Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

Infertilitas adalah kegagalan konsepsi sutu pasangan setelah rutin berhubungan


selama 12 bulan tanpa menggunakan metode pencegahan atau kontrasepsi. Infertilitas
dapat dibagi menjadi infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas primer
adalah jika seorang wanita belum pernah memiliki anak karena tidak terjadi konsepsi.
Sedangkan infertilitas sekunder jika seorang wanita tidak mampu untuk memiliki
anak yang disebabkan karena tidak terjadinya kehamilan atau pernah mengalami
kehaminal atau pernah mengalami kehamilan tetapi tidak terjadi kehalihan hidup
dengan syarat sebelumbya wanita tersebut pernah mengalami kehamilan dan pernah
terjadi kelahiran hidup.

Penyebab infertilitas merupakan multifaktorial. Permasalahan ini sering terjadi pada


usia reproduktif sekitar 10-15%. Di indonesia sendiri, sekitar 20-30% penduduk
mengalami masalah infertilitas. Penyebab infertilitas dari faktor laki-laki sekitar 35%,
dari faktor wanita sekitar 50% dan 10% masih belum dapat dijelaskan (unexplained
infertility). Permasalahan pada wanita disebabkon oleh disfungsi ovulasi (40%),
gangguan pada tuba dan pelvic (40%). Faktor pria sebagai penyebab infertilitas yang
disebabkan oleh abnormalitas pada analisis sperma.

ETIOLOGI
Penyebab infertilitas yang sudah sempat di jelaskan diatas, dapat terbagi menjadi
faktor pria, faktor wanita dan unexplained infertilitas. penyebab pada wanita adalah
sebagai berikut:
 Kegagalan ovulasi yaitu gangguan pada hipotalamus-hipofisis, tiroid, adrenal
atau ovarium yang menyebabkan kegagalan ovulasi, kegagalan endometrium
uterus untuk berproliferasi sekresi, sekresi vagina dan cervix sehingga
menghalangi spermatozoa mencapai uterus.

WHO membagi kelainan ovulasi ini dalam 3 kelas, yaitu:


o Kelas 1: Kegagalan pada hipotalamus hipofisis (hipogonadotropin
hipogonadism)
Karakteristik dari kelas ini adalah gonadotropin yang rendah, prolaktin
normal, dan rendahnya estradiol. Kelainan ini terjadi sekitar 10% dari
seluruh kelainan ovulasi.

1
o Kelas 2: Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropin-
normogonadism)
Karakteristik dari kelas ini adalah kelainan pada gonadotropin namun
estradiol normal. Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85% dari seluruh
kasus kelainan ovulasi. Manifestasi klinik kelainan kelompok ini
adalah oligomenorea atau amenorea yang banyak terjadi pada kasus
sindrom ovarium polikistik (SOPK). Delapan puluh sampai sembilan
puluh persen pasien SOPK akan mengalami oligomenorea dan 30%
akan mengalami amenorea.
o Kelas 3: Kegagalan ovarium (hipergonadotropin-hipogonadism)
Karakteristik kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi
dengan kadar estradiol yang rendah. Terjadi sekitar 4-5% dari seluruh
gangguan ovulasi.
o Kelas 4: Hiperprolaktinemia

Gangguan pada hipotalamus-hipotalamus dapat disebabkan oleh karena


adanya kallman syndrome, stress yang tinggi. Sedangkan pada ovarium dapat
disebabkon oleh karena adanya Polycystik ovarian syndrome (PCOS), turner
syndrome dan lain-lain. PCOS merupakan uatu kumpulan gejala yang
diakibatkan oleh angguan sistem endokrin. Gejala tersering yang
ditimbulkannya antara lain infertilitas karena siklus yang anovulatoar, oligo
sampai amenore, obesitas dan hirsutisme.
Sindrom ovarium polikistik ini menimbulkan perubahan hormonal-biokimia
seperti peningkatan luteinising hormone (LH) serum, rasio LH/FSH (follicle
stimulating hormone) yang meningkat, adanya resistensi insulin dan
peningkatan androgen plasma. Sindrom ovarium polikistik menyebabkan 5-
10% wanita usia reproduksi menjadi infertil

 Gangguan pada tuba berupa obstruksi sehingga membuat suatu obstruksi yang
menghalangi bertemunya sperma dan ovum. Obstruksi ini dapat disebabkan
oleh kelinan kongenital, penyakit radang pelvis atau pelvic inflamasi disease
(PID) seperti peritonitis yang salah satunya disebabkan oleh infeksi gonore,
clamidia.

2
 Uterus yang abnormal yaitu berubahan uterus yang dapat disebabkan oleh
fibroid sehingga menghambat implantasi ovum, erosi cervix yang
mempengaruhi pH sekresi sehingga merusak sperma, kelainan kongenital
vagina, cervix atau uterus yang menghalangi pertemuan sperma dan ovum.
Mioma uteri juga dapat menyebabkan tekanan pada tuba, distrorsi, atau
elongasi kavum uteri, iritasi miometrium, atau torsi oleh mioma yang
bertangkai.

Pada kasus infertilitas pada pria dapat dikaitkan melalui analisis sperma yaitu
rendahnya persentase jumlah sperma, viskositas, pH, konsentrasi, motilitas dan
morfologi yang abnormal. Selain itu, obstruksi dan ketidakmampuan ejakulasi juga
menjadi masalah infertilitas pada pria. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
infertilitas pada pria yaitu sebagai berikut.

Tabel 1. Faktor risiko infertilitas pada pria

DIAGNOSA
Anamnesis
Dilakukan terhadap pasien dengan menanyakan identitas pasangan suami istri
meliputi umur, pekerjaan, lama menikah dan evaluasi dari pasien wanita mengenai
adakah infeksi organ reproduksi yang pernah dialami, riwayat adanya bedah pelvis,

3
riwayat sanggama, frekuensi sanggama, dispareunia, riwayat komplikasi pascapartum,
abortus, kehamilan ektopik, kehamilan terakhir, konstrasepsi yang pernah digunakan,
pemeriksaan infertilitas dan pengobatan sebelumnya, riwayat penyakit sistematik
(tuberkulosis, diabetes melitus, tiroid), pengobatan radiasi, sitostatika, alkoholisme.
Pada wanita yang paling utam aditanyakakan yaitu frekuensi dan keteraturan
menstuasi harus ditanyakan kepada seorang perempuan. Perempuan yang mempunyai
siklus dan frekuensi haid yang teratur setiap bulannya, kemungkinan mengalami
ovulasi.

Pemeriksaan Fisik
Pada wanita yaitu pengukuran temperatur basal tubuh tidak direkomendasikan untuk
mengkonfirmasi terjadinya ovulasi. Pengukuran Body Mass Indeks, wanita dengan
tampilan overweight atau obesitas mengalami kelainan berupa resistensi insulin atau
bahkan sindroma metabolik. Wanita dengan siklus menstruasi yang tidak teratur dan
tampilan fisik obesitas mungkin saja berhubungan dengan diagnosis sindrom ovarium
polikistik. Pemeriksaan gangguan endokrin seperti pertumbuhan pertumbuhan seks
sekunder, jerawat, hirsutisme, kebotakan, acanthosis nigrican, gangguan lapang
pandang, gondok, adanya ciri penyakit tiroid dan adanya gangguan galaktorea.

Untuk pemeriksaan fisik pada laki-laki penting untuk mengidentifikasi adanya


penyakit tertentu yang berhubungan dengan infertilitas. Penampilan umum harus
diperhatikan, meliputi tanda-tanda kekurangan rambut pada tubuh atau ginekomastia
yang menunjukkan adanya defisiensi androgen. Tinggi badan, berat badan, IMT, dan
tekanan darah harus diketahui. Palpasi skrotum saat pasien berdiri diperlukan untuk
menentukan ukuran dan konsistensi testis. Apabila skrotum tidak terpalpasi pada
salah satu sisi, pemeriksaan inguinal harus dilakukan. Orkidometer dapat digunakan
untuk mengukur volume testis. Ukuran rata-rata testis orang dewasa yang dianggap
normal adalah 20 ml. Konsistensi testis dapat dibagi menjadi kenyal, lunak, dan keras.
Konsistensi normal adalah konsistensi yang kenyal.
Palpasi epididimis diperlukan untuk melihat adanya distensi atau indurasi. Varikokel
sering ditemukan pada sisi sebelah kiri dan berhubungan dengan atrofi testis kiri.
Adanya perbedaan ukuran testis dan sensasi seperti meraba “sekantung ulat” pada tes
valsava merupakan tanda-tanda kemungkinan adanya varikokel. Pemeriksaan
kelainan pada penis dan prostat juga harus dilakukan. Kelainan pada penis seperti

4
mikropenis atau hipospadia dapat mengganggu proses transportasi sperma mencapai
bagian proksimal vagina. Pemeriksaan colok dubur dapat mengidentifikasi
pembesaran prostat dan vesikula seminalis.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pria dilakukan pemeriksaan analisis sprema, untuk melakukan analisis sperma,
teknik pengambilan sample harus dipastikan media dalam keadaan steril, tidak
melakukan hubungan minimal 2 hari atau maksimal 7 hari dan dipastikan sample
terjaga dalam suhu 20-36 derajat celcius.

Tabel 2. Analisis sperma menurut WHO 2010

Term Definition

Normozoospermia Normal ejaculate ~ WHO reference values

Oligozoospermia Sperm concentration less than WHO reference values

Asthenozoospermia Sperm motility less than WHO reference values

Teratozoospermia Sperm morphology less than WHO reference values

Oligoasthenoteratozoospermia Signifies disturbance of all 3 or 2 variables

Azoospermia No spermatozoa in the ejaculate

Aspermia No ejaculate

Cryptozoospermia Few spermatozoa recovered after centrifugation

Tabel 3. Diagnosa analisis sperma menurut WHO

Jika pemeriksaan analisis sperma dikatakan abnormal, pemeriksaan ulang untuk


konfirmasi sebaiknya dilakukan. Pengulangan permeriksaan analisis sperma diulang

5
setelah 3 bulan, namun pada kasus azoospermia atau oligozoospermia berat
pemeriksaan untuk konfirmasi harus dilakukan secepatnya. Selain analisis sperma,
penilaian antibodi antisperma merupakan bagaian standar analisis semen. Menurut
kriteria WHO, pemeriksaan ini dilakukan dengan pemeriksaan imunologi atau dengan
cara melihat reaksi antiglobulin. Namun saat ini pemeriksaan antibodi antisperma
tidak direkomendasikan untuk dilakukan sebagai penapisan awal karena tidak ada
terapi khusus yang efektif untuk mengatasi masalah ini

Pada wanita, dilakukan pemeriksaan penunjang bertujuan untuk mengetahui keadaan


ovarium yaitu folikel graaf atau korpus luteum, mengetahui keadaan dan cadangan
ovarium, mengetahui faktor peritonium dan tuboplasti-melepaskan fimosis fimbrie
tuba. Pada wanita dengan siklus memanjang (oligomenorea) disarankan untuk
melakukan pemeriksaan progesteron pada sklus hari ke 28-35. Pemeriksaan FSH dan
LH (hormon gonadotropin) dilakukan pada siklus haid yang tidak teratur.
Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat apakah ada
gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis. Pemeriksaan fungsi tiroid pada
pasien dengan infertilitas hanya dilakukan jika pasien memiliki gejala. Untuk
pemeriksaan cadangan ovarium, parameter yang dapat digunakan adalah AMH dan
folikel antral basal (FAB). Berikut nilai AMH dan FAB yang dapat digunakan:
 Hiper-responder (FAB > 20 folikel / AMH > 4.6 ng/ml
 Normo-responder (FAB > 6-8 folikel / AMH 1.2 - 4.6 ng/ml)
 Poor-responder (FAB < 6-8 folikel / AMH < 1.2 ng/ml)

Penilaian kelainan uterus dapat dilakukan pemeriksaan HSG, USG transvaginal, SIS
dan histeroskopi. Histeroskopi merupakan baku emas dalam pemeriksaan yang
mengevaluasi kavum uteri. Namun pemeriksaan HSG sama akuratnya dengan
histeroskopi dalam hal diagnosis. Peran histeroskopi dalam pemeriksaan infertilitas
adalah untuk mendeteksi kelainan kavum uteri yang dapat mengganggu proses
implantasi dan kehamilan serta untuk mengevaluasi manfaat modalitas terapi dalam
memperbaiki endometrium.

Pemeriksaan USG tranvaginal bertujuan untuk mengetahui kelainan pada uterus dan
ovarium. Kelainan pada uterus berupa massa yang dapat menghambat implantasi

6
ovum. Kelainan pada tuba berupa berupa hidrosalphing yang disebabkan oleh karena
infeksi dan kelainan pada ovarium seperti polycystic ovarian. Gambaran polycystic
ovarian yaitu berupa volume ovarium lebih dari 10 mm, jmlah folikel hingga lebih
dari 20 dan berukuran 2-9 mm. Beberapa teknik pemeriksaan tuba yang dapat
dilakukan:

TATALAKSANA
Penanganan infertilitas pada prinsipnya didasarkan atas 2 hal yaitu Mengatasi faktor
penyebab / etiologi dan meningkatkan peluang untuk hamil. Untuk penanganan
gangguan ovulasi dapat ditatalaksana berdasarkan WHO 2010, yaitu: (gambar 1)
o Kelas 1: Kegagalan pada hipotalamus hipofisis (hipogonadotropin
hipogonadism)
peningkatan berat badan menjadi normal akan membantu mengembalikan
ovulasi dan kesuburan. Pengobatan yang disarankan untuk kelainan
anovulasi pada kelompok ini adalah kombinasi rekombinan FSH (rFSH)-
rekombinan LH (rLH), hMG atau hCG.
o Kelas 2: Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropin-normogonadism)
dapat dilakukan dengan cara pemberian obat pemicu ovulasi golongan anti
estrogen (klomifen sitrat), tindakan drilling ovarium, atau penyuntikan
gonadotropin. Pengobatan lain yang dapat digunakan adalah dengan
menggunakan insulin sensitizer seperti metformin.
klomifen sitrat sebagai penanganan awal selama maksimal 6 bulan. Efek
samping klomifen sitrat diantaranya adalah sindrom hiperstilmulasi, rasa

7
tidak nyaman di perut, serta kehamilan ganda. Pada pasien SOPK dengan
IMT > 25, kasus resisten klomifen sitrat dapat dikombinasi dengan
metformin karena diketahui dapat meningkatkan laju ovulasi dan
kehamilan.
o Kelas 3: Kegagalan ovarium (hipergonadotropin-hipogonadism)
Hingga saat ini tidak ditemukan bukti yang cukup kuat terhadap pilihan
tindakan yang dapat dilakukan. Konseling yang baik perlu dilakukan pada
pasangan yang menderita gangguan ovulasi WHO kelas III sampai
kemungkinan tindakan adopsi anak.
o Kelas 4: Hiperprolaktinemia
Pemberian agonis dopamin (bromokriptin atau kabergolin) dapat membuat
pasien hiperprolaktinemia menjadi normoprolaktinemia sehingga
gangguan ovulasi dapat teratasi.

Gambar 1. Algoritma penanganan gangguan ovulasi.

Inseminasi intrauterin dengan atau tanpa stimulasi merupakan pilihan pada


tatalaksana infertilitas idiopatik. Peningkatan jumlah spermatozoa yang motil dalam
uterus dan menempatkan sperma dalam jarak yang dekat terhadap 1 atau lebih oosit
berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya kehamilan. Inseminasi dapat
dilakukan dengan atau tanpa prosedur stimulasi ovarium.

8
Pada gangguan tuba dapat disebabkan oleh infeksi (Chlamidia, Gonorrhoea, TBC)
maupun endometriosis. Tindakan bedah mikro atau laparoskopi pada kasus infertilitas
karena gangguan tuba dapat dipertimbangkan sebagai pilihan penanganan dan
pemberian antibiotik setelah dilakukan kultur. Untuk tatalaksanan endometriosis,
terapi medisinalis terbukti dapat mengurangi rasa nyeri namun belum ada data yang
menyebutkan bahwa pengobatan dapat meningkatkan fertilitas.

Menurut review sistematik dan meta analisis 16 penelitian acak yang dilakukan pada
kelompok yang menggunakan obat-obatan penekan ovulasi dibandingkan dengan
kelompok tanpa pengobatan atau danazol, melaporkan bahwa pengobatan obat-obatan
penekan ovulasi (medroksi-progesteron, gestrinone, pil kombinasi oral, dan agonis
GnRH) pada perempuan infertilitas yang mengalami endometriosis tidak
meningkatkan kehamilan dibandingkan kelompok tanpa pengobatan (OR 0.74; 95%
CI 0.48 to 1.15) atau dengan danazol (OR 1.3; 95% CI 0.97 to 1.76).

Indikasi untuk dilakukan FIV diantaranya:


 Faktor sperma yang tidak dapat dikoreksi dengan pembedahan atau obat-
obatan
 Oklusi tuba bilateral yang tidak dapat dikoreksi
 Tidak hamil pasca 3 - 4 x inseminasi intra uterin
 6 bulan pasca koreksi tuba tetapi tidak terdapat kehamilan
 Endometriosis derajat sedang - berat (derajat minimal - ringan pasca
inseminasi intra uterin tidak terdapat kehamilan)
 Infertilitas idiopatik dimana setelah 3 tahun tidak hamil (pasca inseminasi atau
pengobatan)
 Gangguan ovulasi dan penurunan cadangan telur (pasca induksi ovulasi /
inseminasi 3 – 6 siklus)

9
REFERENSI
 Speroff L, Glass R, Kase N. Clinical gynecologic endocrinology and
infertility, 7th edition, 2005.
 WHO laboratory manual for the examination and processing of human semen.
5th ed. 2010
 Konsensus Penanganan Infertilitas . Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan
Fertilitas Indonesia (HIFERI). 2013
 Schorge J, dkk., Cunningham. Williams Gynecology: McGraw-Hill. 2012

10

Anda mungkin juga menyukai