Anda di halaman 1dari 22

Kamis, 16 Juni 2011

Contoh Makalah MBS untuk Seleksi Calon Kepala Sekolah

Contoh Makalah MBS untuk Seleksi Calon Kepala Sekolah:

"KETEPATAN STRATEGI PELAKSANAAN MBS


YANG DISERTAI BUDAYA PENGAMBILAN KEPUTUSAN PARTISIPATIF
OLEH KEPALA SEKOLAH
MERUPAKAN FAKTOR PENENTU KETERLAKSANAAN MBS YANG
BERMUTU "

ABSTRAKSI
Adanya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
diperbaharui dengan Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 menunjukkan bahwa
manajemen berbasis pusat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang
optimalnya kinerja daerah. Hal inipun terjadi dalam dunia pendidikan pada saat
diberlakunya manajemen berbasis pusat, kinerja sekolah kurang optimal sehingga perlu
diterapkanya manajemen berbasis sekolah (MBS). Inti MBS adalah otonomi sekolah dan
pengambilan keputusan partisipatif.
Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Tujuan MBS intinya adalah untuk memberdayakan sekolah. Untuk mencapai
tujuan tersebut, kepala sekolah sebagai manajer utama MBS harus dapat memilih strategi
yang tepat serta dapat menerapkan budaya pengambilan keputusan partisipatif. Adapun
strategi pelaksanaan MBS dapat dilakukan dengan cara: mensosialisasikan konsep MBS,
melakukan analisis sasaran, merumuskan sasaran, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang
diperlukan untuk mencapai sasaran, melakukan analisis SWOT, menyusun rencana
sekolah, mengimplementasikan rencana sekolah, melakukan evaluasi, dan merumuskan
sasaran baru.
Strategi di atas akan dapat bekerja optimal apabila kepala sekolah dapat
menerapkan budaya pengambilan keputusan partisipatif, yakni cara mengambil
keputusan yang melibatkan semua kelompok atau komponen sekolah, terutama pihak-
pihak yang akan melaksanakan keputusan dan yang akan terkena dampak keputusan.

Kata kunci: manajemen berbasis sekolah, otonomi sekolah dan pengambilan


keputusan partisipatif.
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini bangsa Indonesia telah menata diri dengan berbagai perubahan-perubahan
mendasar ke arah yang lebih baik dan lebih demokratis dalam berbagai kehidupan
termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar yang sedang digulirkan
saat ini adalah perubahan manajemen negara dari manajemen berbasis pusat menjadi
manajemen berbasis daerah. Perubahan itu secara resmi tertuang Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian
direvisi dengan UU No: 32 tahun 2004.
Dalam dunia pendidikan, salah satu konsekwensi logis dari diberlakukanya
Undang-Undang 22/1999 dan 33/2004 tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan
harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Karena itu, manajemen pendidikan
berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan perlu diubah menjadi manajemen
pendidikan berbasis sekolah.
Melalui penerapan MBS diharapkan sekolah memiliki keberdayaan yang ditandai
dengan tingkat kemandirian tinggi dan tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif
dan antisipatif; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani
mengambil resiko, dsb.); bertanggungjawab terhadap hasil sekolah; memiliki kontrol
yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya; kontrol terhadap kondisi
kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan dinilai oleh pencapaian prestasinya.
Dalam prakteknya mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen
berbasis sekolah dalam beberapa hal belum optimal dilaksanakan. Hal ini memang
merupakan proses yang wajar karena perubahan memerlukan penyesuaian-penyesuaian,
baik sistemnya, kulturnya, maupun figurnya dengan tuntutan-tuntutan baru manajemen
berbasis sekolah. Berdasarkan kenyataan di atas, pada makalah ini penulis mencoba
memberikan salah solusi untuk menerapkan majaneman berbasis sekolah ke arah yang
lebih baik. Adapun judul makalah ini adalah: “Ketepatan Strategi Pelaksanaan MBS
yang disertai Budaya Pengambilan Keputusan Partisipatif oleh Kepala Sekolah
Merupakan Faktor Penentu untuk melaksanakan MBS yang Bermutu.”

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas beberapa faktor penyebab belum terlaksananya kegiatan
Manajemen Berbasis Sekolah secara optimal, diantaranya:
1. Belum dimahaminya esensi Manajemen Berbasis Sekolah.
2. Belum dimahaminya startegi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah secara tepat.
3. Belum diterapkannya startegi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah secara optimal.
4. Belum sepenuhnya dipahami bahwa setiap sekolah memiliki kekuatan, kelemahan dan
peluang serta ancaman yang mungkin berbeda dari sekolah yang lain.
5. Partisipasi masyarakat masih kurang optimal
6. Partisipasi warga sekolah yang juga masih kurang optimal
7. Belum dipahami makna pengambilan keputusan partisipatif sebagai bagian dari esensi
Manajemen Berbasis Sekolah
8. Belum diterapkannya budaya pengambilan keputusan partisipastif dalam pengelolaan
Manajemen Berbasis Sekolah secara optimal.
9. Pemahaman bahwa pimpinan sekolah memiliki hak preogratif dalam pengambilan
kebijakan terkadang dimaknai secara berlebihan.
10. Sistem budaya dan sumberdaya manusia belum memberikan dukungan yang optimal.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi masalah tampak bahwa terdapat banyak faktor yang
menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Oleh karena keterbatasan waktu dan biaya pada kesempatan ini penulis membatasi
permasalahan dalam penulisan makalah, meliputi:
1. Bagaimana strategi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah yang tepat
sehingga dapat mewujudkan MBS yang bermutu.
2. Bagaimana budaya pengambilan keputusan partisipatif dilaksanakan sehingga
dapat mewujudkan MBS yang bermutu.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah yang
telah di kemukakan pada bagian sebelumnya, rumusan masalah dalam penulisan makalah
ini adalah:
Bagaimana kepala sekolah menerapkan strategi pelaksanaan MBS serta budaya
pengambilan keputusan partisipatif untuk mewujudkan MBS yang bermutu?

E.Tujuan Penulisan
Secara umum tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan sumbang
saran yang positif bagi terlaksananya Manajemen Berbasis Sekolah yang bermutu.
Secara khusus tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Menambah wawasan penulis dalam hal pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2. Memberikan masukan yang positif kepada pimpinan sekolah untuk dapat menerapkan
strategi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang tepat serta budaya
pengambilan keputusan partisipatif dalam pengambilan kebijakan sehingga dapat
mewujudkan MBS yang bermutu.

F. Manfaat Penulisan
Manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan makalah ini, antara lain:
1. Memberikan literatur yang cukup dalam menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah
2. Terwujudnnya MBS yang bermutu yang ditandai dengan pemilihan strategi pelaksanaan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang tepat dan penerapan budaya pengambilan
keputusan partisipatif yang konsisten.
BAB II LANDASAN TOERI

A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah


Secara umum, manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan
fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara
langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat
(orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.), untuk meningkatkan
mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan untuk
mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan keinginan dan tuntutan sekolah serta
masyarakat atau stakeholder yang ada. Sekalipun diberikan kebebasan, namun demikian
dalam pelaksanaan MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku. (Direktorat PLP:2005)
Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih
besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan
kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang,
tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Dengan
fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirangkum bahwa "manajemen berbasis
sekolah" adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara
otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai
tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok
kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan (partisipatif)". Kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi:
kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua
siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi
pendidikan. Lebih ringkas lagi, manajemen berbasis sekolah dapat dirumuskan sebagai
berikut (David, 1989): manajemen berbasis sekolah adalah otonomi manajemen sekolah
yang ditandai dengan budaya pengambilan keputusan partisipatif.

B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah


Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau
memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah,
pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya
sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan
mutu pendidikan. (Direktorat PLP:2005)
Lebih rincinya, MBS bertujuan untuk:
a) meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi,
keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainabilitas, dan inisiatif sekolah dalam
mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia;
b) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
c) meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah
tentang mutu sekolahnya; dan
d) meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan
dicapai.
e) meningkatkan efisiensi, relevansi, dan pemerataan pendidikan di daerah dimana sekolah
berada.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah
untuk "memberdayakan" sekolah, terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah,
guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian
kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang
dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan.
Dengan pengertian diatas, maka pengembangan manajemen berbasis sekolah
semestinya mengakar di sekolah, terfokus di sekolah, terjadi disekolah, dan dilakukan
oleh sekolah. Untuk itu, penerapan manajemen berbasis sekolah memerlukan konsolidasi
manajemen sekolah.

C. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah


Sebagaimana di uraikan di atas, MBS dapat didefinisikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan
fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah,
dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam
kerangka pendidikan nasional. Karena itu, esensi MBS= otonomi sekolah + fleksibilitas +
partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian
dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung.
Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian
sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan
menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah
otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana,
swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus
didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang
terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan
memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik,
kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan
persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi
dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada
sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah
seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan
yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak
harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan
memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih
cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-
keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-
undangan yang ada.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang
terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat
(orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong untuk terlibat
secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan,
pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu
pendidikan.
Dengan pengertian diatas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian)
lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu,
menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan
melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan
sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok
yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah
akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya
(Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen
Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya
dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tingkat
kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif
sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil
resiko, dan sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol
yang kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat
terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan
acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya,
pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab,
pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol
terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah
adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna,
pemecahan masalah sekolah secara “teamwork”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur,
kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada
pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah,
kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumberdaya
yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang
memiliki martabat tertinggi.
D. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Strategi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah menurut Buku Konsep Dasar
Manajemen Berbasis Sekolah. ( Direktorat PLP: 2005) dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Melakukan Sosialisasi
Sekolah merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur dan karenanya hasil kegiatan
pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif dari semua unsur sekolah. Dengan cara
berpikir semacam ini, maka semua unsur sekolah harus memahami konsep MBS “apa”,
“mengapa”, dan “bagaimana” MBS diselenggarakan. Oleh karena itu, langkah pertama
yang harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialiasikan konsep MBS kepada setiap
unsur sekolah (guru, siswa, wakil kepala sekolah, guru BK, karyawan, orangtua siswa,
pengawas, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, pejabat Dinas Pendidikan
Propinsi, dsb.) melalui berbagai mekanisme, misalnya seminar, lokakarya, diskusi, rapat
kerja, simposium, forum ilmiah, dan media masa.
Dalam melakukan sosialisasi MBS, yang penting dilakukan oleh kepala sekolah adalah
“membaca” dan “membentuk” budaya MBS di sekolah masing-masing. Secara umum,
garis-garis besar kegiatan sosialisasi/ pembudayaan MBS dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a. Baca dan pahamilah sistem, budaya, dan sumberdaya yang ada di sekolah secara cermat
dan refleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumberdaya baru yang
diharapkan dapat mendukung penyelenggaraan MBS;
b. Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang perlu diperkuat dan yang perlu
diubah, dan kenalkan sistem, budaya, dan sumberdaya baru yang diperlukan untuk
menyelenggarakan MBS;
c. Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang bertanggungjawab,
jika terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya yang cukup mendasar;
d. Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk mengklarifikasikan visi, misi, tujuan,
sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS;
e. Hadapilah “status quo” (resistensi) terhadap perubahan, jangan menghindar dan jangan
menarik darinya serta jelaskan mengapa diperlukan perubahan dari manajemen berbasis
pusat menjadi MBS;
f. Garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya yang belum ada sekarang, akan
tetapi sangat diperlukan untuk mendukung visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan
program-program penyelenggaraan MBS dan doronglah sistem, budaya, dan sumberdaya
manusia yang mendukung penerapan MBS serta hargailah mereka (unsur-unsur) yang
telah memberi contoh dalam penerapan MBS; dan
g. Pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran,
rencana, dan program-program MBS.

2. Merumuskan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Sekolah (Tujuan Situasional Sekolah)
Sekolah yang melaksanakan MBS harus membuat rencana strategis dan rencana
operasional (rencana tahunan) sekolah. Rencana strategis sekolah pada umumnya
mencakup perumusan visi, misi, tujuan sekolah dan strategi pelaksanaannya. Sedangkan
rencana kerja tahunan sekolah pada umumnya meliputi pengidentifikasian sasaran
sekolah (tujuan situasional sekolah), pemilihan fungsi-fungsi sekolah yang diperlukan
untuk mencapai sasaran yang telah diidentifikasi, analisis SWOT, langkah-langkah
pemecahan persoalan, dan penyusunan rencana dan program kerja tahunan sekolah.
Berikut diuraikan secara singkat mengenai perumusan visi, misi, tujuan dan sasaran
sekolah (tujuan situasional sekolah).
a. Visi
Setiap sekolah harus memiliki visi. Visi adalah wawasan yang menjadi sumber arahan
bagi sekolah dan digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah. Dengan kata lain,
visi adalah pandangan jauh ke depan kemana sekolah akan dibawa. Visi adalah gambaran
masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat
menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Gambaran tersebut tentunya harus didasarkan pada landasan yuridis, yaitu undang-
undang pendidikan dan sejumlah peraturan pemerintahnya, khususnya tujuan pendidikan
nasional sesuai jenjang dan jenis sekolahnya dan juga sesuai dengan profil sekolah yang
bersangkutan. Dengan kata lain, visi sekolah harus tetap dalam koridor kebijakan
pendidikan nasional tetapi sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat yang dilayani.
Tujuan pendidikan nasional sama tetapi profil sekolah khususnya potensi dan kebutuhan
masyarakat yang dilayani sekolah tidak selalu sama. Oleh karena itu dimungkinkan
sekolah memiliki visi yang tidak sama dengan sekolah lain, asalkan tidak keluar dari
koridor nasional yaitu tujuan pendidikan nasional.
b. Misi
Misi adalah tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut. Karena visi harus
mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah, maka misi
dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi kepentingan masing-masing
kelompok yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus
mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan kelompok-kelompok kepentingan yang
terkait dengan sekolah. Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi
tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya.
c. Tujuan
Bertolak dari visi dan misi, selanjutnya sekolah merumuskan tujuan. Tujuan merupakan
“apa” yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan “kapan” tujuan
akan dicapai. Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang panjang, maka tujuan
dikaitkan dengan jangka waktu 3-5 tahun. Dengan demikian tujuan pada dasarnya
merupakan tahapan wujud sekolah menuju visi yang telah dicanangkan.
Jika visi merupakan gambaran sekolah di masa depan secara utuh (ideal), maka tujuan
yang ingin di capai dalam jangka waktu 3 tahun mungkin belum se ideal visi atau belum
selengkap visi. Dengan kata lain, tujuan merupakan tahapan untuk mencapai visi.
d. Sasaran/Tujuan Situasional
Setelah tujuan sekolah (tujuan jangka menengah) dirumuskan, maka langkah selanjutnya
adalah menetapkan sasaran/target/tujuan situasional/tujuan jangka pendek. Sasaran
adalah penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang akan dihasilkan/dicapai oleh sekolah dalam
jangka waktu lebih singkat dibandingkan tujuan sekolah. Rumusan sasaran harus selalu
mengandungpeningkatan, baik peningkatan kualitas, efektivitas, produktivitas, maupun
efisiensi (bisa salah satu atau kombinasi). Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif,
maka sasaran harus dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya, dan disertai indikator-
indikator yang rinci. Meskipun sasaran bersumber dari tujuan, namun dalam penentuan
sasaran yang mana dan berapa besar kecilnya sasaran, tetap harus didasarkan atas
tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah.
1) Mengidentifikasi Tantangan Nyata Sekolah
Pada tahap ini, sekolah melakukan analisis output sekolah yang hasilnya berupa
identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah selisih
(ketidaksesuaian) antara output sekolah saat ini dan output sekolah yang diharapkan di
masa yang akan datang (tujuan sekolah). Besar kecilnya ketidaksesuaian antara output
sekolah saat ini (kenyataan) dengan output sekolah yang diharapkan (idealnya) di masa
yang akan datang memberitahukan besar kecilnya tantangan. Contoh tantangan kualitas:
misalnya, jika dalam tiga tahun ke dapan dicanangkan tujuanuntuk mencapai GSA
sebesar +2, sementara saat ini baru mencapai +0,4 berarti tantangan nyata yang dihadapi
sekolah adalah (+2)-(+0,4) = (+0,4). Misalnya lagi, juara lomba karya ilmiah remaja
sekolah saat ini berperingkat nomor 4 se kabupaten dan yang diharapkan akan meningkat
menjadi peringkat nomor 1, maka besarnya tantangan adalah 1-4 (-3), kurang 3. Contoh
tantangan efektivitas: dari 300 siswa yang ikut UAN, yang lulus 270 siswa, sehingga
tantangannya adalah 30 siswa atau 10 persen yaitu berasal dari 30 siswa dibagi 300
siswa.
Output sekolah saat ini dapat dengan mudah diidentifikasi, karena tersedia datanya. Akan
tetapi bagaimanakah caranya mengidentifikasi output sekolah yang diharapkan, sehingga
output yang diharapkan tersebut cukup realistis? Caranya, perlu dilakukan analisis
prakiraan (forecasting) lengkap dengan asumsi-asumsinya untuk menemukan
kecenderungan-kecenderungan yang diharapkan di masa depan.
Pada umumnya, tantangan sekolah bersumber dari output sekolah yang dapat
dikategorikan menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektivitas, dan efisiensi.
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang
menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang
tersirat. Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksud adalah kualitas output
sekolah yang bersifat akademik (misal: NUAN dan LKIR) dan non-akademik (misal:
olah raga dan kesenian). Mutu output sekolah dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input
dan proses persekolahan.
Produktivitas adalah perbandingan antara output sekolah dibanding input sekolah. Baik
output maupun input sekolah adalah dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input sekolah,
misalnya jumlah guru, modal sekolah, bahan, dan energi. Kuantitas output sekolah,
misalnya jumlah siswa yang lulus sekolah setiap tahunnya. Contoh produktivitas,
misalnya, jika tahun ini sebuah sekolah lebih banyak meluluskan siswanya dari pada
tahun lalu dengan input yang sama (jumlah guru, fasilitas, dsb.), maka dapat dikatakan
bahwa tahun ini sekolah tersebut lebih produktif dari pada tahun sebelumnya.
Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan
waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata
dibagi hasil yang diharapkan. Misalnya, NUAN idealnya berjumlah 60, namun NUAN
yang diperoleh siswa hanya 45, maka efektivitasnya adalah 45:60 = 75%.
Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi
eksternal.Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output sekolah
(pencapaian prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk
memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi internal sekolah biasanya diukur
dengan biaya-efektivitas. Setiap penilaian biaya-efektivitas selalu memerlukan dua hal,
yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil
pembelajaran (prestasi belajar, lama belajar, angka putus sekolah). Misalnya, jika dengan
biaya yang sama, tetapi NUAN tahun ini lebih baik dari pada NUAN tahun lalu, maka
dapat dikatakan bahwa tahun ini sekolah yang bersangkutan lebih efisien secara internal
dari pada tahun lalu. Efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan
untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomik,
dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada kurun waktu yang panjang diluar sekolah.
Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efisiensi eksternal.
Misalnya, dua sekolah SMP 1 dan SMP 2 dengan menggunakan biaya yang sama setiap
tahunnya. Akan tetapi, lulusan SMP 1 mendapatkan upah yang lebih besar dari pada
lulusan SMP 2 setelah mereka bekerja. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa SMP 1
lebih efisien secara eksternal dari pada SMP 2.
2) Merumuskan Sasaran (Tujuan Situasional)
Berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi sekolah, maka dirumuskanlah sasaran/tujuan
situasional yang akan dicapai oleh sekolah. Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan
atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah, namun perumusan sasaran tersebut
harus tetap mengacu pada visi, misi, dan tujuan sekolah, karena visi, misi, dan tujuan
sekolah merupakan sumber pengertian (sumber referensi) bagi perumusan sasaran
sekolah. Karena itu, sebelum merumuskan sasaran sekolah yang akan dicapai, setiap
sekolah harus memiliki visi, misi, dan tujuan sekolah.
Sasaran sebaiknya hanya untuk waktu yang relatif pendek, misalnya untuk satu tahun
ajaran. Dengan demikian sasaran (misalnya untuk 1 tahun) pada dasarnya merupakan
tahapan untuk mencapai tujuan jangka menengah (misalnya untuk jangka 3 tahun).
Ketika menentukan sasaran, prioritas harus dipertimbangkan sungguh-sungguh. Jika
tujuan yang telah dicanangkan mencakup 5 aspek, apakah kelimanya akan digarap pada
tahun pertama, atau hanya beberapa saja. Hal itu sangat tergantung kondisi sekolah.

3. Mengidentifikasi Fungsi-Fungsi yang Diperlukan untuk Mencapai Sasaran


Setelah sasaran dipilih, maka langkah berikutnya adalah mengidentifikasi fungsi-fungsi
yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran dan yang masih perlu diteliti tingkat
kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya, fungsi proses belajar mengajar
beserta fungsi-fungsi pendukungnya yaitu fungsi pengembangan kurikulum, fungsi
perencanaan dan evaluasi, fungsi ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi pelayanan
kesiswaan, fungsi pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi hubungan sekolah-
masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas.

4. Melakukan Analisis SWOT


Setelah fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran diidentifikasi, maka
langkah berikutnya adalah menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-
faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat).
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap
fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang
telah ditetapkan. Untuk mengetahui tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya
dicapai melalui membandingkan faktor dalam kondisi nyata dengan faktor dalam kriteria
kesiapan. Yang dimaksud dengan kriteria kesiapan faktor adalah faktor yang memenuhi
kriteria/standar untuk mencapai sasaran/tujuan situasional. Faktor yang memenuhi
kriteria/standar ini ditemukan melalui perhitungan-perhitungan atau pertimbangan-
pertimbangan yang bersumber pada pencapaian sasaran.
Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing
faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap
keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun
eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor pada setiap fungsi yang berada didalam
kewenangan sekolah. Sedangkan yang dimaksud faktor eksternal adalah faktor-faktor
pada setiap fungsi yang berada diluar kewenangan sekolah. Misalnya, fungsi proses
belajar mengajar terdiri dari banyak faktor, satu diantaranya perilaku mengajar guru
(faktor internal) dan satu lainnya kondisi lingkungan sosial masyarakat (faktor eksternal).
Perilaku mengajar guru digolongkan faktor internal karena sekiranya perilaku tersebut
perlu diubah, masih dalam kewenangan sekolah. Sebaliknya, kondisi lingkungan sosial
masyarakat digolongkan sebagai faktor eksternal karena sekiranya kondisi tersebut ingin
diubah, diluar kewenangan sekolah.
Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran/kriteria kesiapan
yang diperlukan untuk mencapai sasaran, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor
yang tergolong internal; peluang,bagi faktor yang tergolong eksternal. Sedang tingkat
kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan
bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong internal; danancaman, bagi faktor yang
tergolong eksternal. Baik kelemahan maupun ancaman, sebagai faktor yang memiliki
tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan.
5. Alternatif Langkah Pemecahan Persoalan
Dari hasil analisis SWOT, maka langkah berikutnya adalah memilih langkah-langkah
pemecahan persoalan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk
mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan,
yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka sasaran yang telah ditetapkan
tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran tercapai, perlu dilakukan tindakan-
tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang
dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya
merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi
kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang
bermakna kekuatan dan/atau peluang.

6. Menyusun Rencana dan Program Peningkatan Mutu


Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama
dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan
panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah
tidak selalu memiliki sumberdaya yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan bagi
pelaksanaan MBS, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk jangka pendek, menengah,
dan panjang.
Rencana yang dibuat harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang: aspek-aspek
mutu yang ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus
melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan, dan berapa biaya yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sekolah
dalam menjelaskan dan memperoleh dukungan dari pemerintah maupun dari orangtua
siswa, baik dukungan pemikiran, moral, material maupun finansial untuk melaksanakan
rencana peningkatan mutu pendidikan tersebut. Rencana yang dimaksud harus juga
memuat rencana anggaran biaya (rencana biaya) yang diperlukan untuk merealisasikan
rencana sekolah.
Hal pokok yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam penyusunan rencana adalah
keterbukaan kepada semua pihak yang menjadi stakeholder pendidikan, khususnya
orangtua siswa dan masyarakat (BP3/Komite Sekolah) pada umumnya. Dengan cara
demikian akan diperoleh kejelasan, berapa kemampuan sekolah dan pemerintah untuk
menanggung biaya rencana ini, dan berapa sisanya yang harus ditanggung oleh orangtua
peserta didik dan masyarakat sekitar. Dengan keterbukaan rencana ini, maka
kemungkinan kesulitan memperoleh sumberdana untuk melaksanakan rencana ini bisa
dihindari.
Jika rencana adalah merupakan deskripsi hasil yang diharapkan dan dapat digunakan
untuk keperluan penyelenggaraan kegiatan sekolah, maka program adalah alokasi
sumberdaya (sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya, misalnya, uang, bahan,
peralatan, perlengkapan, perbekalan, dsb.) kedalam kegiatan-kegiatan, menurut jadwal
waktu dan menunjukkan tatalaksana yang sinkron. Dengan kata lain, program adalah
bentuk dokumen untuk menggambarkan langkah mewujudkan sinkronisasi dalam
ketatalaksanaan.

7. Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu


Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah disetujui bersama
antara sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah
proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kepala sekolah dan
guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia semaksimal
mungkin, menggunakan pengalaman-pengalaman masa lalu yang dianggap efektif, dan
menggunakan teori-teori yang terbukti mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.
Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan
program-program yang diproyeksikan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat membebaskan diri dari keterikatan-
keterikatan birokratis yang biasanya banyak menghambat penyelenggaraan pendidikan.
Dalam melaksanakan proses pembelajaran, sekolah hendaknya menerapkan konsep
belajar tuntas (mastery learning). Konsep ini menekankan pentingnya siswa menguasai
materi pelajaran secara utuh dan bertahap sebelum melanjutkan ke pembelajaran topik-
topik yang lain. Dengan demikian siswa dapat menguasai suatu materi pelajaran secara
tuntas sebagai prasyarat dan dasar yang kuat untuk mempelajari tahapan pelajaran
berikutnya yang lebih luas dan mendalam.
Untuk menghindari berbagai penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan supervisi
dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang dilakukan di sekolah.
Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin pendidikan di sekolahnya berhak dan
perlu memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran kepada guru dan tenaga
lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan.
Namun demikian, bimbingan dan arahan jangan sampai membuat guru dan tenaga
lainnya menjadi amat terkekang dalam melaksanakan kegiatan, sehingga kegiatan tidak
mencapai sasaran.

8. Melakukan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan


Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi
pelaksanaan program, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka
pendek dilakukan setiap akhir catur wulan untuk mengetahui keberhasilan program
secara bertahap. Bilamana pada satu catur wulan dinilai adanya faktor-faktor yang tidak
mendukung, maka sekolah harus dapat memperbaiki pelaksanaan program peningkatan
mutu pada catur wulan berikutnya. Evaluasi jangka menengah dilakukan pada setiap
akhir tahun, untuk mengetahui seberapa jauh program peningkatan mutu telah mencapai
sasaran-sasaran mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan
diketahui kekuatan dan kelemahan program untuk diperbaiki pada tahun-tahun
berikutnya.
Dalam melaksanakan evaluasi, kepala sekolah harus mengikutsertakan setiap unsur yang
terlibat dalam program, khususnya guru dan tenaga lainnya agar mereka dapat menjiwai
setiap penilaian yang dilakukan dan memberikan alternatif pemecahan. Demikian pula,
orangtua peserta didik dan masyarakat sebagai pihak eksternal harus dilibatkan untuk
menilai keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Dengan demikian, sekolah
mengetahui bagaimana sudut pandang pihak luar bila dibandingkan dengan hasil
penilaian internal. Suatu hal yang bisa terjadi bahwa orangtua peserta didik dan
masyarakat menilai suatu program gagal atau kurang berhasil, walaupun pihak sekolah
menganggapnya cukup berhasil. Yang perlu disepakati adalah indikator apa saja yang
perlu ditetapkan sebelum penilaian dilakukan. Untuk lebih detailnya tentang monitoring
dan evaluasi MBS.
Hasil evaluasi pelaksanaan MBS perlu dibuat laporan yang terdiri dari laporan teknis dan
keuangan. Laporan teknis menyangkut program pelaksanaan dan hasil MBS, sedang
laporan keuangan meliputi penggunaan uang serta pertanggungjawabannya. Jika sekolah
melakukan upaya-upaya penambahan pendapatan (income generating activities), maka
pendapatan tambahan tersebut harus juga dilaporkan. Sebagai bentuk
pertanggungjawaban (akuntabilitas), maka laporan harus dikirim kepada Pengawas,
Dinas Pendidikan Kabupaten, Komite Sekolah, Orang Tua Siswa dan Yayasan (bagi
sekolah swasta).

9. Merumuskan Sasaran Mutu Baru


Sebagaimana dikemukakan terdahulu, hasil evaluasi berguna untuk dijadikan alat bagi
perbaikan kinerja program yang akan datang. Namun yang tidak kalah pentingnya, hasil
evaluasi merupakan masukan bagi sekolah dan orangtua peserta didik untuk merumuskan
sasaran mutu baru untuk tahun yang akan datang. Jika dianggap berhasil, sasaran mutu
dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Jika tidak, bisa
saja sasaran mutu tetap seperti sediakala, namun dilakukan perbaikan strategi dan
mekanisme pelaksanaan kegiatan. Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa sasaran
mutu diturunkan, karena dianggap terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumberdaya
pendidikan yang ada (tenaga, sarana dan prasarana, dana) yang tersedia.
Setelah sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui
tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga dapat diketahui
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dengan informasi ini, maka langkah-
langkah pemecahan persoalan segera dipilih untuk mengatasi faktor-faktor yang
mengandung persoalan. Setelah ini, rencana peningkatan mutu baru dapat dibuat.
Demikian seterusnya, caranya seperti urut-urutan nomor 2 s/d nomor 8 diatas.
E. Pengambilan Keputusan Partisipatif
Pengambilan keputusan partisipatif merupakan salah satu konsep dasar dari
Manajemen Berbasis sekolah. Adapun yang dimaksud Pengambilan keputusan
partisipatif menurut David (Slamet PH: 2000) adalah suatu cara untuk mengambil
keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga
sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk
terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat
berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan
bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka
yang bersangkutan akan ada "rasa memiliki" terhadap keputusan tersebut, sehingga yang
bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai
tujuan sekolah.
Esensi proses pengambilan keputusan partisipatif (Cangemi, 1985) adalah untuk
mencari "wilayah kesamaan" antara kelompok-kelompok kepentingan yang terkait
dengan sekolah (stakehorder) yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, dan
pemerintah/yayasan). Wilayah kesamaan inilah yang menjadi modal dasar untuk
menumbuhkan "rasa memiliki" bagi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan
sekolah dan ini dapat dilakukan secara efektif melalui pelibatan semua kelompok
kepentingan dalam proses pengambilan keputusan.

BAB III PEMBAHASAN

Esensi konsep MBS adalah otonomi. Otonomi dapat diartikan sebagai


kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya
sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah
untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
pendidikan nasional yang berlaku.
Untuk mencapai otonomi sekolah, diperlukan suatu proses yang disebut
"desentralisasi". Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan pendidikan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemeritah Dati I ke Dati II, dari
Dati II ke sekolah, dan bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam kerangka
pendidikan nasional. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan yang diatur
secara "sentralistik" menghasilkan fenomena-fenomena seperti berikut: lamban
berubah/beradaptasi, bersifat kaku, normatif sekali orientasinya karena terlalu banyaknya
lapis-lapis birokrasi, tidak jarang birokrasi mengendalikan fungsi dan bukan sebaliknya,
uniformitas telah memasung kreativitas, dan tradisi serta serimoni yang penuh kepalsuan
sudah menjadi kebiasaan. Kecil itu indah, adalah merupakan esensi desentralisasi.
Menurut Bailey (1991), organisasi yang cakupan, pemerintahan, manajemen, dan
ukurannya kecil, mudah beradaptasi. Karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal
penting untuk diterapkan, tetapi sudah merupakan keharusan. Dengan desentralisasi,
maka: (1) fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan tumbuh dan berkembang
dengan subur, sehingga keputusan dapat dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan
sekolah; (2) akuntabilitas/pertanggunggugatan terhadap masyarakat (majelis sekolah,
orangtua peserta didik, publik) dan pemerintah meningkat; dan (3) kinerja sekolah akan
meningkat (efektivitasnya, kualitasnya, efisiensinya, produktivitasnya, inovasinya,
provitabilitasnya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moralnya).

A. Strategi Pelaksanaan MBS yang Tepat Guna Mewujudkan Keterlaksanaan MBS yang
Bermutu

Dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah perlu adanya strategi yang tepat.
Strategi yang dapat ditempuh dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah dengan
baik menurut Slamet PH, (2000) adalah:
Mensosialiasikan konsep manajemen berbasis sekolah keseluruh warga sekolah,
yaitu guru,siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait
lainnya (orangtua murid, pengawas, wakil kandep, wakil kanwil, dsb.) melalui seminar,
diskusi, forum ilmiah, dan media masa. Hendaknya dalam sosialisasi ini juga dibaca dan
dipahami sistem, budaya, dan sumber daya sekolah yang ada secermat-cermatnya dan
direfleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumber daya yang dibutuhkan
untuk penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah.
Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa
tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemen
berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah. Tantangan adalah selisih
(ketidaksesuaian) antara keadaan sekarang (manajemen berbasis pusat) dan keadaan yang
diharapkan (manajemen berbasis sekolah). Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian
antara keadaan sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan (idealnya)
memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan).
Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan manajemen
berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi (butir 2). Segera setelah
tujuan situasional ditetapkan, kriteria kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya
ditetapkan. Kriteria inilah yang akan digunakan sebagai standar atau kriteria untuk
mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.
Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan
situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan
situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang
perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat
kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud meliputi antara lain: pengembangan
kurikulum, pengembangan tenaga kependidikan dan nonkependidikan, pengembangan
siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-
masyarakat, pengembangan fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis
SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan
maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan
untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan
fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap
fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi,
baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan harus memadai,
artinya, minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan
situasional, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal;
peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang
kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna:
kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal; dan ancaman, bagi faktor yang
tergolong faktor eksternal.
Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang
diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama
masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan
situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan
situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan
menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah
pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna
kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan
memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-
sama dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka pendek, menengah,
dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut.
Sekolah tidak selalu memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen
berbasis sekolah idealnya, sehingga perlu dibuat sekala prioritas untuk rencana jangka
pendek, menengah, dan panjang.
Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek
manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan, semua input yang diperlukan untuk
berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah harus siap. Jika input
tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program,
dan pengelolaan proses belajar mengajar.
Pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil manajemen berbasis
sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan balik
bagi perbaikan penyelenggaraan dan hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur
tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini
dilakukan secara terus-menerus, sehingga proses dan hasil manajemen berbasis sekolah
dapat dioptimalkan.
Sembilan strategi pelaksanaan MBS tersebut di atas akan dapat berjalan dengan
baik apabila kepala sekolah dalam kepemimpinannya mampu melaksanakan budaya
pengambilan keputusan partisipatif.
B. Penerapan Budaya Pengambilan Keputusan Partisipatif untuk Mewujudkan MBS
yang Bermutu
Sebagaimana dikemukakan pada Landasan Teori bahwa pengambilan keputusan
partisipatif merupakan suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan
lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan,
orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan
sekolah.
Teknik pengambilan keputusan seperti ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika
seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang
bersangkutan akan ada "rasa memiliki" terhadap keputusan tersebut, sehingga yang
bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai
tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat pertisipasi, makin besar pula rasa
memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin
besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga
sekolah dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi,
dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Bagaimana menerapkan pengambilan keputusan partisipatif? Menurut Cangemi
(dalam Slamet PH: 2000), paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh
kepala sekolah sewaktu akan menerapkan pengambilan keputusan partisipatif: (1)
bagaimana cara menentukan, dalam setiap kasus, apakah cocok dan produktif jika
pengambilan keputusan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (2) kemudian,
jika proses pengambilan keputusan perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan,
pertanyaan kedua adalah: bagian yang mana dari proses pengambilan keputusan yang
perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (3) pertanyaan ketiga adalah cara
yang mana (apa) yang paling efektif untuk melibatkan mereka dalam proses pengambilan
keputusan?
Tentunya tidak semua wilayah (zona) pengambilan keputusan harus melibatkan
semua kelompok kepentingan. Ada wilayah-wilayah yang memang merupakan hak
prerogatif pimpinan untuk diputuskan secara sendirian dan bawahan harus menerimanya
tanpa syarat. Kalaupun pimpinan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, maka hal
ini harus dipikirkan secara mendalam dan terkontrol pelaksanaannya.
Ada empat petunjuk untuk mengidentifikasi pengambilan keputusan yang harus
melibatkan para kelompok kepentingan, yaitu relevansi, kompetensi, yurisdiksi, dan
kompatibilitas tujuan. Relevansi adalah tingkat relevansinya. Sekiranya keputusan yang
akan diambil relevan dengan kebutuhan kelompok kepentingan tertentu (kelompok yang
bakal terkena dampak keputusan), maka pengambilan keputusan sebaiknya melibatkan
kelompok kepentingan tersebut. Kompetensi, adalah uji keahlian. Artinya, kelompok
kepentingan yang akan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, harus memiliki
sesuatu untuk dikontribusikan. Mereka harus memiliki kompetensi untuk ikut serta dalam
memecahkan persoalan-persoalan yang terkait dengan kepentingannya. Yurisdiksi
mengandung pengertian bahwa sekolah didirikan untuk menjalankan fungsinya melalui
struktur-herarkis. Oleh karena itu, ada batas-batas yurisdiksi yang memang tidak semua
kelompok kepentingan harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelibatan yang tidak
proporsional secara yurisdiksi akan cenderung membuat frustasi dan kemarahan yang
tidak berdasar. Keempat, uji kompatibilitas tujuan. Apabila kompatibilitas tujuan dari
semua kelompok kepentingan diinginkan, maka pelibatan mereka dalam proses
pengambilan keputusan sangat diperlukan.
Untuk dapat menerapkan pengambilan keputusan partispatif, ada beberapa model
yang dapat digunakan, di antaranya:

1) Pemberitahuan
Di sini kepala sekolah mengambil keputusan secara sendirin. Dia tidak mencari informasi
dan tidak mencari nasehat dari orang lain. Dia mempercayakan pada pengalamannya
sendiri dan penelitiannya sendiri, dan semata-mata mengumumkan keputusannya. Gaya
ini cocok untuk keputusan-keputusan yang terletak diluar zona kepedulian karyawan.

(2) Pengumpulan Informasi


Disini kepala sekolah menggunakan kelompok kepentingan tertentu hanya untuk tujuan
pengumpulan informasi (penelitian masalah). Partisipan tidak diundang untuk datang
bersama-sama dan bahkan tidak tahu siapa saja yang dimintai informasi. Melalui
pembicaraan telpon atau laporan tertulis, kepala sekolah mencoba menarik kontribusi dari
kelompok kepentingan tertentu agar supaya dapat mengambil keputusan oleh dirinya
sendiri. Gaya semacam ini hanya berlaku secara terbatas untuk keputusan-keputusan
marjinal diluar zona kepedulian karyawan.

(3) Pengumpulan Informasi dan Pembahasan


Di sini kepala sekolah berusaha mengumpulkan informasi dan memferifikasinya dengan
mengundang secara bersama-sama para kelompok kepentingan yang dapat berkontribusi
terhadap informasi awal yang telah dikumpulkan. Sewaktu informasi ini dicek-silang dan
diklarifikasi, kolegialitas antar kelompok kepentingan tidak terlalu
didorong/dimunculkan. Dari informasi cek-silang ini, kemudian Kepala Sekolah akan
menggunakannya untuk masukan bagi pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh
dirinya sendiri.

4) Pengumpulan Pendapat dan Pembahasan


Di sini kepala sekolah meminta bawahannya untuk menginterpretasi informasi yang telah
dibagi-bagikan kepada mereka. Dia memanfaatkan mereka untuk menjelaskan makna
data-data yang telah dibagi-bagikan keseluruh kelompok. Pendapat-pendapat yang
diusulkan mungkin beragam dan tidak bisa menghasilkan saran-saran umum terhadap
Kepala Sekolah untuk memecahkan persoalan. Lagi-lagi, sepala sekolah mengambil
keputusan oleh dirinya sendiri tetapi dalam hal ini dia telah mendorong pertukaran
pendapat secara bebas sewaktu dilakukan cek-silang antar kelompok kepentingan.
Kondisi ini cocok jika setiap kelompok kepentingan dapat dipercaya untuk bagi-bagi
pendapat dan memiliki keahlian yang sesuai dengan keputusan yang akan diambil.

5) Debat, Dialog, dan Proteksi Ekuitas/Kesamaan


Dalam model ini, kepala sekolah tidak hanya mendorong pertukaran pendapat secara
bebas, tetapi juga untuk meyakinkan bahwa individu-individu yang menawarkan
pendapat harus berdebat untuk mempertahankan pendapatnya. Melalui interaksi ini
kemudian dilakukan penilaian terhadap pendapat-pendapat tersebut sehingga ditemukan
pendapat yang relatif lebih baik. Karena semua pendapat harus dilontarkan, maka peran
kepala sekolah adalah melindungi pendapat-pendapat dari kelompok minoritas dan
memberhentikan mereka yang telah habis waktunya dalam curah/debat pendapat. Dalam
peran ini, kepala sekolah tetap akan mengambil keputusan oleh dirinya sendiri, namun
dia akan dipengaruhi secara signifikan oleh argumen-argumen yang disampaikan oleh
para partisipan.

(6) Demokrasi
Model pengambilan keputusan semacam ini pada dasarnya menggunakan sistem
"voting". Kepala sekolah menyerahkan sebagian besar wewenang pengambilan
keputusannya, sehingga dia akan berpartisipasi dalam diskusi tersebut dan dia akan
memberikan suaranya melalui "voting", dan oleh karena itu keputusan final akan
ditentukan oleh suara mayoritas. Teknik ini cocok untuk pengambilan keputusan yang
kontroversial, dimana konsensus sukar dicapai.

7) Konsensus
Di sini kepala sekolah mendorong munculnya pendapat-pendapat yang beragam dan dia
bertindak sebagai parlementarian untuk menjamin hak-hak yang sama dari semua peserta
yang terlibat dalam diskusi. Segera setelah kelompok diskusi mengarah kepada
kesepakatan, dia meringkasnya dan mengklarifikasi isu-isu tersebut. Dia memimpin
diskusi, tetapi dia tidak menempatkan pendapatnya di atas peserta diskusi. Dia berusaha
membawa kelompok diskusi kearah persetujuan terhadap alternatif terbaik, yaitu
alternatif yang dapat diterima oleh kelompok secara keseluruhan. Ini tidak berarti bahwa
setiap peserta akan puas secara total terhadap keputusan, akan tetapi paling tidak setiap
peserta seyogyanya puas terhadap keputusan tersebut karena inilah keputusan terbaik
yang dapat dicapainya.

(8) Delegasi
Dalam kondisi-kondisi tertentu, suatu keputusan tidak harus ditangani oleh kepala
sekolah, karena keputusan tersebut tidak relevan baginya maupun bagi sekolahnya. Dia
tidak memiliki keahlian untuk berkontribusi dan karena itu dia mendelegasikan keputusan
kepada bawahannya (guru, konselor, BP3, dsb.). Dia tidak berpartisipasi. Dia tidak
mengganggu hasil akhir keputusan, namun bisa saja dia merupakan salah seorang yang
menunjukkan adanya permasalahan.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab I sampai III, dapat ditarik
beberapa simpulan, antara lain sebagai berikut:
1) Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah,
dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2) Langkah-langkah strategi pelaksanaan MBS tepat adalah a) mensosialisasikan konsep
MBS; b) melakukan analisis sasaran; c) merumuskan sasaran, d) mengidentifikasi fungsi-
fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran, e) melakukan analisis SWOT, f)
menyusun rencana sekolah, g) mengimplementasikan rencana sekolah, h) melakukan
evaluasi, dan i) merumuskan sasaran baru.
3) Pengambilan keputusan partisipatif merupakan cara mengambil keputusan yang
melibatkan semua kelompok atau komponen sekolah, terutama pihak-pihak yang akan
melaksanakan keputusan dan yang akan terkena dampak keputusan.
4) Ketepatan strategi pelaksanaan MBS serta penggunaan penerapan budaya pengambilan
keputusan partisipatif merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan kepala
sekolah dalam melaksanakan MBS.

B. Saran
1) Kepala sekolah yang baik sewajar untuk melibatkan seluruh komponen sekolah dalam
menentukkan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan sekolah.
2) Salah satu cara melibatkan seluruh komponen sekolah adalah dengan penerapan budaya
pengambilan keputusan partisipatif. Artinya, dalam mengambil keputusan sebaiknya
unsur-unsur sekolah terlibat di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aburizal Bakrie. 1999. Mengefektifkan Sistem Pendidikan Ganda. (Makalah Disampaikan pada
Rapat Kerja Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional, 29 Maret 1999) di Jakarta.

Bailey, William J. 1991. Schhol-Site Management Applied. Lancaster-Basel: Technomic


Publishing CO.INC.
Direktorat Dikmenum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta:
Depdiknas.

Dewan Perwakilan Rakyat. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.

Dewan Perwakilan Rakyat. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.

Dewan Perwakilan Rakyat. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi.
Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.

Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat
PLP 2005. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat PLP.

Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(Buku 1). Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Departemen Pendidikan
Nasional.

Poernomosidi Hadjisarosa. 1997. Naskah 1: Butir-Butir untuk Memahami Pengertian Mengenali


Hal Secara Utuh dan Benar (Bahan Kuliah STIE Mitra Indonesia).

Slamet PH. 2000. Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah Disampaikann
dalam Seminar Regional dengan Tema "Otonomi Pendidikan dan Implementasinya dalam
EBTANAS" pada Tanggal 8 Mei 2000 di Universitas Panca Marga Probolinggo, Jawa
Timur.

Slamet PH (2000). Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah pada Acara
Seminar dan Temu Alumni Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta dengan
Tema "Pendidikan yang Berwawasan Pembebasan: Tantangan Masa Depan" pada
Tanggal 27 Mei 2000 di Ambarukmo Palace Hotel, Yogyakarta.

Sumarno dkk. (2000). Otonomi Pendidikan. Kertas Kerja yang Dibahas di Universitas Negeri
Yogyakarta dalam Rangka Memberi Masukan kepada Menteri Pendidikan Nasional
(tidak dipublikasikan).
Diposkan oleh SDN 3 BANGUNHARJA di 15:48
Label: Makalah

Anda mungkin juga menyukai