Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nutrisi bagi bayi dan anak adalah pondasi bagi pertumbuhan badan

yang sehat yang pada gilirannya akan mendukung perkembangan yang

optimal. Sudah menjadi pendapat umum bahwa kondisi gizi yang optimal

dari anak-anak sekarang, terutama pada masa bayi adalah sesuatu hal yang

mutlak demi kesehatan dan pertumbuhan yang baik pada masa mendatang.

Salah satu nutrisi yang terbaik bagi bayi baru lahir adalah kolostrum. Setiap

ibu menghasilkan air susu yang biasa kita sebut dengan ASI, sebagai

makanan alami yang disediakan untuk bayi (Soetjiningsih, 1997).

Angka kesakitan (Mordibitas) adalah perbandingan antara jumlah

penduduk karena penyakit tertentu dengan jumlah penduduk pada

pertengahan tahun, dan dinyatakan dalam per 100 penduduk. Kegunaan dari

mengetahui angka kesakitan ini adalah sebagai indicator yang digunakan

untuk menggambarkan pola penyakit tertentu yang terjadi di masyarakat.

Angka kesakitan bayi adalah perbandingan antara jumlah penyakit bayi

tertentu yang ditemukan di satu wilayah tertentu pada kurun waktu 1 tahun

dengan jumlah kasus penyakit bayi tertentu yang ditemukan disuatu wilayah

pada kurun waktu yang sama dikalikan seratus persen. (Ditjen P2P,

Kemenkes RI, 2017)

1
2

Penyebab angka kesakitan dan kematian anak terbanyak saat ini masih

diakibatkan oleh pneumonia (ISPA) dan diare. Untuk itu petugas kesehatan,

termasuk bidan hendaknya terus berupaya meningkatkan pengetahuan,

kemauan dan kemampuannya untuk menanggulangi berbagai masalah,

termasuk pneumonia dan diare. Berikut ini akan dikemukakan pembahasan

tentang kedua penyakit tersebut (Pneumonia dan diare) untuk dapat

membantu bidan memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyakit

pneumonia dan diare. Sehingga diharapkan bidan dapat memberikan

pelayanan dan perhatian yang optimal terhadap kesehatn bayi dan balita.

ISPA merupakan penyakit yang seringkali dilaporkan sebagai 10 penyakit

utama di negara berkembang. Gejala yang sering dijumpai adalah batuk,

pilek dan kesukaran bernafas. Episode atau serangan batuk pada anak,

khususnya balita adalah 6-8 kali pertahun. (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017)

Kematian akibat ISPA pada anak, khususnya balita, terutama

disebabkan oleh pneumonia. Di Indonesia, angka kejadian pneumonia pada

balita adalah 24.908 (59,41 %),. Angka kematian pneumonia pada balita

Indonesia adalah 6 per 1000 balita. Ini berarti dari setiap 1000 balita setiap

tahun ada 6 orang di antaranya yang meninggal akibat pneumonia sebelum

ulang tahunnya yang ke 5. Jika dihitung, jumlah balita yang meninggal

akibat pneumonia di Indonesia dapat mencapai 150.000 orang pertahun,

12.500 perbulan, 416 perhari, 17 orang perjam atau 1 orang balita tiap

menit. Usia yang rawan adalah usia bayi (dibawah 1 tahun), karena sekitar

60-80% kematian pneumonia terjadi pada bayi. Menurut survey Kesehatan


3

Rumah Tangga 1995, proporsi kematian ISPA (terutama pneumonia) pada

bayi adalah 29,5%. Artinya dari setiap 100 orang bayi yang meninggal,

sekitar 30 orang bayi yang meninggal karena ISPA terutama pneumonia.

Survey ini juga mengungkapkan bahwa penyebab kematian terbesar pada

bayi adalah ISPA. Diare merupakan salah satu masalah kesehatan utama di

negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, penyakit diare

adalah salah satu penyebab kematian utamasetelah infeksi saluran

pernafasan. Insiden penyakit diare (50,8 %), yang berkisar antara 200-374

dalam 1000 penduduk, dimana 60-70% di antaranya anak-anak usia

dibawah 5 tahun. (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017)

Dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian anak,

United Nation Children Fund (UNICEF) dan World Health Organization

(WHO) merekomendasikan pemberian kolostrum segera setalah lahir dan

ASI eksklusif sampai bayi berumur 6 bulan (Depkes RI, 2014). Pemerintah

Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

450/SK/Menkes/VIII/2004 tanggal 7 April 2004 telah menetapkan

pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pada ibu di Indonesia. (Infodatin,

2014).

Kolostrum merupakan air susu yang pertama kali keluar seringkali

berwarna kuning atau dapat pula jernih yang mengandung sel hidup yang

menyerupai “sel darah putih” yang dapat membunuh kuman penyakit

sehingga mampu melindungi tubuh bayi dari berbagai penyakit infeksi

(Roesli, 2005). Kolostrum juga mengandung protein, vitamin A yang tinggi


4

dan lemak sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi bayi pada hari-hari

pertama kelahiran dan berguna sebagai pencahar untuk mengeluarkan

kotoran pertama bayi (mekonium) dari usus bayi dan mempersiapkan

saluran pencernaan bayi bagi makanan yang akan datang (Kristiyanasari,

2009).

Prevalensi pemberian kolostrum di Indonesia masih rendah. Hal ini

ditunjukkan dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) yang masih

lebih rendah dari angka cakupan praktik inisiasi menyusu dini di dunia yaitu

sebesar 42%, sedangkan di Indonesia hanya 39%. Angka ini masih sangat

rendah jika dibandingkan dengan negara lain di sebagian negara Asia

Tenggara misalnya Myanmar (76%), Thailand (50%), dan Filipina (54%)

(UNICEF, 2008). Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2007 melaporkan

bahwa 95% anak di bawah umur 5 tahun di Indonesia telah mendapat ASI,

namun hanya 44% yang mendapat ASI kolostrum dalam satu jam pertama

setelah lahir dan hanya 65% yang mendapat ASI kolostrum dalam hari

pertama setelah lahir.

Pemberian makanan bayi yang alami dapat diwujudkan dengan cara

menyusui. Menyusui akan menjamin bayi tetap sehat dan memulai

kehidupannya dengan cara yang paling sehat. Menyusui sebenarnya tidak

saja memberikan kesempatan pada bayi untuk tumbuh menjadi manusia

yang sehat secara fisik, tetapi juga lebih cerdas, mempunyai emosional yang

stabil, perkembangan spiritual yang positif, serta perkembangan sosial yang

baik. Begitu besar manfaat yang terkandung dalam kolostrum sehinga perlu
5

ada upaya peningkatan pemberian kolostrum yaitu dengan cara pemberian

kolostrum secara dini (Roesli, 2002).

Memberikan kolostrum diawal kehidupan bayi merupakan tindakan

yang terbaik untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan bayi di

masa 1 mendatang. Kolostrum yang mampu memberi nilai gizi yang sesuai

kebutuhan bayi, melindungi dari berbagai infeksi, dan memberi dukungan

kasih sayang serta mencerdaskan bayi. Untuk memberikan kolostrum tidak

diperlukan alat- alat khusus dan biaya yang mahal, yang diperlukan hanya

kesabaran, waktu, sedikit pengetahuan tentang menyusui dan dukungan dari

lingkungan terutama keluarga. Menurut Roesli, (2008), beberapa pendapat

yang menghambat ibu post partum memberikan kolostrum dengan segera,

diantaranya takut bayi kedinginan, setelah melahirkan ibu terlalu lelah untuk

segera menyusui bayinya, kolostrum tidak keluar atau jumlah kolostrum

tidak memadai, serta kolostrum tidak baik bahkan berbahaya bagi bayi. Hal

di atas tidak akan terjadi bila seorang ibu post partum mempunyai

pengetahuan yang bagus serta mendapat support dari keluarga.

Menurut Erlina, (2008) memberikan ASI kolostrum kepada bayi

dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu. Pengetahuan akan membentuk

sikap ibu yang positif terhadap menyusui sehingga mampu menumbuhkan

motivasi dalam dirinya secara suka rela dan penuh rasa percaya diri mampu

memberikan kolostrum kepada bayinya. Salah satu faktor yang

mempengaruhi ibu menyusui selain dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan

ibu, juga dipengaruhi pula oleh dukungan keluarga terutama suami.


6

Keluarga yang selalu memberi pujian, semangat dan dorongan agar ibu bisa

percaya diri untuk menyusui, sehingga hal ini akan menumbuhkan sikap

yang positif bagi ibu untuk melaksanakan tugas barunya dalam memberikan

cairan kehidupan yang sangat berharga untuk bayinya. Soetjiningsih, (1997)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian kolostrum pada ibu

nifas dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari faktor ibu sendiri maupun

faktor dari luar. Faktor ibu seperti tingkat pengetahuan, kondisi kesehatan,

sikap, paritas, dan persepsi ibu, sedangkan faktor dari luar berupa dukungan

orang terdekat, petugas kesehatan, dan budaya di lingkungan tempat tinggal

ibu (Nupelita, 2007).

Menurut Roesli (2005), masih banyak ibu yang kurang mengetahui

tentang pentingnya pemberian kolostrum pada bayi baru lahir. Hal tersebut

salah satunya dipengaruhi oleh faktor pengetahuan yang disebabkan oleh

informasi yang tidak tersampaikan dengan baik. Fenomena di atas

menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan 3 pendidikan ibu tentang ASI

khususnya kolostrum masih kurang sehingga pemberian kolostrum rendah.

Dalam penelitian Asmijati (2007) faktor pengetahuan, sumber informasi,

pendidikan, faktor persepsi, dukungan sosial, sikap, sosial budaya, dan

faktor ketidakmampuan petugas kesehatan untuk memotivasi dalam

memberikan penambahan ilmu bagi ibu-ibu menyusui dapat menyebabkan

ibu tidak memberikan kolostrum kepada bayi baru lahir.


7

Pada tahun 2013 cakupan ASI Kolostrum di Provinsi Banten yaitu

47,9%, angka tersebut jauh dibawah angka nasional cakupan yaitu 54,3 %.

(Kemenkes R1, 2013). Pandeglang merupakan salah satu kabupaten yang

ada di provinsi Banten yang cakupan sedikit lebih tinggi yaitu 55% pada

tahun pada tahun 2010. Namun cakupan tersebut kembali turun menjadi

44,38% pada tahun 2011. Meskipun lebih tinggi namun tidak semua

Puskesmas yang ada di wilayah tersebut mengalami peningkatan yang sama.

Hal ini dapat dilihat dari cakupan Inisiasi Menyusu Dini Puskesmas

Cipeucang yang hanya mencapai 7,63% setelah Puskesmas Cimanuk

dengan cakupan 8,76% di tahun 2013 (Profil DinKes Provinsi Banten,

2013).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nazara (2008) menyatakan

bahwa diketahui ibu yang tidak memberikan kolostrum kepada bayi baru

lahir paling banyak dilakukan oleh ibu dengan tingkat pengetahuan kurang

sebanyak 25 orang (62,5%), dan paling sedikit oleh ibu dengan tingkat

pengetahuan baik sebanyak 7 orang (17,5%). (Nazara, 2007)

Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan Tahun 2017 di

10 desa yang ada Wilayah Kerja Puskesmas Cipeucang. Hasil wawancara

awal dengan mengambil sampel 10 orang ibu hamil yang 7 – 9 bulan

didapati 8 orang ibu tersebut tidak mengetahui pentingnya kolostrum dan

wawancara pada ibu bersalin di bulan Agustus dari 20 ibu bersalin yang

memberikan kolostrum hanya sebesar 50% ibu bersalin. Sehubungan

dengan hal ini, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang
8

berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian kolostrum pada

bayi baru lahir di desa parumasan Puskesmas Cipeucang Kabupaten

Pandeglang Provinsi Banten tahun 2017.

1.2 Rumusan Masalah

Praktik pemberian kolostrum pada bayi baru lahir masih jarang

dilakukan. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan Hasil

wawancara awal dengan mengambil sampel 10 orang ibu hamil yang 7 – 9

bulan didapati 8 orang ibu tersebut tidak mengetahui pentingnya kolostrum.

Berdasarkan uraian dari latar belakang yang telah dipaparkan, maka

permasalahan yang dapat dirumuskan: “faktor-faktor yang berhubungan

dengan pemberian kolostrum pada bayi baru lahir di Desa Parumasan

Puskesmas Cipeucang Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten tahun 2017”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

pemberian kolostrum pada bayi baru lahir di Desa Parumasan

Puskesmas Cipeucang Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten tahun

2017.

1.3.2 Tujuan Khusus


9

a. Diketahuinya distribusi frekuensi pemberian kolostrum pada bayi baru

lahir di Desa Parumasan Puskesmas Cipeucang Kabupaten Pandeglang

Provinsi Banten tahun 2017

b. Diketahuinya distribusi frekuensi paritas, pengetahuan, budaya, dukungan

keluarga dan dukungan tenaga kesehatan di Desa Parumasan Puskesmas

Cipeucang Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten tahun 2017

c. Diketahuinya hubungan antara paritas, pengetahuan, budaya, dukungan

keluarga dan dukungan tenaga kesehatan dengan pemberian kolostrum

pada bayi baru lahir di Desa Parumasan Puskesmas Cipeucang Kabupaten

Pandeglang Provinsi Banten tahun 2017.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan

masyarakat terutama kaum ibu mengenai kolostrum, sehingga ibu mau dan

bersedia untuk memberikan kolostrum kepada bayinya.

1.4.2 Bagi Tenaga Kesehatan

Dapat memberikan gambaran tentang pemberian kolostrum bagi

tenaga kesehatan terutama bidan dalam memberikan informasi, pengetahuan

dan mengajarkan praktik pemberian kolostrum kepada ibu-ibu, sehingga ibu

termotivasi untuk memberikan ASI pertamanya kepada bayinya.

1.4.3 Bagi Peneliti


10

Dapat mengembangkan wawasan peneliti dan merupakan pengalaman

berharga dalam melatih kemampuan melakukan penelitian, sebagai sarana

untuk memberdayakan diri dan melatih diri mengenai cara dan pola pikir

yang bersifat ilmiah khususnya yang berhubungan dengan dalam pemberian

kolostrum.

1.4.4 Bagi Peneliti lain

Sebagai bahan acuan atau data dasar untuk melakukan penelitian

selanjutnya yang berhubungan dengan pengetahuan ibu menyusui tentang

pemberian kolostrum.

Anda mungkin juga menyukai