Difteri Referat
Difteri Referat
PEMBIMBING :
Dr. Mas Wisnu Wardhana, Sp.A
ABSTRAK
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau
mukosa.
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi
tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa menjadi media penularan
(vehicle of transmission). Menurut manifestasi klinisnya difteri terdiri dari difteri hidung, difteri
tonsil faring, difteri laring, dan difteria kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga. Diagnosis
tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung
kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman
Corynebacterum diphteriae. Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat obstruksi jalan napas,
aktivitas eksotoksin, ataupun karena infeksi sekunder bakteri lain.
Pengobatan difteri baik secara umum ataupun sekunder bertujuan menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi Corynebacterum diphteriae untuk mencegah penularan, serta mengobati infeksi
penyerta dan penyulit difteria. Imunisasi DPT dan pengobatan carrier dapat membantu dalam
pencegahan diferi.
Penanganan yang terlambat pada difteri dapat menyebabkan timbulnya komplikasi
seperti miokarditis yang dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio kordis.
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotic lebih baik daripada sebelumnya.
Selain itu prognosis pada difteri juga tergantung terhadap usia penderita, waktu pengobatan
antitoksin, tipe klinis difteri, dan keadaan umum penderita.
Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, karena
telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa dekade. Namun, difteri masih
sering ditemukan pada negara-negara berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah
seperti halnya yang saat ini terjadi di Jawa timur.
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi
tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa menjadi media penularan
(vehicle of transmission).
Difteria kulit, meskipun jarang dibahas, memegang peranan yang cukup penting secara
epidemiologik. Pada suatu saat ketika angka kejadian difteria faucial di beberapa negara mulai
memudar, difteria kulit dilaporkan meningkat. Hal yang penting bahwa dalam suatu populasi
tertentu dengan karier kulit dalam proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap
difteria faucial, namun sebalikya berperan pula dalam terjadinya wabah difteri faucial.
Di Indonesia, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur, Semarang,
Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR) 11,7-31,9%. Di Jawa
Timur sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan jumlah kematian 11 orang dan pada
tanggal 10 Oktober 2011 Provinsi Jawa Timur dinyatakan berstatus KLB.
MANIFESTASI KINIS
Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteri, virulensi serta
toksigenitas Corynebacterum diphteriae dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Masa inkubasi antara 1-5 hari dengan perjalanan penyakit bersifat insidious
(perlahan-lahan) dimulai dengan gejala yang tidak spesifik. Difteri mempunyai masa tunas 2 - 6
hari. Pasien pada umumnya datang berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik.
Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit
difteri.
Difteria Hidung
Difteria hidung pada umumnya menyerupai common cold, dengan gejala klinis pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus
dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorsi toksin sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat
Difteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer gejala
toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala
klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas
bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran
yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobrongkial.Apabila
difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obsruksi dan toksemia
DIAGNOSIS KERJA
DIFTERI PADA ANAK
Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan
membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman difteri dengan sediaan langsung kurang dapat
dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody
technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi
Corynebacterum diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler, dilanjutkan dengan test
oksinogenesitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).
Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri
dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
penggunaan secara luas.
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan
preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan
kuman Corynebacterum diphteriae.
KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis
Kontak dengan penderita difteri
Suara serak
Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas
Demam tak begitu tinggi
Pemeriksaan Fisik
Tonsilitis, faringitis, rinitis
Limfadenitis servikal + edema jaringan lunak leher (bullneck)
Sangat penting untuk dignosis ditemukannya membran pada tempat infeksi yang
berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat
DIAGNOSIS BANDING
Difteria Hidung : rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam
hidung, snuffles (lues kongenital)
Difteria Faring : tonsilitis membranosa akut yang disebabkan oleh Streptokokus
(tonsilitis akut, septic sore throat), mononukleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa non-
bakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
Difteria Laring : laringitis, dapat menyerupai infectious croups yang lain yaitu
spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring.
Difteria Kulit : impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus dan
stafilokokus.
PENYULIT
Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin. Maka penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam :
1. Obstruksi jalan nafas
Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran difteri atau oleh karena edema
pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan servikal.
2. Efek eksotoksin
Dampak eksotoksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang dapat
terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada pasien yang
terlambat mendapat pengobatan antitoksin. Penyulit pada jantung berupa miokardiopati
toksik bisa terjadi pada minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih
lambat (minggu ke-6). Manifestasinya bisa berupa takikardi, suara jantung redup, bising
jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung. Kelainan pemeriksaan
elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart
block.
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
Corynebacterum diphteriae untuk mencegah penularan, serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteria.
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2 - 3 minggu.
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih lama bila terjadi miokrditis
Oksigen bila sesak nafas
Pemberian cairan serta diet makanan lunak yang mudah dicerna dengan kalori tinggi
Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan humidifier.
Trakeostomi pada kasus dengan obstruksi saluran nafas berat
Prednisone 1 – 1,5 mg/kgbb/hari, peroral, tiap 6 – 8 jam pada kasus berat selama 14 hari.
Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri. Sebelumnya harus
dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam
semprit. Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 :
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml dalam waktu
kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya
reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
2. Antibiotik
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi toksin.
Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari atau 25.000 – 50.000 U/kgbb/hari
intra muscular, tiap 12 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negative (-).
Bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 - 50 mg/kg/hari, di bagi dalam 4 dosis maksimal 2gr/
hari, peroral atau intravena, tiap 6 jam selama 14 hari.
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Di Ruang
Menular Anak RSUD Dr. Soetomo, kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi Schick
negatif tetapi mengandung basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi / adenoidektomi
Pengobatan yang diberikan adalah Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral / suntikan, atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
PENCEGAHAN
Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada umumnya
setelah menderita penyakit difteri kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah
sehingga perlu imunisasi.
Khusus
Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.
Kekebalan pasif :
Diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteri (sampai 6 bulan) dan
suntikan antitoksin (sampai 2-3 minggu).
Kekebalan aktif :
Diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi
toksoid difteri.
Imunisasi
Imunisasi DPT merupakan vaksin mati, sehingga untuk mempertahankan kadar antibodi
menetap tinggi di atas ambang pencegahan, kelengkapan ataupun pemberian imunisasi ulangan
sangat diperlukan. Imunisasi DPT lima kali harus dipatuhi sebelum anak berumur 6 tahun.
Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan
interval masing-masing 4 minggu. Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan
Test kekebalan :
Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes dilakukan dengan
menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan
antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes dilakukan dengan
memberikan 0,1 ml larutan fluid difteri toxoid secara suntikan intradermal. Reaksi positif
bila dalam 24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti bahwa :
o pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas.
o pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
Semua anak yang kontak dengan penderita harus dilakukan pemeriksaan sediaan
langsung dari hidung dan tenggorok.
Bila hasil (-)
Eritromisin 40 – 50 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis, maksimal 2 gr/hari, peroral, selama 7
hari
Imunisasi DPT / DT pada anak yang belum pernah diimunisasi, ulangan pada anak yang
telah mendapatkan imunisasi.
PROGNOSIS
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotic lebih baik daripada
sebelumnya. Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50 %.
Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan sering
terjadi akibat miokarditis. Di Indonesia pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi
masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Bila antitoksin diberikan pada hari
pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari
hari ke-6 akan menyebabkan angka kematian meningkat sampai 30%. Menurut Krugman,
kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena :
1. obstruksi jalan napas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteri,
2. adanya miokarditis dan gagal jantung
3. paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan
kelainan jantung yang menetap.
Prognosa tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada anak-anak
kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran difteri.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring(48,4%)
dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik