Trauma kimia memiliki potensi kebutaan pada mata dan merupakan kasus emergensi yang
membutuhkan inisiasi tatalaksana cepat dan segera. Mayoritas korban trauma kimia pada mata
merupakan pasien muda dan trauma biasanya terjadi saat dirumah, di tempat kerja, atau berhubungan
dengan kasus kriminal. Cedera alkali terjadi lebih sering dibandingkan dengan trauma asam. Trauma
kimiawi pada mata memiliki kerusakan nyata pada permukaan epitel mata, kornea, segmen anterior
dan stem sel limbus yang menyebabkan gangguan penglihatan permanen unilateral atau bilateral.
Tatalaksana emergensi menjadi hal utama yang sangat dibutuhkan menjadi faktor yang menentukan
luaran perbaikan visual. Artikel ini menggambarkan dari tatalaksana emergensi dan teknik terbaru
dalam meningkatkan prognosis pasien dengan trauma kimia.
Pendahuluan
Trauma kimia pada mata membutuhkan evaluasi dan tatalaksana intensif yang cepat dan
tepat. Sequele dari trauma mata dapat memburuk dan menjadi tantangan dalam tatalaksana. Perbaikan
dalam pemahaman patofisiologi dari trauma kimia, bersamaa dengan kemajuan rekonstruksi
permukaan mata telah memberikan harapan kepada pasien yang dapat meperburuk prognosis
penglihatan. Setelah trauma kimia, tujuan daru terapi adalah untuk emmperbaiki permukaan normal
mata dan kejernihan kornea. Jika kerusakan lebih lanjut dari korea terjadi, grafting stem sel limbus,
transplantasi membran amnion dan kemungkinan keratoprostesis dapat digunakan untuk memperbaiki
pandangan penglihatan. Artikel ini akan menggambarkan literatur yang ada dan mendiskusi teknik
terbaru yang dapat digunakan untuk memperbaiki prognosis pasien dengan trauma kimia.
Epidemiologi
Trauma kimia mata dapat terjadi dalam keadaan yang berbeda dengna lokasi seperti rumah,
tempat kerja, dan sekolah [Tabel 1]. Trauma ini sangan sering ditemukan pada pekerja laboratorium
kimia, pabrik mesin, perkebunan, dan diantara pekerja konstruksi dan buruh. Sering juga dilaporkan
kasus serupa pada fasilitas perbaikan kendaraan, jasa kebersihan, dll. Trauma kimiapada mata
biasanya terjadi pada grup umu 20-40 tahun, dengan laki-laki sebagai resiko terbesar. Dalam studi
retrospektif dalam insiden dan prevalensi dari trauma kimia, 171 pasien di teliti dalam interval 1
tahun. Kecelakaan industrial menghasilkan 61% dari total trauma; 37% terjadi dirumah. Selebihnya
tidak diketahui penyebabnya.1 Trauma cairan asam pada otomotif telah meningkat sehingga lebih
sering terjadi. Saat pengisian tenaga seperti contoh pada aki dimana 25% merupakan asam sulfat,
hidrogen, dan oksigen yang di produksi oleh bentuk elektrolisis dari gabungan gas yang mudah
terbakar.
Studi terkini menempatkan insidensi dari trauma okuli mata dalam 7,7-18% dalam keseluruhan kasus
trauma. Mayoritas korban usia muda dan terpapar saat dirumah, tempat kerja, dan kasus kriminal.
Trauma alkali lebih sering terjadi dibandingkan trauma asam.
Patogenesis
Trauma asam
Cairan asam memiliki pH rendah dibandingkan normal (7,4) yang dapat mengendapkan protein
jaringa, membentuk batasan untuk penetrasi okular. Karena fakta ini trauma asam tidak lebih parah
dari trauma alkali. Satu pengecualian pada asam hidriflurat yang dengan cepat menembus membran
sel dan masuk ke bilik anterior mata.
Nantinya akan bereaksi dengan kolagen dan menyebabkan pemendekan dari jaringan kolagen yang
berakibat pada peningkatan tekanan intraokular. Setelah trauma asam merusak corpus siliaris,
penurunan level dari aqueos.
Cedera alkali
Cedera alkali dapat merusak kornea dengan perubahan pH, ulserasi, lisis protein dan defek sintesis
kolagen. Zat kimia dalam alkali adalah lipophilic dan dapat menembus mata lebih cepat dari asam.
Zat ini dapat dengan cepat masuk ke dalam permukaan okular dan menyebabkan reaksi saponifikasi
dalam sel. Jaringan yang rusak akan mensekresi enzim proteolytic sebagai bagian dari respon
inflamasi yang akan merujuk kepada kerusakan kedepan. Zat kimia alkali dapat masuk ke bilik
anterior dan menyebabkan pembentukan katarak, merusak dari corpus siliaris dan trabekula
meshwork.
Kerusakan parah dari epitel kornea dan konjugtiva dari cedera okular merusak stem sel pluripoten
limbus dan menyebabkan defisiensi dari stem sel limbus. Hal ini akan merujuk pada kelabu dan
hilangnya penglihatan (opasifikasi) dan neovaskular dari kornea. Peningkatan tekanan intra okular
(TIO) akut terjadi karena kontraksi dan mengecilnya kornea serta sklera.3 peningkatan TIO kronis
dapat terjadi dari akumulasi inflamasi dalam trabekula meshwork, bersamaan dengan kerusakan
trabekula meshwork itu tersendiri. Kerusakan konjungtiva menyebabkan jaringan parut, iskemik
perilimbus, dan kontraktur forniks. Kerusakan sel goblet dan inflamasi konjungtiva menyebabkan
permukaan konjungtiva rentan kering. Malposisi palpaebra dapat terjadi karena formasi simblepharon
merujuk ke keadaan enteropion dan ektropion.
Klasifikasi
Skema klasifikasi terhadap kelanjutan dari awa;l trauma mulanya dikembangkan pada pertengan
tahun 1960 oleh Ballen.4 dan di modifikasi oleh Roper-Hall.5 Sistem klasifikasi Roper-Hall berdasar
pada besarnya derajat kaburnya kornea dan jumlah dari iskemik perilimbus (Tabel 2). Pfister
membuat sistem klasifikasi bervariasi mulai dari ringan, sedang, sedang-berat, berat, dan sangat berat
berdasarkan gambar dan foto demonstrasi kaburnya kornea dan iskemik perilimbus.6
Dua et al. memberikan skema klasifikasi berdasarkan jam terlibatnya limbus bersama dengan
presentase keterlibatan konjungtiva bulbi (Tabel 3).7
Hal yang penting dalam pengaturan klinis adalah dengan mencatan jumlah limbus, kornea, dan
konjungtiva pada awal trauma dan mendokumentasikan perubahan dalam pemeriksaan follow up
pasien. Penilaian keparahan gejala dapat memberikan prognosis lebih baik terhadap pasien.
Berdasarkan dari studi kasus McCulley dari trauma kimia mata dapat dibagi kedalam empat fase:
Langsung, Akut, Perbaikan Awal, dan Perbaikan Lanjutan.8
Fase Langsung
Fase ini terjadi saat trauma pertama kali kontak dengan permukaan mata. Elemen kunci untuk
menentukan luaran dari trauma kimia mata dan prognosisnya adalah :
Fase Akut
7 hari pertama setelah trauma kimia pada mata terjadi fase dari kesembuhan. Dalam waktu ini
jaringan akan membersihkan kontaminasi sambil memperbaiki lapisan proteksi superfisial dari epitel
kornea.
Epitel berfungsi sebagai barrier proteksi terhadap enzim dalam air mata yang merujuk ke penipisan
kornea dan perforasi. Hal ini juga memicu regenerasi stroma dan perbaikan. Mekanisme inflamasi
signifikan mulai berubah di permukaan okular dan dalam mata. Dalam stase ini, kenaikan TIO
terjadi.3
Fase ini merupakan transisi dari penyembuhan okuli dimana terjadi regenerasi langsung dari
permukaan epitel mata dan inflamasi akut yang menyebabkan inflamasi kromis, perbaikan stroma,
dan sikatrik. Dalam fase ini, ulserasi kornea terjadi. Ulserasi stroma yang bertanggung jawab dalam
aktifnya enzim pencernaan seperti kolagenase, metaloproteinasem dan protease lain lepas daru epitel
kornea yang beregenerasi dan polymorphonuklear leukosit.
Tiga minggu setelah trauma kimia amta terjadi proses penyembuhan dan memulai fase perbaikan
akhir. Dalam fase ini dikarakterkan dengan selesainya penyembuhan dengan perbaikan dari prognosis
penglihatan (Grade I dan II) dan komplikasi dalam penglihatan (Grade III dan IV). Komplikasi akhir
dari trauma kimia seperti penurunan tajam penglihatan, sikatrik kornea, xerofthalmia, mata kering,
symblepharon, ankyloblepharon glaukoma, uveitis, katarak, abnormalitas adnexa seperti
lagophtalmos, enteropion, ektropion, dan trikiasis.
Inisiasi awal dari tatalaksana berpengaruh terhadap hasil dan individu harus menunggu untuk asesmen
tepat dari trauma.
Pasien dengan trauma kimia sering dibawa ke unit gawat darurat. Setelah anamnesis bagaimana
trauma didapat dan bahan kimia apa sebaiknya dapat diidentifikasi, namun hal ini untuk tatalaksana
kedua. Tatalaksana awal harus terdiri dari irifasi dan evaluasi dari mata dengan NaCl atau RL dapat
dilakukan dan terkadang irigasi dengan volume lebih dari 20 L diperlukan untuk mengubah level
fisiologis (tes pH harus dilakukan). Setelah irigasi dilakukan dan pH menjadi netral, pemeriksaan
mata harus dilakukan dengan memperhatikan forniks, ketajaman penglihatan, TIO, pemutihan
perilimbus. Dalam kasus pediatrik jika pemeriksaan tidak dapat dilakukan dalam anestesi lokal, maka
dapat dilakukan anestesi general.
a. Air mata buatan : dapat memperbaiki dari epiteliopathi, mengurangi resiko dari erosi rekuren
dan memperepat rehabilitasi visual
b. Kontak lensa : lensa dengan permeabilitas hidrofilik oksigen merupakan sebuah pilihan.
Dapat membantu migrasi epitel, regenerasi membran dan memperbaiki adesi stromal epitel.
c. Obat tambahan :
1. Asam retinoid – telah terbkti dalam pengobatan gangguan pada permukaan mata dengan disfungsi
sel goblet
2. Fibronectin dan faktor pertumbuhan epidermal – telah memberikan efek dalam memperbaiki
epitalisasi.
Epitelium yang masih intak harus terjadi pada fase ini. Jka tidak, terapi agresif diberikan dengan
menggunakan lubrikan, sumbat yang tepat, oklusi dengan cautery, kontak lensa, dan tarsorrhapy. Jika
epitel tidak intak, dosis kortikosteroid di turunkan dan dihentikan pada hari ke 14 setelah terjadinya
trauma. Askorbat dan sitrat diteruskan, antiglaukoma diteruskan jika dibutuhkan. Antibiotik diberikan
dan dievaluasi dari pembentukan simblepharon.
Pasien dengan trauma mata yang tidak memiliki epitelium yang intak pada hari ke 21 dapat
meninkatkan resiko kehilangan penglihatan permanen. Bersamaan dengan lanjutan pengobatan,
modalitas bedah menjadi tatalaksana polihan dalam trauma mata pada fase ini. Dengan beberapa
strategi seperti perbaikan konjungtiva, adesi jarngan, penetrasi keratoplasti terapeutik, transplantsi
membran amniotik.
Fase rehabilitsi
Setelah mata di stabilkan, transplantasi stem sel limbus menunjukkan hasil yang baik dalam perbaikan
trauma kimia mata yang tidak mengalami perbaikan dengan pengobatan diatas. Stem sel limbus dapat
didonasikan dari mata pasien yang tidak mengalami trauma, keluarga kandung, atau post-mortem
globe. Semua menunjukan perbaikan signifikan pada permukaan mata. Setelah permukaan kembali
membaik, penetrasi keratoplasti atau keratoprostesis dapat menjadi pertimbangan.11
Kesimpulan
Pasien yang datang dengan trauma kimia pada mata membutuhkan tatalaksana langsung, evaluasi
ketat, dan pengobatan intensif. Pemahaman lebih lanjut mengenai patofisiologi dari trauma dapat
merujuk kepada perbaikan dengan pengobatan seperti penggunakan askorbat topikal dan sitrat,
tatalaksana bedah seperti transplantasi membran amniotik, transplantasi stem cell, penetrasi
keratoplasi dan keratoprostesis dapat dilakukan jika dibutuhkan. Tujuan dari pengobatan adalah untuk
mengembalikan dari anatomy amta normal, posisi palpaebra, mengontrol glaukoma, dan memperbaiki
kejernihan kornea.