Anda di halaman 1dari 49

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

BENCANA

OLEH :

KELOMPOK 4 Tk. 3.1

1. Ni Made Dwi Astiti Wulandari (P07120013033)


2. Ni Made Hole Yanti (P07120013034)
3. Ade Gede Yoga Darma Sentana (P07120013035)
4. Ni Made Cintia Pratiwi (P07120013036)
5. Ni Wayan Karina Sukarma Putri (P07120013037)
6. Rossalina Dewi (P07120013038)
7. Komang Tri Cahyani (P07120013039)
8. Ni Wayan Pebriyanti (P07120013040)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN DENPASAR

2016
BENCANA

Terjadi bencana alam merupakan akibat langsung gangguan lingkungan, terjadi


karena unsur-unsur lingkungan termasuk manusia, yang pada akhirnya nanti akan
memberikan akibat positif dan negatif terhadap manusia. Dan salah satu akibat
negatifnya adalah yang berhubungan dengan masalah kesehatan masyarakat akibat
terjadinya bencana yang menimpa manusia dan lingkungan. Dalam bencana
dibutuhkan tenaga medis untuk memberikan pertolongan kepada seluruh masyarakat.
Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat
dilakukan oleh profesi keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang
dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai
bentuk.Tidak hanya meningkatkan kualitas hidup komunitas suatu masyarakat pada
umumnya, namun ilmu keperawatan ini juga diterapkan untuk meningkatkan kualitas
hidup komunitas korban bencana alam.

1. Pengertian Bencana
Bencana (disaster) menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang
memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. (Ferry Efendi
dan Makhfudli, 2009).
Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap masyarakat yang menimbulkan
kerugian secara meluas dan dirasakan baik oleh masyarakat, berbagai material dan
lingkungan (alam) dimana dampak yang ditimbulkan melebihi kemampuan manusia
guna mengatasinya dengan sumber daya yang ada (Asian Disaster Reduction Center,
2003).
Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan
kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari
pihak luar (Depkes RI, 2001).
Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola kehidupan dari kondisi
kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan
jiwa manusia, merusak struktur sosial masyarakat, serta menimbulkan lonjakan
kebutuhan dasar (Bakornas BPB).
Menurut UU No. 24 tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Pengertian bencana dalam Kepmen No. 17/kep/Menko/Kesra/x/95 adalah sebagai
berikut: “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam, manusia, dan atau keduanya yang mengakibatkan korban dan penderitaan
manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana
dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan
penghidupan masyarakat”.
Bencana ialah sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam
maupun ulah manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari kesalahan
teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas, individu maupun
lingkungan untuk memberikan antusiasme yang bersifat luas (Parker, 1992)
Dari beberapa pengertian bencana di atas dapat disimpulkan bahwa bencana
adalah setiap kejadian yang menimbulkan kerugian secara meluas dan dirasakan baik
oleh masyarakat, berbagai material dan lingkungan disebabkan baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia, memburuknya kesehatan dan pelayanan
kesehatan serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan
masyarakat.
2. Jenis – Jenis Bencana
Jenis-jenis bencana menurut Undang- Undang No.24 Tahun 2007, antara lain:
a. Bencana alam
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.
1) Tanah Longsor
Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun pencampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari
tergangguanya kestabilan tanah atau batuan penyusunan lereng tersebut.
Gejala tanah longsor :
a) Muncul retakan
b) retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing
c) Muncul mata air baru secara tiba –tiba
d) Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan
2) Banjir
Biasanya banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi diatas normal,
sehingga system pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak sungai
alamiah serta sistem saluran drainase dan kanal penampung banjir buatan
yang ada tidak mampu menampung akumulasi air hujan tersebut meluap.
3) Kekeringan
Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan yang jauh dibawah
kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian kegiatan ekonomi
dan lingkungan. Kekeringan alamiah terjadi akibat curah hujan dibawah
normal, kekurangan pasokan komoditi ekonomi ; kekeringan antropogenik
terjadi akibat ketidak-taatan pada aturan tertentu (pola tanam, konservasi,
kawasan tangkapan air).
4) Gempa Bumi
Gempa bumi adalah peristiwa berguncangnya bumi yang dapat
disebabkan oleh tumbukan anatar lempeng tektonik, akibat gunung berapi
atau runtuhan batuan.
5) Tsunami
Tsunami yakni gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan
oleh gangguan impulsif dari dasar laut (gempa tektonik,erupsi vulkanik
atau longsoran).
6) Letusan Gunung Api
Gunung api merupakan lubang kepundan/rekahan pada kerak bumi tempat
keluarnya magma, gas atau cairan lainnya ke permukaan. Bencana gunung
meletus disebabkan oleh aktifnya gunung berapi sehingga menghasilkan
erupsi.
7) Angin Topan
Angin topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin 120
km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis diantara garis balik
utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan
khatulistiwa. Angin topan disebabkan oleh perbedaan tekanan dalam suatu
sistem cuaca. Angin paling kencang yang terjadi di daerah tropis ini
umumnya berpusar dengan radius ratusan kilometer di sekitar daerah
sistem tekanan rendah yang ekstrem dengan kecepatan sekitar 20 Km/jam.
Di Indonesia dikenal dengan sebutan angin badai.
b. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan
teror(UU RI, 2007).
d. Bencana ulah manusia (man-made disaster)
Yaitu kejadian-kejadian karena perbuatan manusia seperti tabrakan
pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, ledakan, sabotase, dan lainnya.
Bencana berdasarkan cakupan wilayahnya terdiri atas :
a. Bencana lokal
Bencana ini memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang
berdekatan , misalnya kebakaran, ledakan, kebocoran kimia dan lainnya.
b. Bencana regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis
yang cukup luas dan biasanya disebabkan oleh factor alam seperti alam,
banjir, letusan gunung dan lainnya.

3. Aspek Legal Untuk Penanggulangan Bencana


Salah satu bagian penting dalam Undang-undang penangggulangan bencana
Menurut Prof Dr Sudjito, SH adalah aspek hukum dan kelembagaan. Seperti
diketahui, UU No 24 Tahun 2007 telah mengatur tentang acuan pelaksanaan
penanggulangan bencana tersebut. Dengan adanya UU ini, menurutnya ada
paradigma baru dalam penanggulangan bencana, mengingat ada perubahan-
perubahan nilai yang sangat mendasar yang justru menjadi acuan pelaksanaan
penanggulangan bencana.
Pradigama baru tersebutdiantaranya perubahan penanggulangan bencana yang
dahulunya bersifat reaktif menjadi proaktif. Artinya, Penanggulangan bencana
harus dilakukan dengan sikap yang antisipatif, sebelum ada bencana datang pun
sudah ada upaya untuk melakukan penangguangan bencana.
Konskekueusi yuridisnya, bahwa sistem pengaturan penanggulangan bencana
kemudian juga harus berubah secara fundamental baik substansi, struktur maupun
budaya dan hukumnya. Terkait substansi hukumnya, Sudjito membedakan
penerapan hukum yang berlaku dalam penanganan bencana yang dibagi dua
terminologi, keadaan normal dan keadaan tanggap darurat.
Pada keadaan nomal, maka yang berlaku adalah hukum umum, akan tetapi
akan berlaku hukum yang khusus pada keadaan tangggap darurat. Bagaimana pun
kita tidak bisa menggunakan hukum yang sama pada saat keadaan darurat dengan
keadaan yang normal..
Maksudnya, hukum umum berlaku untuk mengatur hal-hal yang normal, baik
mengenai rekonstruksi dan rehabilitasi, dana bantuan, sistem audit, bahkan proses
penangkapan oleh pihak kepolisian jika terjadi kejahatan. Semua ini berlaku jika
dalam kondisi normal.
Dalam keadaan tanggap darurat yang berlaku adalah hukum yang khusus, jika
seseorang melakukan kegiatan terkait masalah pendanaan kemudian diaudit
dengan hukum normal, justru ini tidak cocok untuk keadaan darurat.
Maka dari itu, kata Sudjito, setiap lembaga yang berkompeten melaksanakan
penanggulangan bencana ini perlu menyiapkan hukum khusus. Hukum khusus ini
yang yang belum ada, dan ini sudah menjadi kewajiban kita semua. Bagaimana
pun, setiap institusi harus menerapkan pelayanan dan hukum khusus pada saat
tangggap darurat (UGM, 2007)
Menurut Mudzakir (2012) menyatakan hukum yang mengatur
penanggulangan bencana antara lain:

a. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

b. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang

c. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pesisir

d. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana

e. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Pendaan dan Pengelolaan


Bantuan Bencana
f. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Peranserta Lembaga
Asing

g. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang BKNPB

h. Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2008 tentang BNPB

i. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2007 tentang BKNPB Perubahan

j. Peraturan Pemerintah (PP) no. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana

k. PP no. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana,

l. PP no. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional

4. Siklus Manajemen Bencana


Menurut Barbara santamaria (1995), ada tiga fase dapat terjadinya suatu
bencana yaitu :

a. Fase pre impact


Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari
badan satelit dan meteorology cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala
persiapan dilakukan dengan baik oleh pemerintah, lembaga, dan masyarakat.
b. Fase Impact
Merupakan fase terjadinya klimaks bencana, inilah saat-saat dimana manusia
dengan sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup. Fase impact ini terus
berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan yang darurat
dilakukan.
c. Fase post impact
Merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat.
Juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi kualitas
normal. Secara umum pada fase post impact para korban akan mengalami
tahap respon. Fisiologi mulai dari denial, angry, bargaining, depression dan
acception.
Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a. Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan
penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan,
pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko
bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan peletahihan serta
penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana (kesiapsiagaan,
peringatan dini dan mitigasi bencana).
1) Pencegahan Bencana

Pencegahan, yaitu kegiatan yang lebih dititik beratkan pada upaya


penyusunan berbagai peraturan perundang – undangan yang bertujuan
mengurangi resiko bencana. Misal peraturan tentang RUTL, IMB, rencana
tata guna tanah, rencana pembuatan peta rawan bencana dsb.

Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana (jika


mungkin dengan meniadakan bahaya).

Misalnya :

a) Melarang pembakaran hutan dalam perladangan


b) Melarang penambangan batu di daerah yang curam
c) Melarang membuang sampah sembarangan
2) Mitigasi Bencana

(a) Pengertian

Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko


bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP
No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).
Mitigasi didefinisikan sebagai upaya yang ditujukan untuk mengurangi
dampak dari bencana, Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
(UU No 24 Tahun 2007, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 9) (PP No
21 Tahun 2008, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 6)

Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilakukan


untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada
kawasan rawan bencana. (UU No 24 Tahun 2007 Pasal 47 ayat (1)

Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c


dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh
bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
(PP No 21 Tahun 2008 Pasal 20 ayat (1)baik bencana alam, bencana ulah
manusia maupun gabungan dari keduanya dalam suatu negara atau
masyarakat. Dalam konteks bencana, dekenal dua macam yaitu (1)
bencana alam yang merupakan suatu serangkaian peristiwa bencana yang
disebabkan oleh fakto alam, yaitu berupa gempa, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan tanah longsor, dll. (2) bencana
sosial merupakan suatu bencana yang diakibatkan oleh manusia, seperti
konflik social, penyakit masyarakat dan teror. Mitigasi bencana
merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak
utama dari manajemen bencana.

Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu :

(1) Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis
bencana.
(2) Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat
dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan
bencana.
(3) Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui
cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan
(4) Pengauran dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi
ancaman bencana.

(b) jenis-jenis mitigasi

Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan


memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana
dan upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non structural

(1) Mitigasi Struktural

Mitigasi strukural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang


dilakukan melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan
menggunakan pendekatan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus
untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi,
bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning System yang
digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami. Mitigasi
struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability)
terhadap bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana.
Bangunan tahan bencana adalah bangunan dengan struktur yang
direncanakan sedemikian rupa sehingga bangunan tersebut mampu
bertahan atau mengalami kerusakan yang tidak membahayakan apabila
bencana yang bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah prosedur
perancangan struktur bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik
aksi dari bencana.

(2) Mitigasi Non-Struktural

Mitigasi non –struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana


selain dari upaya tersebut diatas. Bisa dalam lingkup upaya pembuatan
kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan. Undang-Undang
Penanggulangan Bencana (UU PB) adalah upaya non-struktural di bidang
kebijakan dari mitigasi ini. Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang
kota, capacity building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan
berbagai aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat,
juga bagian dari mitigasi ini. Ini semua dilakukan untuk, oleh dan di
masyarakat yang hidup di sekitar daerah rawan bencana.

Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan


asuransi. Kebijakan non struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang
bertujuan untuk menghindari risiko yang tidak perlu dan merusak. Tentu,
sebelum perlu dilakukan identifikasi risiko terlebih dahulu. Penilaian
risiko fisik meliputi proses identifikasi dan evaluasi tentang kemungkinan
terjadinya bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkannya.

Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat


non struktural harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya.
Pemanfaatan teknologi untuk memprediksi, mengantisipasi dan
mengurangi risiko terjadinya suatu bencana harus diimbangi dengan
penciptaan dan penegakan perangkat peraturan yang memadai yang
didukung oleh rencana tata ruang yang sesuai. Sering terjadinya peristiwa
banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan di beberapa
tempat di Indonesia pada musim kemarau sebagian besar diakibatkan oleh
lemahnya penegakan hukum dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang
tidak sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Teknologi yang digunakan
untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya
suatu bencana pun harus diusahakan agar tidak mengganggu
keseimbangan lingkungan pada masa depan.
(c) Mitigasi Bencana yang Efektif

Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu
penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.

Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk


mengidentifikasi populasi dan asset yang terancam, serta tingkat ancaman.
Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber
bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di
masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat
penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya;

(1) Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada


masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya
tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan
gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana
yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai
saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang
berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang
akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan
dipercaya.
(2) Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada
unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang
membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena
bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui
kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika
situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah
daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk
dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi
dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah
perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan
fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur),
serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman
terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi
struktur).

(d) Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat

Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta


merupakan faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana. Penguatan
kelembagaan dalam bentuk dalam kesiapsiagaan, sistem peringatan dini,
tindakan gawat darurat, manajemen barak dan evakuasi bencana bertujuan
mewujudkan masyarakat yang berdaya sehingga dapat meminimalkan
dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Perwujudan Masyarakat atau
komunitas yang berdaya dalam menghadapi bencana dapat diwujudkan
melalui Siklus Pengurangan Risiko Berbasis Masyarakat/Komunitas
berikut: Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam
kegiatan sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan
unit/lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada aparatnya serta
melakukan koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun dengan
tingkat nasional, mengingat bencana tidak mengenal wilayah administrasi,
sehingga setiap daerah memiliki rencana penanggulangan bencana yang
potensial di wilayahnya.

Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-


sama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi
bencana, antara lain:

(1) Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau


mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna
tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana
(2) Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang
kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana,
penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana,
perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan;
(3) Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat
yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi
kerja yang baik;
(4) Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang
merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat
preventif kebencanaan;
(5) Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam
setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.

(e) Metode dan Tujuan Mitigasi

Tujan dari strategi mitigasi adalah untuk mengurangi kerugian-


kerugian pada saat terjadinya bahaya pada masa mendatang. Tujuan utama
adalah untuk mengurangi resiko kematian dan cedera terhadap penduduk.
Tujuan-tujuan sekunder mencakup pengurangan kerusakan dan
kerugian-kerugian ekonomi yang ditimbulkan terhadap infrastruktur
sektor publik dan mengurangi kerugian-kerugian ekonomi yang
ditimbulkan terhadap infrastruktur sector publik dan mengurangi
kerugian-kerugian sector swasta sejauh hal-hal itu mungkin
mempengaruhii masyarakat secara keseluruhan. Tujuan-tujuan ini
mungkin mencakup dorongan bagi orang-orang untuk melindungi diri
mereka sejauh mungkin.

Strategi mitigasi harus dirancang untuk aplikasi yang diusulkan .


program-program mitigasi bencana dilaksanakan di Philipina tidak
mungkin dapat diterapkan secara langsung di Peru. Ada beberapa solusi
baku. Beberapa elemen individu dan teknik-teknik mitigasi akan dapat
diterapkan.

Tujuan utama (ultimate goal) dari Mitigasi Bencana adalah sebagai


berikut :

(1) Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana


khususnya bagi penduduk, seperti korban jiwa (kematian), kerugian
ekonomi (economy costs) dan kerusakan sumber daya alam.
(2) Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan.
(3) Meningkatkan pengetahuan masyarakat (public awareness) dalam
menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga
masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman.

Pertimbangan dalam Menyusun Program Mitigasi (khususnya di


Indonesia) :

(1) Mitigasi bencana harus diintegrasikan dengan proses pembangunan


(2) Fokus bukan hanya dalam mitigasi bencana tapi juga pendidikan,
pangan, tenaga kerja, perumahan dan kebutuhan dasar lainnya.
(3) Sinkron terhadap kondisi sosial, budaya serta ekonomi setempat
(4) Dalam sektor informal, ditekankan bagaimana meningkatkan kapasitas
masyarakat untuk membuat keputusan, menolong diri sendiri dan
membangun sendiri.
(5) Menggunakan sumber daya dan daya lokal (sesuai prinsip
desentralisasi)
(6) Mempelajari pengembangan konstruksi rumah yang aman bagi
golongan masyarakat kurang mampu, dan pilihan subsidi biaya
tambahan membangun rumah.
(7) Mempelajari teknik merombak (pola dan struktur) pemukiman.
(8) Mempelajari tata guna lahan untuk melindungi masyarakat yang
tinggal di daerah yang rentan bencana dan kerugian, baik secara sosial,
ekonomi, maupun implikasi politik.
(9) Mudah dimengerti dan diikuti oleh masyarakat.

(f) Kebijakan dan Strategi Mitigasi Bencana

(1) Kebijakan Berbagai kebijakan yang perlu ditempuh dalam mitigasi


bencana antara lain :

 Dalam setiap upaya mitigasi bencana perlu membangun persepsi yang


sama bagi semua pihak baik jajaran aparat pemerintah maupun
segenap unsur masyarakat yang ketentuan langkahnya diatur dalam
pedoman umum,petunjuk pelaksanaan dan prosedur tetap yang
dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan sesuai dengan bidang
tugas unit masing-masing.
 Pelaksanaan mitigasi bencana dilaksanakan secara terpadu terkoordinir
yang melibatkan seluruh potensi pemerintah dan masyarakat.
 Upaya preventif harus diutamakan agar kerusakan dan korban jiwa
dapat diminimalkan.
 Penggalangan kekuatan melalui kerjasama dengan semua pihak,
melalui pemberdayaan masyarakat serta kampanye.

(1) Strategi Untuk melaksanakan kebijakan dikembangkan beberapa


strategi sebagai berikut: 1) Pemetaan. Langkah pertama dalam strategi
mitigasi ialah melakukan pemetaan daerah rawan bencana. Pada saat
ini berbagai sektor telah mengembangkan peta rawan bencana. Peta
rawan bencana tersebut sangat berguna bagi pengambil keputusan
terutama dalam antisipasi kejadian bencana alam. Meskipun demikian
sampai saat ini penggunaan peta ini belum dioptimalkan. Hal ini
disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah : 1.Belum seluruh
wilayah di Indonesia telah dipetakan 2.Peta yang dihasilkan belum
tersosialisasi dengan baik 3.Peta bencana belum terintegrasi 4.Peta
bencana yang dibuat memakai peta dasar yang berbeda beda sehingga
menyulitkan dalam proses integrasinya. 2) Pemantauan. Dengan
mengetahui tingkat kerawanan secara dini, maka dapat dilakukan
antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana, sehingga akan dengan
mudah melakukan penyelamatan. Pemantauan di daerah vital dan
strategis secara jasa dan ekonomi dilakukan di beberapa kawasan
rawan bencana. 3) Penyebaran informasi Penyebaran informasi
dilakukan antara lain dengan cara: memberikan poster dan leaflet
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Propinsi seluruh Indonesia
yang rawan bencana, tentang tata cara mengenali, mencegah dan
penanganan bencana. Memberikan informasi ke media cetak dan
elektronik tentang kebencanaan adalah salah satu cara penyebaran
informasi dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana
geologi di suatu kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah daerah
dalam hal penyebaran informasi diperlukan mengingat Indonesia
sangat luas. 4) Sosialisasi dan Penyuluhan Sosialisasi dan penyuluhan
tentang segala aspek kebencanaan kepada SATKOR-LAK PB,
SATLAK PB, dan masyarakat bertujuan meningkatkan kewaspadaan
dan kesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Hal
penting yang perlu diketahui masyarakat dan Pemerintah Daerah ialah
mengenai hidup harmonis dengan alam di daerah bencana, apa yang
perlu ditakukan dan dihindarkan di daerah rawan bencana, dan
mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana. 5)
Pelatihan/Pendidikan Pelatihan difokuskan kepada tata cara
pengungsian dan penyelamatan jika terjadi bencana. Tujuan latihan
lebih ditekankan pada alur informasi dari petugas lapangan, pejabat
teknis, SATKORLAK PB, SATLAK PB dan masyarakat sampai ke
tingkat pengungsian dan penyelamatan korban bencana. Dengan
pelatihan ini terbentuk kesiagaan tinggi menghadapi bencana akan
terbentuk. 6) Peringatan Dini Peringatan dini dimaksudkan untuk
memberitahukan tingkat kegiatan hasil pengamatan secara kontinyu di
suatu daerah rawan dengan tujuan agar persiapan secara dini dapat
dilakukan guna mengantisipasi jika sewaktu-- waktu terjadi bencana.
Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui
pemerintah daerah dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat
dalam menghindarkan diri dari bencana. Peringatan dini dan hasil
pemantauan daerah rawan bencana berupa saran teknis dapat berupa
antana lain pengalihan jalur jalan (sementara atau seterusnya),
pengungsian dan atau relokasi, dan saran penanganan lainnya.

Manajemen Mitigasi Bencana

a Penguatan institusi penanganan bencana.


b Meningatkan kemampuan tanggap darurat.
c Meningkatkan kepedulian dan kesiapan masyarakat pada masalah-
masalah yang berhuungan dengan resiko bencana.
d Meningkatkan keamanan trhadap bencana pada sistem infrastruktur
dan utilitas.
e Meningkatkan keamanan tehadap bencana pada bangunan strategis
dan penting.
f Meningkatkan keamanan terhadap bencana daerah perumahan dan
fasilitas umum.
g Meningkatkan keamanan terhadap bencana pada bangunan industry.
h Meningkatkan keamanan terhadap encana pada bangunan sekolah
dan anak-anak sekolah.
i Memperhatikan keamanan terhadap bencana dan kaidah-kaidah
bangunan tahan gempa dan tsunami serta banjir dalam proses
pembuatan konstruksi baru.
j Meningkatkan pengetahuan para ahli mengenai fenomena bencana,
kerentanan terhadap bencana dan teknik-teknik mitigasi.
k Memasukkan prosedur kajian resiko bencana kedalam perencanaan
tata ruang/ tata guna lahan.
l Meningkatkan kemampuan pemulihan masyarakat dalam jangka
panjang setelah terjadi bencana.

(g) Kegiatan mitigasi

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam


dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana dapat berupa kebakaran, tsunami, gempa bumi, letusan gunung
api, banjir, longsor, badai tropis, dan lainnya, oleh karena itu peran
mitigasi benncana sangat diperlukan agar dapat mengurangi dampak dari
bencana yang terjadi . adapun beberapa Kegiatan mitigasi bencana di
antaranya:

1. pengenalan dan pemantauan risiko bencana; 2. perencanaan partisipatif


penanggulangan bencana; 3. pengembangan budaya sadar bencana; 4.
penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana;
5. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman
bencana; 6. pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam; 7.
pemantauan terhadap penggunaan teknologi tinggi; 8. pengawasan
terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup 9.
kegiatan mitigasi bencana lainnya. Robot sebagai perangkat bantu
manusia, dapat dikembangkan untuk turut melakukan mitigasi bencana.
Robot mitigasi bencana bekerja untuk mengurangi resiko terjadinya
bencana.
Contoh robot mitigasi bencana diantaranya: a. robot pencegah kebakaran
b. robot pendeteksi tsunami c. robot patroli/pemantau rumah atau gedung
d. robot pemantau gunung api e. robot penghijauan e. robot pembersih
sungai f. robot assistant untuk penyuluhan bencana g. robot mitigasi
bencana lainnya

Berdasarkan siklus waktunya, kegiatan penanganan bencana dapat dibagi


4 kategori:

1. kegiatan sebelum bencana terjadi (mitigasi) 2. kegiatan saat bencana


terjadi (perlindungan dan evakuasi) 3. kegiatan tepat setelah bencana
terjadi (pencarian dan penyelamatan) 4. kegiatan pasca bencana
(pemulihan/penyembuhan dan perbaikan/rehabilitasi) Bila dilihat dari
defisini, mitigasi berarti kegiatan yang dilakukan sebelum bencana terjadi,
untuk mencegah atau mengurangi dampak resiko bencana. Kegiatan yang
bersifat preventif masuk kategori pertama (mitigasi). Sementara kuratif
(penyembuhan) masuk dalam kategori 4, kegiatan pasca bencana. Untuk
PRC2013, robot yang dikompetiskan dapat mencakup mitigasi yang
diperluas.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam Mitigasi Bencana.

a) Bencana Banjir Secara lebih rinci upaya pengurangan bencana banjir


antara lain: 1) Pengawasan penggunaan lahan dan perencanaan lokasi
untuk menempatkan fasilitas vital yang rentan terhadap banjir pada daerah
yang aman. 2) Penyesuaian desain bangunan di daerah banjir harus tahan
terhadap banjir dan dibuat bertingkat. 3) Pembangunan infrastruktur harus
kedap air. 4) Pembangunan tembok penahan dan tanggul disepanjang
sungai, tembok laut sepanjang pantai yang rawan badai atau tsunami akan
sangat membantu untuk mengurangi bencana banjir. 5) Pembersihan
sedimen. 6) Pembangunan pembuatan saluran drainase. 7) Peningkatan
kewaspadaan di daerah dataran banjir. 8) Desain bangunan rumah tahan
banjir (material tahan air, fondasi kuat) 9) Meningkatkan kewaspadaan
terhadap penggundulan hutan. 10) Pelatihan tentang kewaspadaan banjir
seperti cara penyimpanan/pergudangan perbekalan, tempat istirahat/ tidur
di tempat yang aman (daerah yang tinggi).

b) Bencana Tanah Longsor Secara lebih rinci upaya pengurangan bencana


tanah longsor antara lain: 1) Pembangunan permukiman dan vasilitas
utama lainnya menghindari daerah rawan bencana. 2) Menyarankan
relokasi. 3) Menyarankan pembangunan pondasi tiang pancang untuk
menghindari bahaya liquefation. 4) Menyarankan pembangunan pondasi
yang menyatu, untuk menghindari penurunan yang tidak seragam
(differential settlement). 5) Menyarankan pembangunan utilitas yang ada
di dalam tanah harus bersifat fleksibel. 6) Mengurangi tingkat keterjalan
lereng.

c) Bencana Gunung Berapi Secara lebih rinci upaya pengurangan bencana


Gunung Api antara lain: 1) Perencanaan lokasi pemanfaatan lahan untuk
aktivitas penting harus jauh atau di luar dari kawasan rawan bencana. 2)
Hindari tempat-tempat yang memiliki kecenderungan untuk dialiri lava
dan atau lahar 3) Perkenalkan struktur bangunan tahan api. 4) Penerapan
desain bangunan yang tahan terhadap tambahan beban akibat abu gunung
api 5) Membuat barak pengungsian yang permanen, terutama di sekitar
gunung api yang sering meletus, misalnya G.Merapi (DIY, Jateng), G.
Semeru (Jatim), G. Karangetang (Sulawesi Utara) dsb. 6)
Mensosialisasikan kepada masyarakat yang bermukim di sekitar gunung
api harus mengetahui posisi tempat tinggalnya pada Peta kawasan Rawan
Bencana Gunung api (penyuluhan). 7) Mensosialisasikan kepada
masyarakat yang bermukim di sekitar gunung api hendaknya faham cara
menghindar dan tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi letusan
gunung api (penyuluhan) 8) Mensosialisasikan kepada masyarakat agar
paham arti dari peringatan dini yang diberikan oleh aparat/Pengamat
Gunung api (penyuluhan). 9) Mensosialisasikan kepada masyarakat agar
bersedia melakukan koordinasi dengan aparat/Pengamat Gunung api.

d) Bencana Gempa Bumi Secara lebih rinci upaya pengurangan bencana


Gempa Bumi antara lain : 1) Memastikan bangunan harus dibangun
dengan konstruksi tahan getaran/gempa. 2) Memastikan perkuatan
bangunan dengan mengikuti standard kualitas bangunan. 3) Pembangunan
fasilitas umum dengan standard kualitas yang tinggi. 4) Memastikan
kekuatan bangunan-bangunan vital yang telah ada. 5) Rencanakan
penempatan pemukiman untuk mengurangi tingkat kepadatan hunian di
daerah rawan bencana.

e) Bencana Tsunami Secara lebih rinci upaya pengurangan bencananya


antara lain: 1) Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan tenhadap
bahaya tsunami. 2) Pendidikan kepada masyarakat tentang karakteristik
dan pengenalan bahaya tsunami. 3) Pembangunan tsunami Early Warning
System. 4) Pembangunan tembok penahan tsunami pada garis pantai yang
beresiko. 5) Penanaman mangrove serta tanaman lainnya sepanjang garis
pantai meredam gaya air tsunami. 6) Pembangunan tempat-tempat
evakuasi yang aman di sekitar daerah pemukiman. Tempat/ bangunan ini
harus cukup tinggi dan mudah diakses untuk menghidari ketinggian
tsunami.

f) Bencana Kebakaran Secara lebih rinci upaya pengurangan bencananya


antara lain: 1) Pembuatan dan sosialisasi kebijakan Pencegahan dan
Penanganan Kebakaran. 2) Peningkatan penegakan hukum. 3)
Pembentukan pasukan pemadaman kebakaran khususnya untuk
penanganan kebakaran secara dini. 4) Pembuatan waduk-waduk kecil, Bak
penampungan air dan Hydran untuk pemadaman api. 5) Melakukan
pengawasan pembakaran lahan untuk pembukaan lahan secara ketat. 6)
Melakukan penanaman kembali daerah yang telah terbakar dengan
tanaman yang heterogen. 7) Meningkatkan partisipasi aktif dalam
pemadaman awal kebakaran di daerahnya.

g) Bencana Kekeringan Secara lebih rinci upaya pengurangan bencananya


antara lain: 1) Perlu melakukan pengelolaan air secara bijaksana, yaitu
dengan mengganti penggunaan air tanah dengan penggunaan air
permukaan dengan cara pembuatan waduk, pembuatan saluran distribusi
yang efisien. 2) Konservasi tanah dan pengurangan tingkat erosi dengan
pembuatan check dam, reboisasi. 3) Pengalihan bahan bakar kayu bakar
menjadi bahan bakar minyak untuk menghindari penebangan
hutan/tanaman. 4) Pendidikan dan pelatihan. 5)
Meningkatkan/memperbaiki daerah yang tandus dengan melaksanakan
pengelolaan Iahan, pengelolaan hutan, waduk peresapan dan irigasi.

h) Bencana Angin Siklon Tropis Secara lebih rinci upaya pengurangan


bencananya antara lain: 1) Memastikan struktur bangunan yang memenuhi
syarat teknis untuk mampu bertahan terhadap gaya angin. 2) Penerapan
aturan standar bangunan yang memperhitungkan beban angin khususnya
di daerah yang rawan angin topan. 3) Penempatan lokasi pembangunan
fasilitas yang penting pada daerah yang terlindung dari serangan angin
topan. 4) Penghijauan di bagian atas arah angin untuk meredam gaya
angin

i) Bencana Wabah Penyakit Secara lebih rinci upaya pengurangan


bencananya antara lain: 1) Menyiapkan masyarakat secara luas termasuk
aparat pemerintah khususnya di jajaran kesehatan dan lintas sektor terkait
untuk memahami resiko bila wabah terjadi serta bagaimana cara-cara
menghadapinya bila suatu wabah terjadi melalui kegiatan sosialisasi yang
berkesinambungan. 2) Menyiapkan produk hukum yang memadai untuk
mendukung upaya-upaya pencegahan, respon cepat serta penanganan bila
wabah terjadi. 3) Menyiapkan infrastruktur untuk upaya penanganan
seperti sumberdaya manusia yang profesional, sarana pelayanan
kesehatan, sarana komunikasi, transportasi, logistik serta pembiayaan
operasional. 4) Upaya penguatan surveilans epidemiologi untuk
identifikasi faktor risiko dan menentukan strategi intervensi dan
penanganan maupun respon dini di semua jajaran.

j) Bencana Konflik Secara lebih rinci upaya pengurangan bencana akibat


konflik antara lain : 1) Mendorong peran serta seluruh lapisan masyarakat
dalam rangka memelihara stabilitas ketentraman dan ketertiban 2)
Mendukung kelangsungan demokratisasi politik dengan keberagaman
aspirasi politik, serta di tanamkan moral dan etika budaya politik
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 3) Mengembangkan supremasi
hukum dengan menegakkan hukum secara konsisten, berkeadilan dan
kejujuran. 4) Meningkatkan pemahaman dan penyadaran serta
meningkatnya perlindungan penghormatan, dan penegakkan HAM. 5)
Meningkatkan kinerja aparatur negara dalam rangka mewujudkan aparatur
negara yang berfungsi melayani masyarakat, profesional, berdayaguna,
produktif, transparan, bebas dari KKN.
3) Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dalam UU No 24 tahun 2007: Kesiapsiagaan dilakukan
untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian
bencana.

Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud, dilakukan melalui:

a) penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan


bencana;

b) pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini;


c) penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan
dasar;

d) pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang


mekanisme tanggap darurat;

e) penyiapan lokasi evakuasi;

f) penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap


tanggap darurat bencana; dan

g) penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk


pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.

Ada 9 tahap dalam tahap kesiapsiagaan yaitu

a) Penilaian Risiko (risk assessment)

b) Perencanaan Siaga (contingency planning)

c) Mobilisasi Sumberdaya (resource mobilization)

d) Pendidikan dan Pelatihan (training & education)

e) Koordinasi (coordination)

f) Mekanisme Respon (response mechanism)

g) Peringatan Dini (early warning)

h) Manajemen Informasi (information systems)

i) Gladi / Simulasi (drilling/simulation) (Unisdr, 2008)

4) Peringatan Dini
Peringatan dini merupakan faktor utama dalam pengurangan risiko
bencana. Peringatan dini dapat mencegah korban jiwa dan mengurangi
dampak ekonomi dan material dari sebuah bencana. Agar berjalan efektif,
sistem peringatan dini harus melibatkan masyarakat secara aktif,
memfasilitasi pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang risiko yang
dihadapi, menyebarluaskan pesan dan peringatan secara efektif, serta
menjamin kesiapsiagaan yang selalu terjaga.
Penyampaian informasi yang tepat waktu dan efektif, melalui
kelembagaan yang jelas, sehingga memungkinkan setiap individu yang
terancam bahaya dapat mengambil langkah untuk menghindari atau
mengurangi risiko dan mempersiapkan diri untuk melakukan upaya
tanggap darurat yang efektif.
Suatu sistem peringatan dini yang lengkap dan efektif terdiri atas
empat uansur yang saling terkait, mulai dari pengetahuan tentang bahaya
dan kerentanan, hingga kesiapan dan kemampuan untuk menanggulangi.
Pengalaman baik dari sistem peringatan dini juga memiliki hubungan
antar-ikatan yang kuat dan saluran komunikasi yang efektif di antara
semua elemen tersebut.
a) Pengetahuan tentang risiko
Risiko akan muncul dari kombinasi adanya bahaya dan kerentanan di
lokasi tertentu. kajianterhadap risiko bencana memerlukan pengumpulan
dan analisis data yang sistematis serta harus mempertimbangkan sifat
dinamis dari bahaya dan kerentanan yang muncul dari berbagai proses
seperti urbanisasi, perubahan pemanfaatan lahan, penurunan kualitas
lingkungan, dan perubahan iklim. Kajian dan peta risiko bencana akan
membantu memotivasi orang, sehingga mereka akan memprioritaskan
pada kebutuhan sistem peringatan dini dan penyiapan panduan untuk
mencegah dan menanggulangi bencana
b) Pemantauan dan layanan peringatan
Layanan peringatan merupakan inti dari sistem. Harus ada dasar ilmiah
yang kuat untuk dapat memprediksi dan meramalkan munculnya bahaya,
dan harus ada sistem peramalan dan peringatan yang andal yang
beroperasi 24 jam sehari. Pemantauan yang terus-menerus terhadap
parameter bahaya dan gejala-gejala awalnya sangat penting untuk
membuat peringatan yang akurat secara tepat waktu. Layanan peringatan
untuk bahaya yang berbeda-beda sedapat mungkin harus dikoordinasikan
dengan memanfaatkan jaringan kelembagaan, prosedural, dan komunikasi
yang ada.
c) Penyebarluasan dan komunikasi
Peringatan harus menjangkau semua orang terancam bahaya. Pesan yang
jelas dan berisi informasi yang sederhana namun berguna sangatlah
penting untuk melakukan tanggapan yang tepat, yang akan membantu
menyelamatkan jiwa dan kehidupan. Sistem komunikasi tingkat regional,
nasional, dan masyarakat harus diidentifikasi dahulu, dan pemegang
kewenangan yang sesuai harus terbentuk. Penggunaan berbagai saluran
komunikasi sangat perlu untuk memastikan agar sebanyak mungkin orang
yang diberi peringatan, guna menghindari terjadinya kegagalan di suatu
saluran, dan sekaligus untuk memperkuat pesan peringatan.

d) Kemampuan penanggulangan
Sangat penting bahwa masyarakat harus memahami bahaya yang
mengancam mereka; dan mereka harus mamatuhi layanan peringatan dan
mengetahui bagaimana mereka harus bereaksi. Program pendidikan dan
kesiapsiagaan memainkan peranan penting di sini. Juga penting bahwa
rencana penanganan bencana dapat dilaksanakan secara tepat, serta sudah
dilakukan dengan baik dan sudah teruji. Masyarakat harus mendapat
informasi selengkapnya tentang pilihan-pilihan untuk perilaku yang aman,
ketersediaan rute penyelamatan diri, dan cara terbaik untuk menghindari
kerusakan dan kehilangan harta benda (Unisdr, 2008).

b. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi, kerusakan


dan sumber daya; penentuan status keadan darurat; penyelamatan dan
evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar; pelayanan psikososial dan
kesehatan. Inilah saat-saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk
bertahan hidup. Fase impact ini terus berlanjut hingga tejadi kerusakan dan
bantuan-bantuan yang darurat dilakukan (shiromibu, 2013). Terjadinya
bencana alam berhubungan erat dengan kenampakan alam. Bencana alam
terjadi karena kekuatan alam. Seringkali bencana alam tidak bisa diprediksi
manusia. Gejala alam yang terjadi di Indonesia, antara lain gunung meletus,
gempa bumi, tsunami, banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, dan badai
(Ajim, 2015).
Ada 5 hal yang perlu diperhatikan dalam menghadapi atau
menanggulangi masalah pada pertolongan pertama, yaitu:

1) Jangan panik
2) Jangan emosional
3) Jangan tergesa-gesa
4) Jangan mendramatisai
5) Jangan putus asa

Prinsip utama pada pertolongan utama:

1) Cermat: tenang dan tidak panik


2) Cepat : tidak tertunda dan hati-hati
3) Tepat : Cara yang diterapkan tidak menyimpang dari kaidah langkah-
langkah P3

Peningkatan fokus bahwa RJP diberikan dengan high-quality didasarkan pada

1) Kecepatan dan kedalaman kompresi diberikan dengan adekuat dan


memungkinkan full chest recoil antara kompresi.
2) Meminimalkan interupsi saat memberikan kompresi dada
3) Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan

Langkah-lagkah RJP menurut AHA (2010) sebagai berikut:


1) Danger

Pastikan sebelum menolong korban, penolong mengamati segi keamanan


diri penolong, lingkungan, dan korban.

2) Response

Cek respon korban dengan teknik “touch and talk” yaitu dengan menepuk
atau menggoyang goyangkan bahu korban bersamaan dengan memanggil
nama atau sebutan koban. Kemungkinan kesadaran korban:

a) Korban sadar (Cek respon -----> korban berespon)

Biarkan korban pada posisi diamana korban ditemukan.

Minta bantuan dengan berteriak dan menghubungi tim yang lebih


expert.

Tetap mengawasi kemungkinan terjadinya cedera yang lain.

b) Korban tidak sadar (Cek respon ------> korban tidak berespon)

Teriak meninta bantuan dan menghubungi tim yang lebih expert.

3) Circulation

Cek nadi korban (neonatus dan bayi - nadi brakialis; anak, dewasa
dan ibu hamil – nadi karotis). Jika lebih dari 10 detik nadi sulit
dideteksi maka segera lakukan kompresi dada. Kompresi pada:

a) Neonatus

a. Pastikan korban pada posisi supinasi.


b. Kompresi dada dilakukan dengan cepat dan dalam, kecepatan
adekuat setidaknya 100 x/ menit.
c. Setiap siklus terdiri dari 3 kali kompresi dan 1 kali ventilasi (3
: 1).
d. Setiap 30 detik dievaluasi nadi brakialisnya.

b) Bayi

a. Pastikan korban pada posisi supinasi.


b. Kompresi dikalukan di sternum, tepatnya diantara puting susu
menggunakan teknik ibu jari atau dua jari.

Teknik Ibu Jari

Melingkari dada bagian lateral dengan kedua tangan serta


menempatkan ibu jari pada tulang dada dan jari-jari tangan.

Teknik Dua Jari

Letakkan jari telunjuk diantara puting susu lalu, letakkan jari


tengah dan jari manis di sampingnya. Gunakan jari tengah dan
jari manis dari satu tangan untuk menekan.

c. Kompresi dilakukan dengan cepat dan dalam, kecepatan


setidaknya 100 x/menit.
d. Kedalam kompresi 1/3 anterior dan pasterior tubuh (4 cm).
e. Setiap siklus terdiri dari 30 kompresi dan 2 ventilasi (30 : 2)
jika penolong hanya satu orang. Jika dua orang penolong maka
15 kompresi dan 2 ventilasi (15 : 2).
f. Nadi dievaluasi setiap 2 menit.
c) Anak

a. Pastikan korban pada posisi supinasi.


b. Lutut berada di sisi bahu korban.
c. Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pada kedua
tangan dengan posisi lengan 90o terhadap dada korban.
d. Kompresi dikalukan di sternum, tepatnya diantara puting susu
(midsternal) menggunakan satu tangan (transverse karpal).
e. Kompresi dilakukan dengan cepat dan dalam, kecepatan
setidaknya 100 x/menit.
f. Kedalam kompresi 1/3 anterior dan pasterior tubuh (5 cm).
g. Setiap siklus terdiri dari 30 kompresi dan 2 ventilasi (30 : 2)
jika penolong hanya satu orang. Jika dua orang penolong maka
15 kompresi dan 2 ventilasi (15 : 2).
h. Nadi dievaluasi setiap 2 menit.

d) Dewasa

a. Pastikan korban pada posisi supinasi.


b. Lutut berada di sisi bahu korban.
c. Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pada kedua
tangan dengan posisi lengan 90o terhadap dada korban.
d. Kompresi dilakukan di sternum, tepatnya dua jari di atas
prosesus simfoideus ke sisi kiri menggunakan dua tangan,
tangan pertama diatas tanag yang lain dengan jari saling
bertaut.
e. Kompresi dilakukan dengan cepat dan dalam, kecepatan
setidaknya 100 x/menit. Kedalam kompresi 2 inchi atau 5
cm.
f. Setiap siklus terdiri dari 30 kompresi dan 2 ventilasi (30 :
2) oleh satu atau dua penolong.
g. Nadi dievaluasi setiap 2 menit.

e) Ibu Hamil.

h. Pastikan korban pada posisi supinasi.


i. Lutut berada di sisi bahu korban.
j. Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pada kedua
tangan dengan posisi lengan 90o terhadap dada korban.
k. Kompresi dilakukan di sternum, tepatnya dua jari di atas
prosesus simfoideus ke sisi kiri menggunakan dua tangan,
tangan pertama diatas tanag yang lain dengan jari saling
bertaut.
l. Kompresi dilakukan dengan cepat dan dalam, kecepatan
setidaknya 100 x/menit. Kedalam kompresi 2 inchi atau 5
cm.
m. Setiap siklus terdiri dari 30 kompresi dan 2 ventilasi (30 :
2) oleh satu atau dua penolong.
n. Nadi dievaluasi setiap 2 menit.

4) Airway (Jalan Napas)

a) Buka Jalan napas.


a. Kombinasi Head tilt dan chin lift.

Teknik ini dilakukan jika korban tidak mengalami cedera servikal.


Membaringkan korban terlentang pada permukaan yang datar dan
kerasb. Meletakkan telapak tangan pada dahi pasien. Menekan
dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan.
Meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengahdari tangan lainnya
di bawah bagian ujung tulang rahang pasien. Menengadahkan
kepala dan menahan/menekan dahi pasien secara bersamaan
sampai kepala pasien pada posisi ekstensi.

b. Jaw Trust

Membaringkan korban terlentang pada permukaan yang datar dan


keras. Mendorong ramus vertikal mandibula kiri dan kanan ke
depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi
atas.

b) Cek Jalan napas.

Cek hembusan napas dan perkembangan dinding dada.


a. Jalan Napas Tersumbat

Miringkan pasien ke salah satu sisi. Keluarkan apa saja objek yang
terlihat dalam mulut. Ambil gigi/palsu yang lepas. Tinggalkan gigi
palsu yang utuh pada tempatnya

b. Jalan Napas Bersih

Pertahanakan jalan napas terbuka dan cek adanyapernapasan


normal Jika dalam beberapa menit terdengar suara sepertigurgling,
atau batuk dengan pergerakan dada danabdomen, perlakukan tetap
seperti tidak bernapas,karena pernapasan ini tidak efektif.

5) Breathing

a) Pemberian rescue breating

Pada dua penolong atau lebih, setelah alat intubasi terpasang


selama pemberian RJP, ventilasi diberikan setiap 6-8 detik sekali
atau dalam satu menit 8-10 ventilasi tanpa usaha sinkronisasi
antara kompresi dan ventilasi. Kompresi dada tidak dihentikan
untuk pemberian ventilasi. Ventilasi diberikan dalam waktu satu
detik dengan volume sesuai tidal. Penolong menggunakan mouth
barrier untuk proteksi.

b) Lanjutkan 30 kompresi dan 2 siklus napas sampai 5 siklus


kemudian dievaluasi kembali nadi korban.

a. Jika tidak ada nadi karotis, dilakukan kembali kompresi dan


bantuan nafas dengan rasio 30 : 2. Jika ada nafas dan denyut
nadi teraba letakkan pasien pada posisi mantap (recovery
position)
b. Jika tidak ada nafas tetapi nadi teraba, berikan bantuan nafas
sebanyak 10- 12x/menit dan monitor nadi setiap 2 menit. Jika
sudah terdapat pernafasan spontan dan adekuat serta nadi
teraba, jaga agar jalan nafas tetap terbuka.

Maka dari itu, berikut merupakan beberapa kegiatan atau tidakan yang
dapat dilakukan saat terjadi bencana alam.
1) Tindakan saat terjadi Gunung Meletus
a) Hindari daerah berbahaya,yang dimaksud daerah bahaya adalah lereng
gunung, lembah, atau kawasan yang memungkinkan dialiri lahar.
b) Pemerintah akan menyediakan angkutan untuk pengungsian. Masyarakat
harus mengungsi ke barak pengungsian.
c) Lindungi diri dari abu letusan dan awan panas, dalam hal ini bisa
mengenakan masker, topi, celana panjang, dan baju lengan panjang.
d) Abu letusan berbahaya bagi tubuh. Usahakan jangan menghirup secara
langsung udara yang terkena abu letusan.
e) Patuhilah pedoman dan perintah dari instansi berwenang tentang upaya
penanggulangan bencana. Jangan mudah terhasut untuk segera kembali
ke rumah saat status masih dalam bahaya.
2) Tindakan yang dilakukan saat terjadi gempa bumi
Gempa bumi merupakan bencana alam yang tidak bisa diperkirakan
waktu terjadinya. Kita hanya bisa berusaha menyelamatkan diri saat
terjadi gempa bumi. Beberapa hal yang dapat kita lakukan agar selamat
dari gempa bumi adalah sebagai berikut.
a) Saat terjadi gempa, jangan panik. Apabila berada di dalam rumah
jangan terburu-buru untuk keluar rumah. Berlindunglah di bawah meja
yang kuat. Setelah gempa mulai reda, segeralah keluar dari rumah.
Carilah tempat yang terbuka seperti lapangan. Hal itu untuk
mengantisipasi gempa susulan.
b) Apabila sedang naik kendaraan kurangi kecepatan dan berhentilah di
tempat terbuka. Segeralah keluar dari mobil. Jangan berhenti di atas
jembatan, di sekitar pom bensin, dan di dekat papan reklame.
Kemungkinan besar bangunan tersebut akan roboh.
c) Apabila berada di luar rumah, segeralah berlari menuju tempat
terbuka. Jangan berdiri di dekat papan reklame, tiang listrik, dan
bangunan-bangunan yang tinggi.
3) Tindakan yang dilakukan saat terjadi tsunami
a) Jangan panik, Bergeraklah dengan cepat ke tempat yang lebih tinggi.
Ajaklah keluarga dan orang di sekitar turut serta. Tetaplah di tempat
yang aman sampai air laut benar-benar surut.
b) Jika Anda sedang berada di pinggir laut atau dekat sungai, segera
berlari sekuat-kuatnya ke tempat yang lebih tinggi. Jika
memungkinkan, berlarilah menuju bukit yang terdekat
c) Jika situasi memungkinkan, pergilah ke tempat evakuasi yang sudah
ditentukan. Jika situasi tidak memungkinkan untuk melakukan
tindakan seperti di atas, carilah bangunan bertingkat yang bertulang
baja.
4) Tindakan yang dilkukan saat terjadi banjir
Setiap musim penghujan, banjir melanda beberapa wilayah di Indonesia.
Banjir disebabkan oleh air sungai yang meluap. Banjir yang terjadi di
Indonesia disebabkan oleh penebangan pohon secara liar. Di samping itu,
karena perilaku membuang sampah sembarangan. Membuang sampah di
sungai dapat menyebabkan banjir. Oleh karena tumpukan sampah akan
menghambat aliran sungai. Akibatnya, saat hujan air di sungai tidak dapat
mengalir dengan lancar. Air sungai akhirnya meluap dan terjadi banjir.
Apabila terjadi banjir, hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Carilah tempat yang lebih tinggi, misalnya loteng rumah. Pindahlah ke
lantai paling atas jika rumah bertingkat.
b) Pindahkan surat dan barang-barang berharga ke tempat yang aman.
c) Apabila ketinggian air belum begitu tinggi mengungsilah ke tempat
yang lebih aman.
d) Apabila terjebak di air yang dalam, carilah pegangan supaya tidak
tenggelam.
e) Apabila bisa berenang, segeralah berenang menuju ke tempat yang
lebih aman.
5) Tindakan yang dilakukan saat terjadi kebakaran hutan
Indonesia memiliki wilayah hutan yang luas. Sayangnya, pengelolaan
hutan belum dilakukan dengan baik. Seringkali, orang sengaja membakar
hutan untuk membuka lahan. Tindakan yang dapat kita saat terjadi
kebakaran hutan antara lain sebagai berikut :
a) Gunakan masker penutup hidung jika asapnya begitu mengganggu.
b) Jika kalian sedang berada dalam kendaraan, kurangi kecepatan dan
nyalakan lampu kendaraan.

6) Tindakan yang dilakukan saat terjadi tanah longsor


Tanah longsor adalah gerakan tanah dan bebatuan pada lereng sebuah
gunung. Dampaknya sungguh luar biasa. Bangunan dan permukiman
penduduk akan tertimbun. Sarana transportasi, air minum, dan beragam
fasilitas sosial akan rusak. Tanah di lereng gunung bisa longsor karena
adanya peningkatan kandungan air di perut gunung. Penyebab lain adalah
pembangunan permukiman di lereng gunung dan pemotongan kaki lereng.
Hal ini menyebabkan lereng tidak memiliki penahan atau penyangga.
Seiring meningkatnya curah hujan, beberapa daerah potensial terjadi tanah
longsor. Daerah rawan terjadi bencana tanah longsor adalah lereng
pegunungan. Seperti yang terjadi di daerah Banjarnegara, Jawa Tengah
baru-baru ini. Beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk menghadapi
tanah longsor, antara lain sebagai berikut :
a) Jika terjadi tanah longsor segeralah keluar dari rumah.
b) Segeralah berlindung ke tempat aman, seperti lapangan atau tempat
terbuka lainnya.
7) Tindakan yang dilakukan saat terjadi badai/topan
Ciri khas angin topan adalah terjadinya pusaran angin secara mendadak
dengan kecepatan 120 km/jam atau lebih. Angin ini disebabkan adanya
perbedaan tekanan cuaca. Dampak angin puting beliung bisa merusakkan apa
pun yang dilalui. Badai bisa terjadi di laut maupun di daratan. Apabila badai
terjadi daratan, beberapa cara yang dapat kita lakukan, antara lain.
a) Jika rumah kita kuat, sebaiknya segera masuk ke dalam rumah. Akan
tetapi, jika rumah kita tidak kuat maka segeralah keluar rumah.
b) Carilah tempat yang terbuka supaya terhindar dari bangunan yang
roboh.
c) Apabila berada di jalan dan sedang naik kendaraan berhentilah di
tempat terbuka.
d) Jangan berhenti di bawah papan reklame dan pohon besar. Hal itu
untuk

c. Pasca bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah


bencana, prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah, social,
psikologis, pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi
(pembangunan, pembangkitan dan peningkatan sarana prasarana termasuk
fungsi pelayanan kesehatan.
1) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pasca bencana.
Dalam penentuan kebijakan rehabilitasi prinsip dasar yang digunakan
adalah sebagai berikut :
1) Menempatkan masyarakat tidak saja sebagai korban bencana, namun juga
sebagai pelaku aktif dalam kegiatan rehabilitasi.
2) Kegiatan rehabilitasi merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan
terintegrasi dengan kegiatan prabencana, tanggap darurat dan pemulihan
dini serta kegiatan rekonstruksi.
3) “Early recovery” dilakukan oleh “Rapid Assessment Team” segera setelah
terjadi bencana.
4) Program rehabilitasi dimulai segera setelah masa tanggap darurat (sesuai
dengan Perpres tentang Penetapan Status dan Tingkatan Bencana) dan
diakhiri setelah tujuan utama rehabilitasi tercapai.
Untuk menjamin efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan, kegiatan
rehabilitasi mengikuti prosedur umum sebagai berikut :
a. Sosialisasi dan Koordinasi Program
1) Koordinasi jajaran pemerintahan hingga tingkat Desa/Kelurahan.
2) Sosialisasi kepada masyarakat umum dan korban.
3) Membangun kebersamaan, solidaritas, dan kerelawanan.
b. Inventarisasi dan Identifikasi Kerusakan/Kerugian
1) Inventarisasi dan identifikasi tingkat kerusakan/kerugian bencana
dilakukan oleh BNPB dan/atau BPBD dan/atau unsur-unsur lain yang
dikoordinasikan oleh BNPB dan/atau BPBD.
2) Verifikasi atas hasil inventarisasi dan identifikasi kerusakan/ kerugian
dapat dilakukan oleh BNPB dan/atau BPBD oleh karena adanya usulan,
masukan, sanggahan dari masyarakat maupun karena timbulnya bencana
susulan dan hal lain yang relevan.
3) Inventarisasi, identifikasi kerusakan/kerugian atau verifikasi atas hasilnya
dilakukan pada pelaksanaan “rapid assessment” tahap tanggap darurat dan
atau rehabilitasi.
c. Perencanaan dan Penetapan Prioritas
1) Perencanaan dan penetapan prioritas di tingkat masyarakat yang dilakukan
secara partisipatif oleh kelompok masyarakat merupakan masukan penting
bagi program rehabilitasi.
2) Sinkronisasi rencana dan program meliputi : sinkronisasi program tahapan
rehabilitasi, prabencana, tanggap darurat dan rekonstruksi, sinkronisasi
lintas-pelaku, sinkronisasi lintas-sektor, sinkronisasi lintas-wilayah.
3) Perencanaan, penetapan prioritas dan sinkronisasi program dilakukan oleh
BPBD dan/atau BNPB.
d. Mobilisasi Sumberdaya
Mobilisasi sumberdaya yang meliputi sumberdaya manusia,
peralatan, material dan dana dilakukan dengan mempertimbangkan
sumberdaya yang tersedia. Sumberdaya manusia yang memahami dan
mempunyai ketrampilan secara profesional sangat diperlukan dalam
semua proses dan kegiatan rehabilitasi pascabencana. Sumberdaya yang
berupa peralatan, material dan dana disediakan dan siap dialokasikan
untuk menunjang proses rehabilitasi.
e. Pelaksanaan Rehabilitasi
Pelaksanaan rehabilitasi meliputi kegiatan perbaikan fisik dan
pemulihan fungsi non-fisik. Kegiatan rehabilitasi dilaksanakan di wilayah
yang terkena bencana maupun wilayah lain yang dimungkinkan untuk
dijadikan wilayah sasaran kegiatan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi
dilakukan oleh BNPB jika status bencana adalah tingkat nasional atau atas
inisiatif sendiri BNPB dan atau BPBD untuk status bencana daerah.
Kegiatan rehabilitasi juga dimungkinkan untuk melibatkan banyak
pemangku kepentingan dan masyarakat.

f. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan


Pemantauan penyelenggaraan rehabilitasi pascabencana diperlukan
sebagai upaya untuk memantau secara terus-menerus terhadap proses dan
kegiatan rehabilitasi. Pelaksanaan pemantauan kegiatan rehabilitasi
dilakukan oleh unsur pengarah beserta unsur pelaksana BNPB dan atau
BPBD dan dapat melibatkan lembaga/institusi perencanaan di tingkat
nasional dan/atau daerah, sebagai bahan menyeluruh dalam
penyelenggaraan rehabilitasi.
Penyusunan laporan penyelenggaraan rehabilitasi pascabencana
dilakukan oleh unsur pengarah dan/atau unsur pelaksana BNPB dan/atau
BPBD. Laporan penyelenggaraan rehabilitasi selanjutnya digunakan untuk
memverifikasi perencanaan program rehabilitasi.
Ruang lingkup pelaksanaan rehabilitasi pascabencana dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan : perbaikan lingkungan daerah bencana,
perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan
rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan,
rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial, ekonomi dan budaya,
pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan
pemulihan fungsi pelayanan publik (Pasal 56, Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana).
Perencanaan teknis perbaikan lingkungan paling sedikit memuat:
a) Data kependudukan, sosial, budaya, ekonomi, prasarana, dan sarana
sebelum terjadi bencana;
b) Data kerusakan yang meliputi lokasi, data korban bencana,
c) Jumlah dan tingkat kerusakan bencana, dan perkiraan kerugian;
d) Potensi sumber daya yang ada di daerah bencana;
e) Peta tematik yang berisi sebagaimana dimaksud pada huruf a,
f) Huruf b, dan huruf c;
g) Rencana program dan kegiatan;
h) Gambar desain;
i) Rencana anggaran; dan
j) Jadwal kegiatan.
2) Rekonstruksi pasca bencana
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-
langkah nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk
membangun kembali secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem
kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan
sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan
partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat
di wilayah pasca bencana.
Rencana Rekonstruksi adalah dokumen yang akan digunakan sebagai
acuan bagi penyelenggaraan program rekonstruksi pasca-bencana, yang
memuat informasi gambaran umum daerah pasca bencana meliputi antara
lain informasi kependudukan, sosial, budaya, ekonomi, sarana dan
prasarana sebelum terjadi bencana, gambaran kejadian dan dampak
bencana beserta semua informasi tentang kerusakan yang diakibatkannya,
informasi mengenai sumber daya, kebijakan dan strategi rekonstruksi,
program dan kegiatan, jadwal implementasi, rencana anggaran,
mekanisme/prosedur kelembagaan pelaksanaan.
Pelaksana Rekonstruksi adalah semua unit kerja yang terlibat dalam
kegiatan rekonstruksi, di bawah koordinasi pengelola dan
penanggungjawab kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
pada lembaga yang berwenang menyelenggarakan penanggulangan
bencana di tingkat nasional dan daerah.
Strategi dalam Penyelenggaraan Rekonstruksi ini adalah:
a) Melibatkan partisipasi masyarakat sebesar mungkin, baik masyarakat yang
terkena bencana maupun masyarakat secara umum, melalui proses
memberdayakan masyarakat dalam berbagai kegiatan penyelenggaraan
rekonstruksi dan dengan menciptakan situasi kondusif bagi peran serta
masyarakat yang sebesar-besarnya dalam kegiatan rekonstruksi, melalui
mekanisme pelibatan yang sederhana.
b) Memanfaatkan kearifan lokal berdasarkan pada kondisi aktual di
lapangan, melalui program yang mengacu kepada kebijakan pemerintah
dengan memperhatikan kondisi sosial dan budaya masyarakat.
c) Mendorong pengembangan kapasitas dalam pelaksanaan rekonstruksi,
baik ketika perencanaan, pelaksanaan, monitoring maupun penegakkan
aturan-aturan yang ada, untuk menjamin hasil rekonstruksi yang memiliki
ketahanan yang lebih baik terhadap bencana di masa yang akan datang,
baik di tingkatan pemerintahan, masyarakat, komunitas lokal maupun
individu.
d) Mengutamakan solusi jangka panjang daripada penyelesaianmasalah-
masalah yang bersifat sementara.
e) Memberikan perhatian khusus kepada usaha-usaha berkelanjutan yang
bersifat lokal.
f) Menggunakan proses perencanaan yang terintegrasi, dengan penetapan
prioritas jangka pendek, menengah dan panjang.
g) Mengutamakan usaha-usaha untuk memulihkan kondisi ekonomi lokal
dengan cepat sebagai bagian dari kegiatan prioritas jangka pendek,
melalui pelibatan sebanyak-banyaknya berbagai pelaku ekonomi lokal
dalam proses rekonstruksi.
h) Mengintegrasikan teknologi maju dengan sumber daya local yang sesuai.
i) Menggunakan rencana implementasi yang sederhana.
j) Memastikan tersedianya akses informasi mengenai semua kegiatan
rekonstruksi bagi semua pemangku kepentingan dalam rangka
membangun komunikasi untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi
proses reonstruksi.

Lingkup pelaksanaan rekonstruksi:


a) Program rekonstruksi fisik
Rekonstruksi fisik adalah tindakan untuk memulihkan kondisi fisik
melalui pembangunan kembali secara permanen prasarana dan sarana
permukiman, pemerintahan dan pelayanan masyarakat (kesehatan,
pendidikan dan lain-lain), prasarana dan sarana ekonomi (jaringan
perhubungan, air bersih, sanitasi dan drainase, irigasi, listrik dan
telekomunikasi dan lain-lain), prasarana dan sarana sosial (ibadah, budaya
dan lain-lain.) yang rusak akibat bencana, agar kembali ke kondisi semula
atau bahkan lebih baik dari kondisi sebelum bencana.
Cakupan kegiatan rekonstruksi fisik mencakup, tapi tidak terbatas
pada, kegiatan membangun kembali sarana dan prasarana fisik dengan
lebih baik dari hal-hal berikut:
a. Prasarana dan sarana
b. Sarana sosial masyarakat;
c. Penerapan rancang bangun dan penggunaan peralatan yang lebih baik
dan tahan bencana.

b) Program rekonstruksi non fisik


Rekonstruksi non fisik adalah tindakan untuk memperbaiki atau
memulihkan kegiatan pelayanan publik dan kegiatan sosial, ekonomi serta
kehidupan masyarakat, antara lain sektor kesehatan, pendidikan,
perekonomian, pelayanan kantor pemerintahan, peribadatan dan kondisi
mental/sosial masyarakat yang terganggu oleh bencana, kembali ke
kondisi pelayanan dan kegiatan semula atau bahkan lebih baik dari kondisi
sebelumnya.
Cakupan kegiatan rekonstruksi non-fisik di antaranya adalah:
a. Kegiatan pemulihan layanan yang berhubungan dengan kehidupan
sosial dan budaya masyarakat.
b. Partisipasi dan peran serta lembaga/organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha, dan masyarakat.
c. Kegiatan pemulihan kegiatan perekonomian masyarakat.
d. Fungsi pelayanan publik dan pelayanan utama dalam masyarakat.
e. Kesehatan mental masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana, maka
prinsip dasar penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
adalah
a) Merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dan Pemerintah
b) Membangun menjadi lebih baik (build back better) yang terpadu
dengan konsep pengurangan risiko bencana dalam bentuk
pengalokasian dana minimal 10% dari dana rehabilitasi dan
rekonstruksi
c) Mendahulukan kepentingan kelompok rentan seperti lansia,
perempuan, anak dan penyandang cacat
d) Mengoptimalkan sumberdaya daerah
e) Mengarah pada pencapaian kemandirian masyarakat, keberlanjutan
program dan kegiatan serta perwujudan tatakelola pemerintahan yang
baik
f) Mengedepankan keadilan dan kesetaraan gender.
Mengacu pada arahan Presiden Republik Indonesia pada Sidang
Kabinet Paripurna 25 November 2010, maka pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi agar dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip
dasar, sebagai berikut:
a) Dilaksanakan dengan memperhatikan UU nomor 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana
b) Dilaksanakan dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah nomor 24
tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
c) Dilaksanakan dengan memperhatikan Undang Undang nomor 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam proses perencanaan tata
ruang, proses pemanfaatan ruang dan proses pengendalian
pemanfaatan ruang;
d) Dilaksanakan dengan memperhatikan UU 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil dalam
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumber
daya pesisir dan pulau pulau kecil;
e) Dilaksanakan dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah
nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.

5. Tujuan Penanganan Bencana


Tujuan manajemen bencana yang baik adalah:
a. Menghindari kerugian pada individu, masyarakat, dan Negara melalui
tindakan dini.
b. Meminimalisasi kerugian pada individu, masyarakat dan Negara berupa
kerugian yang berkaitan dengan orang, fisik, ekonomi, dan lingkungan bila
bencana tersebut terjadi, serta efektif bila bencana itu telah terjadi.
c. Meminimalisasi penderitaan yang ditanggung oleh individu dan masyarakat
yang terkena bencana. Membantu individu dan masyarakat yang terkena
bencana supaya dapat bertahan hidup dengan cara melepaskan penderitaan
yang langsung dialami.
d. Memberi informasi masyarakat danpihak berwenang mengenai resiko.
e. Memperbaiki kondisi sehingga indivudu dan masyarakat dapat mengatasi
permasalahan akibat bencana.
DAFTAR PUSTAKA

Ajim, Nanang. 2015. Tindakan saat terjadi bencana alam. (online) .


http://www.mikirbae.com/2015/01/cara-menghadapi-bencana-alam.html.
Diakses tanggal 3 Pebruari 2016.

Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi Jawa Barat, West
Java Province Environmental Strategy, Bandung 2004.
Carter W Nick, tt, Disarter Management A Disarter Manager’s Handbook, ADB,
Manila.
Departemen Pekerjaan Umum, SNI 03 1726 2002 (Revisi), Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung, Jakarta, 2002;

Efendi, Ferry & Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Federal Emergency Management Agency (FEMA), What Is Mitigation?, Mitigation:
Reduction Risk through Mitigation, Washington, 2000;

Mudzakir.2012. Aspek Hukum Dalam Penanggulangan Bencana. Tersedia:


www.bpbdkabserang.ddns.net. (online). Diakses 3 Pebruari 2015
Romadaniati, N. 2013. Pengertian Bencana Menurut Para Ahli. Tersedia:
http://niia1993.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-bencana-menurut-para-
ahli.html (online). Diakses pada tanggal 3 Februari 2016
Shiromibu, ryo. 2013. Makalah tentang Manajemen Penanggulangan Bencana di
Indonesia. (online). http://ryoshiromibu.blogspot.co.id/2013/06/bab-i-
pendahuluan-a.html. Diakses tanggal 3 Pebruari 2016.
UGM. 2007. Hukum Khusus berlaku dalam Keadaan Darurat Bencana. Tersedia:
https://ugm.ac.id/id/berita/1598(online). Diakses 3 Pebruari 2015.
Undang-Undang Republik Indonesia. 2007. Penanggulangan Bencana. Tersedia:
www.bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/1.pdf (online). Diunduh pada
tanggal 3 Februari 2016
UNDP, Program Pelatihan Managemen Bencana, Mitigasi Bencana, Edisi Dua,
Cambridge Architectural Research Limited, 1994;

Unisdr. 2008. Bencana. Tersedia: http://www.unisdr.org/files/608_indonesian.pdf


(online). Diakses 3 Pebruari 2015.

Anda mungkin juga menyukai