HANDOUT (5)
‘ILMU SOSIAL PROFETIK’ KUNTOWIJOYO
(KUNTO'S THEORETICAL FRAMEWORK)
BIODATA SINGKAT:
KARYA:
Karya-karya Kunto mencakup banyak bidang. Kecuali menulis sejumlah buku-buku sejarah,
termasuk teori dan metodologi, ia juga menghasilkan karya-karya sastra, budaya, filsafat, politik
dan pemikiran agama. Karya-karya utama di bidang sejarah dan ilmu-ilmu sosial, termasuk teori
sosial antara lain adalah sbb.
Metodologi Sejarah (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2003),
Penjelasan Sejarah (Tiara Wacana, 2008),
1
Pengantar Ilmu Sejarah (1995),
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991)
Paradigma Islam (Mizan, 1991)
Identitas Politik Umat Islam (Mizan Bandung, 1997).
Radikalisasi Petani (Bentang Intervisi Utama, 1993),
Pasar (Bentang Intervisi Utama, 1994),
Dinamika Internal Umat Islam Indonesia (Lembaga Studi Informasi Pembangunan, 1993),
Demokrasi & Budaya Birokrasi (Yayasan Bentang Budaya, 1994),
Budaya & Masyarakat (Tiara Wacana Yogya, 1987),
Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (Mizan Pustaka, 2002),
Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 (dari disertasi, Matabangsa
&Yayasan Adikarya IKAPI &The Ford Foundation, 2002),
PENGERTIAN
Ilmu Sosil Profetik (biasa diisngkat ISP) ialah suatu jenis ilmu sosial baru yang digagas oleh
sejarawan Kuntowijoyo sebagai kritik dan sekaligus alternatif bagi pengembangan ilmu sosial ke
depan. Sebagai kritik, ISP menolak asumsi-asumsi dasar yang berlaku dalam ilmu sosial Barat
selama ini. Apa kritik Kunto terhadap ilmu sosial Barat tersebut
Ilmu sosial Barat sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme yang dipelopori oleh August
Comte (1798-1857), Bapak“sosiologi” modern yang percaya bahwa sumber dan ukuran-
ukuran kebenaran ilmu pengeahuan harus berpatokan pada ilmu alam (ilmu sosial positivistik)
yang memliki tiga karakteristik berikut. Pertama, prosedur-prosedur (metodologis) dalam ilmu
alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian ilmu sosial dapat
dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum umum seperti dalam ilmu alam. Ketiga, ilmu sosial
seperti halnya dengan ilmu alam, harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang
bersifat instrumental murni, netral dan ‘bebas nilai’ (value-free).
Pendek kata, semua proses-proses sosial (termasuk proses-proses sejarah) tidak lagi dianggap
sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tetapi sebagai suatu‘peristiwa alam” yang harus
tunduk mengikut pada hukum-hukum alam. Kuntowijoyo menolak asumsi dasar ilmu sosial klasi
yang disebutkan di atas dengan agrugumen sebagai berikut,
1. Secara epistemologis, ilmu sosial selama ini hanya mengandalkan sumber ilmu pengetahuan
pada kemampuan pikiran (rasional) manusia dalam membaca realitas (empirik) dari alam.
Dalam filsafat ilmu disebut aliran rasionalisme dan empirisisme. Menurut Kunto kedua itu saja
tidak cukup. Perlu ditambahkan “wahyu” juga sumber ilmu pengetahuan yang sahih. Jadi Ilmu
Sosial Profetik (ISP) berpendirian bahwa sumber pengetahuan manusia tidka hanya otak
(pikiran - rasio) dan peristiwa nyata (empepirisme) dalam pengalaman manusia, melainkan
juga wahyu. Pandangan KUnto ini bertentangan dengan paham positivisme ᄃ yang
memandang wahyu sebagai bagian dari mitos dan karena itu tidak masuk urusan ilmu
pengetahuan.
2. Paham psotovismedalam ilmu sosial mendewakan klaim (untutan) ‘ilmu bebas nilai’ dan ‘klaim
bahwa sumber pengetahuan hanya terbatas pada fakta-fakta yang terindera. Namun ISP tidak
hanya menolak klaim ‘bebas nilai’, melainkan sebaliknya mengharuskan ilmu sosial untuk
secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuan tertingginya. Ini berkaitan erat dengan utir
tiga berikut.
2
3. Bahwa tugas ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan bagaimana dan
mengapa gejala kehiduan manusia demikian adanya untuk tujuan-tujuan teknis-praktis atau
untuk kepentingan sekuler, melainkan harus atau untuk memperbaiki kehidupan di dunia.
Lebih dari itu ISP harus bertujuan untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Ilmu sosial (ISP)
harus mampu mentransformasikan tujuan ilmu pengetahuan menuju cita-cita yang bersifat
transedental, melampaui tujuan hidup sementara yang diidamkan masyarakat di tempat dan
amsa tertentu.
Dengan kata lain, ISP memberikan nilai terhadap tujuan ilmu pengetahuan, bukan sekedar
pemecahan masalah teknis peraktid melainkan harus mengubah kehidupan menjadi lebih
manusawi sesuai dengan nilai-nilai “profetik”. Apakah itu profetik? Dari segi bahasa, profetik
dapat dikatakan sifat yang menyerupai nabi atau bersifat kenabian atau cita-cita kemulyaan,
memulyakan manusia dna kemanusiaan berdasarkan cita-cita keagamaan di mana manusia
tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri di dunia ini, melainkan untuk mengabdi kepada
sesuatu yang maha tinggi: kenabian. Hal semacam ini tidak termasuk urusan dalam ilmu
prositivisme.
Jadi ISP adalah ilmu sosial yang menganut dan bermuatan pesan kenabian, yaitu ilmu yang
mendorong dan membawa transformasi yang mencerahkan kehidupan manusia melampuai
tujuan-tujuan teknis-ptektis saja.
Menurut Kunto, ilmu sosial tidak boleh berhenti hanya pada usaha untuk menjelaskan atau
memahami realitas sosial dan kemudian memanfaatkannya untuk kepentingan sekuler. Ilmu
sosial seharusnya juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan
masyarakatnya. Karena itu harus ada ilmu sosial alternatif.
Ilmu sosial yang dicita-citakan itu ialah ilmu sosial yang mengandung pesan-pesan ‘kenabian
(profetik), yaitu adanya cita-cita kemulyaan manusia yang ditransformasikan. Kunto
menyebutnya dengan “Ilmu Dosial Profetik” dengan pilar utamanya sebagai berikut,
humanisasi, yaitu bahwa ‘subyek’ ilmu sosial adalah manusia dan bukan benda seperti ilmu
alam. Maka tugas ilmu sosial haruslah berpusat pada upaya memanusiakan manusia, bukan
sekedar menjelaskannya untuk kepentingan akademik dan praksis.
liberasi, yakni pembebasan manusia dari cengkraman sistem yang diciptakan manusia itu
sendiri tanpa memandang ada kekuatan dan sistem di luar sana yang lebih tinggi, yang
mengatur alam smesta sesuai dengan semangat profetik;
transendensi, yaitu bahwa ilmu sosial harus mampu melampaui cita-cita sekuler di dunia
‘sini’, tetapi menjadi hamba yang berbuat melampaui kepentingan hidup di dunia fana ini,
yakni menjadi hamba yang diridahi oleh Sang Pencipta untuk meraih kemenangan di dunia
‘sana’.
Atas dasar ini maka teori ilmu sosial menurtu Kunto (i) tidak mesti menghasikan hukum-hukum
universal sebagaimana klaim teori sosial positivistik, melainkan sangat kontekstual (ii) ilmu sosial
sebenarnya tidak boleh ‘bebas nilai’ melainkan haus ada keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu.
Klaim bebas nilai tak lebih dari sebentuk hipokrasi intelektual. Inilah gugatan-gugatan yang
dilontarkan Kunto lewat ilmu sosial profetik.
Ketiga, paradigma transendensi dalam ISP merupakan dasar dari dua unsurnya yang
sebelumnya. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai
bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-
nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam ISP. Ekses-ekses negatif yang
ditimbulkan oleh Iptek yang berorientasi antroposentrisme, seperti dalam teori modernisasi
berlepas tangan terhadap dampak negatif dari Iptek itu sendiri.
Konsep transendensi menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi dan sekaligus memberi arah
kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam ISP
dengan demikian tidak hanya berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi,
juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan
untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada pengejaran nafsu
keserakahan manusia yang tanpa batas. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan
dibebaskan dari kesadaran materialistik—di mana posisi ekonomi seseorang menentukan
kesadarannya—menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur
kemajuan dan kemunduran manusia.
Konsep kesadaran akan nilai-nilai profetik dalam ISP diletakkan sebagai patokan tertinggi dalam
kerangka pemikiran KunTO. Dengan kata lain, kesadaran transedental merupakan super-struktur
yang menentukan dan bukan sebaliknya seperti yang diyakini kaum Marxist, bahwa struktur
5
dasar (basis material) menentukan super struktur (kesadaran). Dalam kaitan dengan feminisme,
misalnya, yang percaya bahwa seks (jenis kelamin) menentukan kesadaran, tetapi melalui tesis
ISP Kunto membalikkan rumusan ini dengan meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis
material (structure). Artinya, kesadaranlah yang menentukan materi, kesadaranlah yang
menentukan kelamin seseorang. Kesadaran akan diri dan Tuhanlah yang menentukan
“keberadaan” hal lain di luar diri dan Tuhannya.
Dengan tesis ini, Kuntowijoyo yakin bahwa pandangan ini akan banyak pengaruhnya dalam
lapangan ilmu sosial dan humaniora di masa depan. Dia memberi contoh tentang gejala
kesadaran lingkungan global dan CSR di perusahaan-perusahaan dapat ditarik ke dalam aura ISP.
Lebih jauh diskusi tentang aksiologi dalam ISP membawa konsekuensi lebih jauh terhadap klaim
ilmu bebas nilai. ISP sebaliknya mengkalim tidak ada yang dikatakan dengan ‘bebas nilai’. Justru
kesadaran transendental itulah yang memberi nilai terhadap buha ilmu pengetahuan, termasuk
ilmu sosial. Karena terjebak dengan klaim positivisme, bahwa ilmu itu besas nilai, maka ilmu
sosial pada gilirannya hanya berusaha menjelaskan realitas (erklaren) secara apa adanya tanpa
melakukan pemihakan. Ini tidak mungkin. Dengan kedok tidak memihak, netral, bebas nilai,
teori-teori positivistik menutupi kemungkinan perubahan ke masa depan. Karena itu teori yang
mengklaim dirinya bebas nilai pada hakekatnya juga memihak, memihak kemapanan.
Hubungan pengetahuan dan kepentingan memberikan penjelasan kepada kita bahwa tidak ada
jenis pengetahuan yang lahir begitu saja tanpa dipengaruhi oleh unsur subyektif dan konteks
historis-sosiologis yang melatarbelakanginya. Apalagi ilmu sosial bertujuan memberikan
penjelasan terhadap realitas masyarakat beserta fenomena eksistensialnya. Kekeringan ilmu
sosial, khususnya di negara Dunia Ketiga, banyak disadari sebagai akibat miskinnya refleksi diri
ilmuwan sosial dalam melakukan kontekstualisasi pembacaan. Konsekuensinya jelas, ilmu sosial
kehilangan makna dan arah terhadap apa yang ditelitinya.
Bagaimanapun ilmu sosial, tidak bisa tidak, selalu berada dalam ruang interaksi antara setting
sosio-kultural masyarakat dengan aktor ilmuwan sosial yang memproduksi teori. Atau dengan
kata lain, bangunan ilmuan sosial tercetak dalam ruang yang dipenuhi tarik-ulur kepentingan
antara kesadaran, realitas sosial dan kekuasaan. Karl Marx, misalnya, melahirkan konsepsi
kesadaran kelasnya yang khas berdasarkan basis material dalam masyarakat Eropa pasca revolusi
industri yang melahirkan kelas buruh sebagai subordinat dari kelas pemilik alat-alat produksi,
yaitu kapitasli, kaum pemilik modal (kelas borjuis versus kelas buruh atau proletar).
PENUTUP
Dalam konteks Indonesia, upaya untuk membuat ilmuwan sosial yang berangkat dari akar tradisi
dan realitas historis masyarakat dapat kita lihat dalam pemikiran ISP Kuntowijoyo. Kefasihannya
dalam memetik dan meramu ayat-ayat agama dengan teori-teori sosial ditambah lagi dengan
analisis sejarah yang matang menjadikan Prof. Kuntowijoyo sebagai salah seorang dari sedikit
pemikir Indonesia yang mampu menelorkan teori ilmu sosial profetik ISP. Melalui ISP,
Kuntowijoyo telah menyumbangkan gagasan – meminjam istilah Dawam Rahardjo—“pribumisasi
ilmu-ilmu sosial” (indigenization of social sciences). Gagasan ini merupakan strategi counter idea
(gagasan tandingan) terhadap dominasi dan hegemoni ilmu sosial mainstream yang telah lama
“terperangkap” menjadi juru-bicara ilmu sosial Barat untuk Indonesia. Modus kerjanya mencoba
6
membongkar teori-teori yang mapan dan kemudian mencari sintesis yang kreatif, yang bercorak
lokal dengan rumusan live within dengan realitas konkret masyarakat Indonesia. ***