Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI ALIRAN CSS


Ruangan cairan serebrospinal (CSS) terdiri dari sistem ventrikel, sisterna magna
pada dasar otak dan ruangan subaraknoid. Ruangan ini mulai terbentuk pada
minggu kelima masa embrio. Sistem ventrikel dan ruang subarachnoid
dihubungkan melalui foramen Magendi di median dan foramen Luschka di
sebelah lateral ventrikel IV (Budiyono, 2011).

Cairan serebrospinalis dihasilkan oleh pleksus koroidalis di ventrikel otak.


Cairan ini mengalir ke foramen Monro ke ventrikel III, kemudian melalui
akuaduktus Sylvius ke ventrikel IV. Cairan tersebut kemudian mengalir melalui
foramen Magendi dan Luschka ke sisterna magna dan rongga subarachnoid di
bagian cranial maupun spinal.
Sekitar 70% cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus koroidideus, dan
sisanya di hasilkan oleh pergerakan dari cairan transepidermal dari otak
menuju sistem ventrikel. Bagi anak-anak usia 4-13 tahun rata-rata volume
cairan liqour adalah 90 ml dan 150 ml pada orang dewasa. Tingkat
pembentukan adalah sekitar 0,35 ml /menit atau 500 ml / hari. Sekitar 14% dari
total volume tersebut mengalami absorbsi setiap satu jam (Budiyono, 2011).

B. DEFINISI
Hidrosefalus adalah pembesaran ventrikulus otak sebagai akibat peningkatan
jumlah cairan serebrospinal (CSS) yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara produksi, sirkulasi dan absorbsinya. Kondisi ini juga bisa disebut sebagai
gangguan hidrodinamik CSS.Kondisi seperti cerebral atrofi juga mengakibatkan
peningkatan abnormal CSS dalam susunan saraf pusat (SSP). Dalam situasi ini,
hilangnya jaringan otak meninggalkan ruang kosong yang dipenuhi secara pasif
dengan CSS. Kondisi seperti itu bukan hasil dari gangguan. hidrodinamik dan
dengan demikian tidak diklasifikasikan sebagai hidrochefalus (Satyanegara,
2014).

C. KLASIFIKASI
Hidrosefalus dapat dikelompokkan berdasarkan dua kriteria besar yaitu secara
patologi dan secara etiologi. 5 Hidrosefalus Patologi dapat dikelompokkan
sebagai:
1. Obstruktif (non-communicating) - terjadi akibat penyumbatan sirkulasi CSS
yang disebabkan oleh kista, tumor, pendarahan, infeksi, cacat bawaan dan
paling umum, stenosis aqueductal atau penyumbatan saluran otak.
2. Non – obstruktif (communicating) - dapat disebabkan oleh gangguan
keseimbangan CSS, dan juga oleh komplikasi setelah infeksi atau komplikasi
hemoragik.
Hidrosefalus Etiologi dapat dikelompokkan sebagai
1. Bawaan (congenital) - sering terjadi pada neonatus atau berkembang selama
intra-uterin.
2. Diperoleh (acquired) – disebabkan oleh pendarahan subarachnoid,
pendarahan intraventrikular, trauma, infeksi (meningitis), tumor, komplikasi
operasi atau trauma hebat di kepala.
Tekanan normal hidrosefalus (NPH), yang terutama mempengaruhi populasi
lansia. Ditandai dengan gejala yang spesifik: gangguan gaya berjalan,
penurunan kognitif dan inkontinensia urin (Asadul, 2012).

D. ETIOLOGI
Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorpsi yang
normal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat
jarang terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada
adenomata pleksus koroidalis. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering
terjadi yaitu kelainan bawaan, infeksi, neoplasma dan perdarahan (Asadul,
2012).
1. Kelainan bawaan
a) Stenosis Akuaduktus Sylvius- merupakan penyebab terbanyak. 60%-
90% kasus hidrosefalus terjadi pada bayi dan anak-anak. Umumnya
terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada bulan-bulan
pertama setelah lahir.
b) Spina bifida dan cranium bifida – berhubungan dengan sindroma Arnord-
Chiari akibat tertariknya medulla spinalis, dengan medulla oblongata dan
serebelum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum
sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total.
c) Sindrom Dandy-Walker - atresiakongenital foramen Luschka dan
Magendi dengan akibat hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran system
ventrikel, terutama ventrikel IV yang dapat sedemikian besarnya hingga
merupakan suatu kista yang besar di daerah fossa posterior.
d) Kista arachnoid - dapat terjadi congenital maupun didapat akibat trauma
sekunder suatu hematoma.
e) Anomali pembuluh darah – akibat aneurisma arterio-vena yang
mengenai arteria serebralis posterior dengan vena Galeni atau sinus
tranversus dengan akibat obstruksi akuaduktus.
2. Infeksi : Timbul perlekatan menings sehingga terjadi obliterasi ruang
subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi
bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di
akuaduktus Sylvius atau sisterna basalis. Pembesaran kepala dapat terjadi
beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari
meningitisnya. Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan
arakhnoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa
tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar
sisterna kiasmatika dan interpendunkularis, sedangkan pada meningitis
purulenta lokasinya lebih tersebar (Satyanegara,2014).
3. Neoplasma : hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap
tempat aliran CSS. Pada anak, kasus terbanyak yang menyebabkan
penyumbatan ventrikel IV dan akuaduktus Sylvius bagian terakhir biasanya
suatu glioma yang berasal dari serebelum, sedangkan penyumbatan bagian
depan ventrikel III biasanya disebabkan suatu kraniofaringioma
(Satyanegara,2014).
4. Perdarahan - perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat
menyebabkan fibrosis leptomeningen pada daerah basal otak, selain
penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri.

E. EPIDEMIOLOGI
Insiden hidrosefalus kongenital di AS adalah 3 per 1.000 kelahiran hidup
sedangkan insiden untuk hidrosefalus akuisita (aquired hydrocephalus) tidak
diketahui secara pasti karena penyebab penyakit yang berbeda-beda. Pada
umumnya, insiden hidrosefalus adalah sama untuk kedua jenis kelamin, kecuali
pada sindrom Bickers-Adams, X-linked hydrocephalus ditularkan oleh
perempuan dan diderita oleh laki-laki. Hidrosefalus dewasa mewakili sekitar
40% dari total kasus hidrosefalus.

F. PATOFISIOLOGI
Menurut teori Satyanegara (2014), hidrosefalus terjadi akibat dari tiga
mekanisme yaitu; produksi cairan yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran
cairan, peningkatan tekanan sinus venosa. Konsekuensi dari tiga mekanisme
diatas adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan
keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel
masih belum dipahami dengan jelas, namun hal ini bukanlah hal yang
sederhana sebagaimana akumulasi akibat dari ketidakseimbangan antara
produksi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan
berlangsung berbeda-beda tiap saat tiap saat selama perkembangan
hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari:
1. Kompensasi sistem serebrovaskular.
2. Redistribusi dari liquor serebropinal atau cairan ekstraseluler atau keduanya
dalam susunan sistem saraf pusat.
3. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan
viskoelastisitas otak,kelainan turgor otak)
4. Efek tekanan denyut liquor serebrospinal (masih diperdebatkan)
5. Hilangnya jaringan otak
6. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya
regangan abnormal pada sutura cranial.
Produksi cairan yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor
pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan
akan menyebabkan tekanan intracranial meningkat dalam mempertahankan
keseimbangan antara sekresi dan absorbs liquor, sehingga akhirnya ventrikel
akan membesar. Adapula beberapa laporan mengenai produksi liquor yang
berlebihan tanpa adanya tumor pada pleksus khoroid, di samping juga akibat
hipervitaminosis. Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari
kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan
aliran akan meningkatkan tekanan cairan secara proporsional dalam upaya
mempertahankan resorbsi yang seimbang. Derajat peningkatan resistensi aliran
cairan dan kecepatan perkembangan gangguan hidrodinamik berpengaruh pada
penampilan klinis (Asadul, 2012).

G. DIAGNOSIS
Pemeriksaan penunjang pada pasien hidrosefalus menurut Satyanegara (2014)
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan funduskopi - Evaluasi funduskopi dapat mengungkapkan
papilledema bilateral ketika tekanan intrakranial meningkat. Pemeriksaan
mungkin normal, namun, dengan hidrosefalus akut dapat memberikan
penilaian palsu.
2. Foto polos kepala lateral – tampak kepala membesar dengan disproporsi
kraniofasial, tulang menipis dan sutura melebar.
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal – dilakukan pungsi ventrikel melalui
foramen frontanel mayor. Dapat menunjukkan tanda peradangan dan
perdarahan baru atau lama. Juga dapat menentukan tekanan ventrikel.
4. CT scan kepala - Meskipun tidak selalu mudah untuk mendeteksi penyebab
dengan modalitas ini, ukuran ventrikel ditentukan dengan mudah. CT scan
kepala dapat memberi gambaran hidrosefalus, edema serebral, atau lesi
massa seperti kista koloid dari ventrikel ketiga atau thalamic atau pontine
tumor.CT scan wajib bila ada kecurigaan proses neurologis akut.
Gambar 2: Gambaran CT-scan pada penderita hidrosefalus
5. MRI - dapat memberi gambaran dilatasi ventrikel atau adanya lesi massa.

Gambar 3: Gambaran MRI pada penderita hidrosefalus6

H. DIAGNOSIS BANDING
Menurut Asadul (2012), diagnosa banding dari hidrosepalus yaitu:
1. Berdasarkan gambaran radiologi, hidrosefalus memiliki gambaran yang
hampir sama dengan holoprosencephaly, hydraencephaly dan atrofi
cerebri. Holoprosencephaly - Holoprosencephaly muncul karena kegagalan
proliferasi dari jaringan otak untuk membentuk dua hemisfer. Salah satu
tipe terberat dari holoprosencephaly adalah bentuk alobaris karena biasa
diikuti oleh kelainan wajah, ventrikel lateralis, septum pelusida dan atrofi
nervus optikus. Bentuk lain dari holoprosencephaly adalah semilobaris
holoprosencephaly dimana otak cenderung untuk berproliferasi menjadi dua
hemisfer. Karena terdapat hubungan antara pembentukan wajah dan
proliferasi saraf, maka kelainan pada wajah biasanya ditemukan pada
pasien holoprosencephaly.
2. Hydranencephaly - Hydranencephaly muncul karena adanya iskemik pada
distribusi arteri karotis interna setelah struktur utama sudah terbentuk. Oleh
karena itu, sebagian besar dari hemisfer otak digantikan oleh CSS. Adanya
falx cerebri membedakan antara hydranencephaly dengan
holoprosencephaly. Jika kejadian ini muncul lebih dini pada masa
kehamilan maka hilangnya jaringan otak juga semakin besar. Biasanya
korteks serebri tidak terbentuk, dan diharapkan ukuran kepala kecil tetapi
karena CSS terus di produksi dan tidak diabsorbsi sempurna maka terjadi
peningkatan TIK yang menyebabkan ukuran kepala bertambah dan terjadi
ruptur dari falx serebri.
3. Atrofi Serebri - Secara progresif volume otak akan semakin menurun diikuti
dengan dilatasi ventrikel karena penuaan. Tetapi Atrofi didefinisikan
sebagai hilangnya sel atau jaringan, jadi atrofi serebri dapat didefinisikan
sebagai hilangnya jaringan otak (neuron dan sambungan antarneuron).
Biasanya disebabkan oleh penyakit-penyakit degeneratif seperti multiple
sklerosis, korea huntington dan Alzheimer. Gejala yang muncul tergantung
pada bagian otak yang mengalami atrofi. Dalam situasi ini, hilangnya
jaringan otak meninggalkan ruang kosong yang dipenuhi secara pasif
dengan CSS.

I. PELAKSANAAN
Penatalaksaan hidrosefalus menurut Satyanegara (2014) dibagi menjadi terapi
konservatif da terapi operatif.
1. Terapi konservatif medikamentosa
Untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi
cairan dan pleksus choroid (asetazolamit 100 mg/kgBB/hari; furosemid 1,2
mg/kgBB/hari) atau upaya meningkatkan resorpsinya (isorbid). Terapi
diatas hanya bersifat sementara sebelum dilakukan terapi defenitif
diterapkan atau bila ada harapan kemungkinan pulihnya gangguan
hemodinamik tersebut; sebaliknya terapi ini tidak efektif untuk pengobatan
jangka panjang mengingat adanya resiko terjadinya gangguan metabolik.
2. Ventriculoperitoneal shunting
Cara yang paling umum untuk mengobati hidrosefalus. Dalam
ventriculoperitoneal (VP) shunting, tube dimasukkan melalui lubang kecil di
tengkorak ke dalam ruang (ventrikel) dari otak yang berisi cairan
serebrospinal (CSF). Tube ini terhubung ke tube lain yang berjalan di
bawah kulit sampai ke perut, di mana ia memasuki rongga perut (rongga
peritoneal). Shunt memungkinkan CSS mengalir keluar dari ventrikel dan ke
rongga perut di mana ia diserap. Biasanya, katup dalam sistem membantu
mengatur aliran cairan

.
Gambar 4: VP Shunt
3. Terapi etiologi
Merupakan strategi penanganan terbaik; seperti antara lain; pengontrolan
kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa
yang mengganggu aliran liquor, pembersihan sisa darah dalam liquor atau
perbaikan suatu malformasi. Pada beberapa kasus diharuskan untuk
melakukan terapi sementara terlebih dahulu sebelum diketahui secara
pasti lesi penyebab; atau masih memerlukan tindakan operasi shunting
karena kasus yang mempunyai etiologi multifaktor atau mengalami
gangguan aliran liquor skunder.

J. PROGNOSIS
Prognosis untuk individu didiagnosis dengan hidrosefalus sulit untuk diprediksi,
meskipun ada beberapa korelasi antara penyebab spesifik dari hydrosefalus
dan hasil. Prognosis bergantung kepada jika adanya gangguan terkait,
ketepatan waktu diagnosis, dan keberhasilan pengobatan. Individu yang terkena
dan keluarga mereka harus menyadari bahwa hidrosefalus dapat menimbulkan
risiko baik dari segi kognitif maupun pembangunan fisik. Pengobatan oleh tim
interdisipliner medis profesional, spesialis rehabilitasi, dan ahli pendidikan
sangat penting untuk memberikan hasil yang positif. Jika tidak diobati, progresif
hidrosefalus dapat berakibat fatal.1 Gejala-gejala hidrosefalus dengan tekanan
normal biasanya memburuk dari waktu ke waktu jika tidak diobati. Sementara
keberhasilan pengobatan dengan shunt bervariasi dari orang ke orang,
beberapa orang sembuh hamper sepenuhnya setelah perawatan dan memiliki
kualitas hidup yang baik. Diagnosis dini dan pengobatan meningkatkan
kesempatan pemulihan yang baik (Satyanegara,2014).

K. CARA KERJA DAN PERAWATAN VP SHUNT


Pasien menjalani prosedur VP shunt dibawah pengaruh bius total.
Prosedur ini biasanya memakan waktu 1-2 jam. Secara umum, VP shunt
berperan sebagai sistem pengeringan, terdiri dari saluran panjang yang
dilengkapi dengan sebuah katup. Langkah-langkah operasi VP shunt
menurut Muttaqin (2012) adalah:
Pertama, rambut kulit kepala di area yang telah ditentukan akan dicukur,
biasanya di bagian atas, punggung atau belakang telinga. Kemudian, dokter
bedah membuat sayatan di daerah strategis otak, sebagai lubang unt uk
memasukkan kateter yang hendak ditanam pada ventrikel. Dokter juga perlu
membuat sayatan di daerah perut.Setelah itu, dibuatlah lubang pada
tengkorak untuk memasukkan tabung tipis (kateter) ke ventrikel otak.
Sebuah kateter lain akan ditempatkan di bawah permukaan kulit belakang
telinga, kemudian dimasukkan hingga ke leher dan dada, menuju wilayah
perut. Lalu, katup pemompa cairan ditanam di bawah kulit belakang telinga
dan dihubungkan pada kedua kateter. Katup ini dirancang khusus untuk
membuka secara otomatis saat terdapat penumpukan tekanan akibat
kelebihan CSF, sehingga kateter langsung mengeluarkan CSF ke daerah
dada. VP shunt ditanam secara permanen dan harus dipantau secara rutin.
Saat ini, operasi VP shunt dapat memanfaatkan teknologi terbaru deng an
menggunakan endoskop atau metode berbantu komputer.
Proses pemulihan pasca operasi biasanya sekitar 3-4 hari, pasien
sudah diperbolehkan pulang dalam 1 minggu. Ketika masih dalam
perawatan rumah sakit, pasien akan dipantau secara berkala, untuk
memastikan denyut jantung dan tekanan darah kembali normal. Pasien pun
akan diberi antibiotik pencegahan agar tidak terjadi infeksi.

L. KONSEP KEPERAWATAN
Pemeriksaan fisik secara B6 (Muttaqin, 2012).
Hal-hal yang perlu diingat dalam pemeriksaan fisik adalah :
1. Pemeriksaan fisik dilakukan pada saat pasien masuk, dan diulang kembali
dalam interval waktu tertentu sesuai kondisi pasien.
2. Setiap pemeriksaan harus dikomunikasikan kepada pasien.
3. Privacy pasien harus terus dipertahankan (walaupun pasien dalam
keadaan koma)
4. Tehnik yang digunakan adalah : inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
5. Pemeriksaan dilakukan secara “Head to toe”
6. Pemeriksaan dilakukan pada semua sistem tubuh.

B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi)
- Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
- Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, broncho vesikuler.
- Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya
atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
- Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema) merupakan
bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui sekresi di dalam
trakeobronkial dan alveoli.
- Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas dan
peningkatan usaha napas).
- Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP) menunjukan
adanya COPD.
- Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
- Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi pada
paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pnemotoraks, atau
penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang tepat.
- Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : Retraksi dari otot-otot
interkostal, substrernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks
(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu menggerakan dinding dada.
- Sputum.
Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan konsistensinya.
Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik dan astma bronkiale;
sputum yang purulen (kuning hijau) biasa terjadi pada pnemonia,
brokhiektasis, brokhitis akut; sputum yang mengandung darah dapat
menunjukan adanya edema paru, TBC, dan kanker paru.
- Selang oksigen
Endotrakeal tube, Nasopharingeal tube, diperhatikan panjangnya tube
yang berada di luar.
- Parameter pada ventilator
Volume Tidal, Normal : 10 – 15 cc/kg BB.
Perubahan pada uduma fidal menunjukan adanya perubahan status
ventilasi penurunan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya
penurunan ventilasi alveolar, yang akan meningkat PCO2. Sedangkan
peningkatan volume tidal secara mendadak menunjukan adanya
peningkatan ventilasi alveolar yang akan menurunkan PCO2.
Kapasitas Vital : Normal 50 – 60 cc / kg BB
Minute Ventilasi, Forced expiratory volume, Peak inspiratory pressure

B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi)


- Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irreguler
- Distensi Vena Jugularis
- ekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan ventilator
- Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup mitral dan trikuspid.
S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat penutupan
katup pulmonal dan katup aorta.
S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya dilatasi
ventrikel.
- Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya
terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
- Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik.
- Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa. Aritmia dapat
terjadi akibat adanya hipoksia miokardial.
- PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada interkostal ke
lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi menunjukan adanya
pembesaran ventrikel pasien hipoksemia kronis.
- Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya.

B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
- Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi
akibat penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral.
Akibatnya akan menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran
yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap
lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata,
respon motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien adalah jumlah
nilai-nilai dari ketiga komponen tersebut. Tingkat kesadaran adalah ukuran
dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan,
tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
a) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya..
b) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
c) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
d) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
e) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
f) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor,
termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan,
kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan
berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese
serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat
kesadaran berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan)
dan mortalitas (kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien.
Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai
tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak)
dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi
membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam
derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.
a) Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon.
b) Verbal (respon verbal) :
(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau (sering bertanya berulang-
ulang) disorientasi tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih
jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…,
bapak…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon.
c) Motor (respon motorik) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat
diberi rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh
menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas
dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi
tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi
rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol
E…V…M…
Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu
E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
- Refleks pupil
Reaksi terhadap cahaya (kanan dan kiri)
Ukuran pupil (kanan dan kiri; 2-6mm)
Dilatasi pupil dapat disebabkan oleh : stress/takut, cedera neurologis
penggunaan atropta, adrenalin, dan kokain. Dilatasi pupil pada pasien yang
menggunakan respirator dapat terjadi akibat hipoksia cerebral.
Kontraksi pupil dapat disebabkan oleh kerusakan batang otak, penggunaan
narkotik, heroin.
B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)
- Kateter urin
- Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
- Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi
akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
- Distesi kandung kemih

B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)


- Rongga mulut
Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan
pada lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.
- Bising usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum
melakukan palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus
dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit.
Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yang
berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
- Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui
dengan memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi
abdomen dapat juga terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena
penggunaan IPPV. Penyebab lain perdarahan saluran cerna pada pasien
dengan respirator adalah stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid
yang berlebihan, kurangnya terapi antasid, dan kurangnya pemasukan
makanan.
- Nyeri
- Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
- Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
- Mual dan muntah.
B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen)
- Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran
mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis pada
pasien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya
hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada pasien yang menggunakan
respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran darah portal akibat dari
penggunaan FRC dalam jangka waktu lama.
Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu
jelas terlihat,. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya
demam, infeksi. Pada pasien yang menggunkan ventilator, infeksi dapat
terjadi akibat gangguan pembersihan jalan napas dan suktion yang tidak
steril.
- Integritas kulit
Perlu dikaji adanya lesi, dan decubitus.

M. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan kapasitas adaptif intracranial
2. Resiko jatuh
3. Hambatan mobilitas fisik
(NANDA, 2015)
N. INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa Tujuan dan kriteria


No Intervensi (NIC)
Keperawatan hasil (NOC)
1. Penurunan NOC : Monitor Neurologi
kapasitas Circulation status 1. Monitor TTV
adaptif Tissue perfusion : 2. Monitor tingkat kesadaran, GCS
intracranial Cerebral 3. Monitor tanda-tanda TIK
Setelah dilakukan 4. Pantau ukuran pupil, bentuk,
perawatan selama kesimetrisan
1x30 menit Managemen Edema Cerebral
diharapkan 5. Hindari fleksi leher
penurunan 6. Posisikan tinggi kepala dari tempat
kapasitas adaptif tidur 30 derajat atau lebih
intrakranial dapat 7. catat perubahan pasien dalam
teratasi dengan berespon terhadap stimulus
kriteria hasil: 8. Jelaskan kepada keluarga mengenai
Status Neurologi patofisiologi penyakit klien
1. Tingkat 9. Kolaborasi pemberian sesuai
kesadaran kebutuhan
meningkat Monitor Tekanan Intrakranial
2. Fungsi sensorik 2. Monitor status neurologi
dan motorik 3. Jaga tekanan arteri sistemik dalam
meningkat jangkauan tertentu
3. TTV dalam 4. Kolaborasi pemberian antibiotik
batas normal

Status Neurologi:
sensori kranial
1. Ada reflek
kornea
2. Ada gerakan
otot wajah
3. Pendengaran
(mampu
mendengar/mer
espon arahan
perawat)
Perfusi jaringan
cerebral
1. Tidak ada
tanda-tanda
peningkatan TIK
2. Tidak ada
muntah,
cegukan
3. Tidak ada
kegelisahan dan
demam
2. Risiko jatuh NOC: Monitor tanda-tanda vital
Trauma risk for 1. Monitor TTV
Injury risk for 2. Monitor dan laporkan tanda dan gejala
Setelah dilakukan hipotermia dan hipertermia
tindakan Manajemen lingkungan: Keselamatan
keperawatan 3. Identifikasi hal-hal yang
selama 1x6 jam membahayakan di lingkungan
diharapkan tidak 4. Singkirkan bahan berbahaya dari
terjadi jatuh dengan lingkungan
kriteria hasil: 5. Gunakan peralatan perlindungan
Perilaku untuk membatasi mobilitas fisik
pencegahan jatuh
(keluarga)
1. Menempatkan
penghalang
untuk
mencegah
jatuh
2. Menggunakan
prosedur
pemindahan
yang aman
3. Memberikan
pencahayaan
yang memadai
Kejadian jatuh
1. Tidak ada jatuh
dari tempat
tidur
2. Tidak ada jatuh
saat
dipindahkan
Koordinasi
pergerakan
1. Mampu
mengatur
posisi tubuh
2. Mampu
mengontrol
gerakan tubuh
3. Hambatan NOC : NIC :
mobilitas fisik  Join movement : Exercise therapy : ambulation
Active 1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah
 Mobility level latihan dan lihat respon pasien saat
 Self care: ADLs latihan
 Transfer 2. Konsultasikan dengan terapi fisik
performance tentang rencana ambulasi sesuai
Setelah dilakukan dengan kebutuhan
tindakan 3. Bantu klien untuk menggunakan
keperawatan tongkat saat berjalan dan cegah
selama.... masalah terhadap cedera
hambatan mobilitas 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan
fisik teratasi dengan lain tentang teknik ambulasi
Kriteria Hasil: 5. Kaji kemampuan pasien dalam
 Klien meningkat mobilisasi
dalam aktifitas 6. Latih pasien dalam pemenuhan
fisik kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
 Mengerti dari kemampuan
tujuan 7. Dampingi dan Bantu pasien saat
peningkatan mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
mobilitas ADLs ps.
 Memperbalisasik 8. Berikan alat Bantu jika klien
an perasaan memerlukan.
dalam 9. Ajarkan pasien bagaimana merubah
meningkatkan posisi dan berikan bantuan jika
kekuatan dan diperlukan
kemampuan
berpindah
 Memperagakan
penggunaan alat
bantu untuk
mobilisasi
(walker)

Anda mungkin juga menyukai