Disusun oleh:
Marendra Mahathir
Tahap 3A
Pembimbing
dr. Botefilia, SpOG(K)
DESEMBER 2018
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Tuberkulosis merupakan salah satu kondisi kesehatan utama di seluruh dunia, dengan insiden
sekitar enam juta kasus baru per tahun. Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab utama
morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi. Secara umum, tuberkulosis memiliki dampak
yang sangat buruk terutama di tiga belas negara berkembang dengan tingkat 75% kasus.1
Tuberkulosis terbagi menjadi dua berdasarkan organ yang terkena, paru dan ekstraparu.
Tuberkulosis genital adalah salah satu bentuk tuberkulosis ekstraparu yang jarang terjadi,
tetapi jarang terjadi di masyarakat Barat. Hal ini dibuktikan dengan minimnya literatur
mengenai tuberkulosis genital di negara maju dibandingkan dengan negara berkembang.
Tuberkulosis genital dapat terjadi pada 12% kasus tuberkulosis paru dan 15-20% kasus
tuberkulosis ekstraparu. Tuberkulosis genital dapat bersifat asimtomatik dan diagnosis
membutuhkan tingkat kecurigaan yang tinggi. Selain itu penyakit ini dapat menyerupai
kondisi pada ginekologi lainnya sehingga sulit untuk dikenali.2
Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling banyak terjadi dan sangat menular, hal ini
menyebabkan tuberkulosis ekstraparu semakin banyak dijumpai di seluruh dunia.3
Tuberkulosis genital merupakan salah satu penyebab morbiditas yang signifikan pada wanita,
berupa sekuele jangka pendek dan jangka panjang, terutama infertilitas. Diagnosis yang tepat
dan tatalaksana yang tepat dapat mencegah infertilitas dan gejala sisa lainnya. 3-6
Definisi
Tuberkulosis genital umumnya terjadi secara sekunder terhadap tuberkulosis di organ lain
(terutama paru). Penyebaran bakteri dapat melalui rute hematogen atau limfatik.7 Infeksi
tuberkulosis pada organ genitalia wanita dapat menyebabkan infertilitas, dispareunia,
ketidakteraturan menstruasi dan penyakit radang panggul kronis (PID).8
Epidemiologi
Kejadian sebenarnya tuberkulosis genital pada populasi umum tidak dapat ditentukan secara
akurat, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa pasien tidak menunjukkan gejala dan mungkin
masih belum terdiagnosa. Tuberkulosis genitalia adalah bentuk umum tuberkulosis
ekstraparu di seluruh dunia (27%), dan tuberkulosis genital saja dapat mencapai 9% dari
seluruh tuberkulosis ekstraparu.9 Walaupun demikian, kasus tuberkulosis genital sering
dianggap remeh karena sebagian besar pasien asimtomatik dan baru terdiagnosis saat evaluasi
infertilitas.10
Di seluruh dunia, tuberkulosis genital ditemukan pada 5-10% wanita dengan masalah
infertilitas,6 dengan prevalensi terendah di Australia (1%) dan prevalensi tertinggi hingga
19% didapatkan di India.1 Demikian pula insiden tuberkulosis genital juga terjadi pada 24,5%
wanita yang menjalani prosedur reproduksi dibantu secara keseluruhan, namun dapat
mencapai 48,5% pada infertilitas faktor tuba.11
Tuberkulosis genital lebih sering terjadi pada usia dewasa muda (20-40 tahun) dibandingkan
dengan usia pramenopause di negara maju.12 Hal ini mungkin disebabkan oleh usia menikah
dan melahirkan yang lebih muda di negara berkembang dibandingkan negara maju. Pada
daerah yang memiliki tingkat prevalensi HIV yang tinggi, secara umum insiden tuberkulosis
dapat meningkat hingga lima kali yang disebabkan oleh adanya penurunan sistem imunitas.13
Etiopatogenesis
Tuberkulosis genital umumnya terjadi secara sekunder akibat tuberkulosis paru atau
ekstraparu seperti, saluran pencernaan, ginjal, sistem skeletal, meninges dan tuberkulosis
miliaria melalui rute hematogen dan limfatik. Namun, tuberkulosis genital primer jarang
terjadi pada wanita yang memiliki pasangan lelaki dengan tuberkulosis genitourinari aktif
(tuberkulosis epididimitis) melalui transmisi melalui air mani yang terinfeksi. Lokasi organ
keterlibatan tuberkulosis genital primer dapat terjadi di serviks, vagina atau vulva.
Penyebaran langsung dari organ pencernaan terdekat seperti usus atau kelenjar getah bening
abdomen dapat menyebabkan tuberkulosis genital.3, 6
Infeksi primer tuberkulosis pada vulva, vagina dan leher rahim dapat terjadi akibat inokulasi
langsung saat berhubungan seksual dengan orang yang memiliki tuberkulosis genitourinari.
Meningkatnya penyebaran infeksi secara ascenden dari vagina, leher rahim dan vulva dapat
terjadi.1 Organ genital yang umumnya terlibat yaitu, tuba fallopi (95-100%), endometrium
(50-60%), ovarium (20-30%), leher rahim (5–15%), vulva / vagina (1%) dan miometrium
(2,5%).1
Morfologi organ genital yang terinfeksi tuberkulosis sangat bervariasi. Pada tahap awal organ
yang terkena tampak normal. Daerah ampula tuba falopii dapat menunjukkan perubahan
paling awal dan proses pembengkakan pada fimbria. Tuberkulosis endometritis sering terjadi
secara fokal, dengan perubahan patologis seperti ulserasi, nekrosis kaseosa dan perdarahan
pada tuberkulosis endometrium lanjut. Pada tahap selanjutnya, adhesi dapat terjadi antara
ovarium dan organ panggul yang berdekatan sehingga menghasilkan massa adneksa. Adhesi
intrauterin menyebabkan obliterasi parsial dari rongga uterus. Serviks, vulva, dan vagina
jarang sekali terpengaruh.14
Gejala klinis
Meskipun tuberkulosis genital dapat terjadi pada semua kelompok usia, mayoritas pasien
berada dalam kelompok usia reproduksi, 75% berada dalam kelompok usia 20–45 tahun.
Wanita pascamenopause menyumbang 7–11% kasus tuberkulosis genital.1
tuberkulosis genital mungkin asimptomatik dan sebagian besar wanita didiagnosis selama
investigasi untuk infertilitas. Gejala konstitusional sistemik berupa penurunan berat badan,
perasaan tidak enak badan dan keringat malam dapat terjadi. Pada fase akut, gambaran
tuberkulosis genital dapat menyerupai gejala PID akut berupa nyeri panggul, demam dan
keputihan. Sindrom Fitz-Hugh Curtis dapat terjadi akibat PID tuberkulosis.1
tuberkulosis genital dapat memiliki berbagai gejala ginekologi seperti infertilitas, gangguan
menstruasi dan nyeri panggul kronis. Pada wanita pascamenopause, tuberkulosis genital
memiliki gejala berupa perdarahan pascamenopause, keputihan persisten, dan pyometra.1
Tabel 1. Sign and symptom tuberculosis genital
Lesi tuberkulosis pada leher rahim memiliki gejalan perdarahan postcoital, discharge
abnormal dan pada pemeriksaan, memiliki penampilan yang mirip dengan kanker serviks.
Lesi pada vulva muncul sebagai ulkus dangkal, yang mungkin bersifat nyeri, terutama
dengan infeksi bakteri sekunder. Lesi pada vagina sering tidak nyeri dan biasanya terletak di
introitus. Keduanya dapat menyebabkan cairan darah bercampur pus dan seringkali
diidentifikasi sebagai infeksi menular seksual. Kelenjar Bartholin dapat terlibat, dengan
gejala dengan rasa sakit dan terebentuknya fistula meskipun dengan penggunaan antibiotik
yang adekuat.
Secara umum temuan pemeriksaan umum perut dan panggul bersifat normal pada mayoritas
pasien tuberkulosis genital. Seringkali ditemukan massa pelvis dan nyeri pada adneksa.
Diagnosis
Diagnosis paling efektif ditegakkan melalui kombinasi tingkat kecurigaan yang tinggi,
terutama di daerah dengan prevalensi rendah, melalui penilaian klinis awal dan investigasi
yang tepat. Faktor risiko tinggi meliputi riwayat infeksi tuberkulosis paru sebelumnya, kontak
dengan penderita tuberkulosis paru, perjalanan atau migrasi dari negara prevalensi tinggi,
latar belakang sosial ekonomi rendah, penyalahgunaan obat, status HIV positif dan riwayat
gejala paru kronik, keringat malam dan penurunan berat badan. Individu keturunan Afrika
dan Asia hitam adalah kelompok ras yang memiliki risiko tinggi.1
Penemuan basil tuberkel pada tahun 1882 dan isolasi basil pada sampel urin dan dahak pada
tahun 1883 sangat berkontribusi terhadap diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis.
Meskipun dengan adanya berbagai teknik diagnostik, diagnosis tuberkulosis genital masih
menjadi dilema. Oleh karena itu, tuberkulosis genital membutuhkan pemeriksaan klinis
secara sistematis menyeluruh dengan tingkat kecurigaan yang tinggi dan investigasi secara
intensif.16 Kecurigaan tuberkulosis genital harus dipertimbangkan pada pasien dengan
riawayat PID kronis yang tidak memiliki respon pengobatan terhadap antibiotik standar,
infertilitas yang tidak dapat dijelaskan atau pada wanita dengan menstruasi yang tidak teratur,
siklus atau perdarahan pascamenopause dan keputihan persisten (di mana neoplasia genital
telah disingkirkan).10 Saat ini tidak ada tes diagnostik tunggal yang tersedia untuk
mengkonfirmasi diagnosis tuberkulosis genital. Tingkat kecurigaan klinis yang tinggi,
pengambilan riwayat lengkap, pemeriksaan sistemik, tes untuk mendokumentasikan M.
tuberculosis serta metodologi pencitraan terhadap perubahan struktural yang khas sangat
penting untuk penegakan diagnosis tuberkulosis genital.17
Pendekatan diagnostik yang digunakan adalah riwayat keluarga dengan tuberkulosis atau
riwayat terapi anti-tuberkulosis (ATT) pada anggota keluarga dekat atau riwayat tuberkulosis
atau ATT di masa lalu pada pasien yang menunjukkan gejala tuberkulosis di wilayah genital.
Riwayat positif HIV juga penting. Pemeriksaan fisik secara lengkap dan detail untuk setiap
adanya limfadenopati dan bukti tuberkulosis di organ lain (tulang, persendian, kulit, dll.),
Pemeriksaan dada (tuberkulosis paru), pemeriksaan perut (tuberkulosis abdomen),
pemeriksaan genitalia eksterna (tuberkulosis vulvar atau vagina), pemeriksaan spekulum
(tuberkulosis serviks), pemeriksaan bimanual (tuberkulosis tuba endometrium atau tuba)
dapat membantu dalam diagnosis tuberkulosis genital. keselurahan tes tidak diperlukan untuk
setiap satu kasus tuberkulosis genital. Tes yang akan digunakan bergantung pada lokasi
tuberkulosis dan presentasi klinisnya. Berbagai tes ditunjukkan pada Tabel 2.13
Tabel 2. Investigasi tuberkulosis genital13
Teknik imaging
Dua teknik pencitraan yang berguna dalam diagnosis tuberkulosis genital adalah
hysterosalpingography (HSG) dan ultrasonografi (USG).10 HSG dapatmengevaluasi struktur
internal saluran genital perempuan dan patensi tuba sedangkan USG memungkinkan evaluasi
simultan keterlibatan ovarium, uterus dan ekstrapelvis.18
Hysterosalpingography (HSG)
tuberkulosis genital memiliki karakteristik perubahan struktural pada organ yang terlibat, dan
HSG adalah alat yang berguna dalam memvisualisasikan kelainan. Dalam HSG, presentasi
tuba tuberkulosis dapat bervariasi dari perubahan non-spesifik seperti dilatasi tuba, oklusi
tuba, kontur tidak teratur, divertikular outpouching (salpingitis isthmica nodosa),
hydrosalpinx dengan pola spesifik seperti ‘cotton wool plug’, ‘pipestem tube’, ‘golf club
tube’, ‘cobblestone tube’, ‘beaded tube’, ‘leopard skin tube’, oklusi tuba dan adhesi di daerah
peritubal yang mungkin hadir sebagai straight spill, corkscrew appearance dan peritubal
halo.19 Tuberkulosis harus dicurigai kuat jika terdapat synechiae, obstruksi tuba di zona
transisi antara ismus dan ampula, konstriksi multipel, kalsifikasi kelenjar getah bening,
kalsifikasi linear atau nodular tidak teratur di daerah adneksa.18
Perubahan rahim karena tuberkulosis dapat dijumpai sebagai gejala abses 'collar-stud’, rahim
berbentuk-T dan 'pseudounicornuate' rahim atau gejala non-spesifik seperti pembentukan
synechiae, distorsi kontur uterus, obliterasi rongga uterus, dan intravasasi vena dan limfatik.20
Infeksi kronis dapat menyebabkan kerusakan luas endometrium dan miometrium yang
mengakibatkan penyempitan rongga uterus komplit yang disebut sindrom Netter. Hal ini
dapat dilihat di HSG sebagai gambaran gloved-finger yang terdiri dari saluran servikal dan
bagian kecil dari uterus.10 tuberkulosis serviks jarang terjadi pada lapisan epitel berlapis
ektoserviks, yang memiliki sifat secara alami resisten terhadap penetrasi bakteri; oleh karena
itu, tuberkulosis cervical sebagian besar terjadi secara sekunder akibat tuberkulosis dari tuba
fallopi dan endometrium.21 Keterlibatan serviks divisualisasikan dalam HSG sebagai
ketidakteraturan kontur dan divertikular outpouching dengan penampilan berbulu, distorsi
serviks dan kanal endoserviks yang bergigi.20,21 tuberkulosis serviks sering salah terdiagnosis
sebagai kanker serviks, oleh karena itu penegakan diagnosis segera sangat penting dalam
manajemen.10
Ultrasonogram (USG)
Gambaran USG pada tuberkulosis genital dapat dijumpai pelebaran dan penebalan saluran
tuba yang teriisi cairan bening yang disebut hidrosalping atau material kaseosa yang disebut
pyosalping. Endometrium dipengaruhi pada 60-90 persen kasus dengan tuberkulosis genital,
dan pembesaran uterus dapat disebabkan oleh terisi oleh material kaseosa.10 Endometrium
tampak heterogen dengan area hyperechoic yang mewakili fokus kalsifikasi atau fibrosis,
adhesi intrauterine dan rongga uterus terdistorsi. Gambaran dapat bervariasi dari gambaran
normal hingga kelainan seperti penipisan atau penebalan endometrium, obliterasi kornual,
perubahan vaskularisasi endometrium selama pertengahan siklus menstruasi yang distimulasi,
kalsifikasi sub-endometrium, variasi aliran arteri uterina selama pertengahan siklus, cairan
tuba, cairan peritoneum bebas dan terlokalisasi, pembesaran ovarium heterogen dan fiksasi
adneksa. Beberapa temuan dengan spesifisitas yang lebih besar adalah adanya kista
miometrium oligemik, folikel ekogenik dan adanya cairan endometrium bersamaan dengan
hidrosalping. Computed tomography dan magnetic resonance imaging dapat digunakan
dalam tuberkulosis genital dengan adanya massa abdomen atau panggul.10
Laparoskopi
Walaupun laparoskopi merupakan prosedur invasif, prosedur ini dapat membantu dalam
inspeksi visual ovarium, tuba fallopii, rongga peritoneum dan biopsi lesi tuberkulosis.
Keuntungan menggabungkan histeroskopi dengan laparoskopi tidak hanya pengecualian
terhadap keterlibatan endometrium, tetapi juga untuk melakukan intervensi seperti lisis
sinekia atau priming endometrium dengan estrogen. Temuan laparoskopi sugestif dari
tuberkulosis genital dapat bervariasi dari penampilan normal hingga tuberkel permukaan,
sumbatan fimbrial, fimosis fimbrial, beading tuba, adhesi peritubal, adhesi periovarian, massa
tubo-ovarium, hidrosalping, dan tuba kaku.23,24
Diagnosis akhir dibuat berdasarkan anamnesis yang baik, pemeriksaan sistemik dan
ginekologis yang teliti dan penggunaan modalitas diagnosis yang bijaksana seperti biopsi
endometrium bersama dengan metode pencitraan dan visualisasi endoskopik terutama dengan
laparoskopi. Beberapa penulis telah mengembangkan algoritme untuk diagnosis tuberkulosis
genital secara akurat dengan menggabungkan anamnesis, pemeriksaan, dan investigasi.25
Tatalaksana
Tatalaksana medis
Terapi obat multipel dalam dosis yang adekuat dan durasi yang cukup adalah tujuan utama
dalam pengobatan tuberkulosis, termasuk tuberkulosis genital. Pada masa lalu sebelum
rifampisin, ATT diberikan selama 18-24 bulan dengan efek samping yang signifikan dan
kepatuhan yang buruk. Kemoterapi jangka pendek selama 6-9 bulan telah terbukti efektif
untuk perawatan medis tuberkulosis genital.13
American Thoracic Society26 dan British Thoracic Society dan NICE (National Institute of
Clinical Excellence) Pedoman (2006)27 merekomendasikan bahwa pilihan pertama
pengobatan harus menjadi standar rejimen yang direkomendasikan menggunakan jadwal
dosis harian menggunakan tablet kombinasi dan tidak mempertimbangkan DOTS dalam
manajemen sebagian besar kasus tuberkulosis di negara maju yang dapat mematuhi
pengobatan dengan baik. DOTS disukai oleh WHO untuk mencegah MDR dan memiliki
hasil yang lebih baik. WHO dalam pedoman baru-baru ini telah menghapus kategori 3 dan
merekomendasikan terapi harian rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z) dan etambutol
(E) selama 2 bulan diikuti oleh terapi 4-bulan harian rifampisin (R) dan isoniazid (H). Atau
fase intensif RHZE selama 2 bulan setiap hari diikuti oleh fase kombinasi hari alternatif (RH)
selama 4 bulan. Tiga dosis mingguan selama terapi (2RHZE, 4HR) dapat diberikan sebagai
DOTS yang diberikan setiap dosis secara langsung diamati dan pasien tidak memiliki status
HIV positif atau hidup dalam prevalensi HIV yang tinggi.28
Pasien dikategorikan ke salah satu kategori pengobatan dan kemudian diberikan perawatan
sesuai pedoman untuk program nasional oleh WHO (Tabel 3). tuberkulosis genital
diklasifikasikan dalam kategori 1, yaitu penyakit ekstraparu yang serius. Untuk memastikan
kualitas obat yang terjamin dalam dosis yang adekuat, paket 6 bulan penuh disediakan untuk
pasien secara individual di pusat DOTS dengan obat tetap (FDC) yang terdiri dari, isoniazid,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol dengan dosis tiga kali seminggu selama 2 bulan
pertama ( fase intensif) di bawah pengamatan langsung yang dilanjutkan oleh kombinasi
kemasan blister isoniazid dan rifampisin dengan dosis tiga kali seminggu selama 4 bulan ke
depan (fase lanjutan).
Kasus tuberkulosis genital dapat kambuh atau gagal yang kemudian dikategorikan ke dalam
kategori II (Tabel 3), yang mencakup 2 bulan suntikan intramuskular streptomisin dengan
dosis tiga kali seminggu bersama dengan empat obat lain (SRHZE) dari kategori I di bawah
pengawasan langsung petugas kesehatan pusat DOTS untuk pertama kalinya yang kemudian
dilanjutkan selama 2 bulan dengan empat obat (RHZE) tiga kali seminggu selama satu bulan
lagi (fase intensif) diikuti oleh fase lanjutan dengan tiga obat isoniazid (H), rifampisin (R)
dan etambutol (E) dengan dosis tiga kali seminggu selama 5 bulan.
Tatalaksana non-DOTS
Pasien yang tidak memilih untuk perawatan DOTS harus menjalani terapi harian dengan
regimen RHZE selama 2 bulan (fase intensif) diikuti oleh regimen RH selama 4 bulan (fase
lanjutan). Kemasan kombipak yang nyaman dan ekonomi saat ini tersedia di pasar.
Tabel 3. Kategori Pengobatan Regimen untuk Tuberkulosis termasuk Tuberkulosis
Genital3,6,28,29
Tatalaksana tuberkulosis genital kasus kronik, resisten obat dan resisten multi-obat
Tatalaksana pada kasus ini sama dengan MDR paru dengan obat lini kedua dan ditunjukkan
pada Tabel 3 dan diperlukan untuk durasi yang lama (18-24 bulan).
Tatalaksana pembedahan
Terapi medis, terutama kemoterapi jangka pendek modern yang terdiri dari rifampisin dan
obat lain, sangat efektif untuk pengobatan tuberkulosis genital dengan kebutuhan operasi
yang jarang.6
Ada kemungkinan komplikasi yang lebih tinggi selama operasi pada wanita dengan
tuberkulosis genital pada prosedur histeroskopi, laparoskopi, histerektomi vagina dan
laparotomi.30-32 Perdarahan yang berlebihan dan tidak tersedianya prosedur pembedahan pada
saat laparotomi memiliki risiko cedera yang lebih tinggi pada organ usus, organ pelvis dan
perut. Dalam kasus tuberkulosis abdominopelvis, organ usus dapat kusut bersama-sama
dengan organ pelvis, sehingga uterus dan terletak di bawah adhesi dan loop usus tidak dapat
dicegah. Percobaan prosedur laparoskopi atau laparotomi diagnostik dalam kasus seperti ini
dapat menyebabkan cedera pada usus yang membutuhkan laparotomi yang sangat sulit dan
reseksi usus yang mengalami cedera. Dalam hal ini, sebaiknya pengambilan biopsi dari
daerah perwakilan dan menutup abdomen tanpa melakukan pembersihan terhadap organ
panggul dalam kasus laparotomi terhadap kecurigaan tumor panggul namun, ditemukan lesi
tuberkular pada laparotomi yang dilanjutkan dengan perawatan medis lengkap.
Setelah wanita dengan tuberkulosis genital yang mengalami infertilitas mendapatkan terapi
lengkap selama 6 bulan ATT, namun masih mengalami infertilitas, prosedur laparoskopi dan
histeroskopi dapat diulang untuk melihat penyakit yang tersisa. Luaran fertilitas dalam
tuberkulosis genital hanya baik ketika ATT dimulai pada tahap awal. Namun pada kasus
tuberkulosis tingkat lanjut dengan adhesi yang luas di pelvis dan uterus, sering tidak dapat
diobati dengan prognosis yang sangat buruk terhadap fertilitas. Tuboplasty yang dilakukan
setelah ATT tidak membantu banyak dengan kemungkinan terjadinya flareup penyakit dan
risiko kehamilan ektopik.33,34
Pencegahan
Identitas Pasien
Nama : Ny. Aldila
Nama Suami : Tn. Maula Oktova
Nomor RM : 2254431
Umur : 31 tahun
Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien ingin hamil
Riwayat Menstruasi
Menarche usia 12 tahun, tidak reguler, siklus 28 hari, lama 6-7 hari, ganti pembalut 4-5x/hari,
dysmenorea tidak ada
Riwayat Pernikahan
1. Satu kali tahun 2014, usia 27 tahun
Riwayat Obstetri: P0A0
Riwayat KB: tidak ada
Riwayat Sosial-ekonomi
Pasien seorang perawat di RS jakarta, suami bekerja sebagai perawat di RS persahabatan
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Kesadaran : kompos mentis Keadaan umum : baik
Tekanan darah : 110/80 mmHg Tinggi badan : 160 cm
Frekuensi nadi : 84 kali/menit Berat badan : 64 kg
Suhu : 36,7oC IMT : 25 kg/m2 (normoweight)
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Status Generalis
Kepala leher : normosefal, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : vesikuler +/+, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung : bunyi jantung 1 dan 2 normal, murmur negatif, gallop negatif
Abdomen : suple, tidak teraba massa, bising usus positif
Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time < 2 detik, pitting edema negatif kedua
kaki
Status ginekologi
Inspeksi : vulva dan uretra tenang, perdarahan tidak ada
Inspekulo : portio licin, OUE tertutup, fluor negatif, fluksus tidak ada
RVT : uterus antefleksi, ukuran dalam batas normal, mobile, CUT tidak membesar,
Tidak teraba massa di kedua adneksa, parametrium lemas. TSA baik, ampula
tidak kolaps, tidak teraba massa, mukosa licin
Pemeriksaan penunjang
USG IPDS (20 Juni 2016):
• Tampak massa hipoekoik dengan batas tidak jelas di daerah fundus dan korpus
posterior, ukuran 9x10 mm dan 29x14 mm, kemungkinan berasal dari adenomiosis
• Ovarium kanan bentuk dan ukuran normal
• Ovarium kiri tampak massa kistik berisi ekointerna, ukuran 13x19 mm, kemungkinan
berasal dari suatu kista endometriosis
• Kesan: suspect multiple adenomiosis dan kista endometriosis kiri
Hasil PA (17/10/2017):
leiomyoms uterus, adenomiosis uterus, myositis tuberkulosis dengan necrosis perkijuan,
salphingitis folikularis, jaringan granulasi dinding kista coklat
Diagnosis
1. Infertilitas primer 4 tahun
2. Miomauteri intramural
3. Myositis tuberculosis post OAT komplit (9 bulan)
Tatalaksana
Pada pasien ini sebelumnya tidak terdiagnosa dengan tuberculosis genital oleh karena sign
and symptom tuberculosis extrapulmonal sangat bervariasi dan terkadang hampir sama
dengan penyakit inflamasi lain atau keganasan. Diagnosis tersebut ditegakkan disaat workup
untuk infertilitas. Dari beberapa literature menyebutkkan beberapa gejala yang paling sering
dikeluhkan pada kasus genital tuberculosis yaitu infertilitas, gangguan mentruasi, nyeri
pinggang dan keluhan lain seperti yang ditunjukkan tabel 1. Memang gejala dan pemeriksaan
penunjang begitu spesifik mengarahkan penyakit genital tuberculosis karena mimicking dari
suatu penyakit inflamasi maupun massa abnormal di adneksa. Penelitian yang dilakukan oleh
Angelina G, Dkk. Mencoba untuk membuat suatu algoritma untuk mendiagnosis genital
tuberculosis.
Menurut alogiruma tersebut, dapat diikuti bila kita memiliki kecurigaan yang cukup tinggi
terhadap female genital tuberculosis dengan menemukan adanya infertilitas yang tidak jelas
penyebabnya, menstruasi yang irrguler, PID, post-menopausal bleeding dan keputihan terus
menerus. Adapun rekomendasi yang dilakukan pada ilustrasi kasus diatas yaitu laparascopy
diagnostic dan biopsy. Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
penegakan diagnostic (Table 2) namun pemeriksaan terbaik saat ini tetap dengan
histopatologik. Masih diperlukan data-data yang cukup banyak untuk dapat algoritma yang
tepat dalam mendiagnosa female genital tuberculosis.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA