Anda di halaman 1dari 16

Jurnal Reading

Myofascial Trigger Point aktif di kepala dan otot leher pada pasien dengan
Tension-type headache kronis pada dua unit pelayanan primer di Tshwane

Oleh :
Afrizal Tri Heryadi G99142074
Irvan Raharjo G99142075
Annisa Permatasuhdan A G99142076
Arina Setyaningrum G99142077
Elisabeth Dea Resitarani G99142078
Diah Nahdliana G99141136
Aditya Bawono G99132010

Pembimbing:

dr. Rivan Danuaji, Sp.S, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT SYARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
Myofascial Trigger Point aktif di kepala dan otot leher pada pasien dengan
Tension-type headache kronis pada dua unit pelayanan primer di Tshwane

K Josepha*, SA Hitchcocka, HP Meyera, MM Geyserb and PJ Beckerc

Latar belakang : Manajemen pasien dengan gejala tension-type headache kronis


dapat menjadi tantangan bagi pelaksana unit pelayanan primer. Seperti kebanyakan
gangguan nyeri kronis, pendekatan manajemen multimodal sering diperlukan. Hal
tersebut telah dikemukakan bahwa sindrom nyeri miofasial (MPS) dan myofascial
trigger points (MTrPs) ditemukan di jaringan otot tertentu yang mungkin
memainkan peran dalam rasa sakit kronis yang dialami oleh pasien dengan tension-
type headache kronis (CTTH). Sedikit yang diketahui mengenai prevalensi MTrPs
pada pasien dengan CTTH, dalam setting pelayanan kesehatan primer di benua
Afrika. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi MTrPs aktif di
kelompok area kepala dan otot leher pada pasien dengan CTTH.
Metode : Sebuah studi prospektif, cross-sectional dan deskriptif dilakukan di dua
fasilitas pelayanan kesehatan primer yang terletak di Tshwane, Afrika Selatan.
Sampel mencakup 97 pasien dewasa dengan CTTH. Lima kelompok otot kepala
dan leher diperiksa bilateral untuk MTrPs aktif. Prevalensi dan distribusi MTrPs
aktif diukur pada pasien dengan CTTH.
Hasil : MTrPs aktif ditemukan pada 95,9% pasien, mayoritas pasien (74,2%)
memiliki empat atau lebih MTrPs aktif. Kelompok otot temporalis dan suboksipital
menunjukan jumlah tertinggi MTrPs aktif (prevalensi masing-masing 87,6% dan
80,4%).
Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan hubungan yang kuat antara MPS dan
CTTH pada pasien, yang disajikan dalam setting pelayanan kesehatan primer. Hal
ini menunjukkan pentingnya penilaian muskuloskeletal otot leher dan perikranium
pada pasien dengan CTTH. Hal ini dapat membantu dalam menentukan strategi
pengobatan yang paling tepat pada pasien ini.
PENDAHULUAN
Pada praktik klinis, dokter umum seringkali dituntut untuk menangani
pasien dengan gejala nyeri kepala kronis. Manajemen CTTH dengan prevalensi 0,9
– 2,2% dalam 1 tahun dalam penelitian di Eropa dan Amerika1,2 dapat merupakan
sebuah tantangan. Gejala nyeri kronik seperti CTTH membutuhkan pendekatan
manajemen multimodal. Pemahaman yang lebih baik terhadap potensial komponen
nyeri miofasial dapat membantu dokter pelayanan primer dalam menilai dan
menangani gangguan umum tersebut.
Hubungan antara tension-type headache (TTH) dan sindrom nyeri miofasial
(MPS) telah diteliti selama beberapa tahun. Peneliti telah mengobservasi
peningkatan sensitivitas nyeri pada palpasi di jaringan miofasial perikranial pada
pasien dengan tension-type headache.3 Terdapat anggapan bahwa nyeri yang
berasal dari otot di kepala, leher dan bahu dapat dialihkan ke kepala dan dirasakan
sebagai nyeri kepala.4,5
MPS merupakan gejala nyeri umum pada muskuloskeletal, gambaran klinis
utama merupakan nyeri regional dan nyeri otot, berhubungan dengan adanya
trigger point miofasial (MTrPs) dan nyeri alih dengan palpasi.5 Kondisi ini
didokumentasikan dengan baik dan diterima entitas klinis yang sering dihubungkan
dengan gejala nyeri kepala.5 MPS berasal dari MTrPs di dalam otot dan jaringan
sekitarnya, seperti ligamen dan tendon.6
Trigger point miofasial (MTrP) merupakan penemuan klinis pada pasien
dengan sindrom nyeri miofasial dan telah dijelaskan oleh Simons et al sebagai area
hiperiritabilitas dan menyakitkan pada otot skeletal.5 Trigger point miofasial yang
aktif berhubungan dengan keluhan nyeri spontan dan kompresi digital pada trigger
point dapat memunculkan pola nyeri alih non-dermatom yang sebagian besar
bersamaan dengan gejala nyeri yang dirasakan pasien. Trigger point miofasial yang
bersifat laten tidak menghasilkan nyeri spontan dan kurangnya pola nyeri alih
seperti yang terlihat pada trigger point yang aktif.5,7,8 Simon et al menerbitkan
manual komperhensif pola nyeri alih dari trigger point miofasial yang berbeda dari
seluruh tubuh.5
Trigger point miofasial yang aktif dapat berkembang setelah cedera pada
serat otot, yang mungkin merupakan peristiwa traumatis tunggal atau mikrotrauma
berulang pada otot, yang kemudian diikuti oleh kontraksi otot lokal.9 Kontraksi otot
yang berkelanjutan dan pemendekan sarkomer mengarah pada iskemia lokal dan
pelepasan beberapa mediator pro-inflamasi yang mungkin membuat nosiseptor
perifer sensitif. Penelitian mikrodialisis yang dilakukan pada area trigger point
miofasial aktif menunjukkan peningkatan kadar mediator kimia seperti tumor
necrosis factor α (TNF α), interleukin 1β (IL-1β), calcitonin-generelated
polypeptide (CGRP), substansi P, bradikinin, serotonin dan norepinefrin.10
Mediator-mediator ini dapat menyebabkan neuron sensitif pada tingkat dorsal horn
pada sumsum tulang belakang dengan hasil sensitisasi sentral (jika sensitisasi
perifer berkelanjutan) dan pembentukan trigger point miofasial.5,9,11
Kriteria klinis berikut ini telah diajukan untuk diagnosis sindrom nyeri
miofasial (MPS)5.

Kriteria mayor :
 Keluhan nyeri regional
 Taut band pada otot jika otot dapat dipalpasi
 Nyeri yang dirasakan di 1 titik pada taut band
 Nyeri alih pada kompresi trigger point miofasial (MTrP)

Kriteria Minor :
 Keluhan nyeri dengan menekan trigger point miofasial (MTrP)
 Respon kedutan lokal (kontraksi otot tidak sadar) ditimbulkan oleh palpasi
tajam atau insersi jarum pada trigger point miofasial (MTrP)
 Berkurangnya nyeri dengan injeksi MTrP dengan anestesi lokal

Saat ini tetap ada kebutuhan untuk mengembangkan tujuan,


prosedur diagnostik laboratorium untuk mengidentifikasi MTrP aktif. Sebagian
besar peneliti, untuk sementara waktu telah menggunakan kriteria berikut.12
1. Keluhan nyeri regional;
2. Lokasi nyeri pada taut band otot (membuat otot dapat dipalpasi);
3. Keluhan nyeri dengan kompresi satu jari pada MTrP

Sejak tahun 2006, Fernandez-de-las-Penas et al. telah menerbitkan sejumlah


penelitian yang meneliti berbagai aspek MTrPs pada tension-type headache.13,14
Mereka menunjukkan dalam studi blind kontrol pada pasien dengan CTTH yang
direkrut dari departemen neurologi rumah sakit menjelaskan bahwa palpasi MTrPs
aktif pada otot trapezius atas, suboksipital, sternokleidomastoid dan temporalis
dapat menghasilkan nyeri alih yang menyebabkan nyeri kepala. Selain itu, mereka
menunjukkan bahwa MTrP aktif dibandingkan dengan MTrPs laten yang terletak
di kepala dan otot leher yang diperiksa berhubungan dengan intensitas dan
frekuensi nyeri kepala yang lebih besar.13,14 Fernandez-de-las-Penas et al. dan
Danish, keduanya mengamati bahwa MTrPs aktif secara bermakna lebih sering
terdapat pada pasien dengan CTTH dibandingkan dengan pasien kontrol.13-15
Sekelompok peneliti Korea juga menemukan secara signifikan jumlah MTrPs aktif
yang lebih besar pada pasien dengan CTTH dibandingkan dengan pasien dengan
tension-type headache episodik tanpa MTrPs aktif pada kelompok kontrol.
Penelitian ini dilakukan pada klinis nyeri kepala yang berbasis di rumah sakit
tersier.16
Hubungan antara MTrPs dan CTTH belum dapat diselidiki pada setting
pelayanan primer. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan
prevalensi MTrPs aktif pada kepala dan otot leher secara spesifik, pada pasien yang
menunjukkan CTTH pada fasilitas pelayanan kesehatan primer di Tshwane, Afrika
Selatan.

METODE
Sebuah penelitian prospektif, cross-sectional deskriptif, dilakukan di dua
tempat pelayanan kesehatan primer perkotaan yang terletak di baratdaya distrik
Tshwane (Pretoria).
Pasien dewasa (usia ≥ 18 tahun) dengan nyeri kepala kronis yang telah
berlangsung selama lebih dari 3 bulan, yang didiagnosis hampir lebih dari dua tahun
melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis yang terfokus. Pasien yang memenuhi
kriteria CTTH berdasarkan International Classification of Headache Disorders
(ICHD), edisi kedua17 (edisi ketiga18 dipublikasikan ketika penelitian ini sedang
dilakukan), diikutsertakan kedalam penelitian ini. Seluruh subjek memiliki nyeri
kepala setidaknya selama 15 hari dalam satu bulan yang berlangsung lebih dari tiga
bulan. Nyeri kepala yang diderita para subjek berada di kedua sisi kepala dengan
kualitas nyeri yang berbeda-beda. Skoring penilaian intensitas nyeri 0-10 (NRS-
Numeric Rating Scale) digunakan untuk menilai derajat keparahan nyeri kepala
selama empat minggu sebelumnya. Sesuai dengan kriteria ICHD untuk CTTH, rata-
rata skor intensitas nyeri kepala pasien bervariasi antara 1-6 (nyeri ringan-sedang)
berdasarkan sistem skoring NRS. Pasien yang tidak memenuhi kriteria inklusi
dalam penelitian ini yaitu bila dari evaluasi klinis didapatkan adanya penyebab
sekunder nyeri kepala, atau nyeri kepala primer tipe lain seperti migrain. Pasien
yang tidak dapat mendeskripsikan nyeri kepala secara jelas akibat gangguan
kognitif dieksklusikan.
Sembilan puluh tujuh pasien diikutsertakan dalam penelitian ini. Jumlah
tersebut adalah jumlah minimal sampel untuk menentukan prevalensi MTrPs aktif
dengan akurasi 10 % atau lebih kecil dan konfidensi 95 %.
Seluruh subjek memberikan informed consent tertulis sebelum
berpartisipasi dalam penelitian ini yang diterima oleh Komite Etik Penelitian
Universitas Pretoria.
Sebuah kuesioner diberikan, didalamnya terdapat pertanyaan mengenai data
demografik dasar serta pertanyaan yang berhubungan dengan karakteristik nyeri
kepala dan penggunaan analgesik.
Hal ini juga disertai penilaian muskuloskeletal untuk menentukan lokasi dan
adanya MTrPs aktif. Otot leher dan kepala yang spesifik atau kelompok otot, yaitu
temporalis, trapezius superior, occipitofrontalus, suboccipital, dan cervicalis
posterior secara sistematis diperiksa bilateral. MTrPs teraba melalui teknik palpasi
datar, dideskripsikan oleh Dommerholt et al,19 menggunakan jari telunjuk untuk
menekan dasar tulang untuk mengetahui adakah titik nyeri istimewa pada setiap
otot. Begitu ketemu, dilakukan penekanan bertahap, menggunakan tekanan
algometer (Force DialTM Algometer; Wagner Instruments, USA), yang
diaplikasikan pada titik nyeri untuk mengukur dan menstandardisasi tekanan lokal.
Kompresi berlangsung selama 5 hingga maksimal 10 detik dan sampai tekanan
maksimal yaitu 4 kg/cm2 (tekanan cukup untuk mengembalikan aliran darah kuku
ibu jari).
Tujuan dari penelitian ini, MTrPs aktif ditemukan ketika palpasi satu jari
dan tekanan algometer diatas otot mengkonfirmasi adanya titik nyeri istimewa yang
berhubungan dengan titik nyeri dimana pasien mengenalinya sebagai titik nyeri
kepala biasanya.
Setiap otot/kelompok otot (sisi kanan dan kiri) diklasifikasikan menjadi
kelompok yang memiliki MTrP aktif atau tidak. Oleh karena itu, seorang pasien
dengan satu atau lebih titik pemicu setiap otot/kelompok otot yang direkam pada
kedua sisinya maksimal memiliki 10 MTrPs aktif.

ANALISA STATISTIK
Data-data dianalisa dengan menggunakan software statistik Stata Release
8.1 Intercooled (StataCorp LP, College Station, TX, USA). Distribusi frekuensi
parameter pasien CTTH dan kategori MTrP aktif dilakukan untuk menentukan
persentase pasien dengan MTrP aktif dalam otot/kelompok otot yang berhubungan.
Chi-square, Fisher’s exact, dan Student’s t-tests digunakan untuk menilai pengaruh
variabel penelitian seperti usia, jenis kelamin, dan frekuensi penggunaan obat
analgesik pada frekuensi MTrP aktif. Analisa statistik dilakukan pada tingkat
konfidensi 95% dan nilai p kurang dari 0.05 yang dianggap signifikan secara
statistik.

HASIL
Profil sosio-demografik dari 97 sampel pasien ditunjukkan oleh Tabel 1.
Dalam tabel tersebut sebanyak 86.6 % (n=84) pasien yang menderita CTTH adalah
wanita. Usia rerata adalah 39.1 tahun dengan standard deviasi 12.9.
Satu atau lebih MTrP aktif ditemukan di otot kepala dan leher pada 95.9 %
(n=93) pasien, dengan sebagian besar memiliki empat atau lebih MTrPs aktif
(Tabel 2).
Variabel Sosio-demografik Kategori n %
Pria 13 13.4
Jenis kelamin
Wanita 84 86.6
18-29 26 26.8
30-39 29 29.9
Usia (tahun) 40-49 18 18.6
50-59 19 19
>60 5 5.2
Bekerja 61 62.9
Status pekerjaan
Tidak Bekerja 36 37.1
Hitam 55 56.7
Putih 11 11.3
Ras
Asia 26 26.8
Campuran 5 5.2
Total 97
Tabel 1. Karakteristik demografik pasien CTTH

Jumlah MTrPs aktif pasien n %


0 4 4.1
1-3 21 21.7
≥4 72 74.2
Total 97
Tabel 2. Jumlah MTrPs aktif pasien

Jumlah rata-rata MTrPs aktif seorang pasien adalah 4.9 (SD 2.43). Gambar
1 mengilustrasikan distribusi MTrPs aktif di otot kepala dan leher yang diperiksa.
MTrPs yang paling aktif ditemukan di kelompok otot temporalis (87.6%) dan
suboksipital dan MTrPs aktif ditemukan secara bilateral di hampir semua otot.
100
90
80
70
60
50
40
Unilateral
30
Bilateral
20
10
0

Gambar 1. Persentase pasien CTTH dengan MTrPs aktif di otot kepala dan leher
yang berbeda

Variabel seperti jenis kelamin (p=0.42), usia (p=0.44) dan status pekerjaan
(p=0.88) tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap MTrPs aktif di otot-otot
leher dan kepala. Prevalensi MTrPs aktif dibandingkan dengan kelompok pasien
dengan CTTH yang sering menggunakan obat analgesik (65.98%) dan kelompok
yang tidak menggunakannya. Tidak ada perbedaan hasil temuan MTrPs aktif yang
signifikan diantara kedua kelompok tersebut (OR 2.00; 95% CI 0.26-15.11) dan
p=0.49. Jumlah pasien dengan MTrPs aktif (0-3) lebih sedikit dibandingkan pasien
dengan MTrPs aktif (4-10). Tidak ada juga perbedaan yang signifikan antara
kelompok pasien yang sering dengan pasien yang jarang mengkonsumsi obat
analgesik (OR 1.42; 95% CI 0.55-3.67) dan p=0.47.

DISKUSI
Pada studi ini, yang dilakukan dengan subyek pasien dewasa dengan CTTH
di dua fasilitas kesehatan primer, kebanyakan pasien ditemukan memiliki satu atau
lebih MTrPs aktif pada otot kepala dan leher. Prevalensi MTrPs aktif pada grup
pasien CTTH pada penelitian ini lebih tinggi dibanding yang ditemukan pada studi
sebelumnya, yang menggunakan pasien di rumah sakit tersier, yang mana 65-85%
pasien dengan CTTH ditemukan memiliki MTrPs aktif.14, 15 Prevalensi tinggi dari
MTrPs aktif pada pasien fasilitas kesehatan primer ini sudah diduga karena studi
sebelumnya telah mengonfirmasi bahwa nyeri MTrP memiliki asosiasi kuat dengan
nyeri kepala chronic tension-type dan migrain. 5 Gerwin melaporkan sebelumnya
bahwa 100% pasien dengan nyeri kepala mixed-type/migrain memiliki MTrPs
aktif.20
Studi sebelumnya tentang MTrPs aktif pada pasien CTTH secara spesifik
melaporkan angka rata-rata MTrPs aktif yang ditemukan per pasien. Terdapat
perbedaan dengan penelitian ini, yang mungkin dikarenakan bahwa setiap studi
tersebut memeriksa otot leher dan kepala yang berbeda-beda. Studi pasien CTTH
yang dilakukan di Spanyol dan Korea menemukan rata-rta sebesar 1.9 dan 2.4
MTrPs aktif per pasien CTTH, ketike memeriksa tiga sampai empat otot kepala dan
leher secara bilateral.16, 18 Pada studi lain yang dilakukan oleh peneliti Spanyol, rata-
rata MTrPs yang ditemukanyakni 7 MTrPs aktif per pasien CTTH, ketika
25
memeriksa enam otot kepala dan leher secara bilateral. Pada studi ini, yang
menggunakan lima otot kepala dan leher bilateral, ditemukan rata-rata 4.9 MTrPs
aktif per pasien CTTH. Perlu diperhatikan bahwa masalah nyeri regional dapat
disebabkan oleh satu trigger point, meskipun umumnya memang dipengaruh oleh
berbagai trigger point.8
Pada studi kami ini, muskulus temporalis dan suboksipitalis merupakan dua
otot yang paling sering memiliki MTrPs aktif (87.6% dan 80.4%, secara berurutan).
Muskulus suboksipitalis juga dilaporkan merupakan otot yang paling dipengaruhi
oleh berbagai MTrPs aktif, sesuai satu studi dari Spanyol,21 tidak seperti studi pada
Korea, yang mana melaporkan muskulus Trapezius superior sebagai otot yang
paling sering dikaitkan (8.7%).18 Simons et al telah melaporkan bahwa muskulus
Trapezius mungkin merupakan otot yang paling dipengaruhi oleh MTrPs.5
Prevalensi MTrPs aktif yang rendah pada studi kami ini mungkin saja berkaitan
dengan perbedaan pada aktivitas sehari-hari pada populasi studi ini dibandingkan
dengan populasi studi lainnya. Telah diketahui bahwa stress visual yang tinggi
terkait pekerjaan menggunakan komputer, akan meningkatkan perkembangan
22
trigger point di muskulus Trapezius. Dengan lebih dari sepertiga dari populasi
studi kami yang merupakan pengangguran, maka pekerjaan dengan komputer
mungkin saja tidak terkait. Pada studi tentang pasien migrain, ditemukan bahwa di
muskulus temporalis dan suboksipitalis lah banyak terletak trigger point.
Walaupun studi ini dan studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa
mayoritas pasien CTTH memiliki MTrPs aktif pada otot kepala dan lehernya, masih
belum jelas apakah ada hubungan langsung antara adanya MTrPs dan CTTH.
Walau begitu, telah cukup jelas bahwa MTrPs pada otot kepala, leher, dan bahu
merupakan sumber sensitisasi sentral dan perifer yang mungkin saja berpengaruh
34
dalam gejala nyeri kronis pada pasien CTTH. Kontribusi MTrPs aktif terhadap
6, 26
nyeri pada CTTH didukung oleh beberapa peneliti di bidang ini. Telah
diketahui juga bahwa identifikasi dan intervensi dini untuk mengenali MTrPs pada
pasien dengan nyeri kepala tension-type dapat saja mencegah progresi ke gangguan
nyeri kepala yang lebih kronis. 5 Harus diperhatikan juga bahwa munculnya MTrPs
pada pasien CTTH tidak selalu menyingkirkan kemungkinan adanya pengaruh
faktor-faktor lain, seperti stress psikologis atau kecemasan dan postur kepala
abnormal, yang mungkin saja meningkatkan aktivitas MTrPs. 12
Penggunaan yang sering dari medikasi analgesik, yang mana ditemukan
pada 65.98% sampel kami, menunjukkan diagnosis tambahan yakni nyeri kepala
medication-overuse pada sampel tersebut. Pada studi kali ini, kami tidak
membedakan antara CTTH dengan nyeri kepala medication-overuse, karena pada
praktek klinik fasilitas kesehatan primer, pasien dengan nyeri kepala kronis
kebanyakan datang dengan gejala kombinasi keduanya. Maka, ICHD terbaru (edisi
ke-3)18 menyarankan bahwa pasien yang memenuhi kriteria CTTH yang juga
menggunakan medikasi analgesik secara berlebihan, sebaiknya diberikan diagnosis
ganda, yakni CTTH sekaligus nyeri kepala medication-overuse. Pada studi ini, tidak
ada asosiasi yang ditemukan antara penggunaan sering dari analgesik dan frekuensi
MTrP pada otot kepala dan leher.
Perlu diperhatikan bahwa lebih dari setengah pasien dengan CTTH berusia
di bawah 40 tahun, dengan sisanya umumnya berada di bawah usia 60. Hal ini
menekankan pentingnya manajemen efektif kondisi ini, yang ternyata muncul pada
populasi grup usia yang umumnya aktif secara ekonomi. Tingginnya jumlah pasien
wanita pada sampel cocok dengan penemuan studi sebelumnya, yakni nyeri kepala
tension-type muncu lebih sering pada wanita dibanding laki-laki.
Keterbatasan studi ini yakni tidak adanya metode laboratoris untuk
mengidentifikasi MTrPs. Diangosis didasarkan hanya sekedar dari riwayat dan
5
pemeriksaan fisik, dan dipengaruhi oleh kemampuan dan tehnik pemeriksa.
Tingkat reliabilitas diagnosis MTrP di kemudian hari seharusnya ditingkatkan,
yakni dengan elasografi resonansi magnetik dan imaging ultrasound resolusi tinggi.
12
Saat ini tidak ada diangostik klinis yang valid untuk MTrPs. Maka diperlukan
konsensus tentang fitur klinis untuk mendiagnosis MPS.

SIMPULAN DAN REKOMENDASI


Hasil studi ini mengindikasikan bahwa MTrPs aktif pada otot kepala dan
leher pada pasien dengan CTTH tergolong sering ditemukan di fasilitas kesehatan
primer. Ini menyiratkan bahwa asosiasi antara MPS dan CTTH tidak hanya terbatas
pada kasus-kasus di institusi fasilitas sekunder dan tersier. Maka, dalam
menetapkan strategi pengobatan yang sesuai dengan CTTH, asesmen
muskuloskeletal pada leher muskulus pericranial sangat penting dan dapat
mengurangi kebutuhan investigasi dan imaging laboratorium yang mahal.
Sangat direkomendasikan bahwa MTrPs aktif sebaiknya dirawat sedini dan
seefektif mungkin untuk menghindari sensitisasi potensial dan kronifikasi nyeri. 24
Injeksi trigger point dengan lignokain terlihat efektif dalam memberikan kelegaan
pada gejala-gejala yang diakibatkan oleh MTrPs aktif dan merupakan modalitas
pengobatan utama dengan bukti kesembuhan yang baik dibanding pengobatan
25,26
invasif lainnya. Pada survei baru-baru ini yang dilakukan oleh American
Headache Society, sepertiga responder mengindikasikan bahwa mereka melakukan
intervensi ini pada pasien dengan nyeri kepala, terutama CTTH. 7 Dengan pelatihan
yang baik, intervensi ini dapat diimplementasikan oleh klinisi di fasilitas kesehatan
primer di Afrika Selatan. Klinisi sebaiknya secara bersamaan mengidentifikasi dan
menilai faktor pemberat, seperti postur abnormal tubuh, stres, gangguan mood dan
tidur, yang mungkin berkontribusi pada MPS dan MTrPs.6
Identifikasi yang memadai dan manajemen MTrPs seharusnya dapat
berkontribusi secara signifikan terhadap manajemen multimodal pada gangguan
nyeri kepala kronis yang umum diderita kebanyakan orang ini.
REFERENSI
1. Russell MB, Levi N, Šaltytė-Benth J, et al. Tension-type headache in adolescents
and adults: a population based study of 33,764 twins. Eur J Epidemiol.
2006;21:153–60.
2. Schwartz BS, Stewart WF, Simon D, et al. Epidemiology of tensiontype headache.
JAMA- J Am Med Assoc. 1998;279(5):381–3.
3. Langemark M, Olesen J. Pericranial tenderness in tension headache: a blind,
controlled study. Cephalalgia. 1987;7:249–55.
4. Jensen R. Pathophysiological mechanisms of tension-type headache: a review of
epidemiological and experimental studies. Cephalalgia. 1999;19:602–21.
5. Simons DG, Travell JG, Simons LS. Myofascial pain and dysfunction: the trigger
point manual, vol 1, Upper half of body. Baltimore, MD: Williams & Wilkins;
1999.
6. Giamberardino MA, Affaitati G, Fabrizio A, et al. Myofascial pain syndromes and
their evaluation. Best Pract Res Cl Rh. 2011;25(2):185–98.
7. Robbins MS, Kuruvilla D, Blumenfeld A, et al. Trigger point injections for
headache disorders: expert consensus methodology and narrative review.
Headache. 2014;54(9):1441–59.
8. Bennett R. Myofascial pain syndromes and their evaluation. Best Pract Res Cl Rh.
2007;21(3):427–45.
9. Gerwin RD, Dommerholt J, Shah JP. An expansion of Simons’ integrated
hypothesis of trigger point formation. Curr Pain Headache R. 2004;8:468–75.
10. Shah JP, Phillips TM, Danoff JV, et al. An in vivo microanalytical technique for
measuring the local biochemical milieu of human skeletal muscle. J Appl Physiol.
2005;99:1977–84.
11. Shah JP, Danoff JV, Desai MJ, et al. Biochemicals associated with pain and
inflammation are elevated in sites near to and remote from active myofascial
trigger points. Arch Phys Med Rehabil. 2008;89:16–23.
12. Dommerholt J, Huijbregts P. Myofascial trigger points. Pathophysiology and
evidence informed diagnosis and management. Boston: Jones and Bartlett; 2011.
13. Fernandez-de-las-Penas C, Alonso-Blanco C, Cuadrado ML, et al. Myofascial
trigger points and their relationship to headache clinical parameters in chronic
tension-type headache. Headache. 2006;46:1264–72.
14. Fernandez-de-las-Penas C, Alonso-Blanco C, Cuadrado ML, et al. Trigger points
in the suboccipital muscles and forward head posture in tension-type headache.
Headache. 2006;46:454–60.
15. Couppe C, Torelli P, Fuglsang-Frederiksen A, et al. Myofascial trigger points are
very prevalent in patients with chronic tension-type headache. Clin J Pain.
2007;23(1):23–7.
16. Sohn JH, Choi HC, Lee SM, et al. Differences in cervical musculoskeletal
impairment between episodic and chronic tension-type headache. Cephalalgia.
2010;30(12):1514–23.
17. International Headache Society. The International Classification of Headache
Disorders, 2nd edition. Cephalalgia. 2004;24(Suppl 1):1–160.
18. Headache Classification Committee of the International Headache Society. The
International Classification of Headache Disorders, 3rd edition (beta version).
Cephalalgia. 2013;33(9):629–808.
19. Dommerholt J, Bron C, Franssen J. Myofascial trigger points: an evidence-
informed review. J Man Manip Ther. 2006;14(4):203–21.
20. Gerwin RD. Classification, epidemiology, and natural history of myofascial pain
syndrome. Curr Pain Headache R. 2001;5:412–20.
21. Fernández-de-las-Peñas C, Ge H, Alonso-Blanco C, et al. Referred pain areas of
active myofascial trigger points in head, neck and shoulder muscles, in chronic
tension type headache. J Body Mov Ther. 2010;14:391–6.
22. Treaster D, Marras WS, Burr D, et al. Myofascial trigger point development from
visual and postural stressors during computer work. J Electromyogr Kines.
2006;16:115–24.
23. Calandre EP, Hidalgo J, Garcia-Leiva JM, et al. Trigger point evaluation in
migraine patients: an indication of peripheral sensitization linked to migraine
predisposition? Eur J Neurol. 2006;13:244–9.
24. Fernández-de-las-Peñas C, Dommerholt J. Myofascial trigger points: peripheral or
central phenomenon? Curr Rheumatol Rep. 2014;16(1):Article 395, 1–6.
25. Scott NA, Guo B, Barton PM, et al. Trigger point injections for chronic non-
malignant musculoskeletal pain: a systematic review. Pain Med. 2009;10:54–69.
26. Blumenfeld A, Ashkenazi A, Grosberg B, et al. Patterns of use of peripheral nerve
blocks and trigger point injections among headache practitioners in the USA:
Results of the American headache society interventional procedure survey (AHS-
IPS). Headache. 2010;50:937–42.

Anda mungkin juga menyukai