Anda di halaman 1dari 9

“NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) ATAS

PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)”

OLEH :
SADDAM ROBERTO BINU NIM 07012611822001

DOSEN :
DR. M. HUSNI THAMRIN, M.SI

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN)
Atas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Pendahuluan
Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 2018 sudah di depan mata.
Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi sorotan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
RI pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 mendatang. Netralitas ASN
menjadi penentu pelaksanaan Pilkada. ASN kerap dimobilisasi untuk pemenangan Pilkada.
Sejak beberapa bulan terakhir, iklim politik di berbagai daerah sudah terasa. Sejumlah bakal
calon kepala daerah sudah memasang atribut politiknya. Terdapat bakal calon wakil gubernur
yang sudah memasang foto dirinya besar-besar di tempat-tempat strategis.
Bawaslu tak akan segan-segan menindak para ASN yang terlibat dalam politik praktik
pada saat pelaksanaan Pilkada nanti. Bawaslu mencatat dari 17 provinsi yang bakal
menghelat Pilkada tiga di antaranya rawan konflik. Bawaslu menyusun indeks kerawanan
pemilu (IKP). Bawaslu menyusun strategi untuk mencegah konflik di daerah mengacu pada
pelaksanaan Pilkada terakhir dan data yang pada panwas dimasing-masing daerah.
Memanasnya suhu politik dikhawatirkan bakal menyeret peran Pegawai Negeri Sipil
(PNS)/ Aparatur Sipil Negara (ASN), hingga anggota TNI, dan POLRI yang seharusnya
bersikap netral. Tak jarang mereka terlibat dalam proses pemenangan, sejak dari pencalonan,
kampanye, bahkan pengerahan masa untuk memenangkan salah satu kontestan. Setidaknya
ada delapan perilaku PNS/ASN yang menjurus kepada sikap tidak netral menjelang Pilkada
serentak 2018. Bukan mustahil ada PNS/ASN yang terlibat dalam pemasangan alat peraga
kampanye berupa spanduk, baliho, dan sebagainya.
Ada juga NS/ASN yang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal pasangan calon pada
pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur (Pilgub/ Pilwagub), Pemilihan Bupati/Wakil Bupati
(Pilbup/Pilwabup), atau Pemilihan Wali kota/Wakil Wali kota (Pilwakot/Pilwawakot).
Perilaku lain, PNS/ASN ikut serta dalam deklarasi paslon dengan memakai atribut atau
menyanyikan yel-yel paslon terkait. PNS/ASN juga ada yang memposting di akun media
sosialnya berupa comment, like, atau bahkan imbauan. Belum lagi yang foto bersama dengan
mengikuti simbol yang digunakan paslon.Ada juga PNS yang merupakan suami/ istri bakal
paslon ikut dalam kegiatan deklarasi dan mengimbau pihak lain untuk berpihak ke bakal
paslon tersebut. Pejabat pemda juga ada yang memfasilitasi dan ikut serta dalam kegiatan
deklarasi paslon, dan ada ASN yang hadir atau menjadi narasumber pada kegiatan pertemuan
partai atau ulang tahun partai politik.
Berbagai tindakan tersebut merupakan bentuk-bentuk pelanggaran netralitas
PNS/ASN, atau setidaknya berpotensi menimbulkan pelanggaran netralitas. Kalau itu terjadi,
maka sanksi sedang hingga berat siap dijatuhkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

Pembahasan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Apratur Sipil Negara menjelaskan
yaitu Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai
negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi
pemerintah. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah
pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh
pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau
diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pegawai
Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina
kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Ada beberapa alasan mengapa ASN dilibatkan dalam pilkada atau dimanfaatkan
birokrasinya oleh beberapa pihak disebabkan oleh sebagai berikut :
1. Birokrasi seringkali mudah dimanfaatkan sebagai personifikasi negara. Masyarakat
pendesaan adalah kelompok warga atau pemilih yang sangat mudah untuk dimanipulasi
pilihannya dalam pilkada. Dengan melibatkan birokrasi ataupun para birokrat dalam
pilkada, menjadi tim sukses, menjadi peserta kampanye atau lainnya, mereka dapat
mengatasnamakan institusi negara untuk merayu atau bahkan mengintimidasi warga.
Dengan kepatuhan warga untuk melakukan apa yang harus dilakukan oleh mereka atas
perintah birokrasi/birokrat selama Orde Baru, ini menunjukkan pada calon kandidat
peserta pilkada bahwa membawa institusi ini ke dalam percaturan politik adalah
keuntungan. Oleh karena itu, ini adalah salah satu alasan mengapa mereka mudah terlibat
atau diundang untuk terlibat dalam pilkada.
2. Birokrasi dianggap perlu dimanfaatkan karena memegang akses informasi di daerah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan birokrasi ialah kemampuannya untuk
mengumpulkan informasi dari dan di wilayah kemasyarakatannya (teritorinya). Lembaga
manapun, baik legislatif, yudikatif, maupun lembaga privat nirlaba tidak memiliki
kemewahan akses informasi sebagaimana yang birokrasi miliki, maka birokrasi dianggap
sebagai sumber kekuatan yang tidak terprediksi oleh para kandidat pilkada. Sulit kiranya
apabila birokrasi tidak diundang dalam percaturan politik daerah karena birokrasi
memiliki sekumpulan data mengenai besaran pemilih, basis massa partai, pemilih pemula
(early voters), kelompok Golput, dan lain sebagainya yang dapat dimanfaatkan oleh
calon-calon penguasa, terutama incumbent.
3. Kemungkinan dimanfaatkannya keahlian teknis yang dimiliki oleh birokrat dalam
birokrasi merupakan alasan lain mengapa mereka pantas untuk dilibatkan dalam
kontestasi politik di daerah. keahlian teknis dalam formulasi dan implementasi kebijakan.
4. Untuk faktor internal berupa kepentingan yang partisan untuk mobilitas. Adanya vasted-
interest berupa kepentingan memilihara dan meningkatan posisi karir/jabatan menjadi
alasan beberapa birokrasi berpolitik dalam pilkada. Dan dari itu, sebagian birokrat
berpolitik berspekulasi dengan harapan jika kandidat yang didukung menang, maka
birokrat tersebut akan mendapat posisi yang lebih penting dikemudian hari.
5. Masih kuatnya budaya patron-client menyebabkan PNS yang loyal akan membela habis-
habisan atasannya yang menjadi kandidat dalam pilkada. Selain itu, ada juga tarikan
kepentingan jaringan ‘bisnis dan politik’ dari shadow government in bureaucracy.

Berdasarkan data dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) selama tahun 2016 dan
2017, terdapat 45 pelanggaran netralitas PNS/ASN dalam Pilkada serentak. Di tingkat
provinsi, tercatat sebanyak 6 kasus, sedangkan pelanggaran di tingkat kabupaten/kota tercatat
ada 39 kasus. Sebagian besar, yakni 34 kasus sudah diselesaikan secara tuntas, dan tinggal 11
kasus yang masih dalam proses penyelesaian.
Untuk mencegah terjadinya pelanggaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) dengan tegas mewajibkan para Aparatur Sipil
Negara (ASN) bersikap netral dalam setiap perhelatan politik. Kementerian PANRB
menyiapkan sanksi yang akan dijatuhkan kepada PNS/ASN jika masih melanggar aturan
yang sudah ditentukan. Sebenarnya, upaya mencegah pelanggaran netralitas PNS/ASN sudah
dilakukan terus. Tahun 2015 Kementerian PANRB menandatangani Memorandum of
Understanding (MoU) Netralitas ASN dengan Kementerian Dalam Negeri, KASN , Badan
Kepegawaian Negara (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Pengawas
Pemilihan Umum RI (Bawaslu).
Bentuk kerjasama itu adalah melakukan pengawasan netralitas ASN dalam Pilkada,
merumuskan dan mendorong langkah-langkah tindak lanjut, membuat rekomendasi kepada
pihak yang berwenang, melakukan koordinasi, sinkronisasi dan komunikasi bersama, serta
melakukan pertukaran data informasi serta sosialisasi bersama. Netralitas ASN ini
sebenarnya sudah diperintahkan oleh Undang Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN)
secara tegas menyatakan bahwa ASN berperan sebagai perencana, pelaksana dan
penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dalam peran nasional melalui pelaksanaan
kebijakan dan pelayanan publik yang professional, bebas dari intervensi politik serta bersih
dari praktik KKN.
Selain UU ASN, ada beberapa dasar hukum lain yang menyatakan ASN harus
bersikap netral. Dasar hukum itu adalah UU No. 10 tahun 2016 tentang penetapan PP nomor
1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota. Secara teknis, hal itu juga
diatur dalam Peraturan pemerintah (PP) No 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps
dan Kode Etik PNS, serta PP no. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Melalui Surat Edaran (SE) Menteri PANRB No. B2355 tanggal 22 Juli 2015 pemerintah juga
melarang penggunaan aset pemerintah dalam Pemilukada. Intinya, pemerintah akan
menjatuhkan sanksi bagi PNS/ASN yang terlibat dalam penyelenggaraan kampanye yaitu
sanksi hukuman sedang sampai berat.
Sanksi sedang yaitu berupa penundaan promosi, penundaan tunjangan kinerja,
penundaan kenaikan gaji sampai dengan pemberhentian secara hormat hingga pemberhentian
tidak hormat. Menteri Dalam Negeri menerbitkan SE nomor 273/3772/SJ tanggal 10 Oktober
2017, yang melarang penggunaan fasilitas pemda dalam pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali kota. Terhadap ASN
yang melanggar disiplin netralitas berdasarkan temuan Bawaslu Provinsi atau Panwaslu
Kabupaten/Kota, segera ditindak lanjuti dengan rekomendasi KASN. Apabila Pejabat
Pembina Kepegawaian (PPK) tidak menjalankan rekomendasi KASN, maka Menteri PANRB
berdasarkan pasal 33 ayat 3 UU ASN akan menjatuhkan sanksi terhadap PPK. Pasal 33 ayat 3
UU ASN juga menetapkan, sanksi dilakukan oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan
tertinggi pembinaan ASN terhadap keputusan yang dilakukan oleh PPK, serta dilakukan oleh
menteri terhadap keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, dan terhadap PPK
di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Untuk memastikan terlaksananya ketentuan Undang-Undang No 5/2014 tersebut,
Kementerian PANRB terus melakukan sosialisasi. Bersama-sama dengan Kemendagri serta
kepala daerah dan kepala lembaga lainnya. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah
mengeluarkan surat edaran yang mengingatkan agar seluruh aparatur sipil negara (ASN)
menjaga netralitas dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018
dan Pemilu Serentak 2019. Surat edaran juga memuat sanksi untuk ASN yang terbukti tidak
netral, mulai dari surat teguran hingga pemberhentian dari jabatan.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi telah bekerjasama dengan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi ASN (KASN) untuk mengawasi netralitas
ASN dan mengadakan sosialisasi bersama.
Terdapat tiga pihak yang berwenang yakni Bawaslu, apabila berkaitan dengan
pelanggaran pemilu, aparat penegak hukum, bila berkaitan dengan pelanggaran pidana, dan
KASN bila berkaitan dengan pelanggaran disiplin. Rekomendasi akan disampaikan kepada
pemerintah bagian kepegawaian dan eksekusinya akan dipantau.
Bentuk-bentuk ketidaknetralan ASN dapat deskripsikan antara lain yaitu, memasang spanduk
kampanye salah satu paslon, ASN menghadiri deklarasi bakal calon (balon), mengunggah
tautan di media sosial yang menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu pasangan calon
(paslon), foto bersama paslon dengan menggunakan atribut khas paslon, dan menjadi
narasumber di pertemuan atau ulang tahun partai.
Aparatur Sipil Negara (ASN) diminta menyukseskan pemilihan kepala daerah di
kabupaten masing-masing dengan tidak terlibat dalam politik praktis, dukung-mendukung
kandidat tertentu atau menjadi tim sukses mereka. ASN diminta untuk menjaga netralitas dan
profesionalismenya. Sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat, secara umum ASN tidak
boleh melakukan politik praktis. Ini sesuai dengan pasal 2 huruf f Undang-undang Nomor 5
Tahun 2014. Selain itu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 53 tahun 2010
tentang disiplin pegawai negeri sipil dan Surat Menteri PAN RB No B/71/M.SM.00.00/2017
tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN Pada Penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2018,
kemudian Pemilihan Legislatif tahun 2019 dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun
2019. Tak hanya itu, aturan menyangkut larangan ASN berpolitik praktis juga diatur dalam
UU No 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No 1 tahun 2015 tentang penetapan
peraturan pemerintah No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota
menjadi UU. “Pada Pasal 70 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa pasangan calon dilarang
melibatkan aparatur sipil negara, anggota Polri dan TNI.
Panwaslu bersama jajaran Panwaslu Kecamatan harus bertindak tegas berdasarkan
kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang terhadap ASN, Kepala Desa dan Perangkat
Desa, serta aparatur birokrasi lainnya yang terbukti melakukan kegiatan-kegiatan politik
praktis sebelum, selama, dan sesudah tahapan pilkada serentak 2018 dan pemilu 2019. Azas
netralitas dimaksud ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak
memihak kepentingan siapapun. Kemudian, ASN harus bebas dari pengaruh intervensi
golongan dan partai politik. Larangan terlibat politik praktis juga ditujukan kepada perangkat
desa, yakni kepala desa dan jajarannya.
Oleh karena itulah, mengingat sudah diatur dengan jelas di undang-uandang, maka
Panwaslih hanya mengingatkan kembali kepada seluruh pegawai yang terlibat dalam kegiatan
pemerintahan untuk tidak terlibat dalam kegiatan parpol dan politik praktis. ASN yang
mengikuti parpol, sanksinya adalah pemecatan secara tidak hormat. Untuk sanksi
pelanggaran pilkada lain, yakni penundaan masa jabatan dan gaji. Bagi setiap PNS yang
terlibat menjadi tim sukses kandidat tertentu, maka akan diberikan sanksi tegas sesuai dengan
Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN). Bila ditemukan PNS bergabung dengan
kandidat tertentu, pihaknya akan memproses hingga pemberhentian dari ASN.
Asas netralitas berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 adalah bahwa
setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak
kepada kepentingan siapapun. Netralitas dapat juga diartikan dengan bersikap tidak memihak
terhadap sesuatu apapun. Dalam konteks ini netralitas diartikan sebagai tidak terlibatnya
pegawai negeri sipil dalam pemilihan Kepala Daerah baik secara aktif maupun pasif.
Netralitas birokrasi dari politik adalah hampir tidak mungkin, sebab jika partai politik tidak
mampu memberikan alternatif program pengembangan dan mobilisasi dukungan, maka
birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan politik di luar
partai politik yang bisa membantunya dalam merumuskan kebijakan politik. Dukungan
politik itu, dapat diperoleh melalui tiga konsentrasi yakni :
1) Pada masyarakat luar
2) Pada legislatif
3) Dan pada diri birokrasi sendiri (executive brauch)
Kesimpulan

Netralitas merupakan kondisi terlepasnya birokrasi spoil system yang berarti birokrasi
bekerja berdasarkan profesionalisme dan kemampuan teknis yang dibutuhkan. Netralitas
birokrasi pada hakikatnya adalah suatu sistem dimana birokrasi tidak akan berubah dalam
memberikan pelayanan kepada masternya (dari parpol yang memerintah), biarpun masternya
berganti dengan master (parpol) lain. Pemberian pelayanan tidak bergeser sedikit pun walau
masternya berubah. Birokrasi dalam memberikan pelayanan berdasarkan profesionalisme
bukan karena kepentingan politik.
Dengan demikian birokrasi pemerintahan akan stabil dan dapat berperan mendukung
serta merealisasikan kebijakan atau kehendak politik manapun yang sedang berkuasa dalam
pemerintahan. Netralitas adalah perilaku tidak memihak, atau tidak terlibat yang ditunjukan
birokrasi pemerintahan dalam masa kampanye kandidat kepala daerah di ajang pemilukada
baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Adapun indikator yang digunakan untuk
mengukur netralitas dalam penelitian yang pernah dilakukan yaitu :
a. Tidak terlibat, dalam arti tidak menjadi tim sukses calon kandidat pada masa kampanye
atau menjadi peserta kampanye baik dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS.
b. Tidak memihak, dalam arti tidak membantu dalam membuat keputusan dan/atau tindakan
yang menguntungkan salah satu pasangan calon, tidak mengadakan kegiatan yang
mengarah kepada keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah pada masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau
pemberian barang kepada PNS dalam lingkup unit kerjanya, anggota keluarga, dan
masyarakat, serta tidak membantu dalam menggunakan fasilitas negara yang terkait
dengan jabatan dalam rangka pemenangan salah satu calon pasangan Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah pada masa kampanye.
Referensi

All resources

Anda mungkin juga menyukai