Anda di halaman 1dari 89

MAKALAH

KASUS LOG BOOK ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT

Oleh:
Annisa Permatasuhdan A
G99142076

Pembimbing
drg. Widia Susanti, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
DAFTAR ISI

I. Kelainan Genetik dan Kongenital


Anodontia ..........................................................................................................1
Impacted Teeth ..................................................................................................3
Malocclussion ...................................................................................................8
Sumbing pada Bibir dan Palatum ...................................................................12
Mikrognatia dan Makrognatia .........................................................................17
II. Fokus Infeksi
Debris ..............................................................................................................19
Calculus...........................................................................................................22
Plaque ..............................................................................................................26
Karies Gigi ......................................................................................................32
Pulpitis ............................................................................................................36
Periodontitis ....................................................................................................39
Gingivitis.........................................................................................................43
Kandidiasis Mulut ...........................................................................................45
Mouth Ulcer ....................................................................................................50
Glossitis...........................................................................................................59
Parotitis ...........................................................................................................62
III. Keganasan
Pertumbuhan non kanker ................................................................................64
Leukoplakia .....................................................................................................66
Oral Squamous Carcinoma .............................................................................69
IV. Sistem Kekebalan Rongga Mulut
Xerostamia ......................................................................................................75
Angina Ludwig ...............................................................................................78
DAFTAR PUSTAKA
I. KELAINAN GENETIK DAN KONGENITAL
ANODONTIA

A. Definisi
Anodontia adalah suatu keadaan di mana semua benih gigi tidak terbentuk
sama sekali, dan merupakan suatu kelainan yang sangat jarang terjadi
(Adulgopar, 2009). Anodontia dapat terjadi hanya pada periode gigi
tetap/permanen, walaupun semua gigi sulung terbentuk dalam jumlah yang
lengkap. Sedangkan bila yang tidak terbentuk hanya beberapa gigi saja,
keadaan tersebut disebut hypodontia atau oligodontia
B. Gambar

C. Etiologi
Tidak ada penyebab anodontia yang pasti. Ada beberapa peneliti yang
mengusulkan dugaan bahwa partial atau complete anodontia adalah akibat
evolusi yang akhirnya menghasilkan individu-individu yang tidak memiliki
gigi (Susanto, 2009).Anodontia dan hypodontia kadang ditemukan sebagai
bagian dari suatu sindroma, yaitu kelainan yang disertai dengan berbagai
gejala yang timbul secara bersamaan, misalnya pada sindroma Ectodermal
kelainan pada generasi keluarga sebelumnya, tapi bisa juga merupakan
kelainan yang diturunkan (Adulgopar, 2009).
D. Klasifikasi
1. Hipodontia adalah keadaan dimana pada rahang tidak tumbuh 1-6 gigi.
2. Oligodontia adalah keadaan dimana lebih dari 6 gigi tidak tumbuh.
3. Anodontia adalah keadaan dimana semua gigi tidak tumbuh, dan lebih
sering mengenai gigi-gigi tetap dibandingkan gigi-gigi sulung.

1
Anodontia diklasifikasikan lagi menjadi :
1. Anodontia total adalah keadaan dimana pada rahang tidak ada lagi gigi
susu maupun gigi tetap.
2. Anodontia parsial adalah keadaan dimana pada rahang terdapat satuatau
lebih gigi yang tidak tumbuh dan lebih sering terjadi pada gigi permanen
daripada gigi susu.
E. Pemeriksaan
Diagnosis anodontia dapat ditegakkan dengan pemeriksaan radiografik
panoramik untuk memastikan semua benih gigi memang benar-benar
tidakterbentuk.
F. Terapi
Tatalaksana penderita anodontia adalah dengan pemasangan gigi prostetik.

2
IMPACTED TEETH
A. Definisi
Impacted teeth atau impaksi gigi adalah keadaan dimana gigi tidak dapat
erupsi seluruhnya atau sebagian karena tertutup oleh tulang atau jaringan
lunak atau kedua-duanya. Menurut Grace, gigi impaksi adalah gigi yang
mempunyai waktu erupsi yang terlambat dan tidak menunjukkan tanda-tanda
untuk erupsi secara klinis dan radiografis. Menurut Londhe, gigi impaksi
adalah keadaan dimana terhambatnya erupsi gigi yang disebabkan karena
terhambatnya jalan erupsi gigi atau posisi ektopik dari gigi tersebut. Menurut
Sid Kirchheimer, gigi impaksi adalah gigi yang tidak dapat erupsi seluruhnya
atau sebagian karena tertutup oleh tulang, jaringan lunak atau kedua-duanya.
(Irfan, 2011).

Gambar 2.1. Foto Panoramic Impacted Teeth

B. Etiologi
Bishara meringkaskan penyebab gigi impaksi sebagai berikut:
1. Penyebab primer
- Tingkat kecepatan resorpsi akar gigi sulung
- Trauma pada benih gigi sulung
- Gangguan urutan erupsi gigi
- Kekurangan tempat pada lengkung rahang
- Benih gigi yang rotasi
- Penutupan akar gigi yang dini
- Erupsi kaninus rahang atas kea rah celah pada penderita palatoschisis

3
2. Penyebab sekunder
- Tekanan otot yang tidak normal
- Gangguan endokrin
- Defisiensi vitamin D
(Bishara, 1976)

C. Klasifikasi
Klasifikasi yang dicetuskan oleh George Winter ini cukup sederhana. Gigi
impaksi digolongkan berdasarkan posisi gigi molar ketiga terhadap gigi molar
kedua. Posisi-posisi tersebut meliputi :
1) Vertical
2) Horizontal
3) Inverted
4) Mesioangular (miring ke mesial)
5) Distoangular (miring ke distal)
6) Bukoangular (miring ke bukal)
7) Linguoangular (miring ke lingual)
8) Posisi tidak biasa lainnya yang disebut unusualposition

A B C
Gambar 2.2. A = Vertical Impaction, B = Soft Tissue Vertical Impaction,
C = Bony Vertical Impaction.

D E F

4
Gambar 2.3. D =Distal Impaction (distoangular), E = Mesial Impaction
(mesioangular), F = Horizontal Impaction.

Klasifikasi menurut Archer adalah


- Kelas I: Gigi berada di palatum dengan posisi horizontal, vertikal atau
semi vertikal.
- Kelas II: Gigi berada di bukal dengan posisi horizontal, vertikal atau semi
vertikal.
- Kelas III: Gigi dengan posisi melintang berada diantara dua gigi dengan
korona berada di palatinal dan akar di bukal atau sebaliknya korona di
bukal dan akar di palatinal sehingga disebut juga posisi intermediate.
- Kelas IV: Gigi berada vertikal di prosesus alveolaris diantara gigi insisivus
dua dan premolar.
- Kelas V: Kaninus impaksi berada di dalam tulang rahang yang edentulos.

Sedangkan klasifikasi menurut Yavuz dan Buyukkurt

Gambar 2.8. Klasifikasi berdasarkan kedalaman gigi impaksi

- Level A: Korona kaninus impaksi berada pada garis servikal dari gigi
tetangganya.
- Level B: Korona kaninus impaksi berada diantara garis servikal dan apikal
dari akar gigi tetangganya.
- Level C: Korona kaninus impaksi berada dibawah apikal dari akar gigi
tetangganya.

5
D. Diagnosis
Ada beberapa orang yang mengalami masalah dengan terjadinya gigi
impaksi. Dengan demikian mereka merasa kurang nyaman melakukan hal-hal
yang berhubungan dengan rongga mulut. Tanda-tanda umum dan gejala
terjadinya gigi impaksi adalah :
1. Inflamasi, yaitu pembengkakan disekitar rahang dan warna kemerahan
pada gusi disekitar gigi yang diduga impaksi.
2. Resorpsi gigi tetangga, karena letak benih gigi yang abnormal sehingga
meresorpsi gigi tetangga.
3. Kista (folikuler).
4. Rasa sakit atau perih disekitar gusi atau rahang dan sakit kepala yang lama
(neuralgia).
5. Fraktur rahang (patah tulang rahang).
Pada pemeriksaan ekstra oral yang menjadi perhatian adalah adanya
pembengkakan, pembesaran limfonodi (KGB), dan parastesi. Sedangkan pada
pemeriksaan intra oral yang menjadi perhatian adalah keadaan gigi erupsi
atau tidak, karies, perikoronitis, adanya parastesi, warna mukosa bukal, labial
dan gingival, adanya abses gingival, posisi gigi tetangga, hubungan dengan
gigi tetangga, ruang antara gigi dengan ramus (pada molar tiga mandibula).
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan radiografik.
Jenis radiografi yang dapat digunakan, antara lain:
1) Periapikal, tomografi panoramik (atau obliquelateral) dan CT scan untuk
gigi molar tiga rahang bawah.
2) Tomografi panoramik (atau obliquelateral, atau periapikal yang adekuat)
untuk gigi molar tiga rahang atas.
3) Parallaxfilm (dua periapikal atau satu periapikal dan satu film oklusal)
untuk gigi kaninus rahang atas.
(Obiechina, 2001).

6
E. Terapi
Secara umum sebaiknya gigi impaksi dicabut baik itu untuk gigi molar
tiga, caninus, premolar, incisivus. Pencabutan gigi yang impaksi dengan
pembedahan disebut odontektomi. Indikasi pencabutan gigi impaksi antara
lain untuk mencegah terjadinya patologi yang berasal dari folikel atau infeksi,
mencegah perluasan kerusakan oleh gigi impaksi, usia muda, adanya
penyimpangan panjang lengkung rahang dan membantu mempertahankan
stabilisasi hasil perawatan ortodonsi, dan untuk kepentingan prostetik dan
restoratif (Elih dan Salim, 2008).
Kontraindikasi pencabutan gigi impaksi pasien dengan usia sangat
ekstrim, terlalu muda atau lansia; compromised medical status; kerusakan
yang luas dan berdekatan dengan struktur yang lain; pasien tidak menghendaki
giginya dicabut; apabila tulang yang menutupi gigi yang impaksi sangat
termineralisasi dan padat; apabila kemampuan pasien untuk menghadapi
tindakan pembedahan terganggu oleh kondisi fisik atau mental tertentu (Elih
dan Salim, 2008).

7
MALOCCLUSSION

A. Definisi
Malocclussion (maloklusi) adalah bentuk oklusi yang menyimpang dari
bentuk standar yang diterima sebagai bentuk normal. Maloklusi juga berarti
kelainan ketika gigi-geligi atas dan bawah saling bertemu ketika menggigit
atau mengunyah. Maloklusi dapat berupa kondisi “bad bite” atau sebagai
kontak gigitan menyilang (crossbite), kontak gigitan yang dalam (overbite),
gigi berjejal (crowdeed), adanya ruang kosong antargigi (spacing) posisi gigi
maju ke depan (protusi) (Susanto, 2009).
B. Gambar

Gambar 7. A=Crossbite, B=Overbite, C=Crowded, D=Spacing, E=Protusi


C. Etiologi
Etiologi maloklusi dibagi atas dua golongan yaitu faktor luar atau faktor
umum dan faktor dalam atau faktor lokal. Hal yang termasuk faktor luar yaitu
herediter, kelainan kongenital, perkembangan atau pertumbuhan yang salah
pada masa prenatal dan posnatal, malnutrisi, kebiasaan jelek, sikap tubuh,
trauma, dan penyakit-penyakit dan keadaan metabolik yang menyebabkan

8
adanya predisposisi ke arah maloklusi seperti ketidakseimbangan kelenjar
endokrin, gangguan metabolis, penyakit-penyakit infeksi(Susanto, 2009).
Hal yang termasuk faktor dalam adalah anomali jumlah gigi seperti adanya
gigi berlebihan (dens supernumeralis) atau tidak adanya gigi (anodontis),
anomali ukuran gigi, anomali bentuk gigi, frenulum labii yang abnormal,
kehilangan dini gigi desidui, persistensi gigi desidui, jalan erupsi abnormal,
ankylosis dan karies gigi(Susanto, 2009).
D. Klasifikasi
Menurut Angle, maloklusi digolongkan dalam 3 jenis, yaitu:
1) Maloklusi tipe dental, terjadi jika perkembangan rahang atas dan rahang
bawah terhadap tulang kepala normal, tapi gigi-giginya mengalami
penyimpangan.
2) Maloklusi tipe skeletal, terjadi karena hubungan rahang atas dan rahang
bawah terhadap tulang kepala tidak harmonis, karena ada gangguan
pertumbuhan dan perkembangan rahang.
3) Maloklusi fungsional, terjadi karena adanya kelainan otot-otot, sehingga
timbul gangguan saat dipakai untuk mengunyah.
Edward Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam 3 kelas, antara lain:
1) Kelas I Angle
a) Tonjol Mesiobukal M1 atas beroklusi dengan cekung bukal M1 bawah
b) Neutroklusi
2) Kelas II Angle
a) Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih kemesial dari posisi kelas 1
b) Telah melewati puncak tonjol mesiobukal M1 bawah
c) Gigi M1 bawah lebih ke distal: Distoklusi
d) Dibagi dalam 2 divisi, yaitu :

9
Tabel 1. Pembagian Divisi Kelas II Angle

3) Kelas III Angle


a) Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih Ke distal dari posisi klas 1
b) Telah melewati puncak tonjol distobukal M1 bawah
c) Gigi M1 bawah lebih ke mesial: Mesioklusi

Gambar 8. Klasifikasi Maloklusi menurut Angel


(Gallois, 2006)
E. Diagnosis
Tanda yang dapat ditemukan pada pasien maloklusi yaitu: kelengkungan
gigi yang abnormal, tampilan wajah yang terlihat ganjil, kesulitan atau merasa
tidak nyaman ketika menggigit dan mengunyah makanan, susah berbicara/

10
pengucapan yang ganjil, dan bernafas lewat mulut karena bibir yang sulit
menutup(Gallois, 2006).
Biasanya kelainan oklusi ditemukan saat pemeriksaan rutin gigi. Dokter
gigi akan mengecek seberapa keadaan oklusi dari gigi atas dan bawah. Bila
ditemukan kelainan, akan dirujuk kepada ahli orthodonti untuk mendiagnosis
dan menatalaksana. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
radiografik gigi, kepala, dan wajah (Gallois, 2006).
F. Terapi
Alat cekat gigi, lazim disebut kawat gigi, dapat digunakan untuk
mengoreksi posisi gigi. Jangka waktu penggunaan alat cekat bervariasi, dari 6
bulan sampai 2 tahun, tergantung pada keparahan kasus. Pembedahan
dilakukan pada kasus yang jarang, terutama untuk memperbaiki posisi rahang,
proses ini disebut bedah orthognatik (Ruslin, 2011).
Penting untuk menjaga kebersihan gigi dan rongga mulut setiap hari serta
kontrol rutin ke dokter gigi. Plaque dapat terakumulasi pada alat cekat
sehingga meninggalkan tanda permanen di gigi dan pada akhirnya
menyebabkan kerusakan gigi bila tidak ditangani. Setelah posisi gigi
terkoreksi, alat cekat digantikan retainer untuk mempertahankanposisi gigi
yang baru(Ruslin, 2011).
Komplikasi yang dapat timbul dari penggunaan alat cekat adalah
kerusakan gigi, ketidaknyamanan saat perawatan, iritasi mulut dan gusi karena
alat cekat, dan susah menelan atau berbicara selama penggunaan alat cekat
(Ruslin, 2011).

11
SUMBING PADA BIBIR DAN PALATUM

A. Definisi
Bibir sumbing (labial cleft) adalah kelainan berupa celah pada bibir atas
yang didapatkan seseorang sejak lahir. Bila celah berada pada bagian langit-
langit rongga mulut (palate), maka kelainan ini disebut cleft palate. Pada cleft
palate, celah akan menghubungkan langit-langit rongga mulut dengan rongga
hidung (Naidich, 2003).
Ada tiga jenis kelainan cleft, yaitu:
1. Cleft lip tanpa disertai cleft palate,
2. Cleft palate tanpa disertai cleft lip, dan
3. Cleft lip disertai dengan cleft palate.
Sekitar separuh dari semua kasus cleft melibatkan bibir atas dan langit-
langit sekaligus. Celah dapat hanya terjadi pada satu sisi (unilateral) atau pada
kedua sisi (bilateral) bibir. Cleft lip dan cleft palate terbentuk saat bayi masih
dalam kandungan (CCA, 2009).
B. Etiologi
Secara garis besar, penyebab labial dan palatal cleft dibagi menjadi dua,
genetik dan lingkungan. Resiko seorang anak terkena labial dan palatal cleft
sekitar 4% jika salah satu orang tua atau salah satu saudara juga menderita
labial dan palatal cleft. Namun resiko ini meningkat menjadi 17% apabila
keduanya (salah satu orang tua dan salah satu saudara) terkena. Peningkatan
risiko tersebut mengindikasikan adanya faktor genetik sebagai salah satu
komponen etiologi (CCA, 2009).
Faktor lingkungan di dalam kandungan juga berperan penting pada
kejadian labial dan palatal cleft. Defisiensi suplemen gizi maupun paparan zat
teratogenik dapat meningkatkan kejadian labial dan palatal cleft.
Suplementasi gizi dengan vitamin B6 dan asam folat selama trimester pertama
kehamilan terbukti menurunkan resiko terjadinya rekurensi pada wanita yang
sebelumnya melahirkan anak dengan labial dan palatal cleft. Teratogen yang
dihubungkan dengan kejadian ini termasuk kortison, antikonvulsan seperti

12
fenitoin, salisilat, aminopterin, organik solvents, alkohol, merokok, diabetes
melitus maternal, rubela, dan usia dari orang tua. Merokok selama kehamilan
merupakan faktor resiko yang paling jelas pada kejadian labial dan palatal
cleft. Merokok dapat menyebabkan polimorfisme gen TGF-alfa yang
kemudian dapat meningkatkan resiko kejadian palatal cleft. Secara statistik,
ditemukan peningkatan signifikan dari laktat dehidrogenase dan kreatin
fosfokinase pada cairan amnion fetus dengan labial/palatal cleft (CCA, 2009).
C. Patogenesis
Proses terbentuknya kelainan ini sudah dimulai sejak minggu-minggu awal
kehamilan ibu. Saat usia kehamilan ibu mencapai 6 minggu, bibir atas dan
langit-langit rongga mulut bayi dalam kandungan akan mulai terbentuk dari
jaringan yang berada di kedua sisi dari lidah dan akan bersatu di tengah-
tengah. Bila jaringan-jaringan ini gagal bersatu, maka akan terbentuk celah
pada bibir atas atau langitlangit rongga mulut.
Sebenarnya penyebab jaringan-jaringan tersebut tidak menyatu dengan
baik belum diketahui dengan pasti. Namun, faktor penyebab yang
diperkirakan adalah kombinasi antara faktor genetik dan faktor lingkungan
seperti obat-obatan, penyakit atau infeksi yang diderita ibu saat mengandung,
konsumsi minuman beralkohol atau merokok saat masa kehamilan. Resiko
terkena akan semakin tinggi pada anak-anak yang memiliki saudara kandung
atau orang tua yang juga menderita kelainan ini, dan dapat diturunkan baik
lewat ayah maupun ibu. Cleft lip dan cleft palate juga dapat merupakan bagian
dari sindroma penyakit tertentu. Kekurangan asam folat juga dapat memicu
terjadinya kelainan ini.
D. Klasifikasi
Klasifikasi celah bibir veau:
1. Kelas I: terdapat takik unilateral pada tepi merah bibir dan meluas sampai
bibir
2. Kelas II: Bila takik pada merah bibir sudah meluas ke bibir, tetapi tidak
mengenai dasar hidung

13
3. Kelas III: Sumbing unilateral pada merah bibir yang meluas melalui bibir
ke dasar hidung.
4. Kelas IV: Setiap sumbing bilateral pada bibir yang menunjukkan takik tak
sempurna atau merupakan sumbing yang sempurna
Klasifikasi celah langit-langit veau:
1) Kelas I: celah palatum lunak sampai ke uvula
2) Kelas II: celah palatum lunak dan keras di belakang foramen incisivum
3) Kelas III: celah palatum lunak dan keras yang mengenai alveolus dan bibir
pada satu sisi
4) Kelas IV: celah palatum lunak dan keras yang mengenai alveolus dan bibir
pada kedua sisi
E. Diagnosis
Tanda yang paling jelas adalah adanya celah pada bibir atas atau langit-
langit rongga mulut. Bayi dengan cleftlip dapat mengalami kesulitan saat
menghisap ASI karena sulitnya melakukan gerakan menghisap. Besarnya cleft
bukan indikator seberapa serius gangguan dalam berbicara, bahkan cleft yang
kecil pun dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara. Anak dapat
memperbaiki kesulitannya dalam berbicara setelah menjalani terapi bicara,
walaupun kadang tindakan operasi tetap diperlukan untuk memperbaiki fungsi
langit-langit rongga mulut (Naidich, 2003).
Anak dengan cleft kadang memiliki gangguan dalam pendengaran. Hal ini
disebabkan oleh kemungkinan adanya infeksi yang mengenai tuba Eustachia
(saluran yang menghubungkan telinga dengan rongga mulut). Semua telinga
anak normal memproduksi cairan telinga yang kental dan lengket. Cairan ini
dapat menumpuk di belakang gendang telinga. Adanya cleft dapat
meningkatkan kemungkinan terbentuknya cairan telinga ini, sehingga
menyebabkan gangguan atau bahkan kehilangan pendengaran sementara.
Biasanya cleftpalate dapat mempengaruhi pertumbuhan rahang anak dan
proses tumbuh kembang dari gigi-geliginya. Susunan gigi-geligi dapat
menjadi berjejal karena kurang berkembangnya rahang (Naidich, 2003).

14
F. Terapi
Tindakan bedah plastik dilakukan pada bayi kondisi baik. Pembedahan
biasanya dilakukan ketika anak berumur sekitar 3 bulan.Tujuan operasi plastik
ini adalah:
1) Memulihkan struktur anatomi.
2) Mengoreksi cacat.
3) Menormalkan fungsi menelan, napas, bicara.
(Budiono, 2011)

Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh “tim labio-


palatoschizis” yang terdiri dari spesialistik bedah maksilofasial, terapis bicara
dan bahasa, dokter gigi, ortodonsi, psikolog, dan perawat spesialis.
Ada tiga tahap penanganan bibir sumbing:
1) Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh
bayi menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari
keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia yang memadai. Patokan
yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10
pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10
minggu, jika bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasihat yang
harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang terjadi
tidak bertambah parah misalnya memberi minum harus dengan dot khusus
dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan
jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi
tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak
cukup.
2) Pada tahapan operasi yang diperhatikan adalah kesiapan tubuh si bayi
menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang
ahli bedah. Usiaoptimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah
usia 3 bulan. Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai
pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia
tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau

15
dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna.
Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 – 20 bulan
mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah.
Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan
tindakan speechtheraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau
pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara
yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada
posisi yang salah. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya
menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat
usia 8 – 9 tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi.
3) Pada tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap-tiap
jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan
memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir
sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan
sendok atau dot khusus untuk memberikan minum bayi.
Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika usia sudah
melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk
keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi
bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak
sempurna, tindakan speechteraphy pun tidak banyak bermanfaat. Adapun
operasi yang bisa dilakukan untuk kasus labiopalatoschizis adalah:
a. Chieloraphy/ labioplasti : 3 bulan
b. Palatoraphy : 10-12 bulan
c. Speech Theraphy : 4 tahun
d. Pharyngoplasty : 5-6 tahun
e. Perawatan Orthodontis : 8-9 tahun
f. Alveolar Bone Graft : 9-10 tahun
g. Le Fort I Osteotomy :17-18 tahun
(CCA, 2009).

16
MICROGNATIA DAN MACROGNATIA
Micrognatia
A. Definisi
Micrognatia merupakan istilah untuk menyebut rahang yang lebih kecil
dari ukuran normal. Dalam kasus ini baik maksila maupun mandibula dapat
terkena. Biasanya ditemukan bersamaan dengan microglossi (lidah kecil). Jika
micrognathia, microglossi dan celah pada pallatum molle terjadi bersamaan
disebut Sindroma Pierre Robin. Secara garis besar, micrognathia dibagi
menjadi: (1) Apparentmicrognathia; (2) Truemicrognathia (Patel, 2009).

Gambar 5.1. Micrognatia


B. Etiologi
Penyebab micrognatia dapat terjadi secara kongenital dan acquired
(didapat). Micrognatia kongenital diduga berasal dari genetik yang disebabkan
kelainan kromosom dan kerusakan genetik, dijumpai pada penderita sindroma
Pierre Robin, Treacher Collins, cat cry, Down, Turner, dan progeria.
Micrognatia acquired disebabkan trauma atau infeksi yang menimbulkan
gangguan pada sendi rahang, dijumpai pada penderita ankilosis yang terjadi
pada masa anak-anak (Morokumo, 2010).
C. Klasifikasi
a. Micrognatia sejati (true micrognathia)
Adalah keadaan dimana rahang cukup kecil yang terjadi akibat hipoplasia
rahang.
b. Micrognatia palsu (false micrognathia)

17
Adalah keadaan micrognatia jika terlihat posisi pada salah satu rahang
terletak lebih ke posterior atau hubungan abnormal maksila dan
mandibula.

Macrognatia
A. Definisi
Istilah macrognatia mengarah pada kondisi di mana ukuran rahang lebih
dari normal. Macrognathia juga disebut dengan megagnitia. Macrognathia
mengalami gambaran klinis yaitu dagu berkembang lebih besar. Sebagian
besar macrognatia tidak menyebabkan terjadinya maloklusi (Patel, 2009).

Gambar 5.2 Macrognotia


B. Etiologi
Etiologi macrognatia berhubungan dengan perkembangan protuberantia
yang berlebih, dapat bersifat kongenital dan dapat pula bersifat didapat
melalui penyakit. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan macrognatia
adalah gigantisme pituitary, paget’s disease, dan akromegali. Pertumbuhan
berlebihan ini akibat pelepasan hormon pertumbuhan berlebihan yang
disebabkan oleh tumor hipofisa jinak (adenoma). Penderita biasanya
menunjukkan hipertiroidisme, lemah otot, parestesi, pada tulang muka dan
rahang terlihat perubahan orofasial seperti penonjolan tulang frontal, hipertrofi
tulang hidung, dan pertumbuhan berlebih tulang rahang (mandibula) yang
dapat menyebabkan rahang menonjol (prognatisme) (Morokumo, 2010).

18
II. FOKUS INFEKSI

DEBRIS
A. Definisi
Secara umum, oral debris adalah lapisan lunak yang terdapat di atas
permukaan gigi yang terdiri atas mucin, bakteri dan sisa makanan yang putih
kehijau-hijauan dan jingga. Namun, debris lebih banyak mengandung sisa
makanan.
Debris dibedakan menjadi food retention (sisa makanan yang mudah
dibersihkan dengan air liur, pergerakan otot-otot mulut, berkumur, atau
dengan menyikat gigi) dan food impaction (makanan yang terselip dan
tertekan di antara gigi dan gusu, biasanya hanya dapat dibersihkan dengan
dental floss / benang gigi atau tusuk gigi) (Toothclub, 2011).

Gambar 6.1. Oral Debris

B. Kriteria Perhitungan Debris Index (DI)


Debris Index (DI) adalah skor dari endapan lunak yang terjadi karena
adanya sisa makanan yang melekat pada gigi penentu. Gigi penentu tersebut
adalah:

19
Rahang atas:
a. Gigi 6 kanan kiri permukaan bukal
b. Gigi 1 kanan permukaan lingual
Rahang bawah:
a. Gigi 6 kanan kiri permukaan lingual
b. Gigi 1 kiri permukaan labial

Tabel 6.1.Kriteria pemeriksaan Debris Index (DI) menurut Depkes RI 1999

No Kriteria Nilai
1 Pada permukaan gigi yang terlihat, tidak ada debris lunak 0
dan tidak ada pewarnaan ekstrinsik
2 a. Pada permukaan gigi yang terlihat, ada debris lunak 1
yang menutupi permukaan gigi seluas < 1/3 permukaan
b. Pada permukaan gigi yang terlihat, tidak ada debris
lunak, akan tetapi ada pewarnaan ektsrinsik yang
menutupi permukaan gigi sebagian atau seluruhnya
3 Pada permukaan gigi yang terlihat, ada debris lunak yang 2
menutupi permukaan tersebut, seluas > 1/3 gigi tetapi < 2/3
permukaan gigi
4 Pada pemukaan gigi yang terlihat, ada debris yang menutupi 3
permukaan tersebut seluas > 2/3 permukaan atau seluruh
permukaan gigi

20
Gambar 6.2.Debris Index

Menghitung debris Indeks (DI)


DI= __Jumlah nilai debris___
jumlah gigi yang diperiksa
Kriteria DI adalah sebagai berikut :
1) 0,0-0,6 = Baik
2) 0,7-1,8 = Sedang
3) 1,9-3,0 = Buruk
(Nurhayani, 2004)

C. Terapi dan Pencegahan


Penatalaksaan dan pencegahan debris yakni menjaga kebersihan gigi. Ada
berbagai alat untuk membersihkan gigi. Alat yang utama yaitu sikat gigi. Alat
bantu pembersih gigi selain sikat gigi adalah benang gigi (dental floss). Dental
floss merupakan benang yang terbuat dari silk atau nilon dan dipergunakan
untuk membersihkan bagian gigi yang terletak di bawah kontak dua gigi
(Nurhayani, 2004).

21
CALCULUS
A. Definisi
Calculus adalah material keras dari garam inorganik yang terdiri dari
kalsium karbonat dan fosfat yang bercampur dengan debris, mikroorganisme,
dan sel epitel yang telah terdeskuamasi. Lapisan kerak yang terbentuk adalah
hasil mineralisasi plak gigi dan, melekat erat mengelilingi mahkota dan akar
gigi. Selain pada permukaan gigi, kalkulus juga terdapat pada gigi tiruan dan
restorasi gigi dan hanya bisa hilang dengan tindakan skeling (Lelyati, 1996).
Nama lain dari calculus adalah karang gigi. Tidak ada komposisi tetap dari
calculus gigi karena calculus dipengaruhi oleh berbagai faktor lokal seperti :
1) Konsentrasi kalsium dan fosfat
2) Jumlah relatif dari masing-masing ion pembentuk calculus
3) pH
4) Adanya jenis ion pembentuk lain seperti magnesium

Gambar 7.1. Calculus

B. Etiologi dan Patogenesis


Bakteri aktif penyebab karang gigi yaitu streptococcus dan anaerob yang
mengubah glukosa dan karbohidrat pada makanan menjadi asam. Kombinasi
bakteri, asam, sisa makanan dan air liur dalam mulut membentuk suatu
subtansi berwarna kekuningan yang melekat pada permukaan gigi yang
disebut plaque.Karang gigi (calculus) adalah plaque yang telah mengalami
pengerasan, kalsifikasi atau remineralisasi (Susanto, 2009).
Calculus terbentuk dari dental plak yang mengeras pada gigi dan menetap
dalam waktu yang lama. Dental plak merupakan tempat ideal bagi
mikroorganisme mulut, karena terlindung dari pembersihan alami oleh lidah

22
maupun saliva. Akumulasi plak juga dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi
gusi yaitu gingivitis. Jika akumulasi plak terlalu berat, maka dapat
menyebabkan periodontis. Maka plak, sering disebut juga sebagai penyebab
primer penyakit periodontis. Sementara, calculus pada gigi membuat dental
plak melekat pada gigi atau gusi yang sulit dilepaskan hingga dapat memicu
pertumbuhan plak selanjutnya. Karena itu calculus disebut juga sebagai
penyebab sekunder periodontis. Calculus dapat terbentuk di atas gusi atau
supragingival, atau pada sulcus, yaitu saluran antara gusi dan gigi. Ketika
terjadi plak supragingival, maka bakteri yang terkandung di dalamnya hampir
semuanya merupakan bakteri aerobik, atau bakteri yang dapat hidup di
lingkungan penuh oksigen. Plak subgingival, terutama terdiri dari bakteri
anaerobik, yaitu bakteri yang tidak dapat hidup pada lingkungan yang
mengandung oksigen. Bakteri anaerobik inilah yang berbahaya bagi gusi dan
jaringan yang menempel pada gigi, yang menimbulkan periodontis. Pada
umumnya, orang yang mengalami periodontis memiliki deposit calculus
subgingival (Leylati, 1996).
Penurunan aliran air liur adalah salah satu hal yang mempercepat
pembentukan karang gigi, terutamajika penyikatan gigi tidak optimal. Air liur
sangat berperan untuk self-cleaning, dengan adanya air liur, sisa makanan dan
plaque yang terdapat di permukaan gigi akan terbilas secara mekanis namun
hanya efektif pada daerah 2/3 mahkota gigi dan tidak pada daerah leher gigi.
Oleh karena itu karang gigi paling banyak terbentuk di daerah leher gigi yaitu
daerah mahkota gigi yang berbatasan dengan gusi, yang terlihat sebagai garis
kekuningan atau kecoklatan (Mozharta, 2010).
C. Pemeriksaan
Kriteria perhitungan Calculus Index (CI) sebagai berikut:
1) Nilai 0, jika tidak terdapat calculus
2) Nilai 1, jika terdapat calculus supraginggiva pada sepertiga permukaan
gigi.

23
3) Nilai 2, jika terdapat calculus supraginggiva lebih dari sepertiga tetapi
tidak lebih dari dua pertiga permukaan gigi atau terdapat titik calculus
subginggiva pada cervical gigi.
4) Nilai 3, jika terdapat kalkulus supraginggiva lebih dari dua pertiga
permukaan gigi atau terdapat calculus subginggiva disepanjang cervical
gigi.
Menghitung CalculusIndeks (CI)
CI= Jumlah nilai calculus
jumlah gigi yang diperiksa

Kriteria CI adalah sebagai berikut:


1) 0,0-0,6 = Baik
2) 0,7-1,8 = Sedang
3) 1,9-3,0 = Buruk

Skor indeks oral higiene individu diperoleh dengan menjumlahkan nilai


indeks debris (DI-S) dan indeks kalkulus (CI-S), dengan interval OHI-S:
1) Sangat baik = 0;
2) Baik = 0,1-1,2;
3) Sedang = 1,3-3,0;
4) Buruk = 3,1-6,0.
(Findya, 2010)
D. Terapi
Untuk menghilangkan dental plaque dan calculus perlu dilakukan scaling
atau rootplaning, yang merupakan terapi periodontal konvensional atau non-
surgikal. Terapi ini selain mencegah inflamasi juga membantu periodontium
bebas dari penyakit. Prosedur scaling menghilangkan plaque, calculus, dan
noda dari permukaan gigi maupun akarnya. Prosedur lain adalah rootplaning,
terapi khusus yang menghilangkan cementum dan permukaan dentin yang
ditumbuhi calculus, mikroorganisme, serta racun-racunnya. Scalling dan root
planning digolongkan sebagai deep cleaning, dan dilakukan dengan peralatan

24
khusus seperti alat ultrasonik, seperti periodontal scaler dan kuret (Findya,
2010).

25
PLAQUE

A. Definisi
Plaque gigi adalah suatu lapisan yang terdiri atas kumpulan
mikroorganisme yang berkembang biak dan melekat erat pada permukaan gigi
yang tidak dibersihkan (Pintauli, 2008).
Plaque gigi adalah lapisan lunak atau keras yang terdiri dari kumpulan
mikroorganisme yang berkembang biak diatas suatu matriks yang terbentuk
dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan dan sukar
dilihat. Ada tiga komposisi plaque dental yaitu :
1) Mikroorganisme
2) Matriks interseluler yang terdiri dari komponen organik dan anorganik
3) Protein
(Rifki, 2010).

Gambar 8.1. Plaque

B. Etiologi
Plaque merupakan kumpulan dari koloni bakteri dan mikroorganisme
lainnya yang bercampur dengan produk-produknya, sel-sel mati dan sisa
makanan. Metabolisme anaerob menghasilkan asam yang menyebabkan:
1) Demineralisasi permukaan gigi
2) Iritasi gusi di sekitar gigi menyebabkan ginggivitis (merah, bengkak, gusi
berdarah)
3) Plaque gigi dapat termineralisasi dan membentuk calculus.

26
C. Patofisologi
Proses pembentukan plak dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu
pembentukan pelikel, kolonisasi awal pada permukaan gigi serta kolonisasi
sekunder dan pematangan plak. Pembentukan pelikel pada dasarnya
merupakan proses perlekatan protein dan glikoprotein saliva pada permukaan
gigi. Pelikel tersebut berasal dari saliva dan cairan sulkular. Pada fase awal
permukaan gigi atau restorasi akan dibalut oleh pelikel glikoprotein.
Kolonisasi awal pada pemukaan gigi di permukaan enamel dalam 3-4 jam
didominasi oleh mikroorganisme fakultatif gram positif, seperti Streptokokus
sanguins, Streptokokus mutans, Streptokokus mitis, Streptokokus salivarius,
Actinomyces viscosus dan Actinomyces naeslundii.Pengkoloni awal tersebut
melekat ke pelikel dengan bantuan adhesion, yaitu : molekul spesifik yang
berada pada permukaan bakteri.
Pada tahap kolonisasi sekunder dan pematangan plak, plak akan
meningkat jumlahnya setelah kolonisasi awal permukaan gigi melalui dua
mekanisme terpisah, yaitu multiplikasi dari bakteri yang telah melekat pada
permukaan gigi dan multiplikasi serta perlekatan lanjut bakteri yang ada
dengan bakteri baru.
D. Komposisi Plaque
Komposisi utama plaque dental adalah mikroorganisme. Satu gram plaque
(berat basah) mengandung sekitar 2 x 10∞ bakteri. Diperkirakan lebih dari
325 spesies bakteri dijumpai di dalam plaque. Mikroorganisme non-bakteri
yang dijumpai dalam plaque adalah spesies Mycoplasma, ragi, protozoa dan
virus. Mikroorganisme tersebut terdapat diantara matriks interseluler yang
juga mengandung sedikit sel jaringan seperti sel-sel epitel, makrofag, dan
leukosit (Walton dan Torabinejad, 1998).
Matriks interseluler plaque mengandung 20% – 30% massa plaque, terdiri
dari bahan organik dan anorganik yang berasal dari saliva, cairan sulkular, dan
produk bakteri. Bahan organiknya mencakup polisakarida, protein,
glikoprotein, dan lemak. Glikoprotein saliva adalah komponen penting dari
pelikel yang pertama-tama membalut permukaan gigi yang tadinya bersih,

27
disamping terlibat dalam pembentukan biofilm plaque. Polisakarida yang
diproduksi oleh bakteri terdiri dari dekstran (paling dominan) dan albumin
(diduga berasal dari cairan sulkular). Bahan lemaknya terdiri dari debris
membrane bakteri yang hancur dan sel-sel pejamu, serta kemungkinan pula
debris makanan (Walton dan Torabinejad, 1998).
Komponen anorganik plaque yang paling utama adalah kalsium dan
posfor, sejumlah kecil mineral lain seperti natrium,kalium,dan fuor. Sumber
bahan anorganik plaque supragingival adalah saliva. Sebaliknya komponen
anorganik plaque subgingival berasal dari cairan sulkular yang merupakan
transudat (Walton dan Torabinejad, 1998).
E. Mekanisme Pembentukan Plaque
Penumpukan plaque sudah dapat terlihat dalam 1-2 hari setelah seseorang
tidak melakukan prosedur hygiene oral. Plaque tampak sebagai massa
globular berwarna putih, keabu-abuan atau kuning. Gesekan jaringan dan
bahan makanan terhadap permukaan gigi akan membersihkan permukaan gigi,
namun pembersihan yang demikian hanya efektif pada dua pertiga koronal
permukaan gigi. Dengan demikian plaque umumnya dijumpai pada sepertiga
gingival permukaan gigi, karena pada daerah tersebut tidak terganggu oleh
gesekan makanan maupun jaringan. Penumpukan plaque lebih sering terjadi
pada retakan, pit dan fissure pada permukaan gigi dan sekitar gigi yang
erupsinya tidak teratur (Widyanti, 2005).
Lokasi dan laju pembentukan plaque adalah bervariasi diantara individu.
Faktor yang mempengaruhi laju pembentukan plaque adalah hygiene oral,
serta faktor-faktor pejamu seperti diet dan komposisi serta laju aliran saliva
(Widyanti, 2005). Proses pembentukan plaque dapat dibagi atas tiga tahap
(Widyanti, 2005):
1. Pembentukan Pelikel Dental
Pembentukan pelikel dental pada permukaan gigi merupakan fase awal
dari pembentukan plaque. Pada tahap awal ini permukaan gigi atau
restorasi (cekat maupun lepasan) akan dibalut oleh pelikel glikoprotein.

28
Pelikel tersebut berasal dari saliva dan cairan sulkular, begitu juga dari
produk sel bakteri, pejamu dan debris.
2. Kolonisasi Awal Pada Permukaan Gigi
Dalam waktu beberapa jam bakteri akan dijumpai pada pelikel dental.
Bakteri yang pertama-tama mengkoloni permukaan gigi yang dibalut
pelikel adalah didominasi oleh mikroorganisme mikroorganisme fakultatif
gram positif, seperti Actinomyces Viscosus dan Streptokokus Sanguis.
Pengkoloni awal tersebut melekat ke pelikel dengan bantuan adhesin, yaitu
molekul spesifik yang berada pada permukaan bakteri. Adhesin akan
berinteraksi dengan reseptor pada pelikel dental.
Massa plaque kemudian mengalami pematangan bersamaan dengan
pertumbuhan bakteri yang telah melekat, maupun kolonisasi dan
pertumbuhan spesies lainnya. Dalam perkembangannya terjadi perubahan
ekologis pada biofilm, yaitu peralihan dari lingkungan awal yang aerob
dengan spesies bakteri fakultatif gram positif menjadi lingkungan yang
sangat miskin oksigen. Dimana yang dominan adalah mikroorganisme
anaerob gram negatif.
3. Kolonisasi Sekunder dan Pematangan Plaque
Pengkoloni sekunder adalah mikroorganisme yang tidak turut sebagai
pengkoloni awal ke permukaan gigi yang bersih, diantaranya Prevotella
intermedia, Prevotella Loescheii, Spesies Capnocytophaga,
Fusobacterium Nucleatum, dan Porphyromonas Gingivalis.
Mikroorganisme tersebut melekat ke sel bakteri yang telah berada
dalam massa plaque. Proses perlekatannya adalah berupa interaksi
stereokhemikal yang sangat spesifik dari molekul-molekul protein dan
karbohidrat yang berada pada permukaan sel bakteri, dan interaksi yang
kurang spesifik yang berasal dari tekanan hidrofobik, tekanan
elektrostatik, dan tekanan van der waals.
Interaksi yang menimbulkan perlekatan bakteri pengkoloni sekunder
ke bakteri pengkoloni awal dinamakan koagregasi. Koagregasi pengkoloni
sekunder ke pengkoloni awal terjadi antara Fusobacterium Nucleatum

29
dengan Streptokokus Sanguis, Provotella Loescheii dengan
ActinomycesViscosus, dan Capnocytophaga Ochracea dengan
Actinomyces Viscosus. Pada stadium akhir pembentukan plaque, yang
dominan adalah koagregasi diantara spesies gram negatif, misalnya
koagregasi Fusobacterium Nucleatum dengan Porphyromonas Gingivalis
(Daliemunthe, 2008).
F. Indeks Plaque
Index plaque adalah metode pengukuran luasnya keberadaan plaque
(Harty, 1995). Indeks plaque dikeluarkan oleh Loe dan Silness pada tahun
1964. Indeks ini diindikasikan untuk mengukur skor plaque berdasarkan
lokasi dan kuantitas plaque yang berada dekat margin gingiva.
Menurut Debnath (2002), indeks ini dapat dikeluarkan dengan
menggunakan larutan pewarna yang dioleskan ke seluruh permukaan gigi dan
kemudian diperiksa. Setiap gigi diperiksa empat permukaan yaitu permukaan
yaitu permukaan mesial, distal, lingual dan palatinal. Kemudian skornya
dihitung. Cara pemberian skor untuk indeks plaque:
0 = tidak ada plaque pada gingival
1 = dijumpai lapisan tipis plaque yang melekat pada margin gingiva
di daerah yang berbatasan dengan gigi tetangga
2 = dijumpai tumpukan sedang plaque pada saku gingiva dan pada
margin gingiva dan atau pada permukaan gigi tetangga yang dapat dilihat
langsung
3 = terdapat deposit lunak yang banyak pada saku gingiva dan atau
pada margin dan permukaan gigi tetangga.

Cara penghitungan skor:


Untuk satu gigi = jumlah seluruh skor dari empat permukaan
4
Untuk keseluruhan gigi = jumlah skor indeks plaque
jumlah gigi yang ada

30
Penilaian secara umum tentang indeks plaque (Pintauli,2008):
1) Berkisar 0 – 1 dikategorikan baik
2) Berkisar 1,1 – 2 dikategorikan sedang
3) Berkisar 2,1 – 3 dikategorikan buruk
G. Diagnosis
Plaque gigi hanya dapat dilihat dengan pewarnaan pada gigi. Perwarna
yang digunakan juga khusus dikenal dengan nama disclosing agent.Bahan
pewarna (disclosing material) yang biasa digunakan adalah iodine,
mercurochrome, bahan pewarna makanan seperti gincu kue berwarna merah
dan bismarck brown. Ada juga larutan fuschin dan eritrosin, tapi tidak
dianjurkan lagi karena terbukti bersifat karsinogenik (Anggraeni, 2007).
Bahan pewarna ada yang berbentuk cairan dan tablet. Untuk bahan
pewarna cairan, cairan pewarna diteteskan beberapa tetes ke kapas yang
dibulatkan, lalu dioleskan pada seluruh permukaan gigi, kemudian kumur
dengan air atau cairan pewarna dibiarkan di dalam mulut selama 15-30 detik
baru dibuang. Sedangkan penggunaan bahan pewarna tablet, tablet dikunyah
dan kemudian biarkan bercampur dengan saliva dan biarkan saliva di dalam
mulut sekitar 30 detik baru dibuang (Anggraeni, 2007)
H. Terapi
Cara terbaik untuk menghilangkan plaque adalah dengan menyikat gigi
(terutama di malam hari dan pagi hari), dengan pembersihan interdental oleh
benang gigi, tusuk gigi atau sikat antar gigi. Lebih ideal jika menggunakan
bantuan disclosingagent untuk melihat apakah penyikatan gigi yang dilakukan
sudah benar-benar sempurna. Gigi yang terbebas dari plaque ditandai dengan
tidak adanya pewarnaan oleh disclosing pada gigi. Selain itu perabaan dengan
lidah mengidentifikasikan dalam bentuk gigi terasa kesat,bukan licin. Jika
masih terasa licin maka masih terdapat plaque(Anggraeni, 2007).

31
KARIES GIGI (DENTAL DECAY)
A. Definisi
Dental decay atau karies berasal dari bahasa latin yaitu caries yang artinya
kebusukan. Karies gigi adalah suatu proses kronis regresif yang dimulai
dengan larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan
antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam
mikrobial dari substrat sehingga timbul destruksi komponen-komponen
organik yang akhirnya terjadi kavitas (Anonim, 2010).

Gambar 9.1.Dental decay


B. Etiologi
Karies gigi disebabkan oleh 4 faktor/komponen yang saling berinteraksi
yaitu:
1. Komponen dari gigi dan air ludah (saliva) yang meliputi: komposisi gigi,
morfologi gigi, posisi gigi, pH saliva, kuantitas saliva, kekentalan saliva.
2. Komponen mikroorganisme yang ada dalam mulut yang mampu
menghasilkan asam melalui peragian yaitu: Streptococcus, Lactobasillus.
3. Komponen makanan, yang sangat berperan adalah makanan yang
mengandung karbohidrat misalnya sukrosa dan glukosa yang dapat
diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asam.
4. Komponen waktu: kemampuan saliva untuk meremineralisasi selama
proses karies, menandakan bahwa roses tersebut terdiri atas periode
perusakan dan perbaikan yang silih berganti, sehingga bila saliva berada
dalam lingkungan gigi, maka karies tidak akan menghancurkan gigi dalam
hitungan hari atau minggu, melainkan dalam hitungan bulan. (Kidd, 1992).

32
C. Stadium
- Karies superfisialis, dimana karies baru mengenai email saja, sedang
dentin belum terkena.
- Karies media, dimana karies sudah mengenai dentin, tapi belum mengenai
setengah dentin.
- Karies profunda, dimana karies sudah mengenai lebih dari setengah dentin
dan kadang-kadang mengenai pulpa (Anonim, 2010).
D. Patofisiologi
Enamel adalah jaringan keras yang kaya akan mineral. Karies dapat terjadi
pada enamel melalui proses kimiawi yaitu lingkungan asam yang diproduksi
oleh bakteri. Gula akan dicerna oleh bakteri dan energy yang dihasilkan akan
dipakai bakteri untuk memproduksi asam laktat. Asam laktat akan
menyebabkan demineralisasi kristal hidroksiapatit pembentuk enamel. Karies
enamel yang tidak ditangani dapat berkembang menjadi karies dentin
(Tarigan, 2010).
Dentin terdiri dari saluran-saluran mikroskopis (tubula dentin) yang
menghubungkan pulpa dengan enamel. Bentukan tubula dentin inilah yang
menyebabkan karies dentin berkembang lebih cepat. Ketika ada infeksi
bakteri, dentin menghasilkan immunoglobulin sebagai mekanisme pertahanan.
Sementara itu juga terjadi peningkatan mineralisasi di dentin.Kedua keadaan
ini menyebabkan konstriksi tubula dentin sehingga penyebaran bakteri
terhalang. Bila demineralisasi terus berlangsung, karies dapat berkembang ke
profunda dan mencapai rongga pulpa (Tarigan, 2010).
E. Klasifikasi
Karies gigi bisa diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan kedalamannya.
1. Karies berdasarkan lokasi permukaan kunyah dapat dibagi :
a. Karies oklusal
b. Karies labial
c. Karies bukal
d. Karies palatal/lingual
e. Karies aproksimal

33
f. Karies kombinasi (mengenai semua permukaan)
2. Pembagian lain dari karies berdasarkan lokasi:
a. Karies yang ditemukan di permukaan halus
Ada tiga macam karies permukaan halus:
1) Karies proksimal adalah tipe yang paling sulit dideteksi; tidak
dapat dideteksi secara visual atau manual dengan sebuah explorer
gigi; memerlukan pemeriksaan radiografi.
2) Karies akar adalah tipe karies yang sering terjadi; terbentuk ketika
permukaan akar telah terbuka karena resesi gusi. Bila gusi sehat,
karies ini tidak akan berkembang karena tidak dapat terpapar oleh
plaque bakteri. Permukaan akar lebih rentan terkena proses
demineralisasi daripada enamel atau email karena sementumnya
demineralisasi pada pH 6.7, di mana lebih tinggi dari enamel. Gigi
geraham atas adalah lokasi tersering dari karies akar.
3) Karies celah atau fisura.
b. Karies berdasarkan kedalamannya
1) Karies superficial, karies yang hanya mengenai email.
2) Karies media, mengenai email dan telah mencapai setengah dentin
3) Karies profunda, mengenai lebih dari setengah dentin dan bahkan
menembus pulpa.(Tarigan, 2010).
F. Diagnosis
1. Karies dini/karies email tanpa cavitas yaitu karies yang pertama terlihat
secara klinis, berupa bercak putih setempat pada email.
Anamnesis : terdapat bintik putih pada gigi
Pemeriksaan Objektif : ekstra oral tidak ada kelainan
Intra oral : kavitas (-) , lesi putih (+)
Terapi : pembersihan gigi, diulas dengan flour edukasi
pasien/ Dental Health Education
2. Karies dini/karies email dengan kavitas yaitu karies yang terjadi pada
email sebagai lanjutan dari karies dini.
Anamnesa : gigi terasa ngilu

34
Pemeriksaan objektif : ekstra oral tidak ada kelainan
Intra oral : kavitas (+) baru mengenai email
Terapi : dengan penambalan
3. Karies dengan dentin terbuka/dentin hipersensitif yaitu peningkatan
sensitivitas akibat terbukanya dentin.
Anamnesa : kadang-kadang terasa ngilu saat makan, minum air
dingin, rasa ngilu hilang setelah rangsangan
dihilangkan, tidak ada rasa sakit spontan
Pemeriksaan objektif : ekstra oral tidak ada kelainan
Intra oral : kavitas mengenai email
Terapi : dengan penambalan. (Tarigan, 2010).
G. Terapi
Penataksanaan karies gigi ditentukan oleh stadium saat karies terdeteksi:
1) Penambalan (filling) dilakukan untuk mencegah progresi karies lebih
lanjut. Penambalan biasa yang dilakukan pada karies yang ditemukan pada
saat iritasi atau hiperemia pulpa.
2) Perawatan saluran akar (PSA) atau rootcanaltreatment dilakukan bila
sudah terjadi pulpitis atau karies sudah mencapai pulpa, kemudian
dilakukan restorasi.
3) Ektraksi gigi merupakan pilihan terakhir dalam penatalaksanaan karies
gigi, ekstraksi yang telah diekstraksi perlu diganti dengan pemasangan gigi
palsu (denture), implant atau jembatan (brigde). (Tarigan, 2010).
Pencegahan karies gigi:
1) Menjaga kebersihan mulut dengan baik dengan menggosok gigi dengan
benar dan teratur, flossing, obat kumur, memeriksakan gigi 2 kali setahun.
2) Diet rendah karbohidrat
3) Fluoride melalui pasta gigi, mouthwash, suplemen, air minum, gel
fluoride.
4) Penggunaan pit andfissuresealant (dentalsealant).

35
PULPITIS
A. Definisi
Pulpitis adalah peradangan pada pulpa gigi yang menimbulkan rasa nyeri.
Pulpa terdiri dari pembuluh darah dan jaringan saraf, sehingga peradangan
pulpa akan menimbulkan hiperemia / peningkatan aliran darah ke gigi
(Medicastore, 2012).

Gambar 10.1. Pulpitis


B. Etiologi
Penyebab pulpitis dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pembusukan gigi, trauma gigi, pengeboran gigi selama proses perawatan
gigi.
2. Paparan cairan yang men-demineralisasi gigi, pemutih gigi, asam pada
makanan dan minuman.
3. Infeksi, baik yang menyerang ruang pulpa maupun infeksi yang berasal
dari abses gigi.
(Medicastore, 2012).
C. Klasifikasi
1. Pulpitis reversible adalah radang pulpa ringan sampai sedang akibat
rangsang, dapat sembuh bila penyebab pulpitis telah dihapus dan gigi
diperbaiki. Obat-obatan tertentu dapat digunakan selama prosedur
restorative dalam upaya untuk mempertahankan gigi tetap vital (hidup).

36
2. Pulpitis irreversibel dicirikan oleh kepekaan yang berkepanjangan
terhadap dingin atau panas. Radang pulpa yang ringan atau telah
berlangsung lama ditandai nyeri spontan/dirasakan terus menerus. Terjadi
kerusakan saraf sehingga membutuhkan perawatan saluran akar.
(Medicastore, 2012).
D. Diagnosis dan Terapi
1. Pulpitis reversibel/hiperemi pulpitis/ pulpitis awal yaitu peradangan pulpa
awal sampai sedang akibat rangsangan.
a. Anamnesis:
1) Biasanya nyeri bila minum panas, dingin, asam dan asin
2) Nyeri tajam singkat tidak spontan, tidak terus menerus
3) Rasa nyeri lama hilangnya setelah rangsangan dihilangkan
b. Pemeriksaan Objektif:
1) Ekstra oral: tidak ada pembengkakan.
2) Intra oral: perkusi tidak sakit, karies mengenai dentin/karies
profunda, pulpa belum terbuka, sondase (+), chloretil (+)
c. Terapi: dengan penambalan/pulpcafing dengan penambalan Ca(OH) ±
1 minggu untuk membentuk dentin sekunder.
2. Pulpitis irreversibel yaitu radang pulpa ringan yang baru dapat juga yang
sudah berlangsung lama. Pulpitis irreversibel terbagi :
a. Pulpitis irreversibel akut yaitu peradangan pulpa lama atau baru
ditandai dengan rasa nyeri akut yang hebat.
1) Anamnesis: nyeri tajam spontan yang berlangsung terus-menerus
menjalar kebelakang telinga dan penderita tidak dapat
menunjukkan gigi yang sakit.
2) Pemeriksaan Objektif
 Ekstra oral: tidak ada kelainan
 Intra oral: kavitas terlihat dalam dan tertutup sisa makanan,
pulpa terbuka bisa juga tidak, sondase (+), Chlorethil (+),
perkusi bisa (+) bisa (-).

37
3) Terapi : menghilangkan rasa sakit dan dengan Perawatan Saluran
Akar (PSA)
b. Pulpitis irreversibel kronis yaitu peradangan pulpa yang berlangsung
lama.
1) Anamnesis: gigi sebelumnya pernah sakit, rasa sakit dapat hilang
timbul secara spontan, nyeri tajam menyengat(bila ada rangsangan
seperti panas, dingin, asam, manis), penderita masih bisa
menunjukkan gigi yang sakit.
2) Pemeriksaan Objektif
Ekstra oral: tidak ada pembengkakan
Intra oral: karies profunda (bisa mencapai pulpa bisa tidak),
sondase (+), perkusi (-)
3. Nekrosis pulpa adalah matinya pulpa, dapat sebagian atau seluruhnya,
tergantung pada seluruh atau sebagian yang terlibat.
a) Anamnesis: nyeri spontan atau tidak ada keluhan nyeri tapi pernah
nyeri spontan, bau mulut, gigi berubah warna, lesi radiolusen yang
berukuran kecil hingga besar disekitar apeks dari salah satu atau
beberapa gigi, tergantung pada kelompok gigi.
b) Pemeriksaan Objektif:
1) Gigi berubah warna, menjadi abu-abu kehitam-hitaman
2) Sondase (-), Perkusi (-), dan Palpasi (-)
3) Terdapat lubang gigi yang dalam
c) Terapi : perawatan saluran akar dan restorasi. Bila apkes gigi lebar/
terbuka dilakukan perawatan apeksifikasi. Setelah preparasi selesai,
saluran akar diisi dengan Ca(OH)2 sampai 1-2 mm dari ujung akar dan
ditumpat tetap. Evaluasi secara berkala 3-6 bulan sampai terjadi
penutupan apeks (dengan menggunakan pemeriksaan radiografik).
(Medicastore, 2012).

38
PERIODONTITIS
A. Definisi
Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan penyangga gigi
yang melibatkan gingival, ligament periodontal, sementum, dan tulang
alveolar. Periodontitis dapat berkembang dari gingivitis (peradangan atau
infeksi pada gusi) yang tidak dirawat. Infeksi akan meluas dari gusi ke arah
tulang di bawah gigi sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih luas pada
jaringan periodontal (Orstavik, 2007).
B. Etiologi
Penyebab utama periodontitis adalah plak. Plak gigi adalah suatu lapisan
lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak dan
melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Selain plak gigi
sebagai penyebab utama periodontitis, ada beberapa faktor yang menjadi
faktor resiko periodontitis. Faktor ini bisa berada di dalam mulut atau lebih
sebagai faktor sistemik terhadap host. Secara umum faktor resiko penyakit
periodontal adalah oral hygiene yang buruk, penyaki sistemik, umur, jenis
kelamin, taraf pendidikan dan penghasilan (Orstavik, 2007).
Periodontitis dimulai dengan gingivitis. Gingivitis yang tidak dirawat akan
menyebabkan kerusakan tulang pendukung gigi atau disebut periodontitis.
Sejalan dengan waktu, bakteri dalam plak gigi akan menyebar dan
berkembang kemudian toksin yang dihasilkan bakteri akan mengiritasi gingiva
sehingga merusak jaringan pendukungnya. Gingiva menjadi tidak melekat lagi
pada gigi dan membentuk saku (poket periodontal) yang akan bertambah
dalam sehingga makin banyak tulang dan jaringan pendukung yang rusak.
Poket periodontal digolongkan dalam 2 tipe, didasarkan pada hubungan
antara epitelium junction dengan tulang alveolar.
 Poket periodontal suprabony yaitu dasar poket merupakan bagian koronal
dari puncak tulang alveolar.
 Poket periodontal infrabony yaitu dasar poket merupakan bagian apikal
dari puncak tulang alveolar (Orstavik, 2007).

39
Gambar 11.1. Perbedaan Gigi Sehat dan Periodontitis
B. Diagnosis
Pasien bisa saja datang tidak dengan keluhan sakit gigi atau gejala lainnya,
namun melalui anamnesis dan pemeriksaan gigi, tanda-tanda periodontitis
yang perlu diperhatikan adalah:
1. Gusi berdarah saat menggosok gigi,
2. Gusi berwarna merah, bengkak dan lunak,
3. Terlihat adanya bagian gusi yang turun dan menjauhi gigi,
4. Terdapat nanah diantara gigi dan gusi,
5. Gigi goyang.
Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan periodontal probing, yaitu teknik
yang digunakan untuk mengukur kedalaman pocket periodontal (kantong yang
terbentuk di antara gusi dan gigi). Kedalaman pocket ini dapat menjadi salah
satu petunjuk seberapa jauh kerusakan yang terjadi. Sebagai tambahan,
pemeriksaan radiografik (x-rays) juga perlu dilakukan untuk melihat tingkat
keparahan kerusakan tulang (Orstavik, 2007).
C. Terapi
Perawatan periodontitis dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu:
 Fase I : fase terapi inisial, merupakan fase dengan cara menghilangkan
beberapa faktor etiologi yang mungkin terjadi tanpa melakukan tindakan
bedah periodontal atau melakukan perawatan restoratif dan prostetik.
Berikut ini adalah beberapa prosedur yang dilakukan pada fase I :

40
1. Memberi pendidikan pada pasien tentang kontrol plak.
2. Scaling dan root planing
3. Perawatan karies dan lesi endodontik
4. Menghilangkan restorasi gigi yang over kontur dan over hanging
5. Penyesuaian oklusal (occlusal ajustment)
6. Splinting temporer pada gigi yang goyah
7. Perawatan ortodontik
8. Analisis diet dan evaluasinya
9. Reevaluasi status periodontal setelah perawatan tersebut diatas
 Fase II : fase terapi korektif, termasuk koreksi terhadap deformitas
anatomikal seperti poket periodontal, kehilangan gigi dan disharmoni
oklusi yang berkembang sebagai suatu hasil dari penyakit sebelumnya dan
menjadi faktor predisposisi atau rekurensi dari penyakit periodontal.
Berikut ini adalah bebertapa prosedur yang dilakukun pada fase ini:
1. Bedah periodontal, untuk mengeliminasi poket dengan cara antara lain:
kuretase gingiva, gingivektomi, prosedur bedah flap periodontal,
rekonturing tulang (bedah tulang) dan prosedur regenerasi periodontal
(bone and tissue graft).
2. Penyesuaian oklusi
3. Pembuatan restorasi tetap dan alat prostetik yang ideal untuk gigi yang
hilang.
 Fase III: fase terapi pemeliharaan, dilakukan untuk mencegah terjadinya
kekambuhan pada penyakit periodontal. Berikut ini adalah beberapa
prosedur yang dilakukan pada fase ini:
1. Riwayat medis dan riwayat gigi pasien.
2. Reevalusi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan mencatat skor
plak,ada tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket dan mobilitas gigi.
3. Melakukan radiografi untuk mengetahui perkembangan periodontal dan
tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali.
4. Scalling dan polishing tiap 6 bulan seksli, tergantung dari efektivitas
kontrol plak pasien dan pada kecenderungan pembentukan calculus.

41
5. Aplikasi tablet fluoride secara topikal untuk mencegah karies (Orstavik,
2007)

42
GINGIVITIS
A. Definisi
Gingivitis adalah sebuah inflamasi dari gusi yang disebabkan oleh
akumulasi plaque dan bakteri. Gingivitis adalah suatu kelainan berupa
peradangan pada gusi. Gingivitis adalah suatu bentuk dari penyakit
periodontal. Penyakit periodontal terjadi ketika inflamasi dan infeksi
menghancurkan jaringan yang menghancurkan gigi, termasuk gusi, ligamen
periodontal, soket gigi (tulang alveolar). Gingivitis disebabkan efek jangka
panjang dari penumpukan plaque (RSMK, 2011).
Karakteristik ginggiva yang sehat adalah warnanya merah muda, bagian
tepi ginggiva tipis dan tidak bengkak, permukaan ginggiva tidak rata tapi
stippled, sulkus ginggiva tidak dalam (< 2 mm, jika lebih disebut poket), tidak
ada eksudat, tidak mudah berdarah, konsistensi kenyal. Sedangkan pada
ginggivitis warnanya merah keunguan, bagian tepinya bengkak, ada eksudat,
mudah berdarah, konsistensinya empuk/lunak (Salmiah, 2009).

Gambar 12.1 Gingivitis


B. Etiologi dan Patogenesis
Gingivitis dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya kebersihan mulut
yang buruk dan penumpukan karang gigi (kalkulus/tartar).Sisa-sisa makanan
yang tidak dibersihkan secara seksama menjadi tempat pertumbuhan bakteri.
Dengan meningkatnya kandungan mineral dari air liur, plaque akan mengeras
menjadi karang gigi (kalkulus). Karang gigi dapat terletak di leher gigi dan
terlihat oleh mata sebagai garis kekuningan atau kecoklatan yang keras dan
tidak dapat dihilangkan hanya dengan menyikat gigi. Kalkulus juga dapat
terbentuk di bagian dalam gusi (saku gusi/poket). Kalkulus adalah tempat

43
pertumbuhan yang baik bagi bakteri, dan dapat menyebabkan radang gusi
sehingga gusi mudah berdarah (Salmiah, 2009).

C. Gejala
1. Mulut kering
2. Pembengkakan pada gusi
3. Warna merah menyala atau merah ungu pada gusi
4. Gusi terlihat mengkilat
5. Perdarahan pada gusi
6. Gusi lunak pada saat di sentuk tapi tanpa rasa sakit.
(RSMK, 2011).
D. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Gusi yang meradang tampak merah, membengkak dan mudah berdarah
(Medicastore, 2012).
E. Terapi
Kondisi yang menyebabkan dan memperburuk gingivitis harus diatasi.
Plaque dibersihkan dan kebersihan mulut diperbaiki. Pasien diedukasi untuk
melakukan sikat gigi minimal dua kali sehari, pada pagi hari setelah sarapan
dan malam hari sebelum tidur. Selain itu, flossing dilakukan sekali dalam
sehari untuk membersihkan plaque dan sisa makanan di celah gigi. Bila
terdapat kalkulus, dapat dilakukan pembersihan / skeling. Antibiotik diberikan
bila ada indikasi. Penyakit sistemik yang mendasari gingivitis juga harus
diatasi. Penanganan gingivitis yang sama berlaku pada ibu hamil. Pada pasien
leukemia, perdarahan gusi dapat dikurangi dengan menggunakan bantalan
busa sebagai ganti sikat gigi (RSMK, 2011).

44
KANDIDIASIS MULUT

A. Definisi
Candidiasis mulut merupakan infeksi pada rongga mulut berupa lesi merah
dan lesi putih yang disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan dari jamur
Candida terutama Candida albicans (Anonim, 2011). Candida merupakan
organisme komensal normal yang banyak ditemukan dalam rongga mulut dan
membran mukosa vagina. Dalam rongga mulut, Candida albicans dapat
melekat pada mukosa labial, mukosa bukal, dorsum lidah, dan daerah palatum.
Candidiasis oral dapat menyerang semua usia baik usia muda, usia tua dan
pada penderita defisiensi imun seperti AIDS. Pada pasien HIV/AIDS,
Candida albicans ditemukan paling banyak yaitu sebesar 95% (Magdalena,
2009; Sufiawati dan Rahmayanti, 2011).

Gambar 13.1. Gambaran klinis bentuk primer candidiasis oral:


candidiasis pseudomembranous akut (atas), candidiasis eritematous akut
(bawah)

45
B. Etiologi
1. Faktor Lokal
a. Perubahan epitel pada barier mukosa oral seperti atrofi, hiperplasi atau
displasia
b. Kondisi saliva: penurunan kualitas dan kuantitas saliva (misal pada
pasien dengan DM, kemoterapi, dan radioterapi), perubahan pH saliva.
c. Penurunan sistem fagosit di pertahanan mukosa (misal pada pasien
dengan AIDS dan candidiasis mukokutaneus kronik
d. Morfogenesis mikroorganisme: bentuk hifa lebih invasif dan patogenik
terhadap host.
2. Faktor Sistemik
a. Individu yang imunokompromis: DM, HIV, leukemia, limfoma
b. Individu dengan gangguan nutrisi: defisiensi besi, defisiensi vitamin
3. Faktor Iatrogenik
a. Terapi antibiotik
b. Terapi kortikosteroid
c. Radioterapi dan kemoterapi
d. Merokok
(Scully, 2010).
C. Klasifikasi
Bentuk Primer Candidiasis Oral
1. Candidiasis Pseudomembranous akut
- Keluhan pasien: rasa terbakar di mulut.
- Pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis: plak mukosa yang putih,
difus, bergumpal atau seperti beludru, terdiri dari sel epitel deskuamasi,
fibrin, dan hifa jamur, dapat dihapus meninggalkan permukaan merah
dan kasar.
- Dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak.
- Diderita oleh pasien dengan sistem imun rendah, seperti HIV/AIDS,
pada pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid, dan menerima
kemoterapi.

46
2. Candidiasis Eritematous akut
Bentuk candidiasis eritematous akut ini sering terjadi pada pemberian
antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan penurunan populasi bakteri
dalam mulut sehingga terjadi pertumbuhan berlebihan spesies Candida.
Jenis infeksi ini dapat terjadi pada mukosa buccal, namun paling sering
timbul sebagai lesi kemerahan di dorsum lidah dan juga palatum.
Candidiasis eritematous akut adalah satu-satunya bentuk candidiasis oral
yang menimbulkan nyeri terus-menerus. Resolusi spontan dapat terjadi
dengan menghentikan pemberian antibiotik spektrum luas.
3. Candidiasis Eritematous kronik
Candidiasis eritematous dapat terjadi secara kronik. Lesi termasuk lesi
atrofik yang sering dikaitkan dengan keilitis angular dan denture
stomatitis. Candidiasis eritematous kronik sering terjadi pada individu
dengan HIV positif dan pasien AIDS.
4. Candidiasis Hiperplastik kronik
Candidiasis hiperplastik kronik (kadang disebut sebagai candidal
leukoplakia) dapat timbul pada semua permukaan mukosa mulut baik
sebagai lesi homogen atau lesi putih noduler. Tidak seperti lesi candidiasis
pseudomembranous, lesi candidiasis hiperplastik kronik tidak dapat
dihilangkan dengan kerokan halus. Lesi paling sering muncul bilateral
pada regio komisura mukosal buccal dengan prevalensi paling tinggi pada
laki-laki setengah baya yang merokok. Hal yang penting diketahui dari
bentuk infeksi ini adalah hubungannya dengan perubahan ke arah
keganasan. Secara in vitro, sel ragi terbukti dapat menghasilkan nitrosamin
karsinogenik, N-nitrosobenzylmethylamine dari molekul prekursor.

Bentuk Sekunder
1. Keilitis Angular
Keilitis angular adalah kondisi di mana lesi timbul pada sudut mulut
dan secara mikrobiologis sampel lesi menunjukkan adanya C.albicans,
sering bersama dengan bakteri S.aureus. Peranan Candida pada bentuk ini

47
masih belum jelas, namun penting diperhatikan bahwa keilitis angular
sering terjadi pada pasien dengan candidiasis oral di mana jumlah spesies
Candida meningkat.
2. Median Rhomboid Glossitis
Median rhomboid glossitis merupakan kondisi kronik yang muncul
sebagai lesi berbentuk kristal di posterior midline dorsum lidah.
Didapatkan jumlah spesies Candida yang tinggi dari lesi tersebut. Kondisi
ini sering dikaitkan dengan individu yang sering menggunakan steroid
inhaler atau individu yang merokok.
(Williams, 2011)
D. Diagnosis
Berdasarkan hasil anamnesa dapat diperoleh informasi mengenai keadaan
rongga mulut yang dialami pasien. Keluhan yang bisa terjadi pada candidiasis
oral seperti adanya rasa tidak nyaman, rasa terbakar, rasa sakit, dan pedih pada
rongga mulut. Pemeriksaan klinis dilakukan dengan melihat gambaran klinis
lesi yang terdapat pada rongga mulut. Ditemukannya oval yeast form
merupakan dasar untuk menegakkan infeksi candida. Manifestasinya
berbentuk papul putih menyebar dan plak yang bila dirobek akan berdarah. Di
samping itu, pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan sitologi eksfoliatif,
kultur swab, uji saliva, dan biopsi sangat diperlukan dalam mendukung
diagnosa candidiasis oral (Sufiawati dan Rahmayanti, 2011).
E. Terapi
Pengobatan farmakologis kandidiasis oral dikelompokkan dalam tiga kelas
agen antifungal yaitu: polyenes, azoles, dan echinocandins. Antifungal
Polyenes mencakup Amphotericin B dan Nystatin. Amphotericin B dihasilkan
oleh Streptomyces nodosus dan memiliki aktivitas antijamur yang luas. Di
samping keuntungannya, antifungal ini dapat menimbulkan efek nefrotoksik.
Obat antifungal lain yang sekarang banyak digunakan adalah Nystatin. Azoles
dibagi dalam dua kelompok yaitu imidazoles dan triazoles. Azoles akan
menghambat ergosterol yang merupakan unsur utama sel membran jamur
sedangkan Caspofungin termasuk golongan antifungal echinocandins yang

48
digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi jamur Kandida dan spesies
aspergillus (Andryani, 2010).
Obat anti jamur dapat diberikan secara topikal maupun sistemik, dengan
syarat pemakaiannya harus sesuai dengan tipe kandidiasis yang akan dirawat.
Obat - obat anti jamur yang dapat diberikan secara topikal berupa:
clotrimazolelozenge, nystatinpastiles, dan nystatin suspensi oral, sedangkan
obat anti jamur yang dapat diberikan secara sistemik yaitu: ketoconazole
tablet, itraconazole tablet, fluconazole tablet. Hal yang sangat penting
dilakukan oleh pasien adalah menjaga kebersihan rongga mulut, sehingga
kandida albikans yang merupakan mikroorganisme komensal dan flora normal
di rongga mulut tidak berubah menjadi agen infeksius opportunistik penyebab
kandidiasis oral. Pasien juga harus menghindari faktor-faktor predisposisi
yang dapat menimbulkan kandidiasis (Andryani, 2010).

49
MOUTH ULCER

A. Definisi
Mouth ulcer adalah menghilangnya atau adanya erosi pada bagian
membran mukosa rongga mulut (pipi atau bibir sebelah dalam, lidah dan
bawah lidah, gusi, langit-langit). Gambaran sariawan itu sendiri berupa suatu
luka yang terdapat pada selaput lendir atau mukosa rongga mulut (pipi atau
bibir sebelah dalam, lidah dan bawah lidah, gusi, langit-langit) yang terkadang
dapat dilapisi dengan suatu lapisan putih (Scully, 2003).
Terdapat 3 jenis mouth ulcer: minor, mayor, dan herpetiform. Tipe minor
itu adalah yang sering kita jumpa sehari-hari, bisa satu atau multiple
berukuran kurang dari 1 cm dan luka tidak terlalu dalam. Tipe mayor luka
lebih besar dan lebih dalam (biasanya pada keganasan, kasus gizi buruk).
Bentuk herpetiform berupa gelembung-gelembung bergerombol seperti buah
anggur (biasanya pada infeksi herpes simplek virus) (Scully, 2003).

A B

50
C
Gambar 14.1 A = Minor ulcer, B = Major ulcer, C = Herpetiform Ulcer.
B. Etiologi
1. Trauma
a. Minor physical injuries
Trauma yang terjadi pada mulut merupakan penyebab yang umum
terjadinya mouth ulcer. Cedera - seperti bergesekan dengan gigi palsu
atau kawat gigi, tergores dari sikat gigi yang keras,begesekan dengan
gigi yang tajam, dan lain-lain.
b. Chemical injuries
Bahan-bahan kimia seperti aspirin dan alkohol dapat menyebabkan
mukosa oral menjadi nekrosis yang akan menyebabkan terjadinya
ulcer. Selain . Sodium lauryl sulfate (SLS), adalah bahan utama yang
terdapat pada kebanyakan pasta gigi, juga meningkatkan insiden
terjadinya mouth ulcer.
2. Infeksi
a. Viral
Yang paling umum adalah Herpes simplex virus yang menyebabkan
herpetiform ulcerations yang berulang.
b. Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya mouth ulcer antara lain
adalah Mycobacterium tuberculosis (TBC) dan Treponema pallidum
(sifilis).

51
c. Jamur
Coccidioides immitis (demam lembah), Cryptococcus neoformans
(kriptokokosis), Blastomyces dermatitidis ("Amerika Utara
Blastomycosis") diduga menyebabkan terjadinya mouth ulcer.
d. Protozoa
Entamoebahistolytica, suatu parasit protozoa ini terkadang
menyebabkan mouth ulcer.
3. Sistem Imun
Peneliti menenukan bahwa mouth ulcer merupakan produk akhir dari
suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun.
a. Imunodeficiency
Adanya mouth ulcer yang terjadi secara berulang merupakan indikasi
adanya immunodeficiency. Kemoterapi, HIV, dan mononukleosis
adalah semua penyebab immunodeficiency pada mouth ulcer yang
menjadi manifestasi umum.
b. Autoimun
Autoimmunity juga merupakan penyebab mouth ulcer. Pemphigoid
Membran mukosa, reaksi autoimmune epitel membran basal,
menyebabkan desquamation / ulserasi dari mukosa oral.
c. Alergi
4. Diet
Defisiensi dari vitamin B12, zat besi dan asam folat diduga merupakan
penyebab terjadinya mouth ulcer.
5. Kanker pada mulut. (Scully, 2003).

C. Gejala
Mouth ulcer biasanya didahului oleh adanya sensasi terbakar. Kemudian
setelah beberapa hari membentuk sebuah titik merah atau benjolan, diikuti
oleh luka terbuka. Mouth ulcer muncul dengan lingkaran atau oval yang
berwarna putih atau kuning dengan tepi merah meradang. Ulkus yang
terbentuk sering sekali sangat perih terutama pada saat berkumur atau

52
menyikat gigi, atau juga ketika ulkus teriritasi dengan salty, spicy atau sour
foods. Selain itu juga bisa ditemukan adanya pembesaran dari kelenjar getah
bening pada submandibula. Berkurangnya nafsu makan biasa ditemukan pada
mouth ulcer (Scully, 2003).
D. Diagnosis
Penting untuk menetapkan penyebab ulkus mulut. Beberapa penyelidikan
meliputi:
1) Pemeriksaan fisik - tergantung pada berat ringannya penyakit tersebut.
Sebagai contoh, jika luka besar dan kuning, itu kemungkinan besar
disebabkan oleh trauma. Cold sores di dalam mulut cenderung sangat
banyak dan tersebar di sekitar gusi, lidah, tenggorokan dan bagian dalam
pipi. Demam menandakan lika dapat disebabkan oleh infeksi herpes
simpleks.
2) Darah rutin - untuk memeriksa tanda-tanda infeksi.
3) Biopsi kulit - jaringan dari ulkus diambil dan diperiksa di laboratorium.
(Scully, 2003).

E. Klasifikasi
Klasifikasi lesi ulkus di mukosa mulut:
1. Lesi Multipel Akut
a. Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis (ANUG)

b. Eritema Multiformis

53
c. Stomatitis Alergika

d. Stomatitis Viral Akut


1) Infeksi virus herpes simpleks primer

2) Infeksi virus coxsackie

3) Infeksi virus varicella zoster

54
e. Ulkus oral karena kemoterapi kanker

2. Ulkus Oral Rekuren


a. Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)
1) Aphtae minor berdiameter kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa
disertai pembentukan jaringan parut.
2) Aphtae mayor berdiameter lebih dari 1 cm dan membentuk
jaringan parut jika sembuh.
3) Ulkus herpetik formis bermanifestasi sebagai suatu kumpulan
ulkus kecil rekuren yang banyak yang timbul di seluruh mulut.

b. Sindrom Behcet’s

c. Infeksi virus herpes simpleks rekuren

3. Lesi Multipel Kronik

55
a. Pemphigus Vulgaris

b. Pemphigus Vegetan

c. Pemphigoid Bulosa

d. Pemphigoid Sikatrik
e. Lichen Planus Bulosa Erosif

4. Ulkus Tunggal
a. Histoplamosis

56
b. Blastomikosis

c. Mucormikosis

d. Infeksi virus herpes simplex kronis

(Scully, Gorsky, dan Lozada, 2003).


F. Terapi
Pada kebanyakan kasus, mouth ulcer dapat sembuh dengan sendirinya
pada beberapa hari. Namun ada beberapa cara yang sederhana untuk
mengurangi rasa sakit dan kesulitan makan:
1) Hindari makanan pedas, asam, keras, atau terlalu panas
2) Hindari minuman soda atau air jeruk
3) Pakai sedotan waktu minum

57
4) Berkumur dengan air garam
5) Ada yang menganggap bahwa madu dapat mengurangi rasa sakit
6) Mengganti pasta gigi dengan pasta gigi yang tidak mengandung natrium
lauryl sulfat (SLS).
(Scully, 2003).
Obat kumur chlorhexidine dapat mengurangi rasa sakit. Mungkin juga
membantu luka untuk sembuh lebih cepat. Hal ini juga membantu untuk
mencegah luka menjadi terinfeksi. Obat kumur chlorhexidine biasanya
digunakan dua kali sehari (Scully, 2003).
G. Pencegahan
Cara untuk mengurangi kemungkinan mouth ulcer meliputi:
1) Menyikat gigi setidaknya dua kali setiap hari.
2) Floss secara teratur.
3) Mengunjungi dokter gigi secara teratur.
4) Sikat gigi dengan lembut
5) Makan makanan yang bergizi yang sehat dan seimbang
6) Pastikan bahwa kondisi-kondisi yang mendasari, seperti diabetes melitus
dan penyakit inflamasi usus, dikelola dengan tepat.
(Scully, 2003).
H. Komplikasi
Jika mouth ulcer tidak diobati atau dibiarkan maka akan dapat
menyebabkan beberapa komplikasi yaitu :
1) Infeksi bakteri
2) Inflamasi pada mulut
3) Toothabsess
(Scully, 2003).

58
GLOSSITIS

A. Definisi
Glossitis adalah peradangan atau infeksi pada lidah. Hal ini menyebabkan
lidah membengkak dan perubahan warna (Zieve dan Juhn, 2009).

Gambar 15.1. Glossitis


B. Etiologi
Glossitis secara umum dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1) Infeksi
Bakteri dan infeksi virus adalah penyebab umum menularnya glossitis. Hal
ini sering dikaitkan dengan temuan lain seperti luka mulut (lepuh, borok),
nyeri dan kadang-kadang demam. Infeksi jamur lidah kurang umum dan
lebih sering terlihat pada pasien immunocompromised (HIV, diabetes
mellitus tidak terkontrol).
2) Trauma
Trauma adalah penyebab umum glossitis dan biasanya akut dengan
etiologi jelas. Faktor mekanis atau kimia yang mengiritasi/melukai lidah:
a) Burns
b) Makanan, minuman dan suplemen - rempah-rempah, asam, pewarna
buatan terkonsentrasi dan flavorants, vitamin kunyah
c) Produk perawatan gigi (kebersihan oral) - formulasi terkonsentrasi atau
beracun
d) Merokok - tembakau, obat-obatan narkotika
e) Tembakau dan daun sirih / mengunyah pinang
f) Alkohol - menyebabkan trauma kimia dan menyebabkan kekurangan
vitamin (glossitis atrofi)

59
g) Bergerigi gigi dan peralatan gigi kurang pas/ prostetik seperti
jembatan, implan, gigi palsu dan pengikut - cenderung menyebabkan
borok pada sisi lidah (aspek lateral)
h) Tindik lidah (buruk dilakukan), terutama bila terinfeksi
3) Alergi
Banyak faktor yang sama bertanggung jawab atas trauma lidah juga
dapat menyebabkan alergi glossitis. Ini lebih cenderung terjadi pada
individu hipersensitif.
4) Kekurangan Vitamin dan Mineral
Merupakan penyebab umum dari glossitis atrofi.Penipisan lapisan
mukosa lidah dan atrofi papila eksposur pembuluh darah yang mendasari
menyebabkan kemerahan lidah. Vitamin dan mineral tersebut meliputi:
a) Vitamin B12 - anemia pernisiosa
b) Riboflavin (vitamin B2)
c) Niacin (vitamin B3) - pellagra
d) Pyridoxine (vitamin B6)
e) Asam folat (vitamin B9)
f) Besi - anemia kekurangan zat besi
g) Kekurangan vitamin C.
5) Penyakit kulit
Banyak dari penyakit kulit juga melibatkan selaput lendir mulut,
termasuk lapisan mukosa lidah.
(Zieve dan Juhn, 2009).
C. Diagnosis
Pemeriksaan oleh dokter gigi atau penyedia layanan kesehatan
menunjukkan lidah bengkak (atau patch pembengkakan). Para nodul pada
permukaan lidah (papila) mungkin tidak ada. Tes darah bisa mengkonfirmasi
sistemik penyebab gangguan tersebut (Zieve dan Juhn, 2009).
D. Terapi
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan. Perawatan
biasanya tidak memerlukan rawat inap kecuali lidah bengkak sangat parah.

60
Baik kebersihan mulut perlu, termasuk menyikat gigi menyeluruh setidaknya
dua kali sehari, dan flossing sedikitnya setiap hari (Zieve dan Juhn, 2009).
Kortikosteroid seperti prednison dapat diberikan untuk mengurangi
peradangan glossitis. Untuk kasus ringan, aplikasi topikal (seperti berkumur
prednison yang tidak ditelan) mungkin disarankan untuk menghindari efek
samping dari kortikosteroid ditelan atau disuntikkan (Zieve dan Juhn, 2009).
Antibiotik, obat antijamur, atau antimikroba lainnya mungkin diresepkan
jika penyebab glossitis adalah infeksi. Anemia dan kekurangan gizi harus
diperlakukan, sering dengan perubahan pola makan atau suplemen lainnya.
Hindari iritasi (seperti makanan panas atau pedas, alkohol, dan tembakau)
untuk meminimalkan ketidaknyamanan (Zieve dan Juhn, 2009).

61
PAROTITIS

A. Definisi
Parotitis merupakan kejadian inflamasi dan infeksi pada kelenjar parotis.
Inflamasi menyebabkan pembengkakan jaringan yang mengelilingi sekitar
kelenjar saliva, kemerahan dan nyeri. Kelenjar saliva berguna untuk
memproduksi saliva di mulut yang berguna untuk membersihkan mulut.
Inflamasi pada kelenjar saliva akan menurunkan fungsinya dan dapat
berakibat infeksi pada mulut.
Inflamasi parotitis dapat disebabkan oleh infeksi, obat-obatan atau radiasi.
Mumps merupakan penyebab paling sering parotitis karena virus, tetapi
adanya vaksin membuat mumps jarang dijumpai sekarang. Parotitis yang
disebabkan oleh infeksi bakteri banyak ditemukan sekarang, dimana hal ini
dikarenakan akumulasi dan pertumbuhan bakteri di kelenjar saliva. Penyebab
paling sering pada parotitis adalah obstruksi saluran saliva atau oral hygiene
yang buruk. Obat-obatan yang dapat menyebabkan mulut kering seperti
antihistamin dapat meningkatkan risiko parotitis, demikian juga dengan
pengobatan kanker seperti radioterapi (HealthGrades, 2014).

B. Diagnosis
Gejala yang dapat ditemukan pada parotitis antara lain pembengkakan
pada kelenjar parotis, nyeri dan demam. Jika pasien mengunyah makanan,
akan meningkatkan rasa nyeri. Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan
pembengkakan dan kemerahan pada kulit di sekitar kelenjar, dimana pada

62
parotitis akut kelenjar teraba lunak dan pada parotitis kronik autoimun,
kelenjar teraba keras. Parotitis bacterial dapat dilihat dari saliva yang purulen
dan saliva yang nonpurulen menunjukkan gambaran parotitis kronis.
Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan adalah CT Scan dan MRI
yang digunakan untuk mendeteksi ukuran, bentuk dan kualitas neoplasma atau
pembengkakan pada kelenjar. Selain itu, USG juga dapat digunakan untuk
membedakan massa solid atau cairan pada kelenjar (Templer, 2014).
C. Terapi
Pada parotitis kronik, pengobatan dilakukan secara simptomatis.
Pengobatan untuk penyakit yang mendasari seperti HIV atau rheumatoid
arthritis diperlukan. Pada pasien yang tidak merespons pengobatan
simptomatik dan sebelum dilakukan pembedahan, diberikan dexamethason
dan cairan penisilin yang diencerkan dalam salin untuk membersihkan saluran
dan untuk terapi topikal. Pada parotitis akut bacterial harus diperiksa kultur
bakteri, gram dan uji resistensi antibiotik terlebih dahulu. Vancomycin yang
diberikan secara intravena merupakan terapi empiris. Terapi selanjutnya
diberikan setelah keluar hasil tes dan uji resistensinya.

63
KEGANASAN

PERTUMBUHAN NON-KANKER

A. Definisi
Pertumbuhan nonkanker atau Noncancerous growth adalah neoplasma
jinak yang terdapat di rongga mulut, baik pada jaringan lunak maupun
jaringan keras (De Pietro, 2010).

Gambar 1.Noncancerous growth pada rongga mulut (papiloma)

B. Patofisiologi
1. Neoplasma jinak jaringan lunak
Belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor yang diduga sebagai
etiologinya adalah iritasi kronik, infeksi virus, dan parasit, keturunan,
embrional, ketidakseimbangan hormonal,dan malnutrisi.
2. Neoplasma jinak jaringan keras
Selain faktor tersebut diatas ditambah dengan adanya sisa lamina
dentalis organ email, lapisan basal membran mukosa, dinding epitel kista
dentigerosa.
C. Klasifikasi
1. Jenis-jenis neoplasma jaringan lunak adalah papiloma, fibroma,
leiomioma, rhabdomyoma, khondroma, hemangioma, limfangioma,
hemangioendotelioma, hemangiom persitoma, neurofroma, schwannoma.
2. Jenis-jenis neoplasma jaringan keras adalah:

64
a. Neoplasma epital: ameloblastoma, adenoameloblastoma,
melanoameloblastoma.
b. Neoplasma campuran: ameloblastik fibroma, ameloblastik
hemangioma, ameloblastik neurinoma, ameloblastik odontoma,
odontoma kompleks, odontoma compound.
D. Diagnosis
Pada pemeriksaan dan gejala klinis biasa ditemukan tumor yang tumbuh
lambat dan umumnya asimptomatik, berkapsul, tumbuh ekspansif,
tidak/jarang kambuh kembali, tidak bermetastase, warna seperti jaringan
sekitar (kecuali hemangioma), permukaan rata, lunak dan dapat digerakkan
dari dasarnya. Pada pemeriksaan ekstra oral didapatkan benjolan pada jaringan
lunak/keras, serta gigi terpendam atau tidak tumbuh (neoplasma jaringan
keras). Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pula pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan radiologis dan histopatologis.
E. Terapi
Tindakan terapi yang dilakukan oleh dokter gigi spesialis bedah mulut
adalah ekstirpasi (pengangkatan massa neoplasma), reseksi (reseksi tulang dan
massa neoplasma), dan metode dredging (deflasi/enukleasi tergantung jenis
neoplasma yang dilanjutkan dengan dredging dua sampai tiga bulan
kemudian.

65
LEUKOPLAKIA

A. Definisi
Leukoplakia adalah lesi putih keratosis berupa bercak atau plak pada
mukosa mulut yang tidak dapat diangkat dari mukosa mulut secara usapan
atau kikisan (Rangkuti, 2007).
B. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dari leukoplakia digolongkan menjadi 2, yaitu faktor lokal dan
faktor sistemik.
1. Faktor lokal terdiri dari tembakau, alkohol, iritasi mekanis dan kemis,
reaksi elektrogalvanik dan kandidiasis. Penggunaan rokok merupakan
faktor risiko utama penyebab leukoplakia, karena unsur resin dan tar di
dalamnya mudah mengiritasi mukosa.
2. Faktor sistemik terdiri dari defisiensi vitamin A, vitamin B kompleks,
sifilis tertier dan anemia siderofenik. Keadaan ini disertai dengan glossitis
atrofik sehingga pasien-pasien ini mudah sekali terkena leukoplakia dan
karsinoma mulut.
Perubahan patologis mukosa mulut menjadi leukoplakia terdiri dari dua
tahap.Yaitu tahap pra leukoplakia dan tahap leukoplakia. Pada tahap pra
keukoplakia mulai terbentuk warna plak abu-abu tipis, bening, translusen,
permukaannya halus dengan konsistensi lunak dan datar. Tahap leukoplakia
ditandai dengan pelebaran lesi ke arah lateral dan membentuk keratin yang
tebal sehingga warna menjadi lebih putih, berfisura dan permukaan kasar
sehingga mudah membedakannya dengan mukosa sekitarnya (Rangkuti,
2007).

C. Klasifikasi
Burket (1994), berdasarkan bentuk klinisnya, menggolongkan leukoplakia
dalam 3 jenis:
1. Homogenous leukoplakia (leukoplakia kompleks)

66
Suatu lesi setempat atau bercak putih yang luas, memperlihatkan suatu
pola yang relatif konsisten, permukaan lesi berombak-ombak dengan pola
garis-garis halus, keriput atau papilomatous.
2. Nodular leukoplakia (bintik-bintik)
Suatu lesi campuran merah dan putih, dimana nodul-nodul keratotik
yang kecil tersebar pada bercak-bercak atrofik (eritroplakik) dari
mukosa.Dua pertiga dari kasus menunjukkan tanda-tanda displasia epitel
atau karsinoma pada pemeriksaan histopatologik.
3. Verrucous leukoplakia
Lesi putih di mulut, dimana permukaannya terpecah oleh banyak
tonjolan seperti papila yang berkeratinisasi tebal, serta menghasilkan suatu
lesi pada dorsum lidah.
D. Gambar

Leukoplakia homogen leukoplakia nodular leukoplakia verrocous

E. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis lengkap, pemeriksaan
klinis rutin yang teliti (bentuk morfologi lesi, warna, predileksi tempat dan
perubahan-perubahan serta perbedaan-perbedaan dengan jaringan sekitar) dan
yang terakhir dengan pemeriksaan biopsi.
1. Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis perlu diketahui usia, jenis kelamin,
pekerjaan, kesehatan umum, kebiasaan sehari-hari misalnya merokok,
minum alkohol, mengunyah sirih dan menyuntil tembakau. Dahulu,
penderita leukoplakia didominasi oleh usia lanjut akibat penurunan daya
tahan tubuh. Namun sekarang lebih didominasi oleh usia muda akibat

67
konsumsi rokok. Frekuensi penderita pria dan wanita adalah seimbang
karena sudah banyak wanita yang merokok.
2. Gambaran Klinis
Pada keadaan awal, lesi tidak terasa pada perabaan, agak bening dan
putih keruh. Selanjutnya plak meninggi dengan tipe yang berkembang
tidak teratur. Lesi berwarna putih kabur. Kemudian lesi menjadi tebal,
berwarna putih, menunjukkan pengerasan, membentuk fisura-fisura dan
terakhir adalah pembentukan ulser. Gambaran klinis leukoplakia bentuk
homogen (kecuali yang didasar mulut) cenderung mempunyai risiko
displasia rendah, namun nodular, speckled dan erosiva mempunyai risiko
tinggi, khususnya jika mempunyai displasia berat. Bentuk-bentuk lesi
leukoplakia yang kemudian berubah menjadi ganas adalah bentuk
verukosa dan bentuk nodular.
3. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan morfologi sel atau jaringan pada sediaan mikroskop
dengan pewarnaan rutin Hematoksilin-Eosin (HE).
4. Pemeriksaan sitologik eksfoliatif
Pemeriksaan sitologik eksfoliatif memiliki kelebihan yaitu dapat
mendeteksi keadaan keganasan sedini mungkin dan merupakan kontrol
pada false negatif biopsi serta menghindari biopsi yang tidak perlu. Faktor
yang mempengaruhi ketepatan pemeriksaan adalah lokasi dan jenis lesi,
ketebalan lapisan keratin atau keadaan hiperkeratotik akan menyebabkan
sel-sel yang mengalami diskeratosis sulit untuk ikut teridentifikasi karena
tersembunyi (PDS, 2004).
F. Terapi
Pencegahan leukoplakia adalah dengan menghindari faktor predisposisi
seperti rokok dan alkohol, menghindari iritasi kronik seperti akibat paparan
kontinu bagian tajam dari gigi. Biopsi dilakukan untuk menegakkan
diagnosis.Pemberian beta karoten dapat memperlambat perkembangan
penyakit (Rangkuti, 2007).

68
ORAL SQUAMOUS CELL CARCINOMA

A. Definisi
Karsinoma sel skuamosa merupakan tumur ganas yang berasal dari sel-sel
epitel skuamosa yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan
biasanya menimbulkan metastase.

B. Etiologi
Penyebab Karsinoma sel skuamosa yang pasti belum diketahui.
Penyebabnya diduga berhubungan dengan bahan karsinogen dan faktor
predisposisi. Insiden kanker mulut berhubungan dengan umur yang dapat
mencerminkan waktu penumpukan, perubahan genetik dan lamanya terpapar
inisiator dan promotor (seperti: bahan kimia, iritasi fisik, virus, dan pengaruh
hormonal), aging selular dan menurunnya imunologik akibat aging. Faktor
predisposisi yang dapat memicu berkembangnya kanker mulut antara lain
adalah tembakau, menyirih, alkohol, dan faktor pendukung lain seperti
penyakit kronis, faktor gigi dan mulut, defisiensi nutrisi, jamur, virus, serta
faktor lingkungan (Sararock, 2010).
1. Tembakau
Tembakau berisi bahan karsinogen seperti: nitrosamine, polycyclic
aromatic, hydrokarbon, nitrosodicthanolamine, nitrosoproline, dan
polonium. Tembakau merupakan faktor etiologi tunggal yang paling
penting.Tembakau dapat dikunyah-kunyah, atau diletakkan dalam mulut
untuk diisap, pada semua keadaan tersebut tembakau mempunyai efek
karsinogenik pada mukosa mulut.Efek dari penggunaan tembakau yang
tidak dibakar ini erat kaitannya dengan timbulnya “oral leukoplakia” dan
lesi mulut lainnya pada pipi, gingiva rahang bawah, mukosa alveolar,
dasar mulut dan lidah. Mengunyah tembakau dengan menyirih dapat
meningkatkan keterpaparan carcinogen tobacco specific nitrosamine
(TSNA) dan nitrosamine yang berasal dari alkaloid pinang.

69
2. Menyirih
Komposisi utama dari menyirih adalah daun sirih (Piper betel leaves),
buah pinang (Areaca nut), kapur sirih (Antacid), dan gambir (Uncaria
Gambier Roxb). Menurut penelitian, kegiatan menyirih dapat
menimbulkan efek negatif terhadap jaringan mukosa di rongga mulut yang
dikaitkan dengan penyakit kanker mulut dan pembentukan karsinoma sel
skuamosa yang bersifat malignan akibat komposisi menyirih, frekuensi
menyirih, durasi menyirih, dan penggunaan sepanjang malam.
3. Alkohol
Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara konsumsi
alkohol yang tinggi terhadap terjadinya karsinoma sel skuamosa.Minuman
alkohol mengandung bahan karsinogen seperti etanol, nitrosamine,
urethane contaminant.Alkohol dapat bekerja sebagai suatu solvent
(pelarut) dan menimbulkan penetrasi karsinogen kedalam jaringan
epitel.Acelylaldehyd yang merupakan alkohol metabolit telah
diidentifikasi sebagai promotor tumor.Alkohol merupakan salah satu
faktor yang memudahkan terjadinya leukoplakia, karena pemakaian
alkohol dapat menimbulkan iritasi pada mukosa.

Faktor pendukung lain


1. Penyakit Kronis
Penyakit kronis dapat menjadi faktor predisposisi bagi timbulnya
keganasan. Penyakit tersebut antara lain adalahsifilis. Sifilis merupakan
faktor predisposisi yang penting dari karsinoma mulut.Dengan
berkurangnya sifilis tertier dan sifilis glositis, peranan sifilis juga makin
berkurang, oleh karena itu adanya sifilis harus tetap diperiksa pada setiap
keadaan karsinoma.
2. Faktor Gigi dan Mulut
Keadaan rongga mulut yang tidak terjaga ikut ambil peranan memicu
timbulnya kanker rongga mulut. Iritasi kronis yang terus menerus berlanjut
dan dalam jangka waktu lama dari restorasi yang kasar, gigi-gigi

70
karies/akar gigi, dan gigi palsu yang letaknya tidak pas akan dapat memicu
terjadinya karsinoma.
3. Diet dan nutrisi
Diet dan nutrisi yang penting pada neoplasma mulut diindikasikan
pada beberapa study populasi dimana defisiensi dikaitkan pada resiko
karsinoma sel skuamosa.Buah-buahan dan sayur-sayuran (vitamin A dan
C) yang tinggi merupakan proteksi terhadap neoplasma, sedangkan daging
dan cabe merah powder didiagnosa sebagai faktor resiko.Zat besi berperan
dalam melindungi pemeliharaan epitel.Defisiensi zat besi, menyebabkan
atropi epitel mulut dan Plummer Vinson Syndrome yang berhubungan
dengan terjadinya kanker mulut.
4. Jamur
Kandidiasis dalam jaringan rongga mulut mempengaruhi patogenesis
dari kanker mulut.Kandidiasis ada hubungannya dengan diskeratosis pada
epitelium walaupun tidak jelas apakah kandida ikut berperan dalam
etiologi diskeratosis.
5. Virus
Virus dipercaya dapat menyebabkan kanker dengan mengubah struktur
DNA dan kromosom sel yang diinfeksinya.Virus dapat ditularkan dari
orang ke orang melalui kontak seksual. Virus penyebab karsinoma sel
skuamosa antara lain Human Papiloma Virus, herpes simplex virus tipe 1
(HSV-1), human immunodeficiency Virus (HIV), dan Epstein Barr
Virus.4,5 Human Papiloma Virus positif dijumpai lebih tinggi pada tumor
rongga mulut (59%), faring (43%), dan laring (33%).
6. Faktor Lingkungan
Sejumlah faktor lingkungan dapat meningkatkan resiko terjadinya
kanker, salah satunya adalah pemaparan yang berlebihan dari sinar
ultraviolet, terutama dari sinar matahari.Selain itu, radiasi ionisasi
karsinogenik yang digunakan dalam sinar x, dihasilkan dari pembangkit
listrik tenaga nuklir dan ledakan bom atom juga dapat meningkatkan
resiko terjadinya kanker.

71
C. Gambaran Klinis
Gambaran klinis karsinoma sel skuamosa pada stadium awal sering tidak
menunjukkan gejala yang jelas.Tidak ada keluhan dan tidak sakit.Umumnya
berupa leukoplakia, eritroplakia ataupun erosi dan pada stadium lanjut dapat
berbentuk eksofitik yang berupa papula dan nodul, ataupun endofitik yang
dapat berupa ulser, erosi, fisur.
Gambaran klinis kanker rongga mulut pada berbagai lokasi rongga mulut
mungkin memiliki beberapa perbedaan.Untuk lebih jelas, gambaran klinis
akan dibahas secara terpisah menurut lokasinya (Evy, 2007).
D. Klasifikasi
Sistem yang dipakai untuk klasifikasi karsinoma sel skuamosa adalah
klasifikasi TMN dari America Joint Committe for Cancer and End Result
Reporting (AJCSS).
1) T : Tumor primer
a. Tls : karsinoma in situ
b. T1 : tumor <2 cm
c. T2 : tumor >2 dan <4 cm
d. T3 : tumor >4 cm
e. T4 : tumor >4 cm dengan invasi jaringan sekitarnya
2) N : Metastase kelenjar
a. N0 : kelenjar positif tidak ada
b. N1 : secara klinis teraba kelenjar limfe servikal homolateral dan tidak
melekat, suspek terjadi metastase
c. N2 : secara klinis teraba kelenjar limfe cervical kontralateral atau
bilateral dan tidak melekat, suspek terjadi metastase
d. N3 : secara klinis limfonoid teraba dan melekat, suspek terjadi
metastase
3) M :Metastase jarak jauh
a. M0 : tidak ada metastasis jauh
b. M1 : adanya metastasis jauh

72
E. Diagnosa
Pemeriksaan klinis, pemeriksaan patologi, dan pemeriksaan radiologi
merupakan metode yang dapat mendukung diagnosis dini kanker di rongga
mulut.
1. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan umum, pemeriksaan lokal,
dan status regional. Pemeriksaan umum meliputi pemeriksaan penampilan,
keadaan umum, dan metastase jauh serta pemeriksaan lokal dengan cara
inspeksi dan palpasi bimanual. Kelainan dalam rongga mulut diperiksa
dengan cara inspeksi dan palpasi dengan bantuan spatel lidah dan
penerangan. Seluruh rongga mulut dilihat mulai dari bibir sampai
orofaring posterior.Perabaan lesi rongga mulut dilakukan dengan
memasukkan 1-2 jari ke dalam rongga mulut.Untuk menentukan dalamnya
lesi dilakukan dengan perabaan bimanual.
2. Pemeriksaan Patologi
Pemeriksaan mikroskopis dibutuhkan untuk mendiagnosis displasia
atau atipia yang menggambarkan kisaran abnormalitas selular, termasuk
perubahan ukuran sel dan morfologi sel, gambaran peningkatan mitotik,
hiperkromatisme dan perubahan pada ulserasi dan maturasi selular yang
normal.
3. Pemeriksaan Radiologi
Terdiri dari radiologi rutin, Computed Tomography (CT), Magneting
Resonanse imaging (MRI) dan Ultra Sonografi dapat menunjukkan
keterlibatan tulang dan perluasan lesi(Syafriza, 2000).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kanker rongga mulut tergantung pada tipe sel, derajat
differensiasi, tempat, ukuran dan lokasi lesi primer, status kelenjar getah
bening, keterlibatan tulang untuk mencapai tepi bedah yang adekuat,
kemampuan untuk melindungi fungsi penelanan, berbicara, status fisik dan
mental pasien, pemeriksaan keseluruhan dari komplikasi yang potensial dari

73
setiap terapi, pengalaman ahli bedah, radiotherapist dan keinginan serta
kooperatifan pasien.
Kemoterapi dan pembedahan digunakan dalam pengobatan kanker
mulut.Pembedahan atau Kemoterapi dapat digunakan untuk lesi T1 dan T2,
sedangkan kanker stadium lanjut dilakukan dengan gabungan kemoterapi dan
pembedahan.

74
IV. SISTEM KEKEBALAN RONGGA MULUT

XEROSTOMIA

A. Definisi
Xerostomia didefinisikan sebagai keluhan subjektif dari mulut kering yang
disebabkan oleh penurunan produksi saliva.Xerostomia adalah kondisi yang
berhubungan dengan penurunan penghasilan saliva dan perubahan dalam
komposisi saliva seperti saliva menjadi kental.Xerostomia juga berkaitan
dengan gangguan mengunyah, gangguan bicara, gangguan pengecapan,
halitosis, dan meningkatnya infeksi oral(Lukisari C, 2010),
B. Etiologi
Xerostomia merupakan suatu kondisi kekeringan dalam mulut yang dapat
disebabkan beberapa faktor, yaitu:
1. Obat-obatan
Xerostomia adalah efek samping yang sering dan signifikan dari obat-
obatan yang banyak diresepkan.Obat-obatan yang mempunyai efek
antikolinergik seperti antidepresan, antipsikotik, antiretroviral, dan muscle
relaxants dapat menyebabkan xerostomia.
2. Usia
Xerostomia umumnya terjadi pada orang yang sudah tua. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya perubahan atropi pada kelenjar saliva sesuai
dengan pertambahan umur yang akan menurunkan produksi saliva dan
mengubah komposisinya. Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi
proses aging. Terjadi perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva,
dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh jaringan ikat dan
lemak, lining sel duktus intermediate mengalami atropi. Keadaan ini
mengakibatkan pengurangan jumlah aliran saliva.
3. Terapi radiasi leher dan kepala
Terapi radiasi pada daerah leher dan kepala untuk perawatan kanker
telah terbukti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva
dengan berbagai derajat kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena

75
radioterapi.Jumlah kerusakan kelenjar saliva tergantung dari jumlah dosis
radiasi yang diberikan selama terapi radiasi.Pengaruh radiasi lebih banyak
mengenai sel asini dari kelenjar saliva parotis dibandingkan dengan
kelenjar saliva sublingualis.
4. Gangguan pada kelenjar saliva
Ada beberapa penyakit lokal tertentu yang mempengaruhi kelenjar
saliva dan menyebabkan berkurangnya aliran saliva.Sialodenitis kronis
lebih sering mempengaruhi kelenjar submandibula dan parotis.Penyakit ini
menyebabkan degenerasi dari sel asini dan penyumbatan duktus.Kista-
kista dan tumor kelenjar saliva, baik yang jinak maupun ganas dapat
menyebabkan penekanan pada struktur-struktur duktus dari kelenjar saliva
dan dengan demikian mempengaruhi sekresi saliva.

Gambar 1.Xerostomia

C. Diagnosis
Diagnosis xerostomia ditentukan berdasarkan anamnesis yang terarah,
pemeriksaan klinis dalam rongga mulut dan pemeriksaan laboratorium.Dalam
melakukan anamnesis dengan penderita dapat diajukan beberapa pertanyaan-
pertanyaan terarah yang dapat menentukan penyebab dan mendiagnosis
xerostomia.Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan melihat gejala-gejala
klinis yang tampak dalam rongga mulut. Gambaran klinis tersebut antara lain :
hilangnya genangan saliva pada dasar mulut, mukosa terasa lengket bila
disentuh dengan jari ataupun ujung gagang instrumen. Mukosa juga terlihat

76
merah dan pada kasus-kasus yang lebih lanjut permukaan dorsal lidah terlihat
berfisur dan berlobul (Ronald, 1996).
D. Terapi
Pada keadaan ringan dapat dianjurkan untuk sering berkumur atau
mengunyah permen karet yang tidak mengandung Quia. Bila keluhan mulut
kering disebabkan pemakaian obat-obatan, maka mengganti obat dari katagori
yang sama mungkin akan dapat mengurangi pengaruh mulut kering. Pada
keadaan berat dapat digunakan zat perangsang saliva dan zat pengganti saliva.
Mouth Lubricant dan Lemon Mucilage yang mengandung asam sitrat dan
dapat merangsang sangat kuat sekresi encer dan menyebabkan rasa segar di
dalam mulut. Tetapi obat ini mempunyai pH yang rendah sehingga dapat
merusak email dan dentin. Mentol dalam kombinasi dengan zat-zat manis
dapat merangsang baik sekresi seperti air maupun sekresi lendir, memberi rasa
segar di dalam mulut.
Salivix, yang berbentuk tablet isap berisi asam malat, gumarab, kalsium
laktat, natrium fosfat, Iycasin dan sorbitol akan merangsang produksi saliva.
Permen karet bebas Quia atau yang mengandung xylitol dapat menginduksi
sekresi saliva encer seperti air.Sekresi saliva juga dapat dirangsang dengan
pemberian obat-obatan yang mempunyai pengaruh merangsang melalui sistem
syaraf parasimpatis, seperti pilokarpin, karbamilkolin dan betanekol.
Bila zat perangsang saliva tidak memadai untuk mengatasi keluhan mulut
kering, maka digunakan zat pengganti saliva. Berbagai persyaratan untuk zat
ini seperti bersifat reologis, rasa menyenangkan, pengaruh buffer, peningkatan
remineralisasi dan menghambat demineralisasi, menghambat pertumbuhan
bakteri dan sifat pembasahan yang baik. Pengganti saliva ini tersedia dalam
bentuk cairan, spray dan tablet isap (Philip, 2008).

77
ANGINA LUDWIG

A. Definisi
Angina Ludwig merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat
(selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam
grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga
mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang
membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus
melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan
submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).
B. Etiologi
Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen
baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene
yang kurang.Selain itu, 95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang
submandibular bilateral dan gangguan jalan nafas merupakan komplikasi
paling berbahaya yang seringkali merenggut nyawa. Rute infeksi pada
kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau dari
perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga yang
erupsi sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya mendapatkan konsultasi
gigi untuk molar bawah ketiga pada tanda pertama sakit, perdarahan dari gusi,
kepekaan terhadap panas/dingin atau adanya bengkak di sudut rahang.
Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab
odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak
pada tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan
menyebar ke ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir
juga dapat menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme
dari gangren pulpa ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik,
serta inokulasi Streptococcus yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke
lidah dan jaringan submandibular oleh manipulasi instrumen saat perawatan
gigi.

78
Gambar 1. Proses penyebaran ke bagian superior dan posterior yang
mendorong lantai dasar mulut dan lidah. Pada penyebaran secara anterior,
batas os hyoid meluas ke arah inferior dan menyebabkan gambaran “bull
neck”.
C. Manifestasi Klinis
Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang
keras seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan
ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot potato voice)
akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi
pembengkakkan, nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia);
hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi
dengan karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi
molar bawah dapat dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan
pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah yang
terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan adanya iritasi pada
m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan air
liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis menunjukkan
adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan segera.
D. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.

79
1. Anamnesa
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu
terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan
mengalami kesulitan membuka mulut, berbicara, dan menelan, yang
mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta kesulitan bernapas.
Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Dapat
dijumpai demam dan rasa menggigil.
2. Pemeriksaan fisik
Dasar mulut akan terlihat merah dan membengkak. Saat infeksi
menyebar ke belakang mulut, peradangan pada dasar mulut akan
menyebabkan lidah terdorong ke atas-belakang sehingga menyumbat jalan
napas. Jika laring ikut membengkak, saat bernapas akan terdengar suara
tinggi (stridor). Biasanya penderita akan mengalami dehidrasi akibat
kurangnya cairan yang diminum maupun makanan yang dimakan. Demam
tinggi mungkin ditemui, yang menindikasikan adanya infeksi sistemik.
3. Pemeriksaan penunjang
Meskipun diagnosis angina Ludwig dapat diketahui berdasarkan
anamnesa dan pemeriksaan fisik, beberapa metode pemeriksaan penunjang
seperti laboratorium maupun pencitraan dapat berguna untuk menegakkan
diagnosis.
Laboratorium:
 Pemeriksaan darah: tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya
infeksi akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk
dilakukan tindakan insisi drainase.
 Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang
menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan
antibiotik dalam terapi.
Pencitraan:
 RÖ: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam
mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat
menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada

80
dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-
paru. Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal
infeksi atau abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi.
 USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis
dari abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat
non-invasif dan non-radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi
jarum untuk menentukan letak abses.
 CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat
memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-
scan dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta
derajat obstruksi jalan napas sehingga dapat sangat membantu dalam
memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan buatan.
 MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak
dibandingkan dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan
dalam lebih panjangnya waktu yang diperlukan untuk pencitraan
sehingga sangat berbahaya bagi pasien yang mengalami kesulitan
bernapas.
E. Penatalaksanaan
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:
1. Pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
2. Kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan
membatasi penyebaran infeksi.
3. Ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.

Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik


dan operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam
kondisi yang lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan
trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu pemulihan di rumah
sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan pemberian dosis 4 mg
tiap 6 jam selama 48 jam.

81
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera
diberikan. Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV
terbagi setiap 4 jam) merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig.
Namun, dengan meningkatnya prevalensi produksi beta-laktamase terutama
pada Bacteroides sp, penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin,
piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan.
Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan regimen terapi.
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi
(mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina
Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam
dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan
insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara horisontal setinggi
os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel
dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar
submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai
batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari
penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah
kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.

82
DAFTAR PUSTAKA

Adulgopar(2009).Anodontia.http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/anodo
ntia.pdf-Diakses tanggal 14 Agustus 2015
Amin H (2010). Leukoplakia. http://sehat-enak.blogspot.com/Diakses tanggal 14
Agustus 2015.
Andryani S (2010). Skripsi: Kandidiasis oral pada pasien tuberkulosis pada
akibat pemakaian antibiotik dan steroid. Medan: Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatra Utara.
Anggraeni (2007). Plaque gigi sumber penyakit gigi dan
mulut.http://www.answers.com/topic/dental-plaque-1/Diakses tanggal 14
Agustus 2015.
CasigliaJM(2014).Aphthousstomatitis.http://emedicine.medscape.com/article/107
5570-overview-Diakses pada 14 Agustus 2015
Children’s Craniofacial Association (CCA) (2009). A guide to understanding cleft
lip and palate. http://www.ccakids.com/Syndrome/CleftLipPalate.pdf9
Diakses 14 Agustus 2015.
Dalimunthe (2008).Periodonsia. Medan: USU Press.
De Pietro MA (2010). A non-cancerous growth in the mouth.
http://www.livestrong.com/article/273295-a-non-cancerous-growth-in-the-
mouthDiakses tanggal 14 Agustus 2015.
Debnath T (2002). Public health and preventive dentistry 2nd Ed. India: AITBS
Publisher and Distributors(Regdt).
Dentisha (2010).Maloklusi.http://luv2dentisha.wordpress.com/Diakses tanggal
14 Agustus 2015.
Elih dan Salim (2008). Perawatan gigi impaksi 21 dengan alat cekat standar
edgewise.http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/06/perawatan_gigi_impaksi.pdfDiakses tanggal 14
Agustus 2015.

83
Evy(2007).Squamouscellcarcinoma.http://senyumsehat.wordpress.com/2007/09/1
7/izakod-bekal-izakod-kai/ Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Harty FJ (1995).Kamus kedokteran Ggigi, terj.alih bahasa drg. Narlan
Sumawinata. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Institute of Dental and Craniofacial Research (2011).Anodontia.
http://children.webmd.com/anodontia Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Irfan(2011).Definisi impaksi gigi. http://www.kesehatangigidanmulut.info/17.html
Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Kidd AM (1992). Dasar-dasar karies. Jakarta: EGC.
Lelyati S (1996). Kalkulus hubungannya dengan penyakit periodontal dan
penanganannya.http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08KalkulusHubunga
nnyadenganPenyakitPeriodontal113.pdf/08KalkulusHubungannyadenganP
enyakitPeriodontal113.html. Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Lukisari C(2010). Xerostomia: salah satu manifestasi oral diabetik.
http://canelukisari.blogspot.com/2010/04/xerostomia-salah-satu-
manifestasi-oral.html Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Machfoedz I (2006).Menjaga kesehatan gigi dan mulut anak-anak dan ibu hamil.
Yogyakarta: Fitramaya.
Magdalena M (2009).Candida albicans. Sumatera Utara: USU.
Medicastore (2012). Gingivitis (radang gusi).http://medicastore.com/Diakses
tanggal 14 Agustus 2015.
Medicastore (2012). Pulpitis (radang pulpa gigi).http://medicastore.com/Diakses
tanggal 14 Agustus 2015.
Mozartha M (2010). Plaque dan karang gigi.
http://etalaseilmu.wordpress.com/2010/04/29/plaque-dan-karang-
gigi/Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Nurhayani (2004).Perbedaan jumlah debris yang terdorong keluar apeks gigi
pada preparasi saluran akar teknik step back dan crown down. Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

84
Obiechina AE (2001). Third Molar Impaction: evaluation of the symptoms and
pattern of impaction of mandibular third molar teeth in nigerians. Odonto
Stomatologie Tropicale Vol. 93.
Orstavik D (2007). Apical periodontitis: microbial infection and host responses.
http://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/
Sample_chapter/9781405149761/9781405149761_4_001.pdf. Diakses
tanggal 14 Agustus 2015.
Patel A (2009). The developmental disturbences of jaws
.http://www.scribd.com/doc/44674594/The-Developmental-Disturbences-
of-Jaws Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Patterson (2004). Leukoplakia.
http://www.breadentistry.com/files/pdf/OPG_leuk.pdf. Diakses tanggal
14 Agustus 2015.
Paul T (2009). Management of impacted teeth.
http://faculty.ksu.edu.sa/Falamri/Presentations/Impacted-teeth.pdf
Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Philip C (2008). Xerostomia: recognition and management. American Dental
Hygienist: pp 1-7.
Pintauli S (2008). Fairway to oral health in general practice. Medan: USU Press.
Purba, TR. 2011. Perilaku kebersihan gigi dan perbedaan status oral higiene
murid kelas V SD di daerah rural Kecamatan Pantai Cermin dan daerah
urban Kecamatan Medan Barat. Medan : USU.
Radeva, Elka. 2008. Emergency tratment of irreversible pulpitis. Journal of
IMAB. Hlm. 3-4.
Ramil (2010). Penatalaksanaan pada anodontia.
http://www.ilmukesehatan.com/Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Rangkuti NH (2007). Pebedaan leukoplakia dan hairy leukoplakia di rongga
mulut. Medan: Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Rifki A (2010). Perbedaan efektifitas menyikat gigi dengan metode roll dan
horizontal pada anak usia 8 dan 10 tahun di medan. Medan, Universitas
Sumatera Utara. Skripsi.

85
Ronald LE (1996). Review: Xerostomia: A symptom which acts like a disease.
Age and Ageing Vol. 26: pp 409-412.
RSMK (2011). Gingivitis (peradangan gusi).
http://www.mitrakeluarga.com/bekasitimur/category/gigi/ Diakses
tanggal 14 Agustus 2015.
Ruslin M (2011). Malocclusion.http://medicastore.com/Diakses tanggal 14
Agustus 2015.
Salmiah S (2009). Gingivitis pada anak. Sumatera Utara: USU.
Santoso TB (2009). Micrognathia.http://health.detik.com/Diakses tanggal 14
Agustus 2015.
Sararock (2010). Merokok merupakan pemicu utama terjadinya kanker
lidah.Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Scully C (2003). The diagnosis and management of recurrent aphthous stomatitis:
a consensus approach. J Am Dent Assoc vol. 134: pp 200-207.
Scully C (2010).Candidiasis, mucosal.http://emedicine.medscape.com/article/
1075227-overview#showall Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Setiani dan Sufiawati (2005).Efektifitas heksetidin sebagai obat kumur terhadap
frekuensi kehadiran jamur candida albicans pada penderita kelainan
lidah.http://resources.unpad.ac.id/unpad-
content/uploads/publikasi_dosen/EFEKTIVITAS%20HEKSETIDIN%20S
BG%20OBAT%20KUMUR.pdfDiakses tanggal 14 Agustus 2015.
Stuart A (2013) Parotitis. http://medicine.med.nyu.edu/conditions-we-
treat/conditions/parotitis-diakses pada 14 Agustus 2015
Susanto (2009). Abnormalitas pada gigi.
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/9da07198023c4f541871b5fc0
5e4ffcb0da1a37a.pdf
Susanto AJ (2009). Penyakit periodontal (periodontal disease).
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/ae42e86e5d487ac19eb4c258a
cfc6ef7f0e6f9ca.pdf. Diakses tanggal 14 Agustus 2015.

86
Susanto C (2010). Need dan demand serta akibat dari maloklusi pada siswi SMU
Negeri 1 Binjai. Medan: Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Syafriza D (2000). Skripsi: diagnosa dini karsinoma sel skuamosa di rongga
mulut. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Tarigan R (2010). Karies gigi.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20092/4/Chapter%20II.pdf
Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Thimmappa B (2011). Management of micrognathia.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1797165/pdf/1746-160X-
3-7Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Thoothclub (2011).Dental diagnosis poor oral hygiene overview.
http://www.toothiq.com/dental-diagnoses/dental-diagnosis-poor-oral-
hygiene-overview.html/ Diakses tanggal 14 Agustus 2015.
Walton, Torabinejad (1998). Prinsip dan praktek ilmu endodonsi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Widyanti N (2005). Pengantar ilmu kedokteran gigi pencegahan.Yogyakarta:
Medika Fakultas Kedokteran UGM.
Williams D (2011). Pathogenesis and treatment of oral candidosis.Journal of Oral
Microbiology 2011, vol 3: 5771.
Wu CC (2007). A review of hypodontia: the possible etiologies and orthodontic,
surgical and restorative treatment options—conventional and futuristic.
Hong Kong Dent J. Vol. 4 No. 2.
Zieve D, Juhn G (2009). Glossitis.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001053.htm. Diakses tanggal
14 Agustus 2015.

87

Anda mungkin juga menyukai