Anda di halaman 1dari 3

ESKALATOR

ANISA, sedang memasuki sebuah plaza, matanya tertarik ke beberapa blus yang cocok untuk
nonton, beli bakso, jalan-jalan ke tepi pantai. (Akan dibelinya dua blus, untuk keperluan
itu!).
Anisa, memutuskan untuk melihat yang lain dulu. Dia tidak perlu tergesa-gesa, hari ini cuti!
Dia ingin belanja baju. Seminggu lagi, Anisa akan menghadiri pernikahan bosnya, mbak
Erlika (putri pejabat tinggi di negeri ini dengan presenter yang sedang naik daun). Pesta
pernikahan yang beberapa hari ini, sudah dilansir oleh media massa dan elektronik. Bahkan
begitu banyaknya yang ingin hadir di pernikahan itu, konon kartu undangan pernikahan,
mbak Erlika bisa dijual belikan.
Sebagai sekretaris mbak Erlika, Anisa tentu akan hadir di pesta pernikahan, yang paling
bergengsi di tahun ini. Padahal Anisa, seorang perempuan dari daerah. Tepatnya, dia lahir
dan dibesarkan di sebuah kota kecil di sebelah selatan kota Malang. Dimana perempuan-
perempuan di tempatnya masih hidup dengan pola lama.
Kebanyakan menikah dalam usia muda, tidak berminat melanjutkan sekolah setelah
menamatkan SMP-nya. Tata cara hidupnya seperti mbah-mbah mereka dulu, setelah bangun
pagi memasak untuk seisi rumah, sambil merawat anak-anaknya. Di sela-sela waktunya, baik
secara bersama maupun sendiri, mereka nonton TV dan membicarakan tokoh-tokoh dalam
sinetron, sepertinya tokoh-tokoh itu adalah tetangga sebelah rumah.
***

ANISA, melihat baju-baju lagi dengan naik eskalator dari tingkat pertama, sampai tingkat
terakhir. Kemudian kembali ke tempat pertama, di mana, Anisa melihat baju yang disukainya
itu!
Kala melihat harganya! Anisa ragu, dia memutuskan untuk melihat-lihat gaun yang lainnya
dulu. Beberapa bulan lagi, adik bungsunya akan masuk ke Universitas, berarti harus
menghemat di pos baju.
***
KETIKA dia masih kecil, kakak lelakinya, memutuskan baju apa yang pantas bagi dirinya!
Dia memang suka mengoleksi baju sejak kecil. Kakak lelakinya sering bilang, “Para suami
tidak akan senang pada perempuan yang sangat suka belanja baju. Seharusnya, kau mulai
menghitung dengan cermat uang gajimu, agar bisa menabung. Adik bungsu kita akan masuk
universitas. Tidak semua beban sekolahnya, bisa saya biayai sendiri seperti pada masa kamu
kuliah, apalagi kau tahu anak-anakku sebentar lagi juga akan masuk universitas.”
***
SESUNGGUHNYA, dia tidak pernah merasa harus mengikuti mode. Apalagi uang gajinya
sebagai sekretaris mbak Erlika di kota ini, tidaklah besar. Uang gajinya sekitar tiga juta
rupiah. Kalau dirinci yang harus dibayar adalah: kos, transportasi ke kantor, makan sehari-
hari dan mengirim uang sekolah adiknya, jadi yang tersisa tidaklah banyak. Kehidupan Anisa
kini, pasti lain kala masih mahasiswa di kotanya (Malang). Begitu banyak yang meski
dibelinya. Tentu, sekali lagi, bukan karena dia ingin menjadi modis atau pesolek. Tapi
pergaulan sosialnya, menuntut untuk berpenampilan, yang pastinya tidak murah.
Anisa, mengalihkan perhatiannya pada gaun yang lain. Harga gaun ini, tidak semahal yang
pertama. Tapi, setelah diperhatikan dengan seksama, warnanya terlampau pucat untuk
dipakai di pesta Erlika, yang diadakan di ballroom mewah, di mana tata lampunya, mengikuti
orang-orang yang ingin bersalaman dengan pengantin.
Anisa, ingat kakak lelakinya pernah menampar, kala dia membeli gaun pilihannya sendiri!
Menurut kakak lelakinya, gaun itu mengesankan pemakainya perempuan nakal. Semua
kerabatnya sepaham kalau gaun itu lebih baik dibakar. Waktu itu, dia baru saja empat belas
tahun. Oleh karenanya, semua memberi nasihat, “Sebenarnya setiap suami lebih suka pada
perempuan yang sederhana.”
Anisa, melihat sekotak make-up, yang pasti serasi dengan gaun pilihannya yang pertama.
Sebetulnya, Anisa merasa pas dengan gaun pilihannya yang pertama itu. Tapi kalau dia jadi
membeli, uangnya tidak cukup untuk membeli aksesoris, sebagai pelengkap gaun itu.
Anisa tersenyum, sudah dibayangkan, seandainya dia memakai gaun tadi, dalam pesta mbak
Erlika, semua orang pasti membelalakkan matanya. Kalau saja pada waktu itu, dia tidak
ngotot dan kerja di kota metropolis ini, pasti dia kini sudah jadi istri Hasan, yang hidupnya di
kota kecil. Sekalipun pada awalnya, dia begitu ketakutan dan kesepian tinggal di kota
metropolis ini. Sehingga, kadang-kadang berPikir untuk menerima saja saran keluarganya,
menjadi istri Hasan.
***
ANISA berjalan lagi kebagian lain di plaza ini. Matanya tertumbuk pada gaun pengantin,
gaun itu putih, dia tidak berani membayangkan, apakah kelak akan tersenyum dengan
memakai gaun pengantin itu.
Lantas, cepat-cepat dia mengalihkan perhatiannya pada tas bagus. Melihat beberapa warna
yang bagus, dia tersenyum sendiri. Anisa, belum memutuskan gaun mana yang akan dibeli
untuk pestanya, mbak Erlika, Anisa tidak mau buru-buru menentukan pilihannya. Tiga bulan
yang lewat, pernah membeli gaun di sini, sampai hari ini, tidak ingin memakainya. Tentu
saja, dia tak ingin kejadian itu, terulang. Sebenarnya, dia sudah banyak melihat gaun di sini,
tapi tak ada yang cocok. Kalau cocok, gaun itu terlampau mahal. Tiba-tiba matanya
tertumbuk pada sebuah gaun semodel yang dibakar kakaknya.
Anisa, lantas pindah ke plaza lain. Ada beberapa gaun yang menarik perhatiannya.
***
DIA melihat gaun yang lebih bagus dari pilihannya yang pertama. Dia menduga cuma dengan
gaji sebesar gaji mbak Erlika bisa dibelinya gaun semacam itu. Anisa melihat lagi gaun itu,
kalau menguras uang tabungannya, pasti bisa terbeli gaun itu! Sebenarnya, dia ingin
memanjakan dirinya sendiri. Pastinya semua perempuan, tidak sayang membelanjakan
uangnya untuk membeli gaun seindah itu. Seandainya terbeli gaun ini, Erlika yang jadi
pengantin, akan tercengang-cengang melihat gaun yang pasti bagus. Namun, sebelum
memutuskan mengambil gaun itu seorang perempuan cantik sudah menyuruh pramuniaga
membungkus gaun itu.
Anisa, untuk sesaat tergagap-gagap. Sampai saat ini, belum juga terpilih gaun untuk pestanya,
Erlika. Padahal, dia tidak punya niat untuk jalan-jalan lagi ke pusat perbelanjaan lain. Dia
harus menabung untuk keperluan sekolah adiknya. Namun, Anisa ingat gaun yang berwarna
coklat, di padu dengan aksesori ini sangat cocok. Aneh, dia sudah mendapat aksesori, tas dan
sepasang sepatu. Namun, belum juga dibelinya gaun yang pas untuk pestanya, Erlika.
Kemudian, dia memutuskan untuk membeli lebih dulu blus santai, sebuah buku petunjuk
tentang bagaimana meraih sukses, boneka lucu untuk di taruh di meja riasnya.
Anisa merasa capek, sebetulnya mengapa harus ribut, toh tidak ada yang akan melihat dirinya
di pesta itu. Yang hadir pasti akan melihat para pejabat di negeri ini, beberapa selebritis yang
jadi teman mbak Erlika.
Anisa merasa didorong lagi untuk melihat gaun semodel yang dibakar kakaknya itu. Dia
ragu, tiba-tiba ingin dibelinya gaun itu. Sekalipun dia tak akan memakainya. Mungkin ini
sebuah pemborosan, tapi lagi-lagi dia ingin membelinya. Secepatnya, Anisa membeli gaun
itu, sebelum orang lain membelinya. Bergegas ke kasa, dia merasa seperti juara kelas ketika
membayar gaun itu.
Seseorang menyentuhnya, “Mbak, saya sedang hamil dari tadi kepingin pada gaun itu.
Mungkin saya ngidam gaun itu. Apakah saya bisa mengganti gaun itu?” Anisa merasa
terhenyak, “Apakah suami Anda memperbolehkan, memakai gaun semodel itu?”
“Saya istrinya, bukan bawahannya. Apalagi, saya lagi hamil anak pertama kami.”
Anisa merasa dibanting! Dengan cepat Anisa keluar dari plaza. Kini, dia berada di salah satu
gerai, ketika sibuk memilih, pramuniaga gerai itu berkata, “ Mbak, dari tadi kelihatan sibuk
memilih baju, apakah saya bisa menunjukkan sebuah baju yang pastinya pantas untuk
Mbak?”
Anisa merasa capek. Pramuniaga itu menunjukkan sebuah gaun semodel, yang dibakar kakak
laki-lakinya! (hari ini, Anisa melihat baju semodel yang dibakar kakaknya sebanyak tiga
kali.)
Anisa, mengembuskan napasnya kuat-kuat.
“Apakah, saya bungkuskan gaun ini untuk Mbak?”
Untuk sejenak Anisa ragu. Kemudian dia merasa sudah mengambil keputusannya sendiri.
“Bukan gaun itu, tapi gaun coklat yang di sana. Saya akan menghadiri pesta Mbak Erlika
yang putri pejabat itu. Baca beritanya kan, hari ini? Kan sudah sering disiarkan juga di
infotament”
Pramuniaga itu membelalakan matanya. Anisa tersenyum, dari balik pintu kaca gerai ini,
anak rambutnya bermain-main di keningnya.

Anda mungkin juga menyukai