Anda di halaman 1dari 7

© 2018 Mtz- 2/TTS I -II/Updated

SERI BAHAN KULIAH TEORI SOSIAL INDONESIA

HANDOUT (5)
‘ILMU SOSIAL PROFETIK’ KUNTOWIJOYO
 (KUNTO'S THEORETICAL FRAMEWORK)

BIODATA SINGKAT:

 KUNTOWIJOYO (1943­2005) lahir di  Desa Sanden, Bantul, Yogyakarta. Namanya


dikenal sebagai salah seorang sejarawan terkemuka Indonesia dan pemikir Islam
yang kritis, di samping dikenal sebagai sastrawan produktif dan mendapat
banyak penghargaan di bidang kepenulisannya itu. 
   Berasal   dari   keluarga   Muhammadiyah   Yogyakarta   dan   sejak   usia   muda
sudah menjadi penulis dan aktivis. Bersekolah dasar  agama (Ibtidaiyah)  di
Ngawonggo, Klaten dan SMP di Klaten dan SMA di Solo, dan menamatkan sarjana sejarah
Universitas Gadjah Mada (1969) ia meraih gelar master American History di Universitas
Connecticut, Amerika Serikat (1974) dan memperoleh Ph.D dalam ilmu Sejarah di
Universitas Columbia (1980).
 Dibesarkan dalam kondisi politik, sosial dan ekonomi Indonesia yang labil dan
berfluktuasi dari waktu ke waktu, ia   mulai   meniti   karier   akademik   sebagai
pengajar di Uiversitas Gadjahmada di saat rejim otoriter Orde Baru sedang
berkuasa.   Fikiran­fikiran   kritisnya   lebih   banyak   disalurkan   lewat   menulis
dan aktivis LSM. Analisisnya yang tajam mengenai masalah­masalah sejarah
dan budaya bangsa Indonesia menunjukkan kalibernya sebagai salah seorang
ilmuwan   panutan   dan   sering   dirujuk   oleh   banyak   kalangan.   Salah   satu
gagasan   terepnting   dalam   teori   sosial   ialah   idenya   tentang   “ilmu   sosial
profetik”. 

KARYA:

Karya-karya Kunto mencakup banyak bidang. Kecuali menulis sejumlah buku-buku sejarah,
termasuk teori dan metodologi, ia juga menghasilkan karya-karya sastra, budaya, filsafat, politik
dan pemikiran agama. Karya-karya utama di bidang sejarah dan ilmu-ilmu sosial, termasuk teori
sosial antara lain adalah sbb.
 Metodologi Sejarah (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2003),
 Penjelasan Sejarah (Tiara Wacana, 2008),

1
 Pengantar Ilmu Sejarah (1995),
 Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991)
 Paradigma Islam (Mizan, 1991)
 Identitas Politik Umat Islam (Mizan Bandung, 1997).
 Radikalisasi Petani (Bentang Intervisi Utama, 1993),
 Pasar (Bentang Intervisi Utama, 1994),
 Dinamika Internal Umat Islam Indonesia (Lembaga Studi Informasi Pembangunan, 1993),
 Demokrasi & Budaya Birokrasi (Yayasan Bentang Budaya, 1994),
 Budaya & Masyarakat (Tiara Wacana Yogya, 1987),
 Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (Mizan Pustaka, 2002),
 Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 (dari disertasi, Matabangsa
&Yayasan Adikarya IKAPI &The Ford Foundation, 2002),

PENGERTIAN

Ilmu Sosil Profetik (biasa diisngkat ISP) ialah suatu jenis ilmu sosial baru yang digagas oleh
sejarawan Kuntowijoyo sebagai kritik dan sekaligus alternatif bagi pengembangan ilmu sosial ke
depan. Sebagai kritik, ISP menolak asumsi-asumsi dasar yang berlaku dalam ilmu sosial Barat
selama ini. Apa kritik Kunto terhadap ilmu sosial Barat tersebut
Ilmu sosial Barat sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme yang dipelopori oleh August
Comte (1798-1857), Bapak“sosiologi” modern yang percaya bahwa sumber dan ukuran-
ukuran kebenaran ilmu pengeahuan harus berpatokan pada ilmu alam (ilmu sosial positivistik)
yang memliki tiga karakteristik berikut. Pertama, prosedur-prosedur (metodologis) dalam ilmu
alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian ilmu sosial dapat
dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum umum seperti dalam ilmu alam. Ketiga, ilmu sosial
seperti halnya dengan ilmu alam, harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang
bersifat instrumental murni, netral dan ‘bebas nilai’ (value-free).
Pendek kata, semua proses-proses sosial (termasuk proses-proses sejarah) tidak lagi dianggap
sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tetapi sebagai suatu‘peristiwa alam” yang harus
tunduk mengikut pada hukum-hukum alam. Kuntowijoyo menolak asumsi dasar ilmu sosial klasi
yang disebutkan di atas dengan agrugumen sebagai berikut,
1. Secara epistemologis, ilmu sosial selama ini hanya mengandalkan sumber ilmu pengetahuan
pada kemampuan pikiran (rasional) manusia dalam membaca realitas (empirik) dari alam.
Dalam filsafat ilmu disebut aliran rasionalisme dan empirisisme. Menurut Kunto kedua itu saja
tidak cukup. Perlu ditambahkan “wahyu” juga sumber ilmu pengetahuan yang sahih. Jadi Ilmu
Sosial Profetik (ISP) berpendirian bahwa sumber pengetahuan manusia tidka hanya otak
(pikiran - rasio) dan peristiwa nyata (empepirisme) dalam pengalaman manusia, melainkan
juga wahyu. Pandangan KUnto ini bertentangan dengan paham positivisme ᄃ yang
memandang wahyu sebagai bagian dari mitos dan karena itu tidak masuk urusan ilmu
pengetahuan.
2. Paham psotovismedalam ilmu sosial mendewakan klaim (untutan) ‘ilmu bebas nilai’ dan ‘klaim
bahwa sumber pengetahuan hanya terbatas pada fakta-fakta yang terindera. Namun ISP tidak
hanya menolak klaim ‘bebas nilai’, melainkan sebaliknya mengharuskan ilmu sosial untuk
secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuan tertingginya. Ini berkaitan erat dengan utir
tiga berikut.

2
3. Bahwa tugas ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan bagaimana dan
mengapa gejala kehiduan manusia demikian adanya untuk tujuan-tujuan teknis-praktis atau
untuk kepentingan sekuler, melainkan harus atau untuk memperbaiki kehidupan di dunia.
Lebih dari itu ISP harus bertujuan untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Ilmu sosial (ISP)
harus mampu mentransformasikan tujuan ilmu pengetahuan menuju cita-cita yang bersifat
transedental, melampaui tujuan hidup sementara yang diidamkan masyarakat di tempat dan
amsa tertentu.
Dengan kata lain, ISP memberikan nilai terhadap tujuan ilmu pengetahuan, bukan sekedar
pemecahan masalah teknis peraktid melainkan harus mengubah kehidupan menjadi lebih
manusawi sesuai dengan nilai-nilai “profetik”. Apakah itu profetik? Dari segi bahasa, profetik
dapat dikatakan sifat yang menyerupai nabi atau bersifat kenabian atau cita-cita kemulyaan,
memulyakan manusia dna kemanusiaan berdasarkan cita-cita keagamaan di mana manusia
tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri di dunia ini, melainkan untuk mengabdi kepada
sesuatu yang maha tinggi: kenabian. Hal semacam ini tidak termasuk urusan dalam ilmu
prositivisme.
Jadi ISP adalah ilmu sosial yang menganut dan bermuatan pesan kenabian, yaitu ilmu yang
mendorong dan membawa transformasi yang mencerahkan kehidupan manusia melampuai
tujuan-tujuan teknis-ptektis saja.

TIGA PARADIGMA DASAR ILMU SOSIAL PROFETIK

 Menurut Kunto, ilmu sosial tidak boleh berhenti hanya pada usaha untuk menjelaskan atau
memahami realitas sosial dan kemudian memanfaatkannya untuk kepentingan sekuler. Ilmu
sosial seharusnya juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan
masyarakatnya. Karena itu harus ada ilmu sosial alternatif.
 Ilmu sosial yang dicita-citakan itu ialah ilmu sosial yang mengandung pesan-pesan ‘kenabian
(profetik), yaitu adanya cita-cita kemulyaan manusia yang ditransformasikan. Kunto
menyebutnya dengan “Ilmu Dosial Profetik” dengan pilar utamanya sebagai berikut,
 humanisasi, yaitu bahwa ‘subyek’ ilmu sosial adalah manusia dan bukan benda seperti ilmu
alam. Maka tugas ilmu sosial haruslah berpusat pada upaya memanusiakan manusia, bukan
sekedar menjelaskannya untuk kepentingan akademik dan praksis.
 liberasi, yakni pembebasan manusia dari cengkraman sistem yang diciptakan manusia itu
sendiri tanpa memandang ada kekuatan dan sistem di luar sana yang lebih tinggi, yang
mengatur alam smesta sesuai dengan semangat profetik;
 transendensi, yaitu bahwa ilmu sosial harus mampu melampaui cita-cita sekuler di dunia
‘sini’, tetapi menjadi hamba yang berbuat melampaui kepentingan hidup di dunia fana ini,
yakni menjadi hamba yang diridahi oleh Sang Pencipta untuk meraih kemenangan di dunia
‘sana’.
Atas dasar ini maka teori ilmu sosial menurtu Kunto (i) tidak mesti menghasikan hukum-hukum
universal sebagaimana klaim teori sosial positivistik, melainkan sangat kontekstual (ii) ilmu sosial
sebenarnya tidak boleh ‘bebas nilai’ melainkan haus ada keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu.
Klaim bebas nilai tak lebih dari sebentuk hipokrasi intelektual. Inilah gugatan-gugatan yang
dilontarkan Kunto lewat ilmu sosial profetik.

Bebera Penjelasan Lanjutan tentang Paradigma ISP


3
Pertama, konsep humanisasi dalam ISP bukanlah sekedar ‘memanusiakan manusia’, dengan
menghilangkan dimensi “kebendaan,” ketergantungan, kekerasan dan kebencian yang hidup
dalam diri manusia. Humanisasi meskipun juga merupakan bagian yang inheren dalam
semangat liberalisme Barat, tetapi tafsir sekuler tidak memadai lagi karena peradaban Barat
sejak semula lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, sementara konsep
humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris (profetik). Bagi Kunto,
humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang
menjadi dasarnya.
Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kuasa Gereja yang bersifat dogmatis dan
mencengkeram pada pola fikir Abad Pertengahan. Pandangan antroposentris sebagai antitesis
terhadap pandangan teosentrisme Abad Tengah meegasikan bahwa kehidupan manusia tidak
berpusat dan tidak tergantung pada Tuhan tatapi pada manusia itu sendiri. Paradigma yang
berpusat pada pemujaan manusia ini (antroposentris), meletakkan manusia sebagai tolok ukur
kebajikan, kebenaran dan keburukan. Jadi etrmasuk ukuran nilai moral. Pola fikir
antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, sehingga semuanya terpulang
kepada manusia. Tidak hanya itu, manusia pun, menurut pandangan ini, mampu bertindak
lebih jauh, sebagai penguasa bagi yang lain, termasuk alam semesta. Manusia mampu
menundukkan alam sebagai sebagai manifestasi sasaran nafsu kekuasaan manusia yang
semakin lama semakin tak terkendali.
Dengan rasio sebagai senjata pamungkasnya, peradaban antroposentris memulai sejarah
kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Di situ semangat modernisme dengan
pemujaan pada rasionalisme paa gilirannya menimbulkan kerusakan alam yang tak terperikan
terhadap alam dan manusia. “Cogito Ergo Sum,” demikian semboyan Descartes. Sejak itu
peradaban modern menciptakan perlombaan Iptek yang kian canggih untuk menaklukkan dan
mengeksploitasi alam tanpa batas. Karea filososofi atroposentrisme, manusia berlomba
menciptakan mesin-mesin perang terhadap manusia berupa senjata-senjata canggih
supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah masal dan kemudahan teknologi yang
berdampak buruk terhadap alam smesta, pemananasan global dan dampaik ikutannya. Alih-
alih humanisme antroposentris itu di satu pihak berhasil melakukan proses humanisasi
sebagian, tetapi di bagian lain terjadi proses dehumanisasi. Manusia dilingkupi perasaan tak
aman, cemas dan saling menyerang demi ego dan kuasanya.
Lewat ISP Kuntowijoyo lalu mengajukan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme
antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Dengan konsep ini, manusia
harus memusatkan diri pada Tuhan, mentransendensikan (mengatasi) tujuan-tujuan manusia
sntroposentrisme untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) yang lebih tinggi, yaitu demi
kebajikan manusia berdasarkan nilai-nilai kenabian (keagamaan). Tegasnya manusia hidup tidak
hanya untuk dunia “sini” melainkan juga untuk dunia “sana”.
Selaku demikian, maka perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur semata-mata
dengan rasionalitas tapi nilai-nilai transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat
sedang berada dalam tiga keadaan dehumanisasi yang akut (obyektivitas teknologi, ekonomi,
budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalisasi) dan loneliness (kesepian)
dengan menonjolkan watak privatisasi dan individualisasi).
Kedua, paradigma liberasi dalam ISP, boleh jadi, dapat disepedankan dengan prinsip sosialisme
(marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan), tetapi bukan dalam arti
ideologi sebagaimana komunisme dan sosialisme. Liberasi ISP diletakkan dalam konteks ilmu
pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang didasari nilai-nilai luhur transendental dan bukan
4
sekedar nilai-nilai antroposentrisme. Jika nilai-nilai liberatif dalam ‘teologi pembebasan’
dipahami dalam konteks ajaran teologis tertentu lebih merupakan gerakan ideologis, maka
nilai-nilai liberatif dalam ISP dipahami dan ditempatkan dalam konteks ilmu yang memiliki
tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari keterbelakangan, dari kekejaman
kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni
kesadaran palsu. Jika marxisme dengan semangat liberatifnya menolak hadirnya agama yang
dipandangnya sebagai ‘candu manusia’, agama bagi ISP justru menjadi sandaran yang lebih
tinggi dalam menopang semangat liberatifnya, yaitu bersandar pada nilai-nilai profetik
transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.
Dalam hal ini Kunto, bagaimanpun, memandang Islam sebagai agama ‘keselamatan’ bagi alam
smesta. Liberasi dalam pengertian Kunto harus hadir pada tataran realitas empiris, sehingga
liberasi sangat peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena
kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi.
Selaku demikian, liberasi dalam paradigma ISP menempatkan diri bukan pada lapangan
moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit.
Kuntowijoyo bahkan menganggap sikap menghindar dari yang konkrit menuju abstrak adalah
salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos. Contohnya menurut Kunto adalah sebagaimana
orang beragama tanpa amal. Hidup orang beragama yang kegiatannya hanya berdoa adalah
hidup tanpa logos dan hanya bersandar pada mitos. Cara beragama mitos ini adalah cara salah
yang dikritik Kunto dengan sangat argumentatif. Ini mengingatkan kita pada novel satire
Robohya Surau Kami karya A.A. Navis. Kuntowijoyo dalam hal ini menggariskan empat sasaran
liberasi, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang
membelenggu manusia, sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang
merdeka dan mulia.

Ketiga, paradigma transendensi dalam ISP merupakan dasar dari dua unsurnya yang
sebelumnya. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai
bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-
nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam ISP. Ekses-ekses negatif yang
ditimbulkan oleh Iptek yang berorientasi antroposentrisme, seperti dalam teori modernisasi
berlepas tangan terhadap dampak negatif dari Iptek itu sendiri.

Konsep transendensi menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi dan sekaligus memberi arah
kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam ISP
dengan demikian tidak hanya berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi,
juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan
untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada pengejaran nafsu
keserakahan manusia yang tanpa batas. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan
dibebaskan dari kesadaran materialistik—di mana posisi ekonomi seseorang menentukan
kesadarannya—menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur
kemajuan dan kemunduran manusia.

KESADARAN TRANSEDENTAL V.S REALITAS MATERIAL

Konsep kesadaran akan nilai-nilai profetik dalam ISP diletakkan sebagai patokan tertinggi dalam
kerangka pemikiran KunTO. Dengan kata lain, kesadaran transedental merupakan super-struktur
yang menentukan dan bukan sebaliknya seperti yang diyakini kaum Marxist, bahwa struktur
5
dasar (basis material) menentukan super struktur (kesadaran). Dalam kaitan dengan feminisme,
misalnya, yang percaya bahwa seks (jenis kelamin) menentukan kesadaran, tetapi melalui tesis
ISP Kunto membalikkan rumusan ini dengan meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis
material (structure). Artinya, kesadaranlah yang menentukan materi, kesadaranlah yang
menentukan kelamin seseorang. Kesadaran akan diri dan Tuhanlah yang menentukan
“keberadaan” hal lain di luar diri dan Tuhannya.
Dengan tesis ini, Kuntowijoyo yakin bahwa pandangan ini akan banyak pengaruhnya dalam
lapangan ilmu sosial dan humaniora di masa depan. Dia memberi contoh tentang gejala
kesadaran lingkungan global dan CSR di perusahaan-perusahaan dapat ditarik ke dalam aura ISP.

Lebih jauh diskusi tentang aksiologi dalam ISP membawa konsekuensi lebih jauh terhadap klaim
ilmu bebas nilai. ISP sebaliknya mengkalim tidak ada yang dikatakan dengan ‘bebas nilai’. Justru
kesadaran transendental itulah yang memberi nilai terhadap buha ilmu pengetahuan, termasuk
ilmu sosial. Karena terjebak dengan klaim positivisme, bahwa ilmu itu besas nilai, maka ilmu
sosial pada gilirannya hanya berusaha menjelaskan realitas (erklaren) secara apa adanya tanpa
melakukan pemihakan. Ini tidak mungkin. Dengan kedok tidak memihak, netral, bebas nilai,
teori-teori positivistik menutupi kemungkinan perubahan ke masa depan. Karena itu teori yang
mengklaim dirinya bebas nilai pada hakekatnya juga memihak, memihak kemapanan.

Hubungan pengetahuan dan kepentingan memberikan penjelasan kepada kita bahwa tidak ada
jenis pengetahuan yang lahir begitu saja tanpa dipengaruhi oleh unsur subyektif dan konteks
historis-sosiologis yang melatarbelakanginya. Apalagi ilmu sosial bertujuan memberikan
penjelasan terhadap realitas masyarakat beserta fenomena eksistensialnya. Kekeringan ilmu
sosial, khususnya di negara Dunia Ketiga, banyak disadari sebagai akibat miskinnya refleksi diri
ilmuwan sosial dalam melakukan kontekstualisasi pembacaan. Konsekuensinya jelas, ilmu sosial
kehilangan makna dan arah terhadap apa yang ditelitinya.

Bagaimanapun ilmu sosial, tidak bisa tidak, selalu berada dalam ruang interaksi antara setting
sosio-kultural masyarakat dengan aktor ilmuwan sosial yang memproduksi teori. Atau dengan
kata lain, bangunan ilmuan sosial tercetak dalam ruang yang dipenuhi tarik-ulur kepentingan
antara kesadaran, realitas sosial dan kekuasaan. Karl Marx, misalnya, melahirkan konsepsi
kesadaran kelasnya yang khas berdasarkan basis material dalam masyarakat Eropa pasca revolusi
industri yang melahirkan kelas buruh sebagai subordinat dari kelas pemilik alat-alat produksi,
yaitu kapitasli, kaum pemilik modal (kelas borjuis versus kelas buruh atau proletar).

PENUTUP

Dalam konteks Indonesia, upaya untuk membuat ilmuwan sosial yang berangkat dari akar tradisi
dan realitas historis masyarakat dapat kita lihat dalam pemikiran ISP Kuntowijoyo. Kefasihannya
dalam memetik dan meramu ayat-ayat agama dengan teori-teori sosial ditambah lagi dengan
analisis sejarah yang matang menjadikan Prof. Kuntowijoyo sebagai salah seorang dari sedikit
pemikir Indonesia yang mampu menelorkan teori ilmu sosial profetik ISP. Melalui ISP,
Kuntowijoyo telah menyumbangkan gagasan – meminjam istilah Dawam Rahardjo—“pribumisasi
ilmu-ilmu sosial” (indigenization of social sciences). Gagasan ini merupakan strategi counter idea
(gagasan tandingan) terhadap dominasi dan hegemoni ilmu sosial mainstream yang telah lama
“terperangkap” menjadi juru-bicara ilmu sosial Barat untuk Indonesia. Modus kerjanya mencoba
6
membongkar teori-teori yang mapan dan kemudian mencari sintesis yang kreatif, yang bercorak
lokal dengan rumusan live within dengan realitas konkret masyarakat Indonesia. ***

Anda mungkin juga menyukai