Anda di halaman 1dari 20

Gynecology Review

Disusun oleh:
Marendra Mahathir
Tahap 3A

Pembimbing
dr. Botefilia, SpOG(K)

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

DESEMBER 2018
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis Pada Organ Genitalia Wanita

Tuberkulosis merupakan salah satu kondisi kesehatan utama di seluruh dunia, dengan insiden
sekitar enam juta kasus baru per tahun. Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab utama
morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi. Secara umum, tuberkulosis memiliki dampak
yang sangat buruk terutama di tiga belas negara berkembang dengan tingkat 75% kasus.1

Tuberkulosis terbagi menjadi dua berdasarkan organ yang terkena, paru dan ekstraparu.
Tuberkulosis genital adalah salah satu bentuk tuberkulosis ekstraparu yang jarang terjadi,
tetapi jarang terjadi di masyarakat Barat. Hal ini dibuktikan dengan minimnya literatur
mengenai tuberkulosis genital di negara maju dibandingkan dengan negara berkembang.
Tuberkulosis genital dapat terjadi pada 12% kasus tuberkulosis paru dan 15-20% kasus
tuberkulosis ekstraparu. Tuberkulosis genital dapat bersifat asimtomatik dan diagnosis
membutuhkan tingkat kecurigaan yang tinggi. Selain itu penyakit ini dapat menyerupai
kondisi pada ginekologi lainnya sehingga sulit untuk dikenali.2

Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling banyak terjadi dan sangat menular, hal ini
menyebabkan tuberkulosis ekstraparu semakin banyak dijumpai di seluruh dunia.3
Tuberkulosis genital merupakan salah satu penyebab morbiditas yang signifikan pada wanita,
berupa sekuele jangka pendek dan jangka panjang, terutama infertilitas. Diagnosis yang tepat
dan tatalaksana yang tepat dapat mencegah infertilitas dan gejala sisa lainnya. 3-6

Definisi

Tuberkulosis genital umumnya terjadi secara sekunder terhadap tuberkulosis di organ lain
(terutama paru). Penyebaran bakteri dapat melalui rute hematogen atau limfatik.7 Infeksi
tuberkulosis pada organ genitalia wanita dapat menyebabkan infertilitas, dispareunia,
ketidakteraturan menstruasi dan penyakit radang panggul kronis (PID).8
Epidemiologi

Kejadian sebenarnya tuberkulosis genital pada populasi umum tidak dapat ditentukan secara
akurat, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa pasien tidak menunjukkan gejala dan mungkin
masih belum terdiagnosa. Tuberkulosis genitalia adalah bentuk umum tuberkulosis
ekstraparu di seluruh dunia (27%), dan tuberkulosis genital saja dapat mencapai 9% dari
seluruh tuberkulosis ekstraparu.9 Walaupun demikian, kasus tuberkulosis genital sering
dianggap remeh karena sebagian besar pasien asimtomatik dan baru terdiagnosis saat evaluasi
infertilitas.10

Di seluruh dunia, tuberkulosis genital ditemukan pada 5-10% wanita dengan masalah
infertilitas,6 dengan prevalensi terendah di Australia (1%) dan prevalensi tertinggi hingga
19% didapatkan di India.1 Demikian pula insiden tuberkulosis genital juga terjadi pada 24,5%
wanita yang menjalani prosedur reproduksi dibantu secara keseluruhan, namun dapat
mencapai 48,5% pada infertilitas faktor tuba.11

Tuberkulosis genital lebih sering terjadi pada usia dewasa muda (20-40 tahun) dibandingkan
dengan usia pramenopause di negara maju.12 Hal ini mungkin disebabkan oleh usia menikah
dan melahirkan yang lebih muda di negara berkembang dibandingkan negara maju. Pada
daerah yang memiliki tingkat prevalensi HIV yang tinggi, secara umum insiden tuberkulosis
dapat meningkat hingga lima kali yang disebabkan oleh adanya penurunan sistem imunitas.13

Etiopatogenesis

Mycobacterium tuberculosis adalah etiologi tuberkulosis. Faktor predisposisi tuberkulosis


meliputi berbagai faktor, seperti kemiskinan, jumlah populasi dengan ventilasi yang tidak
tepat, akses yang tidak memadai ke perawatan kesehatan, kekurangan gizi, diabetes mellitus,
merokok, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, hemodialisis akibat penyakit ginjal
stadium akhir dan pasien dengan infeksi HIV.13

Tuberkulosis genital umumnya terjadi secara sekunder akibat tuberkulosis paru atau
ekstraparu seperti, saluran pencernaan, ginjal, sistem skeletal, meninges dan tuberkulosis
miliaria melalui rute hematogen dan limfatik. Namun, tuberkulosis genital primer jarang
terjadi pada wanita yang memiliki pasangan lelaki dengan tuberkulosis genitourinari aktif
(tuberkulosis epididimitis) melalui transmisi melalui air mani yang terinfeksi. Lokasi organ
keterlibatan tuberkulosis genital primer dapat terjadi di serviks, vagina atau vulva.
Penyebaran langsung dari organ pencernaan terdekat seperti usus atau kelenjar getah bening
abdomen dapat menyebabkan tuberkulosis genital.3, 6

Infeksi primer tuberkulosis pada vulva, vagina dan leher rahim dapat terjadi akibat inokulasi
langsung saat berhubungan seksual dengan orang yang memiliki tuberkulosis genitourinari.
Meningkatnya penyebaran infeksi secara ascenden dari vagina, leher rahim dan vulva dapat
terjadi.1 Organ genital yang umumnya terlibat yaitu, tuba fallopi (95-100%), endometrium
(50-60%), ovarium (20-30%), leher rahim (5–15%), vulva / vagina (1%) dan miometrium
(2,5%).1

Morfologi organ genital yang terinfeksi tuberkulosis sangat bervariasi. Pada tahap awal organ
yang terkena tampak normal. Daerah ampula tuba falopii dapat menunjukkan perubahan
paling awal dan proses pembengkakan pada fimbria. Tuberkulosis endometritis sering terjadi
secara fokal, dengan perubahan patologis seperti ulserasi, nekrosis kaseosa dan perdarahan
pada tuberkulosis endometrium lanjut. Pada tahap selanjutnya, adhesi dapat terjadi antara
ovarium dan organ panggul yang berdekatan sehingga menghasilkan massa adneksa. Adhesi
intrauterin menyebabkan obliterasi parsial dari rongga uterus. Serviks, vulva, dan vagina
jarang sekali terpengaruh.14

Gejala klinis

Meskipun tuberkulosis genital dapat terjadi pada semua kelompok usia, mayoritas pasien
berada dalam kelompok usia reproduksi, 75% berada dalam kelompok usia 20–45 tahun.
Wanita pascamenopause menyumbang 7–11% kasus tuberkulosis genital.1

tuberkulosis genital mungkin asimptomatik dan sebagian besar wanita didiagnosis selama
investigasi untuk infertilitas. Gejala konstitusional sistemik berupa penurunan berat badan,
perasaan tidak enak badan dan keringat malam dapat terjadi. Pada fase akut, gambaran
tuberkulosis genital dapat menyerupai gejala PID akut berupa nyeri panggul, demam dan
keputihan. Sindrom Fitz-Hugh Curtis dapat terjadi akibat PID tuberkulosis.1

tuberkulosis genital dapat memiliki berbagai gejala ginekologi seperti infertilitas, gangguan
menstruasi dan nyeri panggul kronis. Pada wanita pascamenopause, tuberkulosis genital
memiliki gejala berupa perdarahan pascamenopause, keputihan persisten, dan pyometra.1
Tabel 1. Sign and symptom tuberculosis genital

Lesi tuberkulosis pada leher rahim memiliki gejalan perdarahan postcoital, discharge
abnormal dan pada pemeriksaan, memiliki penampilan yang mirip dengan kanker serviks.
Lesi pada vulva muncul sebagai ulkus dangkal, yang mungkin bersifat nyeri, terutama
dengan infeksi bakteri sekunder. Lesi pada vagina sering tidak nyeri dan biasanya terletak di
introitus. Keduanya dapat menyebabkan cairan darah bercampur pus dan seringkali
diidentifikasi sebagai infeksi menular seksual. Kelenjar Bartholin dapat terlibat, dengan
gejala dengan rasa sakit dan terebentuknya fistula meskipun dengan penggunaan antibiotik
yang adekuat.

Keterlibatan ovarium dapat menyebabkan massa ovarium adneksa. Dapat ditemukan


pembentukan fistula ke usus, kulit atau vagina. Keterlibatan peritoneal dapat menyebabkan
asites. Ditemukannya massa adneksa dan tingkat serum CA125 yang meningkat, dapat
diinterpretasikan sebagai kanker ovarium dan dapat menyebabkan intervensi bedah yang
tidak perlu. Dapat juga terjadi efusi pleura yang berhubungan dengan massa panggul yang
sesuai dengan gambaran sindrom Meigs.1

Secara umum temuan pemeriksaan umum perut dan panggul bersifat normal pada mayoritas
pasien tuberkulosis genital. Seringkali ditemukan massa pelvis dan nyeri pada adneksa.

Diagnosis
Diagnosis paling efektif ditegakkan melalui kombinasi tingkat kecurigaan yang tinggi,
terutama di daerah dengan prevalensi rendah, melalui penilaian klinis awal dan investigasi
yang tepat. Faktor risiko tinggi meliputi riwayat infeksi tuberkulosis paru sebelumnya, kontak
dengan penderita tuberkulosis paru, perjalanan atau migrasi dari negara prevalensi tinggi,
latar belakang sosial ekonomi rendah, penyalahgunaan obat, status HIV positif dan riwayat
gejala paru kronik, keringat malam dan penurunan berat badan. Individu keturunan Afrika
dan Asia hitam adalah kelompok ras yang memiliki risiko tinggi.1

Penemuan basil tuberkel pada tahun 1882 dan isolasi basil pada sampel urin dan dahak pada
tahun 1883 sangat berkontribusi terhadap diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis.
Meskipun dengan adanya berbagai teknik diagnostik, diagnosis tuberkulosis genital masih
menjadi dilema. Oleh karena itu, tuberkulosis genital membutuhkan pemeriksaan klinis
secara sistematis menyeluruh dengan tingkat kecurigaan yang tinggi dan investigasi secara
intensif.16 Kecurigaan tuberkulosis genital harus dipertimbangkan pada pasien dengan
riawayat PID kronis yang tidak memiliki respon pengobatan terhadap antibiotik standar,
infertilitas yang tidak dapat dijelaskan atau pada wanita dengan menstruasi yang tidak teratur,
siklus atau perdarahan pascamenopause dan keputihan persisten (di mana neoplasia genital
telah disingkirkan).10 Saat ini tidak ada tes diagnostik tunggal yang tersedia untuk
mengkonfirmasi diagnosis tuberkulosis genital. Tingkat kecurigaan klinis yang tinggi,
pengambilan riwayat lengkap, pemeriksaan sistemik, tes untuk mendokumentasikan M.
tuberculosis serta metodologi pencitraan terhadap perubahan struktural yang khas sangat
penting untuk penegakan diagnosis tuberkulosis genital.17

Pendekatan diagnostik yang digunakan adalah riwayat keluarga dengan tuberkulosis atau
riwayat terapi anti-tuberkulosis (ATT) pada anggota keluarga dekat atau riwayat tuberkulosis
atau ATT di masa lalu pada pasien yang menunjukkan gejala tuberkulosis di wilayah genital.
Riwayat positif HIV juga penting. Pemeriksaan fisik secara lengkap dan detail untuk setiap
adanya limfadenopati dan bukti tuberkulosis di organ lain (tulang, persendian, kulit, dll.),
Pemeriksaan dada (tuberkulosis paru), pemeriksaan perut (tuberkulosis abdomen),
pemeriksaan genitalia eksterna (tuberkulosis vulvar atau vagina), pemeriksaan spekulum
(tuberkulosis serviks), pemeriksaan bimanual (tuberkulosis tuba endometrium atau tuba)
dapat membantu dalam diagnosis tuberkulosis genital. keselurahan tes tidak diperlukan untuk
setiap satu kasus tuberkulosis genital. Tes yang akan digunakan bergantung pada lokasi
tuberkulosis dan presentasi klinisnya. Berbagai tes ditunjukkan pada Tabel 2.13
Tabel 2. Investigasi tuberkulosis genital13

Teknik imaging

Dua teknik pencitraan yang berguna dalam diagnosis tuberkulosis genital adalah
hysterosalpingography (HSG) dan ultrasonografi (USG).10 HSG dapatmengevaluasi struktur
internal saluran genital perempuan dan patensi tuba sedangkan USG memungkinkan evaluasi
simultan keterlibatan ovarium, uterus dan ekstrapelvis.18

Hysterosalpingography (HSG)

tuberkulosis genital memiliki karakteristik perubahan struktural pada organ yang terlibat, dan
HSG adalah alat yang berguna dalam memvisualisasikan kelainan. Dalam HSG, presentasi
tuba tuberkulosis dapat bervariasi dari perubahan non-spesifik seperti dilatasi tuba, oklusi
tuba, kontur tidak teratur, divertikular outpouching (salpingitis isthmica nodosa),
hydrosalpinx dengan pola spesifik seperti ‘cotton wool plug’, ‘pipestem tube’, ‘golf club
tube’, ‘cobblestone tube’, ‘beaded tube’, ‘leopard skin tube’, oklusi tuba dan adhesi di daerah
peritubal yang mungkin hadir sebagai straight spill, corkscrew appearance dan peritubal
halo.19 Tuberkulosis harus dicurigai kuat jika terdapat synechiae, obstruksi tuba di zona
transisi antara ismus dan ampula, konstriksi multipel, kalsifikasi kelenjar getah bening,
kalsifikasi linear atau nodular tidak teratur di daerah adneksa.18
Perubahan rahim karena tuberkulosis dapat dijumpai sebagai gejala abses 'collar-stud’, rahim
berbentuk-T dan 'pseudounicornuate' rahim atau gejala non-spesifik seperti pembentukan
synechiae, distorsi kontur uterus, obliterasi rongga uterus, dan intravasasi vena dan limfatik.20
Infeksi kronis dapat menyebabkan kerusakan luas endometrium dan miometrium yang
mengakibatkan penyempitan rongga uterus komplit yang disebut sindrom Netter. Hal ini
dapat dilihat di HSG sebagai gambaran gloved-finger yang terdiri dari saluran servikal dan
bagian kecil dari uterus.10 tuberkulosis serviks jarang terjadi pada lapisan epitel berlapis
ektoserviks, yang memiliki sifat secara alami resisten terhadap penetrasi bakteri; oleh karena
itu, tuberkulosis cervical sebagian besar terjadi secara sekunder akibat tuberkulosis dari tuba
fallopi dan endometrium.21 Keterlibatan serviks divisualisasikan dalam HSG sebagai
ketidakteraturan kontur dan divertikular outpouching dengan penampilan berbulu, distorsi
serviks dan kanal endoserviks yang bergigi.20,21 tuberkulosis serviks sering salah terdiagnosis
sebagai kanker serviks, oleh karena itu penegakan diagnosis segera sangat penting dalam
manajemen.10

Ultrasonogram (USG)

Gambaran USG pada tuberkulosis genital dapat dijumpai pelebaran dan penebalan saluran
tuba yang teriisi cairan bening yang disebut hidrosalping atau material kaseosa yang disebut
pyosalping. Endometrium dipengaruhi pada 60-90 persen kasus dengan tuberkulosis genital,
dan pembesaran uterus dapat disebabkan oleh terisi oleh material kaseosa.10 Endometrium
tampak heterogen dengan area hyperechoic yang mewakili fokus kalsifikasi atau fibrosis,
adhesi intrauterine dan rongga uterus terdistorsi. Gambaran dapat bervariasi dari gambaran
normal hingga kelainan seperti penipisan atau penebalan endometrium, obliterasi kornual,
perubahan vaskularisasi endometrium selama pertengahan siklus menstruasi yang distimulasi,
kalsifikasi sub-endometrium, variasi aliran arteri uterina selama pertengahan siklus, cairan
tuba, cairan peritoneum bebas dan terlokalisasi, pembesaran ovarium heterogen dan fiksasi
adneksa. Beberapa temuan dengan spesifisitas yang lebih besar adalah adanya kista
miometrium oligemik, folikel ekogenik dan adanya cairan endometrium bersamaan dengan
hidrosalping. Computed tomography dan magnetic resonance imaging dapat digunakan
dalam tuberkulosis genital dengan adanya massa abdomen atau panggul.10
Laparoskopi

Walaupun laparoskopi merupakan prosedur invasif, prosedur ini dapat membantu dalam
inspeksi visual ovarium, tuba fallopii, rongga peritoneum dan biopsi lesi tuberkulosis.
Keuntungan menggabungkan histeroskopi dengan laparoskopi tidak hanya pengecualian
terhadap keterlibatan endometrium, tetapi juga untuk melakukan intervensi seperti lisis
sinekia atau priming endometrium dengan estrogen. Temuan laparoskopi sugestif dari
tuberkulosis genital dapat bervariasi dari penampilan normal hingga tuberkel permukaan,
sumbatan fimbrial, fimosis fimbrial, beading tuba, adhesi peritubal, adhesi periovarian, massa
tubo-ovarium, hidrosalping, dan tuba kaku.23,24

Kombinasi Tes (Algoritma)

Diagnosis akhir dibuat berdasarkan anamnesis yang baik, pemeriksaan sistemik dan
ginekologis yang teliti dan penggunaan modalitas diagnosis yang bijaksana seperti biopsi
endometrium bersama dengan metode pencitraan dan visualisasi endoskopik terutama dengan
laparoskopi. Beberapa penulis telah mengembangkan algoritme untuk diagnosis tuberkulosis
genital secara akurat dengan menggabungkan anamnesis, pemeriksaan, dan investigasi.25

Tatalaksana

Tatalaksana medis

Terapi obat multipel dalam dosis yang adekuat dan durasi yang cukup adalah tujuan utama
dalam pengobatan tuberkulosis, termasuk tuberkulosis genital. Pada masa lalu sebelum
rifampisin, ATT diberikan selama 18-24 bulan dengan efek samping yang signifikan dan
kepatuhan yang buruk. Kemoterapi jangka pendek selama 6-9 bulan telah terbukti efektif
untuk perawatan medis tuberkulosis genital.13

Tatalaksana Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course)

American Thoracic Society26 dan British Thoracic Society dan NICE (National Institute of
Clinical Excellence) Pedoman (2006)27 merekomendasikan bahwa pilihan pertama
pengobatan harus menjadi standar rejimen yang direkomendasikan menggunakan jadwal
dosis harian menggunakan tablet kombinasi dan tidak mempertimbangkan DOTS dalam
manajemen sebagian besar kasus tuberkulosis di negara maju yang dapat mematuhi
pengobatan dengan baik. DOTS disukai oleh WHO untuk mencegah MDR dan memiliki
hasil yang lebih baik. WHO dalam pedoman baru-baru ini telah menghapus kategori 3 dan
merekomendasikan terapi harian rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z) dan etambutol
(E) selama 2 bulan diikuti oleh terapi 4-bulan harian rifampisin (R) dan isoniazid (H). Atau
fase intensif RHZE selama 2 bulan setiap hari diikuti oleh fase kombinasi hari alternatif (RH)
selama 4 bulan. Tiga dosis mingguan selama terapi (2RHZE, 4HR) dapat diberikan sebagai
DOTS yang diberikan setiap dosis secara langsung diamati dan pasien tidak memiliki status
HIV positif atau hidup dalam prevalensi HIV yang tinggi.28

Pasien dikategorikan ke salah satu kategori pengobatan dan kemudian diberikan perawatan
sesuai pedoman untuk program nasional oleh WHO (Tabel 3). tuberkulosis genital
diklasifikasikan dalam kategori 1, yaitu penyakit ekstraparu yang serius. Untuk memastikan
kualitas obat yang terjamin dalam dosis yang adekuat, paket 6 bulan penuh disediakan untuk
pasien secara individual di pusat DOTS dengan obat tetap (FDC) yang terdiri dari, isoniazid,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol dengan dosis tiga kali seminggu selama 2 bulan
pertama ( fase intensif) di bawah pengamatan langsung yang dilanjutkan oleh kombinasi
kemasan blister isoniazid dan rifampisin dengan dosis tiga kali seminggu selama 4 bulan ke
depan (fase lanjutan).

Kasus tuberkulosis genital dapat kambuh atau gagal yang kemudian dikategorikan ke dalam
kategori II (Tabel 3), yang mencakup 2 bulan suntikan intramuskular streptomisin dengan
dosis tiga kali seminggu bersama dengan empat obat lain (SRHZE) dari kategori I di bawah
pengawasan langsung petugas kesehatan pusat DOTS untuk pertama kalinya yang kemudian
dilanjutkan selama 2 bulan dengan empat obat (RHZE) tiga kali seminggu selama satu bulan
lagi (fase intensif) diikuti oleh fase lanjutan dengan tiga obat isoniazid (H), rifampisin (R)
dan etambutol (E) dengan dosis tiga kali seminggu selama 5 bulan.

Tatalaksana non-DOTS

Pasien yang tidak memilih untuk perawatan DOTS harus menjalani terapi harian dengan
regimen RHZE selama 2 bulan (fase intensif) diikuti oleh regimen RH selama 4 bulan (fase
lanjutan). Kemasan kombipak yang nyaman dan ekonomi saat ini tersedia di pasar.
Tabel 3. Kategori Pengobatan Regimen untuk Tuberkulosis termasuk Tuberkulosis
Genital3,6,28,29

Tatalaksana tuberkulosis genital kasus kronik, resisten obat dan resisten multi-obat

Tatalaksana pada kasus ini sama dengan MDR paru dengan obat lini kedua dan ditunjukkan
pada Tabel 3 dan diperlukan untuk durasi yang lama (18-24 bulan).

Tatalaksana pembedahan

Terapi medis, terutama kemoterapi jangka pendek modern yang terdiri dari rifampisin dan
obat lain, sangat efektif untuk pengobatan tuberkulosis genital dengan kebutuhan operasi
yang jarang.6

Ada kemungkinan komplikasi yang lebih tinggi selama operasi pada wanita dengan
tuberkulosis genital pada prosedur histeroskopi, laparoskopi, histerektomi vagina dan
laparotomi.30-32 Perdarahan yang berlebihan dan tidak tersedianya prosedur pembedahan pada
saat laparotomi memiliki risiko cedera yang lebih tinggi pada organ usus, organ pelvis dan
perut. Dalam kasus tuberkulosis abdominopelvis, organ usus dapat kusut bersama-sama
dengan organ pelvis, sehingga uterus dan terletak di bawah adhesi dan loop usus tidak dapat
dicegah. Percobaan prosedur laparoskopi atau laparotomi diagnostik dalam kasus seperti ini
dapat menyebabkan cedera pada usus yang membutuhkan laparotomi yang sangat sulit dan
reseksi usus yang mengalami cedera. Dalam hal ini, sebaiknya pengambilan biopsi dari
daerah perwakilan dan menutup abdomen tanpa melakukan pembersihan terhadap organ
panggul dalam kasus laparotomi terhadap kecurigaan tumor panggul namun, ditemukan lesi
tuberkular pada laparotomi yang dilanjutkan dengan perawatan medis lengkap.

Setelah wanita dengan tuberkulosis genital yang mengalami infertilitas mendapatkan terapi
lengkap selama 6 bulan ATT, namun masih mengalami infertilitas, prosedur laparoskopi dan
histeroskopi dapat diulang untuk melihat penyakit yang tersisa. Luaran fertilitas dalam
tuberkulosis genital hanya baik ketika ATT dimulai pada tahap awal. Namun pada kasus
tuberkulosis tingkat lanjut dengan adhesi yang luas di pelvis dan uterus, sering tidak dapat
diobati dengan prognosis yang sangat buruk terhadap fertilitas. Tuboplasty yang dilakukan
setelah ATT tidak membantu banyak dengan kemungkinan terjadinya flareup penyakit dan
risiko kehamilan ektopik.33,34

Pencegahan

Pencegahan tuberkulosis primer meliputi strategi untuk meminimalkan risiko paparan


mikobakteria. Oleh karena itu, penting untuk melakukan edukasi terhadap pasien tuberkulosis
paru untuk mengikuti kebersihan pernapasan di rumah dan di tempat umum dengan
mematuhi perawatan standar. Khusus untuk tuberkulosis genital, adopsi terhadap praktik
seksual yang aman dapat menurunkan kemungkinan tertular infeksi kelamin. Vaksin BCG
hingga 80 persen efektif dalam mencegah perkembangan bentuk tuberkulosis yang parah,
tetapi efek perlindungannya sangat bervariasi di dalam populasi.35
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Identitas Pasien
Nama : Ny. Aldila
Nama Suami : Tn. Maula Oktova
Nomor RM : 2254431
Umur : 31 tahun

Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien ingin hamil

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengaku masih menstruasi. Siklus normal hingga 3 bulan terakhir, siklus 28 hari,
HPHT 12 desember 2018, 5-6 hari, ganti pembalut 4-5x/hari. Dysmenorhea positif. Pasien
sering ngelung nyeri pinggang. Keluhan nyeri saat berhubungan tidak ada, keluhan post
coital bleeding tidak ada. Keluhan perut membesar atau adanya benjolan pada perut tidak
ada. Keputihan tidak ada. Penurunan berat badan drastis tidak ada. keluhan sering berkeringat
atau berdebar-debar tidak ada. Pasien belum pernah melakukan, pemeriksaan papsmear
sebelumnya. Penggunaan obat-obatan tidak ada. Sebelumnya pasien sempat berobat ke RS
Jakarta, sempat dilakukan pemeriksaan HSG didapatkan kedua tuba paten, dari hasil USG
didapatkan gambaran adenomiosis. Dilakukan operasi reseksi adenomiosis dan
salphengektomi. Didapatkan hasil leiomioma uterus, myositis tuberkulosa dengan necrosis
perkijuan, salphingitis folikularis dan dinding kista coklat. Keluhan mual muntah tidak ada.
Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi, Diabetes melitus, Alergi, Asma, Penyakit Jantung, dan Penyakit Paru disangkal,
flek paru disangkal. Tidak ada riwayat kelainan/gangguan pembekuan darah, tidak ada
riwayat gangguan hati, riwayat operasi laparatomi reseksi adenomiosis, salphingektomi dan
kistektomi (17/10/2017)
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Hipertensi, Diabetes melitus, Alergi, Asma, Penyakit Jantung, dan Penyakit Paru disangkal

Riwayat Menstruasi
Menarche usia 12 tahun, tidak reguler, siklus 28 hari, lama 6-7 hari, ganti pembalut 4-5x/hari,
dysmenorea tidak ada

Riwayat Pernikahan
1. Satu kali tahun 2014, usia 27 tahun
Riwayat Obstetri: P0A0
Riwayat KB: tidak ada
Riwayat Sosial-ekonomi
Pasien seorang perawat di RS jakarta, suami bekerja sebagai perawat di RS persahabatan

Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Kesadaran : kompos mentis Keadaan umum : baik
Tekanan darah : 110/80 mmHg Tinggi badan : 160 cm
Frekuensi nadi : 84 kali/menit Berat badan : 64 kg
Suhu : 36,7oC IMT : 25 kg/m2 (normoweight)
Frekuensi nafas : 20 kali/menit

Status Generalis
Kepala leher : normosefal, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : vesikuler +/+, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung : bunyi jantung 1 dan 2 normal, murmur negatif, gallop negatif
Abdomen : suple, tidak teraba massa, bising usus positif
Ekstremitas : akral hangat, capillary refill time < 2 detik, pitting edema negatif kedua
kaki

Status ginekologi
Inspeksi : vulva dan uretra tenang, perdarahan tidak ada
Inspekulo : portio licin, OUE tertutup, fluor negatif, fluksus tidak ada
RVT : uterus antefleksi, ukuran dalam batas normal, mobile, CUT tidak membesar,
Tidak teraba massa di kedua adneksa, parametrium lemas. TSA baik, ampula
tidak kolaps, tidak teraba massa, mukosa licin

Pemeriksaan penunjang
USG IPDS (20 Juni 2016):
• Tampak massa hipoekoik dengan batas tidak jelas di daerah fundus dan korpus
posterior, ukuran 9x10 mm dan 29x14 mm, kemungkinan berasal dari adenomiosis
• Ovarium kanan bentuk dan ukuran normal
• Ovarium kiri tampak massa kistik berisi ekointerna, ukuran 13x19 mm, kemungkinan
berasal dari suatu kista endometriosis
• Kesan: suspect multiple adenomiosis dan kista endometriosis kiri

Hasil PA (17/10/2017):
leiomyoms uterus, adenomiosis uterus, myositis tuberkulosis dengan necrosis perkijuan,
salphingitis folikularis, jaringan granulasi dinding kista coklat

USG IPDS (04 Oktober 2018)


• Tampak massa hipoekoik batas tegas di fundus diameter 15 mm berasal dari
miomaintramural
• Tebal endometirum 5 mm, reguler
• Kedua ovaria ukuran normal, melekata pada lateral uterus
• Tampak folikel pada ovarium kiri ukuran 14x 11 mm
• Tidak tampak massa di kedua adneksa
• Kesan: mioma-intramural

Diagnosis
1. Infertilitas primer 4 tahun
2. Miomauteri intramural
3. Myositis tuberculosis post OAT komplit (9 bulan)

Tatalaksana

1. Perubahan gaya hidup


 Olahraga frekuensi 2-3x/minggu
 Diet dengan kalori 30 kcal/kgBB/hari dengan komposisi karbohidrat 40%,
lemak 20%, dan protein 40%
2. Rencana diagnostik USG dan HSG
BAB III
DISKUSI DAN KESIMPULAN

Penyakit tuberculosis digolongkan menjadi 2 berdasarkan organ yang terinfeksi yaitu,


intrapulmonal dan ekstrapulmonal. Tuberculosis genitalia merupakan salah satu ruberkulosis
ektraparu. Insidennya mencapai 9% dari seluruh kasus ekstraparu. Berdasarhan hasil patologi
anatomi pada pasien ini terdiagnosis teberkulosis myositis. Penyakit tersebut biasa ditemukan
pada jaringan musculoskeletal namun pada kasus ini ditemukan pada otot myometrium.
Angka kejadian kasus ini terhitung sangat jarang, sekitar 3% dari total ektraparu dan masih
sangat sedikit pembahasan di literature mengenai kasus myositis tuberculous pada
myometrium. Oleh karena itu, gejala klinis yang dapat ditemukan pada kasus myositis
tuberculous pada myometrium merupakan tantangan tersendiri untuk dapat mendiagnosis
penyakit ini.

Berdasarkan ilustrasi kasus sebelumnya, pasien terdiagnosa dengan infertilitas disertai


dengan gejala klinis nyeri pinggang dan dysmenorea. Pemeriksaan penunjang sebelum
dilakukan operasi, didapatkan pasien dengan adenomiosis sehingga diputuskan untuk
tindakan laparatomi. Intraoperative didapatkan tuba kiri membesar oleh karena proses
peradangan dan tampak uterus membesar dikarenakan massa curiga adenemiosis. Dilakukan
saplhioophorectomi kiri dan reseksi adenomiosis. Berdasarkan hasil patologi anatomi
didapatkan sediaan massa uterus terdiri atas jaringan otot polos uterus yang hiperplastik
dengan pulau-pulau jaringan endometirum diantara otot. Tampak pula jaringan granulasi
granulomatosa dengan tuberkel bersebukan sel radang dan nekrosis perkijuan. Tampak pula
sel dati langhans. Sediaan kedua terdiri atas tuba falopii dengan jaringan granulasi
granulomatosa. Tampak tuberkel dengan susunan epitheloid dan sel datia langhans. Dari hasil
tersebut pasien diberikan terapi OAT selama 9 bulan. Evaluasi setelah operasi dan terapi
OAT, keluhan dysmenorea dan nyeri pinggang berkurang namun masih belum memiliki
anak.

Pada pasien ini sebelumnya tidak terdiagnosa dengan tuberculosis genital oleh karena sign
and symptom tuberculosis extrapulmonal sangat bervariasi dan terkadang hampir sama
dengan penyakit inflamasi lain atau keganasan. Diagnosis tersebut ditegakkan disaat workup
untuk infertilitas. Dari beberapa literature menyebutkkan beberapa gejala yang paling sering
dikeluhkan pada kasus genital tuberculosis yaitu infertilitas, gangguan mentruasi, nyeri
pinggang dan keluhan lain seperti yang ditunjukkan tabel 1. Memang gejala dan pemeriksaan
penunjang begitu spesifik mengarahkan penyakit genital tuberculosis karena mimicking dari
suatu penyakit inflamasi maupun massa abnormal di adneksa. Penelitian yang dilakukan oleh
Angelina G, Dkk. Mencoba untuk membuat suatu algoritma untuk mendiagnosis genital
tuberculosis.

Gambar 1. Diagnosis algoritma female genital tuberculosis

Menurut alogiruma tersebut, dapat diikuti bila kita memiliki kecurigaan yang cukup tinggi
terhadap female genital tuberculosis dengan menemukan adanya infertilitas yang tidak jelas
penyebabnya, menstruasi yang irrguler, PID, post-menopausal bleeding dan keputihan terus
menerus. Adapun rekomendasi yang dilakukan pada ilustrasi kasus diatas yaitu laparascopy
diagnostic dan biopsy. Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
penegakan diagnostic (Table 2) namun pemeriksaan terbaik saat ini tetap dengan
histopatologik. Masih diperlukan data-data yang cukup banyak untuk dapat algoritma yang
tepat dalam mendiagnosa female genital tuberculosis.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Gatongi D, Gitau G, Kay V. Female Genital Tuberculosis. Review: The


Obstetrician&Gynaecologist. 2005;7:75-79.
2. Cow T, Lim KB, Valliparim S. Female Pelvic Tuberculosis: Case Reports And
Review Of Literature On Clinical Presentation And Diagnosis. J Obstet Gynaecol Res
2002;28:203-10.
3. Kumar S. Female Genital Tuberculosis. In: Sharma SK, Mohan A, Editors.
Tuberculosis. 3rd ed. Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd.; 2015. p. 311–24.
4. Neonakis IK, Spandidos DA, Petinaki E. Female Genital Tuberculosis: A Review.
Scand J Infect Dis. 2011;43:564–72.
5. Schaefer G. Female Genital Tuberculosis. Clin Obstet Gynaecol. 1976;19:223–39.
1985; 237(suppl):197–200.
6. Sharma JB. Tuberculosis and Obstetric And Gynecological Practice. In: Studd J, Tan
SL, Chervenak FA, Editors. Progress In Obstetric And Gynaecology, Vol. 18.
Philadephia: Elsevier; 2008. p. 395–427.)
7. Aliyu MH, Aliyu SH, Salihu H. Female Genital Tuberculosis: A global review. Int J
Fertil Womens Med. 2004;49:123-36
8. Namavar Jahromi B, Parsanezhad ME, Ghane-Shirazi R. Female Genital Tuberculosis
and Infertility. Int J Gynaecol Obstet. 2001;75:269–72.
9. Golden MP, Vikram HR. Extrapulmonary tuberculosis: An overview. Am Fam
Physician. 2005;72:1761–8
10. Angelina G, Devaleenal B, Natrajan M. Genital Tuberculosis In Females. Indian J
med Res 2017Apr;145(4):425-436.
11. Singh N, Sumana G, Mittal S. Genital Tuberculosis: A Leading Cause For Infertility
In Women Seeking Assisted Conception In North India. Arch Gynecol Obstet.
2008;278:325–7.
12. Neonakis IK, Spandidos DA, Petinaki E. Female Genital Tuberculosis: A Review.
Scand J Infect Dis. 2011;43:564–72.
13. Sharma J. Current Diagnosis And Management Of Female Genital Tuberculosis:
Review Article. The Journal of Obstetrics and Gynecology of India.65(6):362-371.
14. Das P, Ahuja A, Gupta SD. Incidence, Etiopathogenesis and Pathological Aspects Of
Genitourinary Tuberculosis In India: A Journey Revisited. Indian J
Urol. 2008;24:356–61.
15. Zajaczkowski T. Genitourinary Tuberculosis: Historical And Basic Science Review:
Past And Present. Cent European J Urol. 2012;65:182–7.
16. Bhanothu V, Theophilus JP, Rozati R. Use Of Endo-Ovarian Tissue Biopsy and
Pelvic Aspirated Fluid For The Diagnosis of Female Genital Tuberculosis by
Conventional Versus Molecular Methods. PLoS One. 2014;9:e98005.
17. Bose M. Female Genital Tract Tuberculosis: How Long Will It Elude
Diagnosis? Indian J Med Res. 2011;134:13–4.
18. Shah HU, Sannananja B, Baheti AD, Udare AS, Badhe PV. Hysterosalpingography
and Ultrasonography Findings Of Female Genital Tuberculosis. Diagn Interv
Radiol. 2015;21:10–5.
19. Ahmadi F, Zafarani F, Shahrzad G. Hysterosalpingographic Appearances Of Female
Genital Tract Tuberculosis: Part I. Fallopian tube. Int J Fertil Steril. 2014;7:245–52.
20. Ahmadi F, Zafarani F, Shahrzad GS. Hysterosalpingographic Appearances Of Female
Genital Tract Tuberculosis: Part II: Uterus. Int J Fertil Steril. 2014;8:13–20.
21. Farrokh D, Layegh P, Afzalaghaee M, Mohammadi M, Fallah Rastegar Y.
Hysterosalpingographic Findings In Women With Genital Tuberculosis. Iran J Reprod
Med. 2015;13:297–304.
22. Khurana A, Sahi G. OC14.04: Ultrasound in Female Genital Tuberculosis: A
Retrospective Series. Ultrasound Obstet Gynecol. 2013;42:28.
23. Sharma JB, Roy KK, Pushparaj M, Kumar S, Malhotra N, Mittal S. Laparoscopic
Findings In Female Genital Tuberculosis. Arch Gynecol Obstet. 2008;278:359–64
24. Baxi A, Neema H, Kaushal M, Sahu P, Baxi D. Genital tuberculosis in infertile
women: Assessment of endometrial tuberkulosis PCR results with laparoscopic and
hysteroscopic features. J Obstet Gynecol India. 2011;61:301–6.
25. Mittal S, Sharma JB. Dilemmas in diagnosis of female genital tuberculosis. In:
Mukherjee GG, Tripathy SN, Tripathy SN, editors. Gential tuberculosis. 1st ed. Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.; 2010. p. 83–91. 

26. American Thoracic Society. Centers for Disease Control and Prevention,
Prevention/Infectious Diseases Society of America. Controlling tuberculosis in United
States. Am J Respir Crit Care Med. 2005;172:1169–227.
27. National Institute for Health and Clinical Excellence. Tuberculosis. Clinical diagnosis
and management of tuberculosis, and measures for its prevention and control. Clin
Guidel 33. 2006. www.nice.org.uk/CGO33.
28. World Health Organization. Global tuberculosis control: a short update to the 2009
report. WHO/HTM/tuberkulosis 2009, 426. Geneva: WHO; 2009. 

29. tuberkulosis India 2014. Revised National Tuberculosis Control Programme
(RNTCP) Status Report. Central tuberkulosis Division, Directorate General of Health
Services. Ministry of Health and Family Welfare. Nirman Bhavan, New Delhi, India.
www.tbcindia.nic.in.
30. Sharma JB, Roy KK, Pushparaj M, et al. Increased difficulties and complications
encountered during hysteroscopy in women with genital tuberculosis. J Minim
Invasive Gynecol. 2011;18:660–5. 

31. Sharma JB, Mohanraj P, Roy KK, et al. Increased complication rates associated with
laparoscopic surgery among patients with genital tuberculosis. Int J Gynecol Obstet.
2010;109:242–4. 

32. Sharma JB, Mohanraj P, Jain SK, et al. Surgical complications during laparotomy in
patients with abdominopelvic tuberculosis. Int J Gynecol Obstet. 2010;110:157–8.
33. Tripathy SN, Tripathy SN. Infertility and pregnancy outcome in female genital
tuberculosis. Int J Gynecol Obstet. 2002;76: 159–63.
34. Sharma JB, Naha M, Kumar S, et al. Genital tuberculosis: an important cause of
ectopic pregnancy in India. Indian J Tuberc. 2014;61(4):312–7.
35. Botha MH, Van der Merwe FH. Female genital tuberculosis. S Afr Fam
Pract. 2008;50:12–6.

Anda mungkin juga menyukai