Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
1
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Menurut PERKENI (2012)
seseorang dapat didiagnosa diabetes melitus apabila mempunyai gejala
klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi disertai
dengan kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa
≥126 mg/dl. 2
Diabetes Mellitus telah menjadi penyebab kematian terbesar
keempat di dunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabkan
langsung oleh diabetes. Terdapat 1 orang per 10 detik atau 6 orang per
menit yang meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan diabetes.
Penderita DM di Indonesia sebanyak 4,5 juta pada tahun 1995,
terbanyak ketujuh di dunia. Sekarang angka ini meningkat menjadi 8,4
juta dan diperkirakan akan menjadi 12,4 juta pada tahun 2025 atau
urutan kelima di dunia.4
2.1.2 Manifestasi Klinis
Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit DM
diantaranya : 2 9
1) Pengeluaran urin (Poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam
meningkat melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM
dikarenakan kadar gula dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh
tidak sanggup untuk mengurainya dan berusaha untuk
mengeluarkannya melalui urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih
sering terjadi pada malam hari dan urin yang dikeluarkan
mengandung glukosa.

3
4

2) Timbul rasa haus (Polidipsia)


Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar
glukosa terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon untuk
meningkatkan asupan cairan.
3) Timbul rasa lapar (Polifagia)
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut
disebabkan karena glukosa dalam tubuh semakin habis sedangkan
kadar glukosa dalam darah cukup tinggi.
4) Peyusutan berat badan
Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan karena tubuh
terpaksa mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energi.

Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata


kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita.
2.1.3 Klasifikasi DM 5

1) Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada remaja atau anak, dan terjadi
karena kerusakan sel β (beta). Canadian Diabetes Association
(CDA) 2013 juga menambahkan bahwa rusaknya sel β pankreas
diduga karena proses autoimun, namun hal ini juga tidak diketahui
secara pasti. Diabetes tipe 1 rentan terhadap ketoasidosis, memiliki
insidensi lebih sedikit dibandingkan diabetes tipe 2, akan meningkat
setiap tahun baik di negara maju maupun di negara berkembang.
2) Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa. Seringkali
diabetes tipe 2 didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu
setelah komplikasi muncul sehingga tinggi insidensinya sekitar 90%
dari penderita DM di seluruh dunia dan sebagian besar merupakan
5

akibat dari memburuknya faktor risiko seperti kelebihan berat badan


dan kurangnya aktivitas fisik.
3) Diabetes gestational
Gestational diabetes mellitus (GDM) dikenali pertama kali selama
kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor
risiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas,
riwayat keluarga, dan riwayat gestasional terdahulu. Wanita dengan
diabetes gestational memiliki peningkatan risiko komplikasi selama
kehamilan dan saat melahirkan, serta memiliki risiko diabetes tipe 2
yang lebih tinggi di masa depan.
4) Tipe diabetes lainnya
1 Defek genetik fungsi sel beta :

2 DNA mitokondria.

3 Defek genetik kerja insulin.

4 Penyakit eksokrin pankreas :


a) Pankreatitis.

b) Tumor/ pankreatektomi.

c) Pankreatopati fibrokalkulus.

5 Endokrinopati.

a) Akromegali.

b) Sindroma Cushing.

c) Feokromositoma.

d) Hipertiroidisme.

6 Karena obat/ zat kimia.

7 Pentamidin, asam nikotinat.

8 Glukokortikoid, hormon tiroid.


6

2.1.4 Patofisiologi DM 3 5 7 9

1) Patofisiologi diabetes tipe 1


Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan
sel yang memproduksi insulin beta pankreas. Kondisi tersebut
merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan ditemukannya
anti insulin atau antibodi sel anti-islet dalam darah. National Institute
of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) tahun
2014 menyatakan bahwa autoimun menyebabkan infiltrasi limfositik
dan kehancuran islet pankreas. Kehancuran memakan waktu tetapi
timbulnya penyakit ini cepat dan dapat terjadi selama beberapa hari
sampai minggu. Akhirnya, insulin yang dibutuhkan tubuh tidak
dapat terpenuhi karena adanya kekurangan sel beta pankreas yang
berfungsi memproduksi insulin. Oleh karena itu, diabetes tipe 1
membutuhkan terapi insulin, dan tidak akan merespon insulin yang
menggunakan obat oral.
2) Patofisiologi diabetes tipe 2
Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak
mutlak. Ini berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan
kurangnya sel beta atau defisiensi insulin resistensi insulin perifer.
Resistensi insulin perifer berarti terjadi kerusakan pada reseptor-
reseptor insulin sehingga menyebabkan insulin menjadi kurang
efektif mengantar pesan-pesan biokimia menuju sel-sel. Dalam
kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini, ketika obat oral gagal untuk
merangsang pelepasan insulin yang memadai, maka pemberian obat
melalui suntikan dapat menjadi alternatif.
3) Patofisiologi diabetes gestasional
Gestational diabetes terjadi ketika ada hormon antagonis insulin
yang berlebihan saat kehamilan. Hal ini menyebabkan keadaan
7

resistensi insulin dan glukosa tinggi pada ibu yang terkait dengan
kemungkinan adanya reseptor insulin yang rusak.
2.1.5 Faktor Risiko DM 3 6 7

1) Faktor risiko yang dapat diubah

a) Gaya hidup

Gaya hidup merupakan perilaku seseorang yang ditunjukkan


dalam aktivitas sehari-hari. Makanan cepat saji, olahraga tidak
teratur dan minuman bersoda adalah salah satu gaya hidup yang
dapat memicu terjadinya DM tipe 2.

b) Diet yang tidak sehat


Perilaku diet yang tidak sehat yaitu kurang olahraga, menekan
nafsu makan, sering mengkonsumsi makan siap saji.

c) Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko utama untuk
terjadinya penyakit DM. Obesitas dapat membuat sel tidak
sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Semakin banyak
jaringan lemak pada tubuh, maka tubuh semakin resisten terhadap
kerja insulin, terutama bila lemak tubuh terkumpul didaerah
sentral atau perut (central obesity).
8

Perhitungan berat badan ideal sesuai dengan Indeks Massa Tubuh


(IMT) menurut WHO (2014), yaitu:

IMT = BB(kg)/TB(m2)
Tabel 2.1 Klasifikasi indeks massa tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh (IMT) Klasifikasi berat badan


<18,5 Kurang
18,5-22,9 Normal
23-24,9 Kelebihan
≥25,0 Obesitas

d) Tekanan darah tinggi


Tekanan darah tinggi merupakan peningkatan kecepatan denyut
jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah
dari tepi dan peningkatan volume aliran darah.

2) Faktor risiko yang tidak dapat diubah

a) Usia
Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi risiko terkena
diabetes tipe 2. DM tipe 2 terjadi pada orang dewasa setengah
baya, paling sering setelah usia 45 tahun. Meningkatnya risiko
DM seiring dengan bertambahnya usia dikaitkan dengan
terjadinya penurunan fungsi fisiologis tubuh.
b) Riwayat keluarga diabetes melitus
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang tua.
Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota
keluarga yang juga terkena penyakit tersebut. Fakta menunjukkan
bahwa mereka yang memiliki ibu penderita DM tingkat risiko
terkena DM sebesar 3,4 kali lipat lebih tinggi dan 3,5 kali lipat
lebih tinggi jika memiliki ayah penderita DM. Apabila kedua
9

orangtua menderita DM, maka akan memiliki risiko terkena DM


sebesar 6,1 kali lipat lebih tinggi.
c) Ras atau latar belakang etnis
Risiko DM tipe 2 lebih besar terjadi pada hispanik, kulit hitam,
penduduk asli Amerika, dan Asia.
d) Riwayat diabetes pada kehamilan
Mendapatkan diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi
lebih dari 4,5 kg dapat meningkatkan risiko DM tipe 2.

128
2.1.6 Pencegahan DM

1) Pengelolaan makan
Diet yang dianjurkan yaitu diet rendah kalori, rendah lemak,
rendah lemak jenuh, diet tinggi serat. Diet ini dianjurkan diberikan
pada setiap orang yang mempunyai risiko DM. Jumlah asupan kalori
ditujukan untuk mencapai berat badan ideal. Selain itu, karbohidrat
kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan
seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak glukosa darah yang
tinggi setelah makan.

2) Aktifitas fisik
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit terdiri dari pemanasan
±15 menit dan pendinginan ±15 menit), merupakan salah satu cara
untuk mencegah DM. Kegiatan sehari-hari seperti menyapu,
mengepel, berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun
harus tetap dilakukan dan menghindari aktivitas sedenter misalnya
menonton televisi, main game komputer, dan lainnya.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani
yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti
10

jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani


sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-
malasan.
3) Kontrol Kesehatan
Seseorang harus rutin mengontrol kadar gula darah agar diketahui
nilai kadar gula darah untuk mencegah terjadinya diabetes melitus
supaya ada penanganan yang cepat dan tepat saat terdiagnosa
diabetes melitus. Seseorang dapat mencari sumber informasi
sebanyak mungkin untuk mengetahui tanda dan gejala dari diabetes
melitus yang mungkin timbul, sehingga mereka mampu mengubah
tingkah laku sehari-hari supaya terhindar dari penyakit diabetes
melitus.

2.1.7 Cara Diagnosis DM 1 3 7


Adanya keluhan klasik DM, dan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat
diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

Tabel 2.2 Kadar glukosa darah sewaktu sebagai patokan penyaring dan
diagnosa DM (mg/dL).
Sampel Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah Vena <100 100-199 >=200
sewaktu Kapiler <90 90-199 >=200
Kadar glukosa darah Vena <100 100-125 >=126
puasa Kapiler <90 90-99 >=100

Terdapat beberapa kriteria diagnosis Diabetes Melitus berdasarkan


nilai kadar gula darah, berikut ini adalah kriteria diagnosis berdasarkan
American Diabetes Association tahun 2010:
1. Gejala klasik DM dengan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/ dl (11.1
mmol/L).
11

Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada


suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Gejala klasik
adalah: poliuria, polidipsia dan berat badan turun tanpa sebab.
2. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/ dl (7.0 mmol/L).Puasa adalah
pasien tak mendapat kalori sedikitnya 8 jam.

3. Kadar glukosa darah 2 jam PP ≥ 200 mg/ dl (11,1 mmol/L). Tes


Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan dengan standar WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa
anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Apabila hasil pemeriksaan
tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan
ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) tergantung dari hasil yang
diperoleh :

TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140-199


mg/dl (7,8-11,0 mmol/L)

GDPT : glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dl (5,6-6,9


mmol/L).
12

Langkah Diagnosa DM dan Gangguan Toleransi Glukosa

Pemeriksaan HbA1C menjadi salah satu kriteria diagnosis, jika


dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi
dengan baik.

Tabel 2.3 Kriteria pengendalian DM 2

Baik Sedang Buruk


GDP (mg/dl) 80 - < 100 100 – 125 ≥ 126
GD2PP (mg/dl) 40 - 144 145 - 179 ≥ 180
A1C (%) < 6,5 6,5 - 8 >8
13

2.1.8 Penatalaksanaan DM 2 3

Penderita diabetes mellitus sebaiknya melaksanakan 4 pilar


pengelolaan diabetes mellitus yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani, dan intervensi farmakologis. Penatalaksanaan DM dimulai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu
(2-4 minggu). Bila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral
(OHO) dapat segera diberikan secara tunggal atau kombinasi, sesuia
indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, bedan badan menurun dengan cepat, dan
adanya ketouria, insulin dapat segera diberikan.

Terapi Farmakologis

1. Golongan Insulin Sensitizing yaitu yang memperbaiki sensitivitas


insulin ;
 Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai ialah
metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di
usus dan hati, tidak dimetabolisme tapi dikeluarkan secara cepat
melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin
biasanya diberikan 2-3 kali sehari kecuali dalam bentuk extended
release. Efek samping yang terjadi dapat berupa asidosis laktat dan
untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal( kreatinin > 1,3 mg/dl pada wanita
dan > 1,5 mg/dl pada pria) atau pada gangguan fungsi hati dan
gagal jantung serta harus hati-hati pada orang lanjut usia.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler,distal
reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin
meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga
14

menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi


glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara
oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah
2 jam dan dieksresikan lewat urin dalam keadaan utuh dengan
waktu paruh 2 jam.

Metformin dapat menurunkan glukosa darah tapi tidak


menyebabkan hipoglikemik. Pemakaian tunggal metformin dapat
menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin
plasma pada keadaa basal juga turun. Pada pemakaian kombinasi
dengan sulfonilurea, hipoglikemik dapat terjadi akibat pengaruh
sulfonilureanya. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat
badan seperti pada pemakaian sulfonilurea. Pada pemakaian
kombinasi metformin dengan insulin dapat dipertimbangkan untuk
pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan.

 Glitazone atau Thiazolidinediones


Obat ini dapat diberikan secara oral dan monoterapinya
dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa sebanyak 59-
80 mg/dl dan A1C 1,4-2,6% dibandingkan dengan plasebo.
Glitazone merupakan agonis peroxicame activated receptor
gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR
gamma terdapat dijaringan target kerja insulin yang merupakan
regulator homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone dapat merangsang ekskresi beberapa protein yang dapat
memperbaiki sensitifitas insulin dan memperbaiki glikemia serta
dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi
insulin seperti TNF-alpha dan leptin.

Glitazone diabsorpsi dengan cepat dan mencapai


konsentrasi tertinggi setelah 1-2 jam dan makanan tidak
mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar 3-4
15

jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone. Obat ini
dapat digunakan dalam monoterapi ataupun kombinasi dengan
metformin dan sekretago insulin. Secara klinik rosiglitazone dapat
diberikan 4 & 8 mg/hr ( dosis tunggal/terbagi 2x sehari)
memperbaiki glukosa darah puasa sampai 55 mg/dl. Sedangkan
pioglitazone sebagai monoterapi/kombinasi dapat menurunkan
glukosa darah dengan dosis 45 mg/dl.

2. Golongan Sekretagok Insulin

Mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi


sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini berupa
sulfonilurea dan glinid.

 Sulfonilurea
Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan merangsang
channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu hanya dapat
bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk
sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai untuk DM
tipe 1. Efek akut obat golongan sulfonil urea berbeda dengan efek
pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai
masa paruh 4 jam pada pemakaian akut tapi pemakaian jangka
lama > 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam.
Karena itu, dianjurkan hanya sekali sehari. Glibenklamid
menurunkan glukosa darah puasa (36%) lebih besar dari glukosa
sesudah makan (21%). Pada pemakaian jangka lama efektifitas
golongan obat ini dapat berkurang.

Pemakaian sulfonilurea selalu dimulai dengan dosis rendah


untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Dosis
permulaannya tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila
16

konsentrasi glukosa darah puasa < 200 mg/dl, SU sebaiknya


dimulai dengan dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2
minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dl. Bila
glukosa darah puasa > 200 mg/dl dapat diberikan dosis awal yang
lebih besar . Obat ini sebaiknya diberi setengah jam sebelum
makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberi
sekali sehari sebaiknya diberi pada waktu makan pagi atau pada
makan makanan porsi terbesar.

 Glinid
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea dan memiliki
struktur yang mirip tapi tidak mempunyai efek sepertinya.
Repaglinid & nateglinid diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati
sehingga diberikan 2-3 kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan
glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang
singkat karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga
dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.

Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak


menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan
sekretagok yang khusus menurunkan glukosa pascaprandial dengan
efek hipoglikemik yang minimal.

3. Penghambat Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa


glukosidase didalam saluran cerna sehingga menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial.
Obat ini bekerja dilumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin.
17

Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa


gejala gastrointestinal seperti meteorismus,diare. Acarbose dapat
digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan
insulin,metformin,glitazone atau sulfonilurea. Untuk mendapat efek
maksimal obat ini harus digunakan pada saat makanan utama
karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada
pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada
diusus halus. Monoterapi acarbose dapat menurunkan glukosa
postprandial 40-60 mg/dl dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dl.
Sedangkan dengan terapi kombinasi akan menurunkan glukosa
postprandial sebesar 20-30 mg/dl dari keadaan sebelumnya.

4. Dipeptidyl Peptidase-4 inhibitors DPP-4 inhibitor

DPP-4 merupakan protein membran yang diekspresikan


pada berbagai jaringan termasuk sel imun. DPP-4 Inhibitor adalah
molekul kecil yang meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu
meningkatkan “glucose- mediated insulin secretion” dan
mensupres sekresi glukagon. Penelitian klinik menunjukkan bahwa
DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %.Golongan
obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai sebagai
monoterapi. Obat yang termasuk golongan ini : sitagliptin,
vildagliptin, saxagliptin, and linagliptin.

Insulin

Terapi insulin diperlukan pada keadaan:

 Penurunan BB yang cepat


 Hiperglikemia berat disertai ketosis
 Ketoasidosis diabetik
 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
18

 Hiperglikemia dengan asidosis laktat


 Stres berat( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
 Kehamilan dengan DM / DMG yang tidak terkendali dengan TGM
 Gangguan fungsi hati/ginjal berat
 Kontraindikasi/alergi dengan OHO
 Kanker
 Sirosis hati
 TBC paru
 Fraktur
 Tirotoksikosis
2.1.9 Komplikasi DM 9 10
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang dapat
menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain :
1) Komplikasi metabolik akut
Kompikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus terdapat
tiga macam yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan
kadar glukosa darah jangka pendek, diantaranya:
a) Hipoglikemia
Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) timbul sebagai
komplikasi diabetes yang disebabkan karena pengobatan yang
kurang tepat.
b) Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) disebabkan karena kelebihan kadar
glukosa dalam darah sedangkan kadar insulin dalam tubuh sangat
menurun sehingga mengakibatkan kekacauan metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis.
c) Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler nonketotik)
Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes melitus yang ditandai
dengan hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih
dari 600 mg/dl.
19

2) Komplikasi metabolik kronik


Komplikasi metabolik kronik pada pasien DM dapat berupa
kerusakan pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) dan
komplikasi pada pembuluh darah besar (makrovaskuler) diantaranya:
a) Komplikasi pembuluh darah kecil (mikrovaskuler)
Komplikasi pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) yaitu :
(1) Kerusakan retina mata (Retinopati)
Kerusakan retina mata (Retinopati) adalah suatu mikroangiopati
ditandai dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil.
(2) Kerusakan ginjal (Nefropati diabetik)
Kerusakan ginjal pada pasien DM ditandai dengan albuminuria
menetap (>300 mg/24jam atau >200 ih/menit) minimal 2 kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Nefropati diabetik
merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal.
(3) Kerusakan syaraf (Neuropati diabetik)
Neuropati diabetik merupakan komplikasi yang paling sering
ditemukan pada pasien DM. Neuropati pada DM mengacau pada
sekelompok penyakit yang menyerang semua tipe saraf.
b) Komplikasi pembuluh darah besar (makrovaskuler)
Komplikasi pada pembuluh darah besar pada pasien diabetes yaitu
stroke dan risiko jantung koroner.
(1) Penyakit jantung koroner
Komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien DM
disebabkan karena adanya iskemia atau infark miokard yang
terkadang tidak disertai dengan nyeri dada atau disebut dengan
SMI (Silent Myocardial Infarction).
(2) Penyakit serebrovaskuler
Pasien DM berisiko 2 kali lipat dibandingkan dengan pasien
non-DM untuk terkena penyakit serebrovaskuler. Gejala yang
ditimbulkan menyerupai gejala pada komplikasi akut DM,
20

seperti adanya keluhan pusing atau vertigo, gangguan


penglihatan, kelemahan dan bicara pelo.

Anda mungkin juga menyukai