d) Ideal diri
1) Bagaimanakah harapan pasien tentang tubuh, posisi, status, tugas dan fungsi
2) Bagaimanakah harapan pasien terkait dengan sekolahmya, pekerjaannya,
keluarganya , terhadap penyakitnya dan terhadap cita-citanya
3) Apabila pasien tidak mampu mencapai harapannya tersebut, apa yang
dirasakan
e) Harga diri
1) Bagaimana hubungan pasien dengan orang lain terkait kondisi gambaran diri,
identitas diri, peran , ideal diri
2) Bagaimana pandangan pasien tentang penilaian atau penghargaan orang lain
terhadap dirinya dan kehidupannya.

Pengkajian konsep diri tidak dapat dilakukan pada pasien yang masih
agitasi/gaduh gelisah, bicaranya kacau, ada gangguan memori, pasien yang autistik dan
mutisme.
1. Hubungan sosial
a. Di rumah : Tidak terkaji
b. Di rumah sakit : Tidak terkaji
c. Kegiatan kelompok apa saja yang diikuti pasien dalam masyarakat : Tidak terkaji
d. Kegiatan kelompok apa saja yang diikuti pasien di rumah sakit : Tidak terkaji
e. Ada ketergantungan pasien terhadap seeorang atau orang lain yang
mempengaruhi hubungan pasien dengan kelompok dan masyarakat: Tidak terkaji
2. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan : Tidak terkaji
b. Kegiatan ibadah : Tidak terkaji
c. Pandangan pasien dan keluarga tentang kegiatan ibadah :Tidak terkaji
3. Pengkajian Status Mental
a. Penampilan : Tidak terkaji
b. Pembicaraan : Nada suara tinggi (keras)
c. Aktivitas motorik : Tidak bisa tenang (hipermotorik), Agitasi (kegelisahan
motorik, mondar-mandir), Mata melotot.
d. Alam perasaan : Tubuh klien tegang dan panik
e. Afek : Labil ( Emosi pasien yang cepat berubah)
f. Interaksi selama wawancara : Tidak terkaji

13
g. Persepsi : Tidak terkaji
h. Proses pikir : Tidak terkaji
i. Isi pikir : Tidak terkaji
j. Tingkat kesadaran dan orientasi : Tidak terkaji
k. Memori : Tidak terkaji
l. Tingkat konsentrasi dan berhitung : Tidak terkaji
m. Kemampuan penilaian : Tidak terkaji
n. Daya tilik diri : Tidak terkaji

Analisa Data
Data Etiologi Masalah
Ds: Koping individu tidak Prilaku kekerasan
- setiap malam dirumah efektif
berteriak-teriak tanpa
sebab, dan memukul
orang yang dilihatnya
Do:
- restrains
- agresif
Ds: Kehilanga anggota keluarga Resiko bunuh diri
- pasien mengatakan “aku
ingin mati!!jangan
ganggu!!!”
Do:
- gerakan mengancam
- personal space terganggu
- katatonia
- bunuh diri anomik
Ds: Perubahan status mental Isolasi sosial
Do:
- personal space terganggu
- over rejection
- Menarik diri
- bunuh diri anomik

14
Diagnosa keperawatan
1. Perilaku kekerasan berhubungan dengan koping individu tidak efektif
2. Resiko bunuh diri berhubungan dengan kehilangan anggota keluarga
3. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status mental

Intervensi
dx Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
1 Setelah dilakukan tindakan a. Bina hubungan saling a. Hubungan saling
keperawatan selama 3x24 percaya dengan percaya memungkinkan
jam diharapkan pasien dapat menggunakan prinsip klien terbuka pada
mengontrol perilaku komunikasi terapeutik. perawat dan sebagai
kekerasan dengan kreteria dasar untuk intervensi
hasil : selanjutnya.
- Membina hubungan b. Diskusikan kemampuan b. Mengidentifikasi hal-hal
saling percaya dan aspek positif yang positif yang masih
- Pasien dapat menyebut dimiliki klien dimiliki klien.
kan penyebab PK c. Setiap bertemu klien c. Pemberian penilaian
- Pasien dapat dihindarkan dari memberi negatif dapat menurun
menyebutkan tanda penilaian negatif. kan semangat klien
gejala PK dalam hidupnya.
- Pasien dapat d. Utamakan memberi pujian d. meningkatkan harga diri
mengidenti fikasi PK yang realistik pada klien
yang dilakukan kemampuan dan aspek
- Pasien menyebutkan positif klien
cara mengontrol PK e. Diskusikan dengan klien e. mengidentifikasi kemam
- Pasien mampu kemampuan yang masih puan yang masih dapat
mempraktekkan latihan dapat digunakan. digunakan.
cara mengontrol PK f. Diskusikan kemampuan f. mengidentifikasi
dengan nafas dalam, yang dapat dilanjutkan kemampuan yang masih
pukul bantal atau kasur, penggunaannya di rumah dapat dilanjutkan.
secara verbal, secara sakit.
spiritual dan g. Bantu keluarga memberi g. meningkatkan peran
penggunaan obat kan dukungan selama serta keluarga dalam
dengan benar klien dirawat. membantu klien.

15
2 Setelah dilakukan tindakan a. Bina hubungan saling a. Kepercayaan dari klien
keperawatan selama 3x24 percaya dengan merupakan hal yang
jam diharapkan pasien dapat menggunakan prinsip mutlak serta akan
mengekspresikan wajah komunikasi terapeutik : memudahkan dalam
bersahabat, menunjukkan b. Sapa klien dengan ramah pendekatan dan tindakan
rasa senang, ada kontak baik verbal maupun keperawatan yang akan
mata, mau berjabat nonverbal dilakukan kepada klien
tangan,mau menyebutkan - Perkenalkan nama,
nama, mau menjawab nama panggilan dan
salam, mau duduk tujuan perawat
berdampingan dengan berkenalan
perawat, mau mengutarakan - Tanyakan nama
masalah yang dihadapi lengkap dan nama
dengan kreteria hasil : penggilan yang
- Klien tidak disukai klien
mencederai diri - Buat kontrak yang
sendiri jelas
- Klien dapat - Tunjukan sikap jujur
membina hubungan dan menepati janji
saling percaya. setiap kali
berinteraksi
- Tunjukan sikap
empati dan
menerima apa
adanya
- Beri perhatian
kepada klien dan
masalah yang
dihadapi klien
- Dengarkan dengan
penuh perhatian
ekspresi perasaan
klien
3 Setelah dilakukan tindakan a. Bina hubungan saling a. Hubungan saling

16
keperawatan selama 3x percaya dengan klien percaya sebagai dasar
interaksi klien dengan menggunakan/ interaksi perawat dan
menunjukkan: komunikasi terapeutik klien.
yaitu sapa klien dengan
TU: Klien dapat berinteraksi ramah, baik secara
dengan orang lain. verbal maupun non
verbal, perkenalkan
TK: nama perawat, tanyakan
 Klien dapat membina nama lengkap klien dan
hubungan saling percaya. panggilan yang disukai,
Kriteria hasil: jelaskan tujuan
- Wajah cerah, pertemuan, bersikap
tersenyum. empati dan menerima
- Mau berkenalan klien apa adanya.
- Ada kontak mata b. Kaji pengetahuan klien b. Mengetahui kondisi
- Bersedia tentang perilaku isolasi klien yang mengalami
menceritakan sosial dan tandanya. isolasi sosial dan
perasaan tandanya.
 Klien mampu c. Beri kesempatan klien c. Megetahui kemampuan
menyebutkan penyebab untuk mengungkapkan klien dalam menelaah
isolasi sosial. perasaan yang keuntungan dan
Kriteria hasil: menyebabkan tidak mau kerugian berinteraksi
- Menyebutkan dari bergaul. dengan oranglain.
diri sendiri, d. Beri pujian terhadap d. Mengetahui kemampuan
oranglain dan kemampuan klien klien dalam membina
lingkungan. mengungkapkan hubungan dengan
 Klien mampu perasaanya. oranglain.
menyebutkan keuntungan e. Kaji pengetahuan klien e. Mengetahui perasaan
dan kerugian berhubungan tentang keuntungan dan klien jika berinteraksi
dengan oranga lain. kerugian dengan oranglain.
Kriteria hasil: bergaul/bersosialisasi.
- Dapat menyebutkan - Diskusikan bersama
keuntungan: banyak klien tentang
teman, tidak keuntungan dan

17
kesepian, bisa kerugian tidak
diskusi, saling berinteraksi dengan
menolong. oranglain.
- Dapat menyebutkan - Beri penguatan
kerugian: sendiri, positif terhadap
kesepian, dan tidak kemampuan
bisa diskusi. mengungkapkan
 Klien mampu perasaan tentang
melaksanakan hubungan keuntungann dan
sosial secara bertahap. kerugian
Kriteria hasil: berhubungan dengan
- Bersosialisasi oranglain.
dengan perawat, f. Bantu klien untuk f. Mengetahui kemampuan
perawat lain, klien mengenal obat yang klien dalam meminum
lain, kelompok. minum. obat dan efek obatnya
 Klien mampu - Diskusikan dengan agar klien tidak putus
menjelaskan klien tentang efek obat.
perasaannya setelah samping obat, nama,
berhubungan sosial. warna, dan dosis.
Kriteria hasil: - Diskusikan dengan
- Dapat bersosialisasi klien tentang efek
dengan oranglain samping obat.
dan kelompok.
 Klien dapat
memanfaatkan obat
dengan baik.
Kriteria hasil:
- Klien mampu
menyebutkan
manfaat minum obat
dan kerugian tidak
minum obat.
- Klien mampu
menyebutkan nama,

18
warna, dosis, efek
terapi, dan efek
samping obat.
- Klien mampu
mendemonstrasikan
penggunaan obat
dengan benar.
- Klien menyebutkan
akibat berhenti
minum obat tanpa
konsultasi dokter.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Agression: An emotion comfounded of frustation and hate or rage. It is an emotion
deeply rooted in every one of us, a vital part of our emotional being that must be either
projected outward on the environtment or inwar, destructively, on the self.
Suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau
marah. Hal ini didasari keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebaga bagian
penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan ke dalam diri
atau secara destruktif.
Menurut Fitria (2009) tanda dan gejala perilaku kekerasan diantaranya adalah :
 Fisik : mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang serta postur tubuh kaku.
 Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, bicara dengan nada keras,
kasar dan ketus.
 Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri, atau orang lain, merusak
lingkungan, amuk atau agresif.
 Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
 Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
 Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan
kreatifitas terhambat.
 Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
 Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.

20
DAFTAR PUSTAKA

Yosep Iyus. 2010. Keperawaan Jiwa. Edisi revisi, Bandung : PT Refika Aditama
Kusumawati, farida. 2010.Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta :salemba medika
Keliat, Ana Budi. Dkk. 2009. Model Praktik Keperawatan professional Jiwa, Jakarta; EGC

21

Anda mungkin juga menyukai