Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN UJIAN KASUS

GENERAL ANESTESI TEKNIK INTUBASI ETT PADA KASUS CWL

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An

Diajukan Oleh:
Afdelina Rizky Amalia
J510165025

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
GENERAL ANESTESI TEKNIK INTUBASI ETT PADA KASUS CWL
Diajukan Oleh :
Afdelina Rizky Amalia
J510165025
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada tanggal 2 Juli 2016

Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Disahkan Ketua Program Profesi :


dr. Dona Dewi N (.................................)

BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis.
Penyebab utamanya ialah salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus,
yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis dapat menjadi
berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta
menyebabkan peningkatan serangan assma yang sulit diobati. Sinus yang paling
sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih
jarang dan sinus sphenoid lebih jarang lagi (Mangunkusumo,E et al, 2007).
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi
rahang atas maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus. Alergi hidung kronik,
benda asing dan deviasi septum nasi merupakan faktor predisposisi lokal yang
paling sering ditemukan. Deformitas rahang-wajah, terutama palatoskisis, dapat
menimbulkan masalah pada anak. Anak-anak ini cenderung menderita infeksi
nasofaring atau sinus kronik dengan angka insidens yang lebih tinggi. Sedangkan
gangguan geligi bertanggung jawab atas sekitar 10% infeksi sinus maksilaris akut
(Higler, 1997).
Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah
membuat suatu lubang draenase yang memadai. Suatu prosedur yang radikal
dinamakan menurut dua ahli bedah yang mempopulerkannya yaitu operasi
Caldwell-Luc. Prosedur bedah ini, epitel rongga sinus maksilaris diangkat
seluruhnya dan pada akhir prosedur dilakukan antrostomi untuk drainase.
Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali atau reversibel. Anestesi umum meliputi: menghilangkan nyeri, tidak
sadar, amnesia, reversibel, dapat diprediksi, sinonim dengan narkose.
BAB II
LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S.
No.RM : 37.XX.XX
Jenis Kelamin : Perempuan
Masuk Tgl : 28 Juni 2016
Umur : 55 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Jatinango, Kra

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal kantil II
RSUD Karanganyar pada tanggal 28 Juni 2016
 Keluhan Utama : hidung tersumbat dan nyeri
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Telah datang seorang pasien perempuan bernama S, ke bangsal kantil II
pada tanggal 28 Juni 2016 dengan keluhan utama hidung tersumbat dan
terasa nyeri. Hal ini sering terjadi kambuh-kambuhan, sehingga pasien
merasa tidak nyaman. Oleh dr. D, pasien dikatakan mengalami sinusitis
kronis dengan penyakit tambahan polip nasal sehingga pasien setuju
dilakukan operasi Caldwel Luc (CWL) yaitu operasi membuka salah satu
dinding sinus dengan membuka fossa kanina dan polipektomi pada
tanggal 29 Juni 2016.

 Anamnesis Sistemik
Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-)
Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
Abdomen : Diare (-), kembung (-), konstipasi (-)
Urologi : BAK (+) dan BAB(-), panas (-)
Muskolo : Nyeri ditangan dan kaki (-)

 Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit yang sama : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Mondok : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Diabetes : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Diabetes : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

 Riwayat Operasi dan Anestesi


Disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Fisik
1) Status Generalis
Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign : - Tekanan darah : 120/90 mmHg
- Frekuensi Nafas : 20 x/ menit
- Frekuensi Nadi : 94x/ menit
- Suhu : 36,5 o C
- Berat Badan : 50 kg
- Tinggi badan 154 cm
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
dipsneu ( -),
Hidung : Deviasi (-), hidung tersumbat (+), nyeri pada
hidung (+), pernapasan cuping hidung (-)
Leher : Retraksi supra sterna (-), peningkatan JVP (-),
pembesaran kelenjar limfe (-)
Thorax : Retraksi (-)
Paru I: Pengembangan dada kanan = kiri

P: Fremitus raba kanan = kiri

P: Sonor-sonor

A: Suara dasar: vesikuler +/+, Suara tambahan : -/-

Jantung I : Ictus cordis tidak tampak

P : Ictus cordis tidak kuat angkat


P : Batas jantung kesan tidak melebar

A: BJ I-II intensitas normal,reguler, bising(-)

a. Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba

Pemeriksaan penunjang

1. Rontgent

*X foto Thorax PA

Cor dan pulmo dalam batas normal


Arcus aorta normal
Dinding arcus aorta normal
Struktur dan bentuk tulang normal
Kesan : thorax dalam batas normal

2. Laboratorium
Darah Rutin Nilai Nilai normal satuan
Hb 14,2 12.00 – 16.00 g/dL
Ht 46 37 – 47 Vol%
Leukosit 6,15 5,0 – 10,0 10^3/uL
Trombosit 170 150 – 300 mm3
Eritrosit 5,05 4,50 – 5,50 10^6/uL
MCV 91,0 82 – 92 fL
MCH 28,1 27 – 31 Pg
MCHC 30,9 32-37 g/dL
Gran 60,4 50-70,0 %
Limfosit 35,6 25,0– 40,0 %
Monosit 24 3,0 – 9,0 %
Eosinofil 1,1 0 ,5–5,0 %
Basofil 0,5 0,0-1,0 %
Clotting Time 04,00 2-8 Menit
Bleeding Time 01,30 1-3 menit
Golongan B
darah
GDS 123 70 – 150 mg/dL
creatinin 0,83 0,5-0,9 mg/dL
ureum 37 10-50 mg/dL
HbsAg NR NR
Kesan hasil laboratorium : dalam batas normal

3. Elektokardiografi (EKG)
Kesan: EKG dalam batas normal
IV. DIAGNOSIS
Sinusitis kronis dengan polip nasi

V. TERAPI
Pro Operasi Caldwel Lug + Polipektomi

VI. KONSUL ANESTESI


Seorang perempuan usia 55 tahun dengan diagnosis sinusitis kronis
dengan polip nasa yang akan dilakukan tindakan operasi CWL pada
tanggal 29 Juni 2016. Hasil laboratorium, EKG dan Vital sign terlampir.
Kegawatan Bedah : (-)
Derajat ASA : II
Rencana tindakan anestesi : General anestesi Intubasi ETT

VII. LAPORAN ANESTESI


Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 51 Tahun
No RM : 30.XX.XX
Premedikasi : Granisetron, fentalyn, sedacum, ranitidin, oxtercyd
Diagnosa pra bedah : Sinusitis kronik
Diagnosa pasca bedah : CWL
Anestesi : General anestesi
Induksi : Recofol
Pemeliharaan : O2, N20, Halothan
Ijin operasi : sudah (+)
Tanggal operasi : 29 Juni 2016
Jenis operasi : orthoe
Anestesi : GA teknik intubasi ETT
Jumlah cairan : Infus tutofusin 500cc
Hemoglobin : 14,2 gr/dL
Temperatur : 36,50C,
TD : 120/90 mmHg
Keadaan pernapasan : frekuensi 20x/menit, dan volume napas cukup
Keadaan gizi : kesan baik

VIII. TATA LAKSANA ANESTESI

1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital
c. Lama puasa 8 jam
d. Cek obat dan alat anestesi
e. Posisi terlentang
f. Infus RL 30 tpm
2. Di ruang operasi
a. Jam 09.15 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang, TD
120/70 mmHg, HR : 95x/m, Saturasi Oksigen : 100% . O 2, N2O, dan agent
(Halothane) sudah disiapkan. Menyiapkan laringoskop, guedel/mayo,
plester, endotracheal tube nomer 7,5, stetoskop, dan suction. Obat
premedikasi dimasukan melalui IV line.
- Fentalyn Inj. 50 µg/ml (2ml)
- Granisetron inj. 1 mg/ml (4ml)
- Ranitidin 25mg/ml (2ml)
- Midazolam 5mg/ml (5ml)
- Oxtercyd
b. Jam 09.40 dilakukan induksi dengan Propofol 90 mg, segera kepala
diekstensikan, face mask didekatkan pada hidung dengan O2 6 l/menit.
Setelah reflek bulu mata menghilang, dan tampakada tanda – tanda
relaksasi otot leher dan rongga mulut, laringoskop kita masukan sambil
menelusuri lidah, kemudia kita melihat uvula dan trakea. Setelah terlihat
trakea ETT no. 7,5 dan guedel kita masukan, kemudian masukan kunci
dengan mengisi udara pada cuff sesuai kebutuhan. Selang sirkuit kita
hubungkan dengan ETT kemudian kita pompa below. Setelah terpasang
baik dihubungkan dengan mesin anestesi untuk mengalirkan N 2O dan O2.
N2O mulai diberikan 3L dengan O2 3 L /menit untuk memperdalamkan
anestesi, bersamaan dengan ini Halothan dibuka sampai 3% dan sedikit
demi sedikit ( sesudah setiap 5-10 kali tarik nafas) diturunkan dengan 1,5%
sampai 2 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita. Kedalaman
anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (reflek bulu mata), nadi tidak cepat
dan posisi tubuh terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah.
c. Jam 09.45 operasi dimulai dan tanda vital serta saturasi oksigen dimonitor
tiap 5 menit.
d. Jam 10.00 infus RL diganti Tuthofusion 30tpm
e. Jam 10.15 operasi selesai penderita dipindah ke ruang recovery.
f. Setelah operasi selesai agent, N2O, dan O2 kita tutup (matikan). Pemberian
oksigen recovery. Apabila sudah selesai guedel dan ETT kita lepas dengan
cara menyedot kunci yang berisi udara dan plester kita lepas. Sebelumnya
saliva kita suction sampai bersih kemudian ETT kita angkat.
g. Setelah itu airway masuk dengan memasang sungkup untuk memberikan
O2, kita tunggu sampai pasien dipindahkan dari meja operasi ke tempat
tidur pasien dan ke ruang pemulihan (recovery room).
Monitoring Selama Anestesi.
Jam Tensi Nadi SaO2 Keterangan

09.15 120/90 98 100% Masuk ruang operasi, infuse RL 300cc, obat


premedikasi dimasukan melalui IV line

09.25 120/90 92 100% Induksi Recofol 90 mg dan pemasangan ETT

09.30 115/65 88 98% Operasi dimulai

09.35 125/74 80 99% Kondisi pasien stabil

09.40 120/80 97 99% Kondisi pasien stabil

09.45 118/63 95 99% infus RL diganti Tuthofusion 30tpm

09.50 118/54 94 99% Kondisi Pasien stabil

09.55 103/66 96 99% Kondisi Pasien stabil

10.00 105/67 94 98% Kondisi Pasien stabil

10.05 128/70 92 98% Kondisi Pasien stabil

10.10 110/73 96 99% Kondisi Pasien stabil

10.15 100/80 94 99% Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang


recovery

Intake Cairan :

a) RL
b) Tuthofusion
3. Recovery Room
Pasien masuk Ruang RR pukul 10.45 dalam posisi supine
(terlentang) dengan kepala ekstensi, pasien mengantuk, monitoring tanda
vital serta saturasi O2 dan diberikasn O2 3 liter/ menit lewat mulut. TD
120/80 mmHg, Nadi : 88x/m, RR : 20x/m, Suhu : 36,4˚C. Jam 11.00
pasien sadar penuh dan dipindah ke bangsal.

4. Intruksi pasca anestesi


 Posisi supine dengan oksigen 3 liter/ menit
 Kontrol vital sign jika TD < 100 mmHg, infus dipercepat, beri
efedrin
 Bila muntah diberikan granisetron dan bila kesakitan diberikan
analgesik
 Lain – lain
- Antibiotik sesuai THT
- Analgesik sesuai THT
- Puasa sampai dengan flatus
- Post operasi, cek Hb. Bila Hb< 10mg/dl transfusi sampai Hb ≥
10
- Kontrol balance cairan
- Monitor vital sign
BAB III
PEMBAHASAN

Sinus maksila disebut juga antrum high more, merupakan sinus yang
paling sering terinfeksi, oleh karena merupakan sinus paranasal yang terbesar,
letak ostium lebih tinggi dari dasar, dasar sinus maksila adalah dasar gigi
(prosesus alveolaris) sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis
maksilaris, ostium sinus maksila terletak di meatus media disekitar hiatus
semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.
Menurut Adam’s berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas:
• Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai 4 minggu
• Sinusitis subakut, bila infeksi berlangsung dari 4 minggu – 3 bulan
• Sinusitis kronik, bila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan
Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah
membuat suatu lubang draenase yang memadai. Suatu prosedur yang radikal
dinamakan menurut dua ahli bedah yang mempopulerkannya yaitu operasi
Caldwell-Luc. Prosedur bedah ini, epitel rongga sinus maksilaris diangkat
seluruhnya dan pada akhir prosedur dilakukan antrostomi untuk drainase.
Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali atau reversibel. Anestesi umum meliputi: menghilangkan nyeri, tidak
sadar, amnesia, reversibel, dapat diprediksi, sinonim dengan narkose. Teknik
Pemberiaan Obat Anestesi Umum ada 2 jenis yaitu : inhalasi (Anestesi dengan
menggunakan gas atau cairan anestesi yang mudah menguap sebagai zat
anestetika melalui udara pernafasan) dan parenteral (Anestesi umum yang
diberikan secara parenteral baik intravena maupun intamuskular). Teknik anestesi
umum meliputi sungkup muka, nafas spontan, intubasi endotrakea dengan nafas
spontan, dan intubasi dengan nafas kendali.
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi. Anestesi
intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anesetesi.
Tambahan anestesi regional atau untuk membentu prosedur diagnostik misalnya
thiopental, ketamin, dan propofol. Untuk anestesi intravena total biasanya
menggunakan propofol. Pada kasus ini, digunakan Recofol/propofol sebagai
induksi anestesi.
Pada kasus ini sebelum diberikan obat induksi anestesi, pasien terlebih
dahulu di berikan obat premedikasi yang bertujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan, dan pulih dari anestesi. Obat premedikasi pada pasien ini menggunakan
antara lain :
 Fentanyl 1 – 3 µg/kgBB
 Golongan opioid kuat yang digunakan untuk mengurangi / menghilangkan
nyeri.
 memiliki efek depresi terutama pada sistem susunan saraf pusat, respirasi
dan gastrointestinal.
 Metabolisme di hati dan diekskresi melalui empedu dan urin.
 Efek analgetik 100x morfin
 Midazolam 0,05-0,1 mg/kgBB
 midazolam memiliki onset kerja yang lebih cepat, efek amnesia yang lebih
besar, efek sedasi yang lebih kecil, serta masa pemulihannya lebih cepat
dibandingkan diazepam
 Nyeri injeksi dan thrombosis vena jauh lebih jarang ditemukan
dibandingkan diazepam
 Fungsi mental kembali normal dalam 4 jam.
 Granisetron 10-40 mcg/kg
 Serotonin 5-HT3 merangsang saraf vagus, menyampaikan rangsangan ke
CTZ dan pusat muntah sehingga terjadi mual dan muntah.
 mengatasi mual dan muntah yang hebat dan relatif aman
 Dapat menyebabkan hipotensi, bradikardia, bronkospasme dan sesak
napas, konstipasi.
 Oxtercyd 750mg
 Untuk mencegah terjadinya infeksi
 Ranitidin 150mg
 Metabolisme di hati, diekskresi di ginjal dengan waktu paruh sekitar 1,7-3
jam
 menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan
terhadap reseptor tersebut akan merangsang sekresi asam lambung.
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tak sadar, sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan pembedahan.
Induksi anestesi pada pasien dilakukan dengan pemberian Propofol 20 mg sebagai
pelumpuh otot sintetik dengan masa kerja pendek.
Propofol adalah obathipnotik intravena diisopropilfenol yang menimbulkan
induksi anenstesi yang cukup dengan aktivitas eksitasi yang maksimal. Dan
menginduksi secara cepat. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Pada
pemberian propofol akan timbul apneu sehingga perlu di atasi dengan
pemasangan sungkup muka untuk membentu pernafasan pasien.
Manajemen jalan napas adalah perlindungan jalan napas pada pasien tanpa
refleks perlindungan melalui intubasi endotrakeal, alat bantu jalan napas
supraglotis, dan trakeotomi/koniotomi. Dalam kasus ini yang dijadikan pilihan
adalah intubasi endotrakeal, indikasi penggunaan intubasi endotrakeal adalah
pasien yang tidak puasa dan tidak memiliki risiko aspirasi, operasi di daerah
abdomen dan toraks, operasi pada posisi tengkurap. Intubasi oral pada kasus ini
adalah pada seorang perempuan yaitu dengan tuba endotrakeal berukuran 7,5;
kedalaman masuk sekitar 22 cm sampai barisan gigi. relaksasi otot diperlukan
sehingga keluhan pasca-operasi lebih sedikit (Wrobel, 2010). Untuk fase rumatan
di gunakan O2 3L/min + N2O 3L/min + Halothan 1,5%. O2 diberikan untuk
mencukupi oksigenase jaringan. N2O bersifat anaestesi lemah tetapi efek
analgesiknya kuat, harus diberikan bersamaan dengan O2 minimal 2,5%. Pada
anestesi inhalasi biasanya dikombinasikan dengan anestesi inhalasi lain seperti
halotan atau isofluran.
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti milieu interior
dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid
(plasma ekspander) secara intravena. pembedahan dengan anastesia memerlukan
puasa sebelum dan sesudah pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan
untuk mengganti deficit cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan,
mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi
dan mengganti cairan pindah ke ruang ketiga (ke rongga peritoneum, ke luar
tubuh) (Latief, 2002).
Resusitasi cairan pasien Ny. S dengan berat badan 50 kg dengan operasi
sedang diberikan tutofusin. Pada pasien tidak diberikan cairan pengganti puasa
karena selama puasa pasien mendapat pasokan makanan secara intra vena (infus)
ketika masuk ke kamar operasi. Berdasarkan jenisnya cairan intravena yang
digunakan dalam kasus ini adalah cairan kristaloid yaitu Lactate Ringers dan
tutofusin yang tujuan terapinya adalah sebagai cairan pengganti (replacement) dan
bersifat isotonis (Soenarjo, 2010)
BAB IV
KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien terdiagnosa sinusitis maxillaris sinistra acute.


Dilakukan operasi CWL menggunakan anestesi umum (General Anestesi) dengan
intubasi endotracheal tube ukuran 7 dengan obat-obatan premedikasi dan anestesi
intravena maupun inhalasi yang sesuai. Dalam operasi CWL ini menggunakan
General Anestesi dikarenakan General Anestesi menghilangkan rasa sakit seluruh
tubuh secara sentral dan juga memblock nervus vagus (saraf simpatis).
Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah ranitidine, midazolam,
oxtercyd, fentalyn, granisetron General Anestesi diinduksi dengan Propofol yang
merupakan obat hipnotik intravena diisopropilfenol yang menimbulkan induksi
anenstesi yang cukup dengan aktivitas eksitasi yang maksimal. kemudian diberi
rumatan anestesi dengan N2O, O2, dan Halotan. Dengan maintenance cairan
menggunakan tutofusin.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Dobson BM Dharma A. 2012. Penuntun praktis anestesiologi. Bagian


anestesiologi dan terapi intensif fakultas kedokteran universitas indonesia. Jakarta.
Latief, S. Dkk. 2010. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi II. Cetakan ke 5.
Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Mulyono I, Harijanto E, Sunatrio S. Cairan Koloid. Panduan Tatalaksana terapi
Cairan Perioperatif. Perhimpunan Dokter Spesialis Anesetesiologi Dan Reanimasi
Indonesia. 2009 : 120-30
Soenarjo,dkk. Teknik Anestesi Spinal dan Epidural. In: Soenarjo, Heru Dwi
Jatmiko (eds.)Anestesiologi. 1st ed. Semarang: Ikatan Dokter Spesialis Anestesi
dan Reanimasi Cabang Jawa - Tengah ; 2010. p325 – 326
Soepardi, EA, Dkk. 2007. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorokan kepala dan leher. Edisi keenam. Fakultas kedokteran universitas
Indonesia. Jakarta
Tjokronegoro A, utama H. Pentalaksanaan penyakit dan Kelainan Telinga
hidung tenggorokan. 2003. FK UI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai