Anda di halaman 1dari 44

CASE SCIENCE SESSION (CSS)

DIFTERIA, TETANUS, PERTUSIS DAN IMUNISASI

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)


SMF Ilmu Kesehatan Anak

Preseptor:

Nina Sutiretna, dr. Sp.A., M.Kes

Disusun oleh:

Fauziah – 12100115156

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RUMAH SAKIT MUHAMADYAH BANDUNG
2016
DIFTERIA

Definsi

Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh

Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit atau

mukosa.

Etiologi

Corynebacterium merupakan kuman batang gram positif, tidak bergerak, pleomorfik,

tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60oC, tahan dalam keadaan

beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade atau

membentuk formasi seperti huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa menggunakan

media K-tellurit atau Loeffler. Ciri khas C. Diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi

eksotoksin yang mempunyai dua fragmen yaitu fragmen A dan fragmen B.

Dikenal beberapa serotipe yaitu gravis, intermedius, mitis dan belfanti, misalnya pada

serotipe gravis merupakan yang paling sering ditemukan pada saat wabah, bakteri ini dapat

mengolonisasi daerah genital, mata dan daerah tropis atau dengan orang higiene yang buruk

yang dapat ditemukan di kulit.

Epidemiologi

Pada masa prevaksinasi penyakit ini merupakan yang paling ditakuti, penyakit ini

menimbulkan angka kematian yang sangat tinggi dan merupakan penyakit endemis tinggi

dibeberapa negara subtropis. Di Indonesia wabah difteri sejam tahun 2000-2011 tercatat 355

kasus dengan jumlah kasus kematian sebanyak 11 orang. Demikian juga Kalimantan Selatan

dan Timur yang masih banyak kasus difteri karena beberapa hal seperti cakupan imunisasi

yang rendah, sosioekonomi yang rendah dan terdapat gerakan antivaksinasi.


Manifestasi Klinik dan klasifikasi

Penyakit ini terutama menyerang daerah faring, difetria laring ditemukan pada 25 %

kasus dan digteri hidung ditemukan 2% kasus. Insidensi keseluruhan difteri kulit, mata,

telinga mata dan vagina <2%.

Masa inkubasi biasanya 1-5 hari, gejalanya difteri umumnya bersifat ringan dan

nonspesifik seperti demam ringan jarang sampai suhu 38,5 0C, rewel, sakit menelan dan lesu.

Walaupun demam tidak tinggi tetapi anak terlihat pucat dan lemah. Pada demam hari pertama

biasanya faring hanya terlihatr kemerahan, sesudah 2 atau 3 hari dari onset penyakit baru

terlihat pseudomembran yang dapat meluas ke tonsil, uvula dan palatum. Toksin dapat masuk

kelenjar limfe servikalis anterior menyebabkan limfadenitis servikalis, sering disertai edema

jaringan lunak yang luas sehingga timbul bullneck. Bila pembengkakan jaringan lunak

meluas , sudut leher antara mandibula otot strenokleidomastoideus dan klavikula menghilang,

keadaan ini disebut sebagai erasur.

 Difteri hidung

Biasanya jarang disertai gejala sistemi, kelainan biasanya berupa sekret serosangiunus

yang kemudian dapat membentuk mukopurulen, bila diperhatikan mukosa septum nasi

akan tampak membran tipis putih keabuan.


 Difteria tonsil faring
Gejalanya adalah anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri menelan, dalam 1-2

hari terdapat membran yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan

dinding faring meluas ke uvula dan palatum molle atau kebawah bagian laring dan trakea.

Usaha untuk melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi

limfadenitis dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Pada kasus

berat, dapat rejadi kegagalam pernafasan dan sirkulasi, dapat juga terjadi paralisis palatum

molle. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi

penyembuhan sempurna.

 Difteri laring

Kejadian ini biasanya perluasan dari difteria faring, secara gradual suara anak menjadi

lebih serak dan timbul stridor inspirator, bila lebih berat lagi anak akan tampak sianosis,

gelisah, koma bahkan meninggal.


 Difteri pada kulit, vulvovaginal, konjungtiva dan telinga

Difteri kulit gejalanya berupa tukak kulit, tepinya jelas dan terdapat membran pada

dasarnya, difteri pada mata terdapat kemerahan dan edema sedangkan difteri pada telinga

gejalanya berupa sekret purulen dan berbau.

Patogenesis dan patofisiologi

Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa atau kulit

Melekat dan berkembang biak atau tumbuh pada mukosa saluran nafas atas

basil akan memproduksi eksotoksin

Toksin akan diabsropsi melewati membran sel mukosa

Inaktivasi enzim translokasi

terjadi peradangan dan destruksi sel epitel-----nekrosis

Daerah nekrosis, akan terbentuk fibrin, kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih

patchy exudate—mudah lepas

Produksi toksin semakin banyak dan meningkat

terbentuknya eksudat fibrin (fibrous exudate)----terdiri ataj jaringan nekrotik, fibrin, sel
epitel, sel leukosit dan eritrosit

membentuk suatu membran yang melekat berwarna kelabu kehitaman.

Perdarahan obstruksi saluran napas


Eksotoksin yang terbentuk akan menyebar atau diserap masuk kedalam sirkulasi darah dan
pembuluh limfe

Kerusakan jaringan di beberapa organ berupa degenerasi, infiktrasi lemak dan nekrosis

Jantung kerusakan jaringan saraf perifer

Miokarditis demielinasi

Paralisis (palatum mole, otot mata)

Diagnosis

1. Anamnesis

- Kontak dengan penderita difteria, definisi kontak adalah orang serumah dan teman

bermain, kontak dengan sekret nasofaring (a.l reusitasi mulut ke mulut) individu

seruangan dengan penderita dalam waktu >4jam selama 5 hari berturut-turut atau

>24 jam dalam seminggu (teman sekelas)

- Suara serak dan disfagia

- Difteri nasal umunya pada bayi.

2. Pemeriksaan fisik

- Anak terlihat lemah dan pucat, demam tidak tinggi

- Umumnya menunjukan tanda tonsilitis dan faringitis disertai pseudomembran

- Bullneck atau erasur

- Stridor dan tanda lain obstruksi jalan napas.

- Pada diteri nasal : tercium bau busuk, sekret serosanguinus atau purulen, ulkus

dangkal pada hidung dan bibir atas.

3. Pemeriksaan penunjang

- Laboratorium : sediaan apus langsung dan kultur lesi hidung, tenggorok dll,

menggunakan pewarnaan Neisser, albert dan sebaiknya sebelum pemberian

antibiotik, hitung leukosit darah tepi, EKG untuk tanda miokarditis, kultus apus
tenggorok, hidung dan mulut, uji toksigenik dengan metode enzyme linked

immunosorbent assay (ELISA).

Komplikasi

1. Obstruksi jalan napas

2. Miokardistis dini : biasanya timbul hari ke 3 -7

- Miokarditis lambat : biasanya terjadi pada minggu ke 2 dan 3 pada saat terjadi

perbaikan klinis, anak tiba-tiba menunjukan tanda miokarditis seperti takikardi,

bunyi jantung redup dan gangguan irama jantung. Dapat juga terjadi di minggu ke

6 setelah pasien dipulangkan.

3. Neuritis

Biasanya terjadi pada difteri berat dan terjadi sesudah melewati masa laten.

- Paralisis palatum mole adalah penyulit tersering dari neuritis (suara anak jadi

sengau dan regurgitasi nasal) biasanya dapat sembuh dalam waktu 1-2 minggu.

- Ocular palsy dapat terjadi di minggu ke 3-5 minggu berupa paralisis otot-otot

akomodasi sehingga pandangan menjadi kabur

- Paralisis diafragma pada minggu 5-7 minggu akibat neuritis nerve phrenicus.

- Paralisis tungkai pada minggu ke 7-10 saraf sensoris dan motorik yang terkena

4. Penyulit lain

- Gagal ginjal

- DIC

- Trombositopenia
Manajemen

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat

secpatnya, mencegah dang mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi

C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyult

difteria.

1. Umum

- Tirah baring 2-3 minggu

- Diet makanan lunak kalori tinggi yang mudah dicerna .

- Khusus pada difteria laring agarn nafas tetap dijaga kelembapan udara dengan

mengguanakan humidifier

- Edukasi tentang penyakit dan penangannnya.

- Diberitahukan kepada orang tua agar anak tidak melakukan aktivitas yang

berlebihan dalam 6 minggu sesudah sakit karena miokarditis fatal dapat timbul

sampai minggu ke 6

2. Khusus

- Lakukan penilaian apakah ditemukan tanda gawat napas akibat obstruksi saluran

respiratori karena membran dan edema perifaringeal

- Pemberian antidifteria serum (ADS) untuk menetralisir toksin bebas, dosis tunggal

berdeasarkan diagnosis klinis sebagai berikut :

- Nasal atau faring ringan : 40.000 IU

- Faring : 60.000 – 80.000 IU

- Faring berat, laring, bullneck, delayed diagnosis : 100.000 – 120.00 IU


Tabel dosis ADS

Tipe difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian


Difteria hidung 20.000 Intramuskular
Difteria tonsil 40.000 IM atau IV
Difteria faring 40.000 IM atau IV
Difteria laring 40.000 IM atau IV
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Iv
Difteria + penyulit 80.000-120.000 Iv
bullneck
Terlambat berobat <72 80.000-120.000 Iv
jam

Cara pemberiannya sebagai berikut :

- ADS dilarutkan dalam 100-200 ml dekstrosa iv selama 30-40 menit

- Sebelumnya dilakukan tes kepekaan dengan pemberian 1 tetes antitoksin

pengenceran 1:10 pada konjungtiva atau 0,02 ml penyuntikan intradermal

pengenceran 1:100

- Bila tes kepekaan (+) berikan ADS secara densitisasi, masing-masing dengan

interval 20 menit :

 0,05 ml larutan 1:20 s.k

 0,10 ml larutan 1:20 s.k

 0,10 ml larutan 1:10 s.k

 0,10 ml tanpa pengenceran s.k

 0,30 ml tanpa pengenceran im

 0,50 ml tanpa pengenceran im

 0,10 ml tanpa pengenceran iv

- Bila tidak ada alergi, bisa diberikan iv lambat.


- Antibiotik

- Tujuannya untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin.

- Penisilin prokain 50.000-100.000 IU/kgbb/hari selama 10 hari

- Kortikosteroid

- Belum terdapat persamaan mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan

pemberian obat ini pada kasus difteri yang disertai gejala obstruksi saluran napas

bagian atas dan bila terdapat penyulit miokariditis.

- Prednison 1,0 – 1,5 mg/kgBB/hr, p.o tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari

- Waktu dipulangkan : vaksin DPT 0,5 ml im untuk anak <7 tahun dan Vaksin DT 0,5

ml im untuk anak >7 tahun (tanpa melihat status imunisasi sebelumnya).

Pengobatan penyulit

Pengobatan ini di tujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik, bila terdapat

kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernapasan yang progresif merupakan indikasi

tindakan trakeostomi.

Pengobatan kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut

terlaksana yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap harinya sampa

masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah

mendapatkan imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.

Pengobatan karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukan keluhan, mempunyaki ujis hick negatif

tetapi mengandung basil difteria dala nasofaringnya. Pengobatan yang diberikan adalah

penicilin 100 mg/kgbb/hari oral atau suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgbb/hari selama satu

minggu.
Tabel pengobatan terhadap kontak difteri

Biakan Uji schick Tindakan


- - Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria
+ - Pengobatan karier : penisilin 100 mg/kgbb/hari selama 1 minggu
+ + penisilin 100 mg/kgbb/hari + ADS 20.000 kl
- + Toksoid difteria (imunisasi aktif) sesuaikan dengan status
imunisasinya.

Prognosis

Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik dari pada

sebelumnya. Menurut krugman , kematian mendadak pada kasus difteria, disebabkan oleh

karena

- Obstruksi jalan napas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteria

- Adanya miokarditis dan gagal jantung

- Paralisis diafragma
TETANUS

Definisi

Tetanus adalah penyakit tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan

kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak

tetanopasmin yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sumsum tulang belakang,

sambungan neuromuskular dan saraf otonom.

Epidemiologi

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah

populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran dan adanya luka pada kulit atau

mukosa. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi karena terkait aktivitas fisiknya.

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis

(Spora). Port d’enter tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun bisa melalui :

- Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar

yang luas

- Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan dengan baik

- Otitis media dan karies gigi

- Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan tali pusat dengan kotoran

binatang, bubuk kopi, ramuan dan dedauan merupakan penyebab utama masuknya

spora pada puntungan tali pusat yang menyebabkan kasus tetanus neonatorum.

Etiologi
Clostridium tetani (gram positif) bentuknya batang, sifatnya :

- Basil gram positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti

pemukul genderang.
- Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob)

dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.

- Menghasilkan eksotoksin yang kuat

- Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu

tinggi, kering dan desinfektans.

kuman ini hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama tanah di pertanian atau

perternakan. Spora dapat menyebar dan bertahan di lingkungan suhu anaerob dan akan

menghasilkan eksotoksin.

Patogenesis

Adanya suatu luka yang terkontaminasi

Sporan masuk – lingkungan anaerob

Berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak menghasilkan toksin

Toksin merambat dari tempat luka lewat motor endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu
anterior sumsum belakang dan menyebar ke seluruh susunan saraf pusat

Reseptor khusus pada gangglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan
kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi

Toksin di angkut ke arah sel secara ekstra aksional

Prubahan potensial membran dan gangguan enzim

Kolin esterase tidak aktif

Kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena

Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot

Tonus otot meningkat

Kekakuan kejang

Dampak toksi lain :

Dampak saraf otonom yang mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat

yang berlebihnan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia dan takikardi.


Manifestasi klinik

Masa inkubasi : 2-14 hari

Klasifikasi Ablett

Drajat Manifestasi klinis


I Ringan Trismus ringan sampai sedang ; spastisitas umum tanpa
spasme atau gangguan pernapasan tanpa disfagia ringan

II Sedang Trismus sedang ; rigiditas dengan spasme ringan sampai


sedang dalam waktu singkat, laju napas >30x/menit, disfagia
ringan

III Berat Trismus berat ; spastisitas umum, kejang lama, laju napas
>40x/menit, laju nadi >120x/menit, apneic spell, disfagia
berat

IV Sangat Drajat III + gangguan sistem autonom termasuk


berat kardiovaskuler, hipertensi berat dan takikardi yang dapat
diselang-seling dengan hipotensi relatif, bradikardia.

Diagnosis

1. Anamnesis
- Riwayat luka terkontaminasi (luka septik) : trauma, luka bakar, pembedahan,

pemotongan, perawatan tali pusat, ditemukan ulcer, gangren, gigitan ular yang

nekrotik dan infeksi telinga tengah.

- Riwayat tidak diimunisasi tetanus atau imuniasisi tetanus tidak lengkap.

- Selang waktu antara timbulnya klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan

kejang yang pertama.

2. Pemeriksaan fisik

- Trismus adalah kekauakn otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar

membuka mulut. Pada neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mencucut

seperti mulut ikan sehingga bayi tak dapat menetek.

- Risus sardonicus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik, sehingga tampak

dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah
- Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung,

otot leher, otot badan dan trunk muscle, kekakuan yang sangat berat dapat

menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

- Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan

- Bila kekakuan makin berat akan timbul kejang umum yang awalnya hanya terjadi

setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakan secara kasar atau terkena sinar

yang kuat. Lambat laun masa istirahat kejang makin pendek sehingga anak jatuh

dalam status konvulsif.

- Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan sebagai akibat kejang

yang terus menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat

menimbulkan anoksia (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah),

dapat pula menyebabkan suhu tinggi atau berkeringat banyak.

Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk mendiagnosis tetanus tidak ada, oleh karena

itu diagnosis ditegakan berdasarkan keadaan klinis seperti trismus, disfagia, rigiditas,

muskular dan spasme.

Diagnosis banding

- Meningitis

- Menioensefalitis

- Ensefalitis

- Rabies : pada rabies dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan,

sedangkan pada anamnesis diketahui gigitan binatang.


Manajemen

Pengelolaan tetanus mencakup :


- Penanganan kejang

- Prevensi penyulit gangguan napas dan metabolik

- Netralisasi toksin untuk mencegah penyebaran

- Eliminasi mikroorganisme

Eradikasi Pembersihan
bakteri luka
penyebab
Antibiotik - Metronidazol 15-30 mg/kgBB/hr terbagi 3
dosis (maks 2 gr/hr)selama 7-10 hari
Alternatif :
- Penisilin G 100.000-250.000 IU/kgBB/ hr iv
atau im terbagi 4 yaitu eritromisin, tetrasiklin,
kloramfenikol dan klindamisin
Antitoksin Antitoksin kuda - Human tetanus immune globulin
netralisasi atau manusia (100-300 IU/kgBB im)
terhadap luka - Antitetanus serut (ATS) 50.000-10.000 ½ im
dan ½ iv (sebelumnya dilakukan tes kulit)
Terapi suportif Kontrol spasme - Diazepam (iv bolus) 0,1-0,3 mg/kgBB/kali iv
selama fase akut otot tiap 2-4 jam, dosis maksimal 40 mg/kgbb/hari
- Dalam keadaan berat berikan diazepan drip 20
mg/kgbb/hr dirawat di ICU
- Dosis pemeliharaan 8 mg/kgbb/hari po dibagi
dalam 6-8 dosis
- Midazolam (iv infus/bolus)

Pemeliharaan Trakeostomi
jalan napas
Pemeliharaan - Penggantian volume yang cukup
hemodinamik - Bila terjadi aktivitas simpatis berlebihan
diberikan beta bloker seperti propanolol atau
alfa dan beta bloker seperti labetolol.

Rehabilitasi Nutrisi fisioterapi

Imunisasi Terapi primer


penuh dari tetanus
toksoid
 Perawatan umum

- Mencakupi kebutuhan cairan dan nutrisi

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus memberikan

obat-obatan dan bila sampai hari ke 3 infus belum dapat di lepas sebaiknya

dipertimbangkan pemberian nutrisis secara parenteral, setelah kejang mereda

dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan peerhatian

khusus.

- Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu di trakeostomi

- Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker)

- Mengurangi spasme dan mengatasi kejang (diazepam 0,1-0,3 mg setiap 3 jam

dengan interval 2-3 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan

untuk anak usia <2 tahun adalah 8 mg/kgbb/hari diberikan oral dalam dosis 2-3

mg setiap 3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengen pemberian diazepan 5

mg perectal untuk BB <10 kg dan 10 mg per rektal untuk BB >10 kg.

- Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’enter maka diperlukan

konsultasi dengan dokter gigi/THT.

 Perawatan khusus

a. Antibiotik

- Lini pertama adalah metronidazoliv/oral dengan dosis inisial 15 mg/kgbb

dilanjutkan dosis 30 mg/kgbb/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10

hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. Tetani

- Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000 – 10.000 /kgbb/hari

selama 7-10 hari.


b. Anti serum

Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan

50.000 IU iv

Prognosis
Menentukan prognosis berdasarkan sistem skoring Bleck

Sistem skoring 1 0

Masa inkubasi <7 hari >7 hari


Awitan penyakit <48 jam >48 jam
Tempat masuk Luka bakar, luka operasi, Selain tempat
bagian dari fraktur, abosri tersebut
septik, tali pusat atau
penyuntikan im
Spasme (+) (+)
Suhu
- Aksilar >38,4 oC <38,4oC
- Rektal >40oC <40oC
Takikardi dengan frekuensi (+) (-)
>120x/menit sedangkan
pada neonatus >150x/menit

Tetanus umum (+) (-)


Adiuksi narkotik (+) (-)

Skor total menunjukan drajat keparahan dan prognosis :

- Skor 0-1 : drajat ringan dengan tingkat mortalitas <10 %

- Skor 2-3 : drajat sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%

- Skor 4 : drajat berat dengan tingkat mortalitas 20-40%

- Skor 5-6 : drajat sangat berat dengan tingkat mortalitas >50%


Pencegahan
1. Perawatan luka

Harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang didugan

tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka tujuannya mencegah timbulnya

jaringan anaerob

2. Pemberian ATS dan toksoid tetanus

3. Imuniasasi aktif

Imuniasasi aktif yang diberikan DPT, DT atau toksoid tetanus.

TETANUS NEONATORUM
Manifestasi klinik :
- Terjadi pada usia 3-14 hari

- Bayi rewel

- Kesulitan menyusui

- Mulut mencucu atau trismus

- Otot mengalami kekakuan dan kejang

Manajemen
Perawatan oleh divis Neonatologi

 Pasang jalur iv dan beri cairan rumatan

 Berikan diazepan 10 mg/kgbb/hr iv dalam 24 jam atau bolus iv, setiap 3 jam 0,5

ml/kali pemberian, maksimal 40 mg/kgbb/hari.

 Jika jalur iv tidak terpasang, berikan diazepam melalui rektum

 Jika frekuensi napas <20 x/menit, obat dihentikan, meskipun bayi masih mengalami

spasme. Jika bayi mengalami henti napas selama spasme berikan oksigen dengan

kecepatan aliran sedang, jika belum bernapas lakukan resusitasi, jika belum berhasil

rujuk kerumah sakit dengan fasilitas memadai


 Jika ada berikan Human tetanus immunoglobulin 500 IU iv atau tetanus antitoksin

5000 IU im

 Berikan penisilin prokain 50.000 IU/kgbb/hr im dosis tunggal atau metrinidazole iv

selama 10 hari.
PERTUSIS

Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, vioient cough dan

di cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit yang sangat berat atau batuk yang

intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang

yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yng

menurun.

Disebut juga sebagai whooping cough oleh karena penyakit ini ditandai oleh suatu

sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang

meninggi karena pasien berupaya keras untuk menarik nafas sehinggapada akhir batuk sering

disertai bunyi yang khas.

Epidemiologi

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,

terutama di Negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 60.000 kematian

disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi.

Pertusis ditularkan melalui udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet

penderita selama batuk. Pertusis adalah penyakit endemik, di Amerika >35 % kasus terjadi

pada usia < 6 bulan, >45% pertusis terjadi pada usia <1 tahun dan 66 % <5 tahun.

Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan, tidaklah cukup untuk mecegah

bayi baru lahir terhadap pertusis. Pertusis yang berat pada neonatus ditemukan dari ibu

dengan gejala pertusis ringan.


Etiologi

Genus bordatela mempunyai 4 spesies, yaitu : Bordetella pertusis, B. Bronchiseptica,

B. Parapertusis dan B. Holmesii. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis yang termasuk

kokobasilus, gram negatif, kecil, ovodi, ukurannya panjang 0,5-1µm dan diameter 0,2-0,3µm,

tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru dapat terlihat granula

bipoler metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. Pertusis

diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato blood glyserol agar)

yang ditambah penisilin G 0,5 µg/ml untuk menghambat pertumbuhan organisme lain.

B.pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama setengah jam , tetapi

bertahan pada suhu rendah 0-100C.

Patogenesis

Bordatella pertusis terjadi melalui 4 tingkat :

- perlekatan

- Perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu

- Kerusakan lokal

- Penyakit sistemik

Bordatela pertusis ditularkan melalui sekresi udara pernafasan

Melekat pada silia epitel saluran pernafasan

Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF) atau pertusis toxin
(PT) dan protein 69 KD—yang berperan

Bermultipikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernafasan

Bordatela pertusis ----- toxin--- whooping cough

Mempunyai 2 sub unit A (aktivasi membran sel) dan B (berikatan dengan reseptor sel target)

ADP (toxin mediated adenosine disphosphate)

Mengatur sintesis protein di dalam membran sitoplasma


Merubah fungsi sel target (limfosit : lemah dan mati)

Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin

Kontraksi otot polos pemduluh darag dinding trakea

Iskemia dan nekrosis trakea

Toksin ----peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid peri bronkial dan
meningkatkan jumlah mukus pada permukaan silia

Mudah terjadi infeksi sekunder

Penumpukan mukus

Plug

Obstruksi dan kolaps paru

Terganggu pertukana oksigenasi dan ventilasi

Apneu hipoksemia dan sianosis

Manifestasi klinik

- Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalana penyakit ini

berlangsung 6-8 minggu atau lebih.

- Gejala yang timbul pada anak <2 tahun, yaitu batuk paroksismal (100%), whoops (60-

70%), emesis (66-80%), dispnea (70-80%) dan kejang (20-25%).

- Terbagi jadi 3 stadium :

 Stadium kataral (prodormal, preparoksismal 1-2 minggu)

Gejala klinisnya minimal dengan atau tanpa demam, , injeksi konjungtiva,

rinorea dengan lendir yang cair dan jernih, frekuensi batuk meningkat dan

anoreksia.

 Stadium paroksismal (spasmodik 2-6 minggu)

Karakteristik paling menonjol diusia 6 bulan -15 tahun, biasanya

dicetuskan oleh pemberian makanan dan aktivitas ; fase inspiratori batuk


atau batuk rejan (inspiratory whooping), muka merah atau sianosis, mata

menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, hipersalivasi, distensi vena leher

selama serangan, apatis, berat badan menurun, perdarahan subkonjungtiva.

 Stadium konvalensens (>2 minggu)

Gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampai bulan, dapat terjadi

petekie pada kepala atau leher, perdarahan konjungtiva dan terdengan

crackels difuse. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan

akan menghilang sekita 2-3 minggu.

- Bayi <6 bulan sering dihubungkan dengan muntah sampai timbul dehidrasi

Diagnosis

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

- Keluhan sesak

- Kontak dengan pasien pertusis dan belum diimunisasi atau diimuniasasi tidak

adekuat.

b. Laboratorium

- leukositosis 15.000-100.000/mm3 dengan limfositosis absolut

c. Penunjang

- Foto rontgen : infiltrat perihiler atau edema, atelektasis atau empiema

- Diagnosis pasti dapat ditemukannya organisme pada apus nasofaring dengan bahan

media Bordet Gengou

Klasifikasi (CDC)

 probable : sesuai batasan klinis dan tidak terkait dengan konfirmasi laboratorium

 confirmed : batuk + dan kultur – atau sesuat batasan klinis dan PCR + atau sesuai

batasan kasus klinis dan terkait dengan index case yang sudah confirmed.
Diagnosis banding

Pertusis like syndrome yang disebabkan oleh :

- M. Pneumoniae

- C. Pneumoniae

- Parainfluenza virus

- Influenza virus

- Enterovirus

- RSV

- Adenovirus

Variasi Fase kataral Fase Fase konversi


1-2 minggu proksismal >2 minggu
2-6 minggu
Gejala
- Batuk ++ +++ ++
- Batuk paroksismal -/+ +++ -/+
- Batuk rejan - +++ -/+
- Muntah - +++ -/+
- Sianosis - +++ -
- Apneu - +++ -

Tes sensivitas
- kultur ++ -/+ -
- PCR ++ ++ -
- Serologi -/+ ++ ++

Pengaruh terapi
antibiotik
- Gejala berkurang ++ -/+ -

Penyulit :

- Infeksi sekunder : pneumonia (demam, takipnea, distress napas, neutrofilia) dan otitis

media.

- Apnea

- Atelektasis
- Ruptur alveoli

- Emfisema

- Bronkiektasis

- Pneumotoraks

- Kejang

- Perdarahan : epistaksis, melena, subkonjungtiva, hematom

- Meningoensefalitis

- Koma

- Dehidrasi dengan gangguan nutrisi

Manajemen

1. Indikasi rawat inap

- Usia <3 bulan : usia 3-6 bulan dengan gejala paroksismalberat, bayi prematur dengan

kelainan jantung, paru, otot atau neurologis.

2. Suportif umum (oksigenasi, terapi panas, ventilasi mekanik) jika dibutuhkan :

- Bayi harus hati-hati diobservasi untuk apneu, sianosis atau hipoksia

- Penderita harus diisolasi dari individu tersangka (terutama bayi) selama 4 minggu

- Penilaian tentang kondisi penderita (apneu, hipoksia dan dehidrasi sedang berat)

3. Antibiotik

Tujuan farmakoterapi untuk menghilangkan infeksi, mengurangi mordibitas dan

mencegah penyulit
Rekomendasi pemberian Antimikroba dan profilaksis pasca pajanan pertusis

Usia Eritromisin Azitromisin Klaritromisin Alternatif


TMP
(trimetoprim)-
SMX
(sulfametoksazol)
<1 - 10 mg/kgbb/hr Tidak Kontraindikasi
bulan dosis tunggal direkomedasik untuk usia <2bulan
selama 5 hari an
1-5 40-50 10 mg/kgbb/hr 15 mg/kgbb /hr Usia >2 bulan
bulan mg/kgbb/hr dosis tunggal terbagi 2 dosis TMP 8
terbagi 4 dosis selama 5 hari selama 7 hari mg/kgbb/hr, SMX
selama 14 hari 40 mg/kgbb/hr
terbagi 2 dosis
selama 14 hari
>6 40-50 10 mg/kgbb 15 mg/kgbb /hr Usia >2 bulan
bulan mg/kgbb/hr dosis tunggal terbagi 2 dosis TMP 8
terbagi 4 dosis
pada hari ke 1 selama 7 hari mg/kgbb/hr, SMX
selama 14 hari
maksimal 500 40 mg/kgbb/hr
(maksimal 2 mg, kemudian 5 terbagi 2 dosis
gr/hr) mg/kgbb/hr selama 14 hari
dosis tunggal
pada hari ke 2-5
maksimal 250
mg/hr
Remaja 2 gr/hr terbagi 500 mg dosisi 1 gr/hr terbagi TMP 300
4 dosis selama tunggal pada 2 dosis selama mg/kgbb/hr, SMX
14 hari hari ke 1 7 hari 1.600 mg/kgbb/hr
kemudian 250 terbagi 2 dosis
mg dosis selama 14 hari
tunggal pada
hari ke 2-5

Pencegahan

- Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi.

- Melalui PPI (program pengembangan imunisasi)

1. Imunisasi pasif

Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin, ternyata

berdasarkan beberapa penelitian diklinik tidak terbukti efektif, sehingga terapi ini

tidak lagi diberikan untuk pencegahan.


2. Imunisasi aktif

- Diberikan vaksin pertusis dari kuman B. Pertusis yang telah dimatikan untuk

mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan secara bersama-

sama dengan vaksin difteri dan tetanus.

- Dosis yang dianjurkan 12 IU diberikan 3 x sejak umur 2 bulan dengan jarak 8

minggu.

Prognosis

- Mortalitas terutama karena kerusakan otak (ensefalopati) , pneumonia dll

- Pada anak besar : prognosis nya baik

- Dapat timbul sekuele berupa wheezing selama kehidupan dewasa.


IMUNISASI

I. Definisi

Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan

seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan

penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.

Imunisasi pasif merupakan suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif.

Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi

dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme

yang telah diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang bila diberikan kepada seseorang

akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.

Vaksinasi adalah imunisasi aktif dengan pemberian vaksin (antigen) yang dapat

merangsang pembentukan imunitas (antibodi) oleh sistem imun di dalam tubuh.

II. Jenis vaksin

a. Vaksin hidup

- Merupakan vaksin dari mikroba hidup dilemahkan, vaksin hidup dibuat dengan

modifikasi virus atau bakteri patogen di laboratorium

- bersifat labil dan mudah rusak oleh paparan suhu panas dan cahaya menjadi tidak

efektif, oleh karena itu vaksin hidup harus dibawa dan disimpan dengan cara yang

aman dari penyebab kerusakan tersebut.

- Contohnya : vaksin campak, rubela, varisela, demam kuning, polio oral dan BCG

b. Vaksin mati

- Merupakan vaksin dari mikroba yang diinaktivasi, berupa virus dan bakteri utuh

(whole cell) atau fraksi patogen.


- Vaksin ini tidak mengandung mikroba hidup, tidak bereplikasi dan tidak berpotensi

menimbulkan penyakit

- Contohnya : influenza, rabies, tifoid, hepatitis A dan B, polio suntikan, pertusis,

kolera dan toksoid (difteria dan tetanus).

III. Tata cara pemberian imunisasi

Comperhensive guidelines, diperlukan bagi pelaksanaan vaksinasi, tigas area yang harus

diperhatikan, yaitu :

 Review riwayat vaksinasi sebelumnya, lihat catatan vaksinasi sebelumnya

apakah ada vaksinasi yang terlewat dan bagaimana jadwal catch up

vaccination.

 Apakah memang pasien layak dilakukan vaksinasi dan tidak ada

kontraindikasi dengan tujuan untuk mengurangi risiko reaksi simpang,

meningkatkan respons imun dan memperkuat proteksi kontak terhadap vaksin.

Dengan melihat chek list data pasien apakah kondisi anak layak untuk

divaksinasi, misalnya apakah dalam kondisi sakit, menderita penyakit yang

menurunkan kekebalan (Seperti leukimia, kanker, HIV dan AIDS), apakah ada

reaksi alergi.

 Berikan penjelasan

- Tanyakan kepada orang tua apakah sudah mengerti tentang vaksinasi dan

apakah ada catatan vaksinasi anak

- Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila

tidak divaksinasi dan sebelum divaksinasi

- Persiapan pelayanan secepatnya

- Setelah pemberian vaksin, berilah petunjuk kepada orang tua atau

pengasuh, apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi.


I. Persiapan sebelum vaksin

- Mempersiapakan kit anafilaksis : adrenaline 1:000 (cek kadaluwarsa) dan semprit 1

ml dengan jarum 25 mm (untuk im).

- Persiapkan cold chain, persiapan dan penyimpanan vaksin di suhu antara +20C - +80C

cold chain di mulai sejak saat vaksin itu diproduksi, dipindahkan ke pusat distribusi

vaksin dan berakhir ketika vaksin itu diberikan.

 Baca leaflet vaksin yang akan diberikan, tinjau kembali apakah ada kontra

terhadap vaksin yang akan diberikan

 Periksa kembali apakah penerima vaksin dalam keadaan sehat atau tidak

 Periksa jenis vaksin yang akan diberikan

 Periksa tanggal kadaluwarsa

 Vaksin yang berbeda tidak boleh di campur dalam semprit yang sama

 Vaksin yang kering dan beku harus di encerkan dengan pelarut yang sesuai

dengan volume pengenceran sesuai rekomendai yang tertera dalam produk

 Cairan dan pelarut harus diinjeksikan kedalam vial secara perlahan untuk

mencegah terbentuk gumpalan

 Periksa vaksin apakah sesuai dengan jadwalnya

II. Cara pemberian vaksin

 Pembersihan kulit

Kulit bayi atau anak didisinfeksi dengan isopropil alkohol atau alkohol swab,

tunggu kulit mengering kemudian lakukan penyuntikan

 Pemberian suntikan

Sebagian besar vaksin di lakukan melalui suntikan intramuskular atau subkutan

dalam, terecual jenis vaksin polio oral dan BCG melalui intradermal.
III. Posisi anak dan lokasi suntikan

 Vastus lateralis

- Letakan bayi ditempat tidur atau meja

- Tungkai bawah sedikit ditekuk dengan fleksi pada lutut.

- Cari trochanter mayor femur dan candylus lateralis dengan cara

palpasi, tarik garis yang menghubungkan kedua tempat tersebut.

 Pada deltoid

- Posisi seorang anak paling nyaman untuk disuntikan di daerah deltoid

ialah duduk di atas pangkuan ibunya.

- Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi,

sementara lengan yang lainnya di belakang tubuh ibunya

- Jarum suntik di tusukan pada sudut 60-900C mengarah pada akromion

 Penyuntikan subkutan

- Arah jarum suntikan 450C terhadap permukaan kulit

- Cubit tebal untuk suntikan subkutan

- Untuk suntikan multiple di berikan pada bagian ekstremitas yang

berbeda.

IV. Rantai vaksin

Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin

dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas

vaksin sejak dari pabrik diberikan sampai diberikan ke pasien.

- Suhu optimum untuk vaksin hidup : suhu umum vaksin sebaiknya disimpan

pada suhu 2-80C, diatas 80C vaksin hidup akan cepat mati, misalnya vaksin

polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum di

larutkan mati dalam 7 hari. Vaksin polio oral yang belum dibuka akan
bertahan hingga 2 tahun bila di simpan pada susu -250C sampai -150C,

namun akan beratahan selama 6 bulan pada suhu 2-80C.

- Suhu optimum untuk vaksin mati, sebaiknya disimpan dalam suhu 2-80C,

bila <-20C vaksin mati akan cepat rusak

- Kamar beku (cold room) dan kamar dingin (freez room), suhu kamar dingin

berkisar 2-80C sedangkan suhu kamar beku berkisar antara -250C sampa -

150C untu vaksin yang boleh beku. Aliran listrik tidak boleh terputus, pintu

tidak boleh sering dibuka.

- Lemari es dan freezer :

Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri, jarak

lemari es dengan dinding belakang 10-15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi

udara sekitarnya harus baik, lemari es tidak boleh langsung terpapar dari

sinar matahari.

- Susunan vaksin dalam lemari es

o Vaksin hidup dan inaktif mempunyai daya tahan berbda

terhadap suhu dingin. Freezer hanya untuk membuat es batu

atau cold pack yang dapat digunakan untuk mempertahankan

suhu ketika listrik mati.

o Vaksin hidup dapat diletakan dekat dengan bagian yang paling

dingin, sedangkan vaksin mati jauh dari bagian yang paling

dingin, diantara vaksin-vaksin diberi jarak sekitar 2 cm agar

udara dingin bisa menyebar merata ke semua kotak vaksin.

o Pelarut vaksin jangan di letakan di lemari es karena akan pecah

bila beku, penetes atau dropper polio tidak boleh diletakan di

lemari es karena akan menjadi rapuh dan mudah pecah.


o Tidak boleh menaruh makanandan obat-obatan atau benda di

lemari es vaksin karena akan mengganggu stabilitas suhu

karena sering dibuka.

- Wadah pembawa vaksin

Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu jauh

dapat menggunakan cold box dengan ukuran 40-70 liter, dengan penyekat

suhu dari poliuretan,.

- Cold pack dan cool pack

Cold pack dibekukan dalam freezer selama 24 jam, dibuat dalam wadah

plastik berwarna putih, cold pack berisi air tidak dingin yang didinginkan

dalam suhu 2-80C selama 24 jam dibuat dalam wadah plastik biru atau

merah,

V. Kualitas vaksin

Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi

vaksin harus memenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain :

- Disimpan di lemari pendingin dalam suhu 2-80C

- Transportasi vaksing di dalam kotak dingin atau termos yang tertutup rapat

dengan suhu 2-80C

- Tidak terendam air

- Terlindungi dari sinar matahari

- Belum melewati tanggal kadaluwarsa

 VVM (vaccine vial monitor)

- Segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar: bila belum kadaluwarsa: GUNAKAN

vaksin
- Segi empat berubah gelap, tapi lebih terang dari lingkaran sekitar: bila belum

kadaluwarsa: SEGERA GUNAKAN vaksin

- Segi empat sama warna dengan lingkaran sekitar: JANGAN GUNAKAN vaksin.

Lapor kepada pimpinan.

- Segi empat lebih gelap dari lingkaran sekitar: JANGAN GUNAKAN VAKSIN.

Lapor kepada pimpinan

 Freez watch dan freez tag

Adalah alat untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar suhu dibawah 00C, bila

pada freez watch terdapat warna biru yang melebar kesekitarnya atau dala freez tag

terdapat tanda silang, berarti vaksin pernah terpapar suhu dibawah 00C. Vaksin

tersebut mati dan tidak dapat digunakan kepada bayi atau anak.
VI. Jadwal imunisasi

a. Berdasarkan IDAI 2014

a. Rekomendasi Depkes RI

 Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Bayi

UMUR (bulan) VAKSIN


0 HB 0
1 BCG, Polio 1
2 DPT-HB-Hib1, Polio 2
3 DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 DPT-HB- Hib 3, Polio 4
9 Campak
Masa penyimpanan vaksin

Masa pemakaian vaksin yang telah dibuka


VII. Imunisasi dasar

1. Vaksin BCG (bacille Calmette Guerin)

- Imunisasi BCG diberikan umur 2 bulan

- Pada bayi yang kontak erat dg pasien TB dengan BTA +3 sebaiknya diberikan INH

profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG

- Kemenkes menganjurkan pemberian imunisasi BCG pada umur antara 2– 12 bulan

- Tidak ada imunisasi ulangan

- Dosis :

 0,05 ml : bayi < 1 tahun secara intradermal

 0,1 ml : bayi > 1 tahun secara intradermal

- Bila diberikan > 2 bulan : dilakukan test Mantoux dulu

- Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara

0-80%, berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu vaksin yang dipakai, faktor

pejamu (umur, keadaan gizi, dll)

- Vaksin BCG tidak boleh kena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 2-80C, tidak

boleh beku. Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.

- KI BCG :

 Reaksi uji tuberkulin > 5 mm,

 Menderita HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais akibat

pengobatan kortikosteroid, obat imuno supresif, mendapat pengobatan radiasi,

penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe,

 Menderita gizi buruk

 Menderita demam tinggi

 Menderita infeksi kulit yang luas,

 Pernah sakit tuberkulosis


 Kehamilan

- KIPI Vaksinasi BCG

 Dosis terlalu tinggi : ulkus lebih besar

 penyuntikan terlalu dalam : parut tertarik ke dalam (retracted)

 Limfadenitis supuratif di aksila / leher

Limfadenitis akan sembuh sendiri, tidak perlu diobati.

Bila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula dilakukan drainage dan

obat OAT oral

 BCG-itis diseminasi

Jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Diobati

OAT.

2. Hepatitis B

 Harus segera diberikan setelah lahir, untuk memutuskan rantai penularan melalui

transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

 Jadwal imunisasi hepatitis B :

- Imunisasi hep B-1, diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir,

mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan risiko

penularan kepada bayinya sebesar 45%

- Imunisasi hep B-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dri imunisasi hepB-1

yaitu sat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval

imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka

imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.

- Imunisasi hep B-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dri imunisasi hepB-1

yaitu sat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval
imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka

imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.

- Dosis : 0 – 12 bulan : 0,5 ml, intramuskular

> 1 tahun : 1 ml, intramuskular

- Kemenkes mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepB-0 monovalen (uniject) saat

lahir, dilanjutkan vaksin kombinasi DTP/hepB/Hib pada umur 2-3-4 bulan.

Tujuan vaksin hepB diberikan dalam kombinasi untuk mempermudah pemberian

dan meningkatkan cakupan hepB-3 yang masih rendah

- Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi

hepB, maka secepatnya diberikan imunisasi hepB dengan jadwal 3 kali

pemberian.

- Ulangan imunisasi hepatitis B (hepB-4) dapat dipertimbangkan pada umur 10-12

tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs <10 ug/ml).

- Bayi prematur : imunisasi ditunda sampai bayi berusia 2 bulan atau BB sudah

mencapai 2 kg.

- KIPI : efek samping berupa reaksi lokal yang ringan dan

- bersifat sementara. Kadang-kadang demam ringan 1-2 hari.

- KI absolut tidak ada

3. DTP (difteri pertusis dan tetanus)

 Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan, interval 4-8 minggu

 Tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu

 Ulangan booster DTP-4 diberikan 1 tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan

dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.

 Dosis : 0,5 ml, intramuskular

 Kontra Indikasi :
- Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya

- Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya

- Perhatian khusus (precaution) bila dijumpai riwayat hiperpireksia, keadaan

hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3

jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP.

 KIPI :

 Ringan

- Reaksi lokal

- Demam > 38,50C

- Irritabel, lesu, sistemik

 Berat

- hipotonik-hiporesponsif

- menangis >3 jam

- Kejang

- Reaksi anafilaktik

- Ensefalopati

4. Poliomielitis

 Vaksin polio berisi virus polio-1, 2, DAN 3.

 Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI dan diberikan saat bayi

meninggalkan rumah sakit/rumah bersalin

 Imunisasi dasar (polio-2,3,4) diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan, interval antara 2

imunisasi tidak kurang dari 4 minggu

 Dosisi : OPV 2 tetes per-oral

 Imunisasi ulangan diberikan 1 tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya saat masuk

sekolah (5-6 tahun)


 Bila dimuntahkan dalam 10 menit, dosis tersebut dapat diulang

 KIPI : Sebagian kecil mengalami gejala pusing, diare ringan, nyeri otot.

 Kontra Indikasi :

- Penyakit akut atau demam

- Muntah atau diare

- Pengobatan kortikosteroid / imunosupresif

- Keganasan

- Infeksi HIV

- Ibu hamil

5. Campak

 Dosis : 0,5 ml, sub-kutan dalam

 Diberikan pada umur 9 bulan, 24 dan 6 tahun

 Imunisasi campak ke-2 diberikan pada anak sekolah SD kelas 1 (program BIAS)

 Bila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan umur 6

tahun, ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan

 KIPI :

- Demam > 39,40C

- Ruam, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4

hari

- Reaksi KIPI berat berupa ensefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi

6. Influenza
 Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6-23 bulan, dapat juga diberikan

setiap tahun.

 Indikasi lain : anak yang tinggal dengan kelompok risiko tinggi atau pekerja

sosial yang berhubungan dengan penyakit tertentu.

 Dosis : tergantung usia anak :

- 6-35 bulan : 0,25 ml

- >3 tahun : 0,2 ml

- <8 tahun : pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis dengan interval 4

minggu atau lebih, pada tahun berikutnya hanya diberikan 1 dosis.

- Vaksin influenza diberikan secara im pada paha anterolateral atau deltoid.

7. MMR

 Diberikan pada umur 15-18 bulan, minimal interval 6 bulan antara imunisasi

campak dan MMR

 Dosis satu kali 0,5 ml secara subkutan

 MMR diberikan 1 bulan sebelumnya atau setelah penyuntikan imunnisasi lain

 Ulangan imunisasi MMR diberikan pada umur 6 tahun

8. Tifoid

 Di Indonesia tersedia 1 jenis vaksin yaitu vaksin capsular vi polysaccharide :

diberikan pada umur >2 tahun, ulangan di lakukan setiap 3 tahun

 Pemberian secara im

9. Hepatitis A

 Jadwal imunisasinya

- Diberikan umur > 2tahun

- Vaksin kombinasi HepB/A tidak diberikan pada bayi <12 bulan

 Dosis
- Kemasan liquid 1 dosis/vial prefilled syringe 0,5 ml

- Untuk pediatrik diberikan 2 kali dengan interval 6-12 bulan, im di daerah

deltoid

- Untuk dewasa >19 tahun : 1 ml, 2 dosis dengan interval 6-12 bulan

10. Varisela

 Diberikan pada umur >1 tahun

 Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varicela, imunisasi dapat

mencegah apabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak

 Dosis : o,5 ml subkutan satu kali

 Usia >13 tahun diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu.

11. Rotavirus

 rotavirus monovalen : dosis pertama diberikan pada umur 6-14 minggu, dosis

ke dua diberikan dengan interval minimal 4 minggu, sehingga imunisasi selesai

sebelum umur 16 minggu

 rotavirus pentavalen : dosis pertama umur 6-12 minggu dengan interval 4-10

minggu

12. Human papiloma virus

 Diberikan pada umur 10-25 tahun dan 26-45 tahun

 Penyuntikan secara im

Anda mungkin juga menyukai