Anda di halaman 1dari 420
BUKU AJAR ENDOKRINOLOGI ANAK EDISI 1 Penyunting Jose RL Batubara Bambang Tridjaja AAP Aman B.Pulungan Cetakan Pertama %, seh AN, a S UKK ENDOKRINOLOGI ANAK DAN REMAJA IDAI 2010 Ikatan Dokter Anak Indonesia Jakarta, 2010 BUKU AJAR ENDOKRINOLOGI ANAK, penyunting, Jose RL Batubara, Bambang Tridjaja AAR Aman B.Pulungan, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010 ISBN 978-979-8421-44-0 Kedokteran - Endokrinologi Anak Hak pengarang dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin Penyunting dan Penerbit ‘Type setting: Unggul HK Sodjo Diterbickan pettama kali tahun 2010 Edisi 1, Cetakan Pertama 2010 Penerbit : Badan Penerbit IDAI SAMBUTAN KETUA UMUM PP IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA Salam dari Ikatan Dokter Anak Indonesia Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAJ) mengucapkan selamat kepada Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi IDAI yang telah berhasil menerbitkan Buku Ajar Endokrinologi IDAI. Buku Ajar merupakan salah satu upaya UKK melakukan standarisasi perkembangan ilmu pengetahuan di bidangnya agar dipakai sebagai acuan baik oleh dokter spesialis anak maupun tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan kesehatan anak. Buku Ajor sebagai kinerja UKK sangat diperlukan oleh praktisi kesehatan anak. Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran termasuk endokrinologi anak berlangsung dengan cepat, oleh karena itu diperlukan kajian secara terus menerus dan revisi berkala dari buku ajar yang telah diterbitkan agar materi buku ajar selalu ter ‘update’. Pada era ‘Millenium Development Goals’ (MDG), upaya pelayanan keschatan promotif dan preventif untuk setiap penyakit harus terus ditingkatkan karena kedua upaya tersebut jelas sangat berperan terhadap upaya peningkatan derajat kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia dan konsep tersebut harus terlihat pada Buku Ajar, Untuk para penulis Buku Ajar Endokrinologi, Pengurus Pusat IDAT mengucapkan terima kasih atas pikiran, tenaga, dan waktu yang telah diberikan kepada IDAI khususnya dalam mempersiapkan dan menerbitkan buku ini. Semoga IDAI dapat selalu berperan dalam setiap upaya ‘Child survival - Child health - Child development’ Badriul Hegar Kerua Umum Tkatan Dokter Anak Indonesia 2008 - 2011 Tkatan Dokter Anak Indonesia iii SAMBUTAN KETUA KOLEGIUM IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA. Assalamu ’alaikum warahmatullahi wabarokatuh Puji syukur ke hadirat Allah swt karena atas berkat dan karuniaNya, maka buku ajar Endokrinologi Anak dapat diterbitkan bertepatan dengan kegiatan Pertemuan Ilmiah Tahunan ke XIV di Medan Sumatera Utara, sehingga tepatlah pula waktunya untuk menyebarluaskan buku tersebut kepada seluruh anggota IDAI yang sedang berkumpul dalam rangka kegiatan ilmiah tahunan ini. Buku ajar Endokrinologi Anak telah dirancang selama 10 tahun tetakhir ini dan disusun oleh para pakar dalam bidang Endokrinologi Anak dan seluruh anggota UKK-nya, yang sebagian besar merupakan staf pengajar Departemen IImu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran di berbagai Universitas di Indonesia. Pada saat yang baik ini, atas nama Kolegium Ikatan Dokter Anak Indonesia saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para penulis/kontributor dan para editor yang telah bersusah payah meluangkan waktunya yang amat berharga baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan segenap ketekunan menuangkan pendapat dan pengetahuannya yang tidak ternilai harganya serta menyisir satu demi satu kalimat perkalimat untuk para editornya sehingga buku ajar ini dapat diterbitkan. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia yang bertanggung jawab tethadap masalah pendidikan Dokter Spesialis Anak, telah menetapkan bahwa buku ajar dari setiap Unit Kerja Koordinasi (UKK) merupakan salah satu kelengkapan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak Indonesia. Oleh karena itu kami menyambut baik dan bangga atas terbitnya buku ajar Endokrinologi Anak yang dapat menjadi salah satu acuan dalam proses pendidikan Dokter dan Dokter Spesialis Anak di semua Fakultas Kedokteran di Indonesia. Di samping itu buku ajar ini juga dapat digunakan sebagai acuan bagi para dokter untuk menjalankan profesinya dalam praktek. Akhirnya, saya berharap buku ajar ini dapat menjadi sumbangan yang tidak ternilai harganya dalam mencapai cita-cita kita bersama untuk meningkatkan kualitas hidup anak di Indonesia. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh Ketua Kolegium Imu Kesehatan Anak Indonesia Dr. Bambang Supriyatno, dz, SpA(K) iv Buku Ajar Endokrinologt IDAL SAMBUTAN KETUA UNIT KERJA KOORDINAS! ENDOKRINOLOGI ANAK & REMAJA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh Dengan mengucap syukur kehadirat ALLAH SWT atas rahmat, hidayah dan ridho-Nya, mewakili seluruh jajaran UKK Endokrinologi PP IDAI kami menghadirkan buku ajar yang telah lama kami persiapkan tepat pada pelaksanaan Pertemuan Ilmiah Tahunan IDAI XIV di Medan, Februari 2010. Persiapan buku ajar ini memang memerlukan waktu yang lama, melalui beberapa periode kepengurusan UKK karena melibatkan seluruh anggota UKK Endokrinologi yang jumlahnya telah mencapai 32 dokter tersebar di Medan, Padang, Palembang, Cilegon, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Samarinda,, Denpasar, Makasar, dan Manado. Buku ajar endokrinologi ini merupakan buku ajar endokrinologi anak pertama yang terbit di Indonesia dan isinya mencakup ilmu dasar endokrinologi anak, aspek klinis hingga aspek molekuler endokrinologi anak. Tiada gading yang tak retak, demikian pula buku ajar ini, oleh karenanya kami mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan pada masa yang akan datang Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh penulis yang telah memberikan waktu dan jerih payahnya dalam menyusun penulisan buku ajar ini, bab per bab maupun kalimat per kalimat. Penghargaan yang setinggi tingginya dan ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada tim editor yang telah bekerja keras menyelesaikan proses editing buku ajar setebal lebih dari 400 halaman ini. Akhir kata kami berharap agar buku ajar Endokrinologi Anak dapat menjadi salah satu acuan bagi para dokter di seluruh Indonesia, para mahasiswa kedokteran, dan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Anak di seluruh pusat pendidikan Kedokteran di Indonesia. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh Ketua UKK Endokrinologi Anak & Remaja ‘Aman B. Pulungan, deSpA(K) Tkatan Dokter Anak Indonesia KATA PENGANTAR Buku ajar Endokrinologi Anak ini dimaksudkan untuk memberikan salah satu acuan bagi mereka yang ingin mempelajari seluk beluk bidang kerja hormon dan kelainan-kelainannya. Menangani anak yang memiliki kekhususan berupa pertumbuhan dan perkembangan sangat dipengaruhi oleh kerja seluruh perangkat hormon tersebut. Hormon tidak saja berfungsi menjaga sistem homeostasis dan metabolisme anak, namun juga sangat mempengaruhi kualitas tumbuh kembang yang akan dilalui seorang anak hingga menjelang dewasa. Oleh ‘arena itu, percumbuhan dan perkembangan terkait dengan kerja kelenjar hormon dan perangkat lainnya diuraikan dengan lengkap. Di samping itu semua kelainan yang terkait dengan sistim hormonal dengan reseptor dan kelenjar hormonnya serta hormonnya sendiri diuraikan terkait dengan penyakitnya. Kemasan isi dan alur topik diatur sedemikian rupa agar kesan ilmu endokrinologi itu sulit terhapus. Topik yang dibicarakan sangat luas sesuai dengan prevalensi kelainan endokrin yang seringkali ditemukan. Di antaranya adalah diabetes mellitus tipe-1 yang dahulu dikenal sebagai diabetes meilitus juvenilis dan ketoasidosis diabetik, hiperplasia adrenal kongenital, krisis adrenal, hipo/hipertiroid, hipoglikemia neonatus, perawakan pendek varian normal dan patologis, Disorder of Sexual Development, gangguan pubertas, dan lain-lain. Untuk hal itu maka buku ajar Endokrinologi Anak ini berupaya mengantisipasi hal itu. Kami menyadari pula bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami menanti saran perbaikan dari pembaca untuk perbaikan di kemudian hari. Untuk para penulis, dan kontributor lain terutama para penyunting yang telah bekerja keras meluangkan waktu dan tenagarya kami sangat menghargai jerih payahnya dan semoga upaya seluruh kontributor mendapat balasan dati ALLAH SW. Amin. Penyunting vi Bud Ajar Endokrinologi IDAL DAFTAR KONTRIBUTOR Jose RL Batubara Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI / RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta Bambang Tridjaja AAP Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta Aman B.Pulungan Bagian Ilmu Kesehagtan Anak FKUI/ RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta Frida Soesanti Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta Diet Sadiah Rustama Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD / RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Dedi Subardja (Alm) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD / RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Ryadi Fadil Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD /RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Rudi Susanto Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP /RSUP Dr Karyadi Semarang Ikatan Dokter Anak Indonesia Asri Purwanti Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP / RSUP Dr. Karyadi Semarang Madarina Julia Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM/RS D: Sardjito Yogyakarta Suryono Judha Patria Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM /RS Dr. Sardjito Yogyakarta Muhammad Faizi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya Haryudi Aji Cahyono Bagian IImu Kesehatan Anak FK UB /RSU Dr. Saiful Anwar Malang I Wayan Bikin Suryawan Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUD Wangaya Denpasar Charles Darwin Siregar (Alm) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP Dr. H.Adam Malik Medan Melda Deliana Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU /RSUP Dr. H.Adam Malik Medan vii Eka Agustia Rini Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAND /RS Dr M. Djamil Padang Adityawati Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI / RSUP Palembang Satriono Bagian IImu Kesehatan Anak FK UNHAS / RSUP Dr. Wahidin SUDIROHUSODO Makassar Vivekenanda Pateda Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRAT /RSUP Prof. Dr. Kandaou M. Manado Annang Giri Moelyo Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta viii Erwin PSoenggoro Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Fatmawati Jakarta Endang Triningsih Bagian [mu Kesehatan Anak RSAB Harapan Kita Jakarta M.Connie Untario Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Mitra Keluarga Surabaya Niken Prita Yati Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Cilegon Banten A. Nanis Sacharina Marzuki Lembaga Eijkman Jakarta Buku Ajar Endckrinologi IDAL DAFTAR ISI SAMBUTAN KETUA UMUM PP IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA... SAMBUTAN KETUA KOLEGIUM IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA. SAMBUTAN KETUA UNIT KOORDINASI KERJA ENDOKRIN PP IDAI.. KATA PENGANTAI DAFTAR KONTRIBUTOR Vii DAFTARISL. DAFTAR SINGKATAN BAB 1. Endokrinologi Anak Jose RL Batubara..... BAB 2. Mekanisme kerja hormon Bambang Tridjaia, S.Yudha Patria, A.Nanis S.Margukieocscnssnsnnnnnnsennnen 9 BAB 3. Pertumbuban dan Gangguan Pertumbuhan Jose RL Batubara, Rudy Susanto, Haryudi Aji Cahyono... BAB 4. Disorders of sex development Bambang Tridjaja ... BAB 5. Testis dan gangguannya Jose RL Batubara.. BAB 6. Pubertas dan gangguannya Aman B, Pulungan..scssccsccseeesee eS BAB 7. Diabetes mellitus Diet $.Rustama, Dedi Subardja, M. Connie Oentario, Niken Prita Yati, Satriono, Netty Harjantien oc. BAB 8. Hipoglikemia pada Bayi dan Anak M. Connie Oentario BAB 9. Gangguan kelenjar Tiroid Rudy Susanto, Madarina Juli BAB 10. Korteks Adrenal dan gangguannya Aman B, Pubungan, Charles Darwin Siregar, Aditiawati, Erwin Scene, Endang ‘Triningsih, I Wayan Bikin Suryawan, Frida Soesanti .oeineemnnenn251 BAB 11. Kelenjar Paratiroid dan Gangguan Metabolisme Tolang de dan Kalsium Jose RL Batubara, R.M. Ryadi Fadil, A.Nanis S. Marzi... 297 Ikatan Dokter Anak Indonesia BAB 12. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Bambang Tridjaja, Eka Agustia Rini... BAB 13. Obesitas pada Anak Dedi Subardja, Haryudi Aji Cahyono, Annang Giri Moelyo BAB 14. Gagal Tumbuh Bambang Tridjaja, Vivekenanda Pateda .rusnssisnnnrninnnrnieinnniennnesiendT3 BAB 15. Pembedahan pada Penyakit Endokrin Netty Harjantien Ratna Indrawati, Muhammad. Fatah ...c.scesesseeteeseneteee 383 BAB 16. Aspek Psikologis pada Penyakit Endokrin Netty Harjantien, Muhammad. Faiz’. 391 BAB 17. Prosedur Diagnostik pada Endokrinologi Muhammad.Faiz, Melda Deliana, ! Wayan Bikin Suryawan, Eka Agustia Rini, Asri Purwanti, Niken Prita Yati, Frida Soesanti .....c.0ceseee399 LAMPIRAN..... INDEKS... 53 Buku Ajar Endokrinologi IDAL 17-OBP ACTH ADH ALD AMH AMP ANP AQP2 ARI AVP BMC BMD BNF cAMP CaSR CBP CDGP ccD cis CRH CSI csw CT-sean DAX1L pect DDAVP DEXA DHEA DHEAs DHT DI DIDMOAD DIT Tkatan Dokter Anak Indonesia DAFTAR SINGKATAN + 17-hidroksi progesteron : adrenocorticotropic hormone : antidiuretic hormone : adrenoleukodistrofi : anti Mullerian hormone : adenosine monophosphate . atrial natriuretic peptides : aquaporin-2 : aldose reductase inhibitor + arginine vasopressin : bone mineral content : bone mineral density : brain natriuretic factor : eyelic AMP : calsium-sensing receptor : caleium binding protein : constitutional delay of growth and puberty : complete gonadal dysgenesis carcinoma in situ : corticotropin-releasing hormone : continuous subcutaneous insulin infusion + cerebral salt wasting syndrome : computed tomography : dosage-sensitive sex-reversal locus on the X chromosome : the diabetes control and complication trial + desamino-D-anginine vasopressin : dual-energy x-ray absorptiometry dehidroepiandrosteron : dehidroepiandrosteron sulfat : dehidrotestsosteron : diabetes insipidus : diabetes insipidus, diabetes mellitus, optic atrophy, deafness : triiodotironin xi DM tipe-1 DM tipe-2 DMT DSD EGF Emx2 bags) FGD oa: FGFRI FISH FSH GAKI GCM2 GD GDP GDS GFN GH GHRH GnRH GnRHa GPCR GPRS4 GSD GIP HAK hCG HDR HGF HMG-box aon HRD HSD ICP xii : diabetes melitus tipe-1 : diabetes melitus tipe-2 : densitas mineral tulang : disorders of sex development : epidermal growth factor : empty-spericles homeobox gene 2 : free fatty acid familial glucocorticoid deficiency + fibroblast growth factors : fibroblast growth factor receptor + fluorescence in situ hybridization : follicle stimulating hormone gangguan akibat kekurangan yodium : glial cells missing 2 : gula darah : guanosine diphosphate : gula darah sewaktu : genitofemoral nerve : growth hormone : growth hormone releasing hormone : gonadotropin releasing hormone : gonadotropine-releasing hormone analog : G-protein coupled receptor : G protein-coupled receptor 54 : glycogen storage disease : guanosine triphosphate : hiperplasia adrenal kongenital : human chorionic gonadotropin : hypoparatiroidism, deafness, renal anomalies syndrome : hepatocyte growth factor +: high-mobility group box : hormon paratiroid : hypoparathyroidism retardation dysmorphism : hidroksisteroid dehidrogenase : infant, childhood, puberty Buku Ajar Endokrinologi IDAL IGF-4 IGFBP IMT IPEX IPF1 TRS-1 IRS-1 IUGR IZS JAK LDL LH LLA MEN MET MGD MHC MIF MIS MIS. MIT MRI MUFA. NAFLD NPH ol PARL PCR PCWP PET PMDS PNDM PRA oe + insulin-like growth factor 1 + insulin-like growth factor binding protein : indeks massa tubuh : immunodysregulation, polyendocrinopathy, and enteropathy : insulin promotor factor-1 + insulin receptor substrate-] : insulin receptor substrate-1 : intrauterine growth retardation : insulin zinc suspension : Janus kinase + ketoasidosis diabetik : low-density lipoprotein + luteinizing hormone : lingkar lengan atas : multiple endocrine neoplasia + metabolic equivalent : mixed gonadal dysgenesis : major histocompability complex : Mullerian Inhibiting Factor : Mullerian inhibiting substances + Miillerian-inhibiting substance : monoiodotironin : magnetic resonance imaging : monounsaturated fatty acids non-alcoholic fatty liver disease : neutral protamine Hagedorn : osteogenesis imperfekta + pseudoautosomal region | : polymerase chain reaction : pulmonary capillary wedge pressure : positron emission tomography : persistent Mullerian duct syndrome : permanent neonatal diabetes mellitus : plasma renin activity : prolaktin Tkavan Dokter Anak Indonesia xiii TPOAbs TRH TRSAbs TSH TTGO. UDT VLCFA : parathyroid hormone related peptide : propiltiourasil : polyunsaturated fatty acids : paraventrikulaer anteroventral + renin-angiotensin-aldosteron + resting energy expenditure : resting metabolic rate : sindrom autoimun poliglandular : cholesterol side-chain cleavage : steroidogenic factor-| : sindrom insensitivitas androgen : syndrome of inappropiate anti diuresis hormone secretion : sindrom insensitivitas androgen komplit : sindrom insensitivitas androgen parsial : senyawa oksigen reaktif : SR¥- related HMG-box gene 3 : sex determining region on chromosome Y signal transducer and activators of transcription : structured weight management : thyroid-binding globulin : testis determining factor : tiroiditis limfositik kronik : transient neonatal diabetes mellitus thyroid antiperoxidase antibodies : thyrotropin releasing hormone : thyrothropin receptor stimulating antibodies : thyroid stimulating hormone + tes toleransi glukosa oral : undensensus testis : very long chain fatty acid Buku jar Endokrinologi IDAI BAB 1 ENDOKRINOLOGI ANAK Sistim endokrin mengkoordinasikan berbagai fungsi internal tubuh, mengatur perkembangannya selama hidup, dan membantu untuk beradaptasi terhadap nutrisi dan perubahan lingkungan eksternal lainnya. Sistim ini diatur oleh sejumlah kelenjar yang menghasilkan hormon, selanjutnya hormon ini disekresikan ke sirkulasi darah dan organ target. Hormon ini mengatur fungsi organ target yang letaknya jauh dari kelenjar penghasil hormon tersebut (fungsi endokrin) atau langsung secara lokal ke sel-sel di sekitarnya yang dikenal sebagai parakrin, seperti yang terjadi pada hormon steroid seks pada ovarium dan angiotensin I di ginjal. Sebagai varian dari kerja parakrin ini adalah hormon peptida yang tetap terikat pada membran sel dan berikatan dengan seseptor di sel juxta, hal ini dikenal sebagai kerja juxtakrin, Bila harmon dihasilkan dan bekerja di reseptor pada sel yang sama maka keadaan ini dikenal sebagai autokrin. Contoh kerja autokrin ini adalah hormon insulin dan somatostatin yang menghambat pengeluarannya dari sel beta dan sel delta pankreas. Hormon mula-mula berikatan dengan reseptor spesifik pada jaringan target baik di permukaan sel ataupun di dalam sel seperti pada sitoplasma dan inti sel. Aktivasi reseptor ini kemudian memulai proses kaskade reaksi biokimia dalam sel dengan hasil akhir produksi hormon. Organ endokrin dan organ target Dalam bidang endokrin terdapat kelenjarkelenjar endokrin klasik yang berfungsi memproduksi dan melepaskan hormon. Di otak terdapat kelenjar hipofisis anterior yang memproduksi hormon adrenokortikotropik (adrenocorticotropic_hormone/ACTH), follicle stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), thyroid stimulating hormone (TSH), growth hormone (GH), dan prolaktin (PRL); dan kelenjar hipofisis posterior yang menghasilkan antidiuretic hormone (ADH) dan oksitosin. Hipotalamus imenghasilkan berbagai releasing hormone seperti thyrotropin releasing hormone (TRH), GH releasing hormone (GHRH), gonadotropin releasing hormone (GnRH) serta faktor inhibitor yang mengatur sektesi hormon hipofisis anterior dan kelenjar pineal yang menghasilkan melatonin. Pada leher bagian depan terdapat kelenjar tiroid yang menghasilkan hormon tiroid dan kelenjar paratiroid yang menghasilkan hormon paratiroid (HPT). Kelenjar adrenal terletak di atas ginjal menghasilkan kortikosteroid dan epinefrin, sedangkan kelenjar pankreas terletak di belakang lambung menghasilkan insulin, glukagon, dan somatostatin. Endokrinologi Anak 1 Di samping kelenjar endokrin yang tradisional, terdapat beberapa organ lain yang juga menghasilkan hormon, Ginjal menghasilkan renin yang merubah angiotensinogen menjadi angiotensin I dan eritropoetin yang merangsang produksi sel darah. Sel lemak menghasilkan leptin yang penting untuk pengaturan berat badan. Jantung menghasilkan peptida natriuretik sedangkan hati menghasilkan insulin-like growth factor 1 (IGF-1) yang penting untuk proses pertumbuhan. Hormon disekresikan ke sirkulasi dalam konsentrasi kecil dan bekerja pada sel yang spesifik, misalnya TSH akan bekerja di kelenjar tiroid. Kemampuan sel melakukan respon terhadap hormon ini tergantung pada reseptor yang terdapat pada organ tersebut. Reseptor hormon terdapat pada organ target, bersifat sangat spesifik dan biasanya mempunyai afinitas tinggi terhadap hormon tertentu. Reseptor hormon merupakan protein yang memiliki 2 fungsi yaitu fungsi untuk membedakan hormon tertentu terhadap molekul-molekul lainnya dan fungsi transduksi informasi ke jalur berikutnya. Beberapa hormon berikatan pada permukaan sel seperti pada hormon pertumbuhan (growth hormone), prolaktin (PRL), insulin, leptin, sedangkan beberapa hormon lainnya berikatan dengan reseptor intraseluler seperti hormon tiroid dan hormon steroid. Beberapa hormon lainnya dapat berikatan baik di permukaan sel maupun di dalam sel, misalnya estrogen dan progestin. Hormon Hormon merupakan suatu zat kimia yang disekresikan oleh sel spesifik ke ruang ekstraseluler kemudian masuk ke aliran darah dan bekerja pada organ target yang spesifik pula. Beberapa jenis hormon diklasifikasikan berdasarkan struktur biokimianya, pertama yang berasal dari asam amino, kedua yang berasal dari protein dan peptida, ketiga berasal dari steroid, dan keempat yang berasal dari eikosanoid. Hormon tiroid dan katekolamin berasal dari derivat asam amino; hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus, hipofisis, kelenjar paratiroid, kelenjar di traktus gastrointestinal serta kelenjar pankreas berasal dari kelompok protein dan peptida; hormon steroid berasal dari kolesterol. Hormon steroid antara lain adalah hormon. yang berasal dari gonad, adrenal, dan plasenta. Prostaglandin dan leukotrien merupakan bagian dari hormon eikosanoid yang disintesis dari asam arakidonat. Modulasi dan regulasi pelepasan hormon Hormon diproduksi oleh kelenjar sebagai respon terhadap berbagai sinyal, meliputi hormon, persarafan maupun sinyal dari lingkungan. Hormon hipofisis anterior sebagian besar diatur melalui mekanisme umpan balik dan berfungsi merangsang produksi hormon di kelenjar endokrin perifer. Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin perifer ini akan menghambat produksi hormon di hipofisis dan hipotalamus, misalnya produksi ACTH diatur oleh sekresi hormon kortisol di adrenal, sedangkan FSH dan LH diatur oleh hormon steroid seks gonad. Pengaturan hormon ini akan terjadi dalam rentang yang sempit, disebut sebagai set point. 2} Buku Ajar Endokrinologi Sistim lain yang agak berbeda mekanisme kerjanya adalah hormon paratitoid, hormon ini akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi Ca* plasma yang selanjutnya berfungsi sebagai mekanisme umpan balik yang menghambat produksi hormon paratitoid. Produksi insulin akan menyebabkan penurunan gula darah dan keadaan ini selanjutnya menyebabkan berhentinya stimulus untuk produksi insulin lebih lanjut. Sistim persarafan juga berperan dalam produksi hormon, kelenjar pineal. Kelenjar ini menerima rangsangan fotosensoris melalui saraf simpatis yang akan menyebabkan produksi melatonin dari serotonin. Contoh lainnya adalah stress-related katekolamin dari medula adrenal yang akan dilepaskan sebagai respon terhadap adanya rangsangan saraf otonom. Lingkungan juga dapat merangsang produksi hormon, misalnya peningkatan gula darah akan menyebabkan pelepasan insulin dari sel B pankreas. Secara umum produksi hormon ini akan diatur oleh berbagai mekanisme input baik sebagai stimulator maupun inhibitor. Produksi hormon diatur melalui satu atau lebih proses, yang terdiri dari 1. Sintesis hormon 2. Pelepasan hormon 3. Sintesis fungsional dan sekresi dari organ yang memproduksi hormon Oleh Karena perbedaan kimia berbagai hormon, produksi hormon akan melalui berbagai jalur (pathway) dan pengaturan yang berbeda. Endokrinologi Anak Endokrinologi anak merupakan satu subspesialisasi yang berhubungan dengan variasi pertumbuhan fisik dan perkembangan sekstal pada masa anak dan remaja, diabetes, dan gangguan kelenjar endokrin lainnya. Sesuai dengan terminologinya, endokrinologi anak ini mengurusi segala sesuatu masalah endokrin mulai dari bayi baru lahirsampai fase akhirremaja. Kelainan urama yang ditemukan antara lain adalah gangguan pertumbuhan, gangguan pubertas, diabetes melitus tipe-1, gangguan kelenjar tiroid, adrenal dan hipofisis Gangguan pertumbuhan anak seperti perawakan pendek, baik yang disebabkan oleh kelainan non endokrin maupun kelainan endokrin merupakan kelainan yang cukup sering ditemukan. Diperlukan pemeriksaan klinis cermat yang ditunjang dengan pemeriksaan endokrinologis untuk mencari etiologi. Pemeriksaan usia tulang merupakan pemeriksaan radiologis penting untuk evaluasi pertumbuhan. Gangguan pubertas baik pubertas prekoks maupun pubertas terlambat juga cukup sering ditemukan. Gangguan pubertas memerlukan pendekatan Klinis, pemeriksaan hormon dan pencitraan yang kromprehensif uncuk tata laksana optimal, Gangguan perkembangan reproduksi atau disorders of sex development (DSD) serta kelainan adrenal juga tidak jarang ditemukan dalam praktik schari-hari. Kelainan lainnya yang sering ditemui adalah kelainan metabolisme seperti hipoglikemia pada neonatus, kelainan metabolisme lipid, kelainan metabolisme tulang, adolescent gynecology, dan kelainan metabolik bawaaan ddokrinologt Anal 3 Kemajuan mutakhir di bidang endokrinologi Ilmu endokrin berkembang sangat pesat dalam 2 dekade terakhir, dari suatu proses fisiologis tradisional yang kemudian diperkaya oleh perkembangan biologi molekuler dan genetik di bidang endokrinologi. Perkembangan terakhir dalam bidang teknologi berdampak besar terhadap kemajuan bidang endokrinologi. Adanya sekuens genomik manusia yang difasilitasi oleh perkembangan teknologi polymerase chain reaction (PCR) menyebabkan ilmu endokrin berkembang dengan pesat, Dengan adanya sekuens genomik maka dapat dilakukan penelitian tentang regulasi gen dan sekuens gen yang terjadi pada penyakit tertentu. Berkembangnya ilmu pencitraan semakin mendukung mendukung kemajuan endokrinologi misalnya penggunaan 18-(F) L-Dopa positvon emission tomography (PET) scanning yang dapat membedakan hiperinsulinemia difus dengan hiperinsulinemia fokal. IImu endokrin tidak dapat dipisahkan dengan laboratorium, Peran laboratorium sangat penting dalam diagnostik, terapi, dan pemantauan pasien, Tanpa bantuan pemeriksaan laboratorium agak sulit untuk melakukan diagnosis dan pemantauan penyakit endokrin tertent Pemahaman mengenai dasar-dasar molekuler kelainan endokrin telah berkembang pesat pada dekade terakhir ini dan hampir semua kelainan endokrin mempunyai komponen genetik. Pada kelainan monogenik seperti hiperplasia adrenal kongenital (HAK) memiliki Komponen genetik sebagai faktor etiologi wtama, sedangkan beberapa penyakic lain disebabkan oleh interaksi antara gen dengan faktor lingkungan dan gaya hidup. Pada penyakit endokrin yang disebabkan oleh kelainan genetik, analisis penyakit bawaan monogenik dapat dilihat dengan pemetaan (mapping) kromosom dan sekuens DNA. Hal ini membantu mendeteksi penyakit tertentu dengan menelusuri pedigree Gangguan sistim endokrin Gangguan sistim endokrin dapat berupa hipofungsi, hiperfungsi, dan resistensi terhadap hormon. Hipofungsi sistim endokrin dapat disebabkan oleh kerusakan jaringan, atau kelainan biosintesis hormon atau kelainan ekstra glandular. Kerusakan kelenjar ini bisa disebabkan oleh berbagai hal seperti penyakit autoimun pada diabetes melitus tipe-1, tiroiditis Hashimoto, insufisiensi adrenal ataupun gonadal failure. Sindrom autoimun poliglandular disebabkan oleh destruksi beberapa kelenjar karena proses autoimun. Kerusakan ini juga terjadi pada sistim lain seperti anemia pernisiosa dan vitiligo. Kerusakan hipofifis biasanya diakibatkan oleh tumor, perdarahan, dan proses infiltratif sehingga dapat disimpulkan bahwa hipofungsi kelenjar endokrin ini dapat disebabkan oleh tumor, infeksi ataupun perdarahan. Kelainan biosintesis hormon dapat disebabkan oleh kelainan pada gen yangmengkode regulasi produksi hormon, enzim yang memproduksi ormon atau pada metabolisme hormon. Kelainan ini dapat kita lihat pada defisiensi 21-hidroksilase yang menyebabkan ganggwan ptoduksi kortisol. Kelainan enzimatik di jalur sintesis adrenal juga termasuk dalam kategori 4 Buku Ajar Endokaimologt ini. Kekurangan yodium menyebabkan gangguan pada biosintesis hormon tiroid. Gangguan pettumbuhan dapat disebabkan oleh mutasi atau delesi gen yang mengatur GH atau gen lain yang bekerja pada jalur produksi GH. Hipofungsi kelenjar dapat disebabkan juga oleh kelainan di luar kelenjar endokrin. Pada beberapa keadaan hal ini terjadi hanya karena kerusakan jaringan yang memproduksi hormon atau yang mengubah prekursor hormon menjadi bentuk hormon aktif. Pada kelompok ini juga meliputi kelainan ginjal yang menyebabkan gangguan konversi 25- OH kalsiferol menjadi 1,25-(OH)2-kolekalsiferol dengan akibat gangguan keseimbangan kalsium dan fosfat. Hiperfungsi endokrin biasanya disebabkan oleh tumor hiperplasia kelenjar atau stimulasi autoimun. Tamor hipofisis dapat menyebabkan meningkaenya produksi hormon tropik seperti ACTH, LH dan FSH, GH, PRL, dan TSH, selanjutnya menyebabkan stimulasi kelenjar lainnya, Terkadang ditemukan tumor di luar sistim endokrin yang memproduksi hormon; biasanya hormon yang diproduksi adalah golongan peptida ACTH, ADH, dan kalsitonin. Hiperplasia dengan peningkatan kadar hormon dapat kita lihat pada berbagai keadaan seperti hiperplasia kelenjar paratiroid dan hiperplasia kelenjar adrenal. Stimulasi autoimun juga dapat menyebabkan peningkatan fungsi kelenjar seperti pada hipertiroid yang disebabkan oleh antibodi yang berikatan dengan reseptor TSH yang selanjutnya menstimulasi kerja kelenjar tiroid, Beberapa kelainan endokrin disebabkan oleh kerusakan pada reseptor sehingga tidak dapat merangsang fungsi organ target. Kelainan ini biasanya disebabkan oleh defek genetik. Resistensi hormon ini dapat bersifat kongenital atau didapat akibat proses infeksi yang merusak jaringan organ target sehingga mempengaruhi kemampuan berespon terhadap hormon tertentu. Asupan hormon eksogen yang berlebihan juga dapat menyebabkan gangguan sistim endokrin, misalnya pada sindrom Cushing yang terjadi akibat asupan atau terapi glukokortikoid berlebihan. Pada atlet yang mengkonsumsi androgen untuk meningkatkan performanya dapat ditemukan tanda-tanda virilisasi yang berlebihan. Pada anak yang mendapatkan hormon tiroid untuk supresi tumor tiroid juga dapat timbul gejala hipertiroid akibat dosis yang berlebihan. Pendekatan pada pasien dengan kelainan endokrin Kelainan endokrin tertentu diharapkan dapat dideteksi secara dini sehingga dapat segera diberikan terapi untuk mencegah terjadinya kecacatan (sequelae). Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisis yang cermat sangatlah penting. Terkadang dengan anamnesis yang teliti sudah mampu menduga diagnosis penyakir pasien. Dengan evaluasi klinis dapat kita ketahui awitan penyakit dan durasi lamanya gejala. Anamnesis keluarga tidak jarang membantu memberikan gambaran apakah penyakit ini diturunkan atau bukan, sehingga pendekatan dan terapi yang diberikan dapat lebih terarah. Endokrinologi Anak 5 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang diperlukan meliputi_pemeriksaan hormonal, elektrolit, pemeriksaan radiologis dan berbagai uji endokrin dinamis. Pemeriksaan hormonal ini dapat dilakukan pada keadaan basal atau secara acak atau setelah provokasi. Pengukuran kadar hormon biasanya dilakukan dengan imunoassay pada sampel darah atau urin, Untuk hormon-hormon dengan waktu paruh pendek diperlukan beberapa kali pemeriksaan, karena nilainya hanya menggambarkan saat pengambilan sampel. Pemeriksaan urin kebanyakan hanya untuk mengukurmetabolithormonsteroid dan, hormon katekolamin, dan tidak bermanfaat untuk hormon yang berasal dari polipeptida. Sebagian besar hormon dalam darah terikat pada protein tertentu, sisanya dalam bentuk bebas. Hormon bebas inilah yang memiliki aktivitas biologis. Dalam praktik klinis, pemeriksaan kadar hormon bebas ini sering dilakukan dan banyak membanctu penegakkan diagnosis penyakit endokrin. Uji dinamik endokrin Berbagai uji dinamik endokrin dilakukan terutama untuk hormon yang kadamnya tidak stabil seperti growth hormone, Untuk uji ini dibutuhkan zat kimia tertentu untuk provokasi agar hormon dapat disekresikan secata optimal. Berbagai tes ini berkembang untuk diagnostik kelainan endokrin. Pemeriksaan pencitraan Pemeriksaan pencitraan diperlukan untuk membantu visualisasi kelenjar endokrin serta evaluasi pertumbuhan, Pemeriksaan usia tulang merupakan pemeriksaan pencitraan fundamental yang sangat membantu untuk evaluasi kelainan endokrin. Ultrasonografi dan genitografi membantu kita untuk visualisasi genitalia interna, sedangkan pemeriksaan MRI dan CT-Scan diperlukan untuk membantu visualisasi kelenjar endokrin Jainnya. Pemeriksaan radioaktif diperlukan untuk melihat fungsi kelenjar tiroid, Biopsi kelenjar Biopsi jarang sekali diperlukan, biasanya dilakukan pada kelenjar tiroid jika dicurigai adanya abses acau keganasan. Diagnostik kelainan genetik Pemeriksaan analisis kromosom, fluorescence in sittt hybridization (FISH), dan _pemeriksaan DNA terkadang diperlukan untuk diagnosis kelainan endokrin. Pemeriksaan kromosom diperlukan untuk DSD, sedangkan pemeriksaan DNA diperlukan untuk melihat mutasi atau delesi gen pada HAK. Untuk melihat SRY gene diperlukan pemeriksaan FISH. 6 Buku. Ajar Endokeinologi Sk ing kelainan endokrin Di negara-negara maju skrining neonatal untuk hipotiroid kongenital dan hiperplasia adrenal kongenital telah rutin dilakukan; hal ini karena insidens penyakit ini cukup tinggi dan pencegahan untuk efek sampingnya dapat dilakukan. Terapi kelainan endokrin Defisiensi hormon diterapi dengan substitusi hormon. Terapi substitusi hormon ini sangat efektif untuk hipotiroid, insufisiensi adrenal, dan hipogonad. Di sisi lain, terapi insulin pada diabetes melitus tipe 1 dapat mengatur metabolisme glukosa serta menghambat dan mencegah progresivitas komplikasi jangka panjang akibat diabetes melitus. Kekurangan hormon pertumbuhan dapat diatasi dengan pemberian GH analog. Untuk kelebihan hormon, pendekatan terapi lebih ditujukan kepada penyebab utamanya seperti cumor atau autoimun. Tumor dioperasi bila memungkinkan, sedangkan autoimun diblok dengan menggunakan terapi medis atau dengan terapi pembedahan. Pada hiperplasia adrenal kongenital diberikan hidrokortison untuk menghambat proses umpan balik sehingga dapat menghentikan produksi androgen adrenal yang berlebihan. Daftar bacaan 1. Clayton PE, Tillman V; Advances in endocrinology. Arch Dis Child 1998;78:278-84, 2. David DG, Nissenson RA. Mechanisms of hormone aetion, Dalam: Gardner DG, Shoback D, penyunting Greenspan's basic and clinical endocrinology. Edisi ke- 8. New York: McGraw Hill Medical Co, 2004.h.36- 3. Debuse M. Endocrine and reproductive systems. London: Mosby int!,]998.h.3-15. 4, Debuse M. Overview of the endocrine system, Dalam: Horton D, penyunting, Endocrine and reproductive systems. London: Mosby,1998.h.3-107. 5. Jameson JL. Principles of endocrinology. Dalam: Jameson JL, penyunting, Harrison's endocrinology. Edis ke-1 Pennsylvania: MacGraw-Hill company,2006. h.1-16. 6, Lazar MA. Mechanism of action of hormones that act on nuclear receptors. Dalam: Kronenberg HM, Melmed S, Polonsky, Larsen PR, penyunting. Williams textbook of endocrinology. Edisi ke-11. Philadelphia: Saunders- Elsevier, 2008. 385-44 7. Menon RK, Trucco M, Stratakis CA. Molecular endocrinology and endocrine genetics. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric endocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders-Elsevier, 2008.h.1-25. Sahay RK, Unnikrishnan AG, Bhadada SK, Agrawal JK. Hormone Receptor Disorders. JACM 2002;3:65-80. 9. Webb f Baxter JD. Introduction to endocrinology. Dalam: Gardner DG, Shoback D, penyunting, Greenspan's basic and clinical endocrinology. Edisi ke- 8. New Yorks: McGraw Hill Medical Co,2004.h.2-33, 10. Wescwood M. Principles ofhomone action. Dalam: Brook CGD, Clayton PE, Brown RS, penyunting. Brook's clinical pediatric endocrinology Edisi ke-6. UK: Wiley-Blackwell, 2009.h.24-39, Endokrinologi Anak 1 BAB 2 MEKANISME KERJA HORMON Jaringan endokrin mengeluarkan produk berupa hormon. Hormon ini dilepas ke dalam sirkulasi, beredar ke seluruh tubuh, mengatur fungsi jaringan tertentu, dan menjaga homeostasis. Hormon biasanya berada di dalam plasma atau jaringan interstisial dengan konsentrasi yang sangat rendah (berkisar antara 10 sampai 10° Molar). Hormon akan bekerja pada sel carget yang terletak jauh dari kelenjar yang mengeluarkannya. Pada sel target terdapat sistem reseptor yang cukup sensitif untuk menangkap sinyal hormon yang sangat lemah tersebut. Setelah hormon berikatan dengan reseptor akan terdapat reaksi enzimatik tertentu sehingga respon fisiologis akan terjadi. Hormon berikatan dengan reseptor untuk memulai kerjanya pada sel target. Dengan mengetahui mekanisme kerja hormon pada sel target dapat diketahui patofisiologi berbagai penyakit endokrin seperti dwarfisme Laron, resistensi insulin, dan sindrom insensitivitas androgen, Berdasarkan fungsinya pada sel target, hormon dapat dibagi menjadi 2 kelompok: 1. Hormon yang tidak dapat masuk ke dalam sel dan berikatan dengan reseptor di permukaan sel (reseptor membran sel). Hormon protein/polipeptida, monoamin, dan prostaglandin termasuk dalam kategori ini. 2. Hormon yang dapat masuk ke dalam sel dan berikatan dengan reseptor intraseluler. Reseptor ini bekerja pada nukleus sel target untuk mengatur ekspresi gen. Hormon lasik yang termasuk dalam kelompok ini adalah hormon tiroid dan steroid. Reseptor merupakan protein spesifik yang terdapat pada sel target dan dapatberikatan dengan hormon tertentu untuk menimbulkan respon hormonal. Reseptor biasanya terdapat dalam jumlah kecil (10.000 molekul/ sel). Reseptor mempunyai afinitas yang tinggi terhadap hormon tertentu, tapi ikatannya lemah sehingga reaksi ini bersifat reversibel dan reseptor tersebut dapat digunakan kembali. Hormon yang berikatan dengan reseptor membran Reseptor membran dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu G-protein coupled receptor (GPCR), reseptor tirosin kinase, reseptor sitokin, dan reseptor serin kinase. Tiap reseptor membran mempunyai tiga segmen, yaitu domain ekstraseluler (extracellular domain), transmembran, dan sitoplasmik (cytoplasmic domain) Mekanisme Kerja Hormon 9 G-protein coupled receptor (GPCR) Hormon yang termasuk dalam kelompok ini berikatan dengan reseptor membran dan merangsang pembentukan beberapa bahan intraseluler yang berperan sebagai second messenger compounds. Untuk menimbulkan reaksinya, hormon jenis ini tidak memasuki sel tetapi mengaktiffkan salah satu dari jalur berikuc. * Jalur adenilat siklase-cyclic AMP (cAMP)-protein kinase A atau jalur guanilat siklase- protein kinase tergantung cGMP (cGMP-dependent protein kinase) (Gambar 2.1). Hormon yang termasuk dalam kelompok ini antara lain ketekolamin, kalsitonin, ACTH, FSH, LH, HCG, PTH, TSH, somatostatin, dan glukagon. © Jalur fosfolipase C tergantung kalsium-protein kinase C. Hormon yang termasuk dalam kelompok ini antara lain ADH, angiotensin 11, GnRH, platelet derived growth factor, dan TRH. Bagian ekstrasel GPCR mempunyai ukuran yang bervariasi dan merupakan tempat ikatan utama hormon-hormon berukuran besar, Daerah transmembran reseptor ini terdiri atas tujuh o-heliks hidrofobik. Ikatan dengan hormon menyebabkan perubahan bentuk pada bagian ini dan diteruskan pada bagian intrasel. Protein G berikatan pada bagian intrasel reseptor ini. Berbagai protein G (dinamakan demikian karena protein ini berikatan dengan nukleotida guanin seperti GTP dan GDP) dapat berikatan dengan berbagai reseptor yang berbeda. Protein G berbentuk kompleks heterotrimerik yang terdiri dari subunit a dan subunit By. Subunit merupakan tempat ikatan nukleotida guanin dan menghidrolisis GIP menjadi GDP Ikatan hormon pada reseptor memicu disosiasi GDP sehingga Gat berikatan hormon Protein G CAMP Adenilat siklase Fosfodiesterase Protein kinase A NS Protein terfosforilasi. ————> Respons selular Protein ®., Fosfatase fosfoprotein Gambar 2.1. Second messenger system dengan jalur cAMP. 10 Buku Ajar Endokrinologé | | | Gambar 2.2. Mekanisme aktivasi reseptor tirosin kinase oleh hormon insulin, Pada keadaan reseptor inaktif (kirj, Tyr menutyp bagian yang altif sehingga substrat tidck dopat berikatan ‘Sebaliknya dalam keadaan residu tirosin (termosuk Tyr!" terfosforilasi, Tyr!'*? bergerak keluar dan terjadi perubahan bentuk sehingge terjadi ikatan dengan ATP dan substrat protein. Dengan terjadinya proses ini maka reaksi kinase dapat berjctan, dengan GTP dan terpisah dari kompleks By. Pada keadaan ini subunit Ga. diaktifkan dan subunit ini memancarkan sinyal melalui berbagai enzim seperti adenilat siklase atau fosfolipase C. Autofosforilasi dan memicu interaksi dengan protein adaptor intrasel seperti She dan substrat reseptor insulin 1 sampai 4 (Gambar 2.2). Subunit Ga. terdiri atas berbagai bentuk (isoform). Gs. merangsang enzim adenilat siklase, sedangkan Gia. menghambat enzim tersebut. Enzim ini membentuk second messenger (cAMP) sehingga menyebabkan protein kinase A aktif. Ikatan subunit Gq dengan fosfolipase C mengakibatkan terbentuknya diasilgliserol dan inositol trifosfat. Hal ini menyebabkan. protein kinase C aktif dan terjadi pelepasan kalsium intrasel. Berbagai kelainan endokrin disebabkan oleh miutasi protein G, Selain itu mutasi pada gen reseptor dapat pula menyebabkan perubahan interaksi reseptor dengan protein G sehingga mengakibatkan sindrom klinis tertentu. Reseptor tirosin kinase Reseptor jenis ini dapat berikatan dengan insulin dan berbagai faktor pertumbuhan seperti IGF-1, epidermal growth factor (EGF), nerve growth factor, platelet-derived growth factor, dam fibroblast growth factor. Setelah berikaran dengan ligannya, reseptor ini akan mengalami aktivasi. Setelah hormon berikatan dengan reseptor insulin, berbagai kinase akan teraktivasi seperti RafRas-MAPK dan jalur Akt/protein kinase. Reseptor tirosin kinase ini berperan penting dalam pertumbuhan dan diferensiasi sel. Mekanisme Kerja Hormon 11 Reseptor sitokin Reseptor GH dan prolaktin termasuk dalam kelompok ini. Serupa dengan reseptor tirosin kinase, ikatan reseptor dengan ligannya memicu ikatan reseptor dengan kinase intrasel (anus kinase = JAK). Hal ini akan menyebabkan fosforilasi signal transducer and activators of transcription (STAT) family, dan juga jalur sinyal lainnya (Ras, PI3-K, MAPK). Protein STAT yang aktif akan menuju ke nukleus dan merangsang ekspresi gen target (Gambar 2.3) Reseptor serin kinase Reseptor jenis ini merupakan reseptor dari aktivin, transforming growth factor-B, Miillerian- inhibiting substance, dan bone morphogenic proteins (BMP). Kelompok reseptor ini menyalurkan sinyalnya melalui protein yang dinamakan smad. Protein ini, serupa dengan STAT, mempunyai peran ganda yaitu melanjutkan sinyal dari reseptor dan sebagai faktor transkripsi. Recruitment Cytoplasm Muctous Gambar 2.2, Sitokin mengaktifkan signal transducers and activators of transcription (STAT). Frotein STAT merupakan faktortranskrpi sitoplasmik laten. Kemudian dengan ranah Sre homology 2 (SH2), STAT berikalan dengan saky atau lebih tirosin yang terfosforilasi pada kompleks JAK-reseptor aff. Bila teriko! STAT kan terfosforlasi oleh trosl, berdisosiasi dari kompleks JAK-reseptor, kemudian mengalam’ homodimerisasi atau heterodimerisasi dengan protein STAT yang lain. Setelah ity STAT bergerak ke nakleus dan berikalan dengan gamma- activated sequencerlike elements (GLE) pada daerch promotor dari gen yang dapat merespons sitokin, 12 Bula Ajar Endoksinologt Hormon yang berikatan dengan reseptor nukleus Berbeda dengan hormon polipeptida yang bekerja melalui reseptor membran, ligan rese nukleus tidak ada yang dibencuk langsung melalui kode genom (secara genetik). ligan reseptor nukleus berukuran kecil (berat molekul <1.000 dalton) dan bersifat lipofilik, sehingga memungkinkan reseptor ini untuk masuk ke dalam sel. Hormon-hormon yang berikatan dengan reseptor nukleus antara lain androgen, estrogen, progestin, asam retinoat, glukokortikoid, mineralokotrikoid, hormon tiroid, dan kalsitriol. Kelompok reseptor nukleus terdiri dari hampir 100 reseptor, beberapa di antaranya masih dikelompokkan ke dalam kelompok orphan receptor karena belum diketahui ligannya (bila ada). Beberapa reseptor nukleus terdapat di dalam sitoplasma (misalnya reseptor glukokortikoid) dan setelah berikatan dengan ligannya, reseptor ini akan bergerak menuju nukleus. Sedangkan reseptor yang lain (misalnya reseptor hormon tiroid) selalu terdapat di dalam nukleus. Reseptor nukleus merupakan protein dengan berat molekul berkisar antara 50.000 sampai dengan 100.000 dalton. Reseptor-reseptor yang termasuk dalam kelompok ini mempunyai struktur linear yang kurang lebih serupa, yaitu terdiri atas bagian terminal aminus (merupakan daerah regulasi transkripsi), domain DNA-binding (tempat terikatnya DNA gen target), hinge region, dan bagian terminal karboksil (Gambar 2.4). Pada terminal karboksil ini terdapat ligand/hormone-binding domain. Pada DNA-binding domain terdapat dua zine finger, yang berhubungan dengan sekuens pengenal DNA spesifik pada gen target. Protein reseptor ONA-binding Ramah Regulasi traushaipsi Ligand-binding Hinge wy coon 2nt+ Zn* + Gombar 2.4, Struktur linear reseptor nukleus. Mekanisme kerja hormon yang berikatan dengan reseptor nukleus melalui proses seperti terlihat pada Gambar 2.5, Untuk memulai kerjanya, ligan dan reseptor nukleus harus menuju nukleus sel dan terikat kuat dengan ligannya. Reseptor mengikat ligannya pada domain pengikat ligan (ligand binding domain - LBD) yang terdapat di terminal karboksilnya (C-terminal) Fungsi utama reseptor nukleus adalah mengatur secara selektif transkripsi gen target. Oleh karena itu, setelah berikatan dengan ligannya reseptor ini harus mengenali dan terikat pada daerah spesifik pada gen target. Gen target mempunyai sekuens DNA spesifik yang dinamakan hormone response elements (HRE). Reseptor nukleus berikatan dengan HRE pada bagian tengah DNA-binding domain. Domain ini biasanya terditi atas 66-68 asam amino, termasuk Mekanisme Kerja Hormon B pula 2 subdomain yang dinamakan zinc finger. Zinc finger terbentuk dati 4 residu sistein yang dilubungkan dengan atom seng (Zn). Ikatan reseptor dengan HRE merangsang dimulainya transkripsi gen target. Selanjutnya hal ini akan menimbulkan efek hormon yang diharapkan. Prohormon/, Bl Prekursor gan @ ormon/ Perubahan fenotip/ efek transkrips miNA —> protein Gambar 2.5. Mekanisme kerja hormon yang bekerja pada reseptor nukleus Berbagai kelainan yang berhubungan dengan gangguan reseptor dan pasca reseptor Bentuk yang paling sederhana dari penyakit endokrin adalah defisiensi atau kelebihan hormon (hormone excess). Akan tetapi sindrom resistensi hormon dapat menyerupai keadaan defisiensi hormon. Penyakit yang berhubungan dengan pengaktifan reseptor juga dapat menyerupai keadaan kelebihan hormon. Gangguan kerja hormon dapat disebabkan oleh defek genetik, neoplasma, trauma/perdarahan, infeksi, proses autoimun, dan iatrogenik Mutasi pada GPCR dapat mengaktivasi reseptor hormon, Sebagai contoh, mutasi yang mengakrifkan reseptor LH dapat mengakibatkan pubertas prekoks. Hal ini terjadi akibat stimulasi dini sintesis testosteron oleh sel Leydig. Mutasi yang menyebabkan hal ini terutama terdapat pada bagian transmembran reseptor dan merangsang ikatan reseptor dengan Gso. tanpa diperlukan adanya ikatan dengan hormon. Hal ini mengakibatkan adenilat siklase teraktivasi dan cAMP meningkat (menyerupai respon terhadap ikatan reseptor dengan hormon). Bila terjadi pada masa perkembangan dini, maka hal ini mengakibatkan sindrom McCune-Albright. Pada penyakit Graves interaksi antara antibodi dengan reseptor TSH akan menyetupai kerja TSH sehingga menyebabkan produksi hormon berlebih. Autoantibodi ini juga menyebabkan perubahan struktur yang memicu ikatan reseptor dengan protein G. Sindrom resistensi hormon dapat disebabkan oleh kelainan genetik pada reseptor membran, reseptor nukleus, atau pada jalur yang menyalurkan sinyal reseptor. Kelainan ini ditandai oleh terganggunya kerja hormon walaupun kadar hormon normal arau meningkat. 14 Buku Ajar Endokrinologi Pada sindrom resistensi androgen komplit, misalnya mutasi pada reseptot androgen menyebabkan lelaki XY memiliki fenotip perempuan walaupun terdapat peningkatan kadar LH dan testosteron, Gen reseptor GH terdapat pada kromosom 5p13-12 dan terdiri dari 10 ekson yang mempunyai hampir 300 kb genom DNA. Beberapa mutasi pada gen resepror GH yang telah dideteksi adalah mutasi missens, mutasi nonsens, delesi besar atau delesi kecil/mikro, dan perubahan pada splice site, Mutasi dapat menyebabkan reseptor GH tidak terekspresi, atau terekspresi retapi mengalami disfungsi, atau terjadi ganggwan pada transmisi sinyal selanjutnya. Mutasi pada gen reseptor GH menimbulkan insensitivitas terhadap GH. Kelainan ini dikenal dengan sindrom resistensi GH atau sindrom Laron, yang biasanya diturunkan secara autosomal resesif, Gambaran Klinis sindrom Laron serupa dengan defisiensi GH berat, yaitu perawakan pendek berat, peningkatan kadar GH, dan kadar IGF-{ rendah. Mutasi pada gen reseptor estrogen dapat menyebabkan resistensi estrogen. Gambaran Xlinis lelaki dengan sindrom ini berupa perawakan tinggi dan penutupan epifisis yang tidak lengkap (pertumbuhan linear tetap berlanjut sampai dewasa walaupun perkembangan pubertas normal). Kadar estradiol dan estron meningkat, sedangkan kadar cestosteron normal. Selain itu terdapat gangguan toleransi glukosa dan hiperinsulinemia. Pada ekson 2 gen resepror estrogen dideteksi mutasi yang berupa transisi sitosin menjadi timin pada kodon 157 di kedua alel, Mutasi ini mengakibatkan perubahan pada kodon hilit CGA (arg) menjadi TGA (stop). Matasi pada gen reseptor insulin dapat mengakibatkan gangguan pada reseptor insulin sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor, penurunan afinitas ikatan resepror dengan insulin, atau hilangnya akeivitas tirosin kinase dari reseptor. Resistensi insulin berat karena mutasi reseptor dilaporkan dapat menimbulkan sindrom resistensi insulin ripe A, leprechaunism, dan diabetes lipoatrofik. Ketiga sindrom ini ditandai oleh penurunan respons terhadap insulin (intoleransi glukosa atau diabetes nyata), akancosis nigrikan, dan hiperandrogenisme. Beberapa mutasi reseptor insulin. yang telah dilaporkan pada pasien dengan resistensi insulin berat dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Mutasi pada gen reseptor insul dengan Sindrom. Sindrom tipe A ‘Arg > Ser Phen = Val lys > Glu 1008 Gy > Vo! 1012 Delesi 1200 Trp > Ser {eprachaunism leu > Phe Gh > Stop 897 Arg > Stop ‘Mekanisrae Kerja Hormon 15 Resistensi insulin dapat pula disebabkan oleh adanya antibodi terhadap reseptor insulin sehingga mengakibatkan resistensi insulin tipe B. Sindrom ini ditandai oleh intoleransi glukosa atau diabetes melitus dengan hiperinsulinemia dan akantosis nigrikan. Specificity spill-over syndromes Hormon bekerja secara spesifik melalui interaksi dengan reseptor yang spesifik. Bila kadar hormon berlebihan (hormone excess) , maka hormon tertentu dapat berikatan dengan reseptor hormon lain dari kelompok yang sama dengan afinitas yang febih lemah dan menimbulkan manifestasi klinis. Beberapa contoh dari specificity spill-over syndromes ini dapat dilihat pada Tabel 2.2. Pada akromegali, galaktorea terjadi bukan karena hipersekresi prolaktin tetapi karena ikaran silang GH dengan reseptor prolaktin. Tabel 2.2. Sper over syndromes dengan manifestasi kli Hermon Respir ikotan slang Monifesta! Kini A GH Pr 2 Golaktore dengan akromegal ‘ Insulin 1GF-1 di ovarium Hiperandrogenemia dengan resistensi insulin IGF-12 Makrosomia pada iby OM i ACTH MSH Hiperpigmentasi pada insufisiensi adrenal primer ees Ose Hipetioid pada tumor trofoblasik / Fisiologi hormon Hormon yang dilepaskan ke dalam aliran darah akan berikatan dengan suatu protein pembawa. Hormon yang termasuk dalam golongan ini adalah hormon steroid, tiroid, dan hormon pertumbuhan. Hormon yang larut dalam air akan beredar secara bebas di dalam darah tanpa berikatan dengan protein pembawa. Yang termasuk dalam golongan ini adalah, hormon golongan amin, peptida, dan protein. Sekresi hormon ke dalam sistim sitkulasi bersifat spesifik untuk masing-masing hormon. Sekresi hormon basal dapat bersifat kontinu (prolaktin), shore burst (insulin) atau episodik (LH, FSH), Pengeluaran hormon bersifat ritmis, ada yang bersifat diurnal (pagi-sore) /sirkadian (ACTH, prolaktin, GH, TSH) dan ada yang bersifat bulanan (estrogen, progesteron pada siklus menstruasi). Hormon merupakan zat kimia yang mampu melakukan tugasnya dalam konsentrasi yang sangat kecil dengan waktu paruh yang singkat. Kadar hormon dalam darah dikontrol secara tepat dan terus menerus melalui statu mekanisme umpan balik. Hierarki hormon ini harus dipahami secara benat karena mempunyai arti klinis yang penting. Hormone releasing dan hormone inhibiting yang dihasilkan oleh hipotalamus akan merangsang hormon-homon tropik yang dihasilkan oleh hipofisis, Hormon hipofisis ini akan merangsang organ target endokrin untuk mensekresikan hormon. Hormon dari organ target akan memberikan umpan balik negatif ke hipofisis dan hipotalamus. Hormon dari suatu organ endokrin tidak selalu harus distimulasi oleh hierarki hormonal seperti di atas, misalnya hipokalsemia dapat 16 Buku Ajar Endokrinologi merangsang sekresi hormon paratiroid, hiperglikemia akan merangsang hormon insulin, atau situasi stres akan merangsang hormon kortikosteroid. Sebagian besarkelainan endokrin disebabkan olch hipofungsi atau hiperfungsi hormon atau kelainan pada reseptor. Secara klinis hormon dapat digunakan sebagai terapi pengganti (hormone replacement therapy misalnya pada hipotiroid kongenital), untuk menghalangi kerja hormon lain (growth hormone sebagai hormon antiinsulin), untuk mendiagnosis kelainan tertentu (uji stimulasi atau uji supresi), dan mengobati penyakit non endokrin tertentu (DDAVP pada enuresis). Daftar bacaan 1. Clayton PE, Tilanan V. Advances in envdoctinology. Arch Dis Child 1998;78:278-84. Debuse M. Endocrine and reproductive systems. London: Mosby Intl, 1998.h.3-15. Jameson JL. Principles of endocrinology. Dalam: Jameson JL, penyunting. Harrison's endocrinology. Edisi ke-1. Pennsylvania: MacGraw-Hill company; 2006.h.1-16. 4. Lazar MA. Mechanism of action of hormones that act on nuclear receptors. Dalam: Kronenberg HM, Melmed S, Polonsky, Larsen PR, penyunting. Williams textbook of endacrinology Edisi ke-L1. Philadelphia: Saunders-Elsevier, 2008h.385-44, 5. Potter AE, Phillips JA. Genetic disorders inpadiatric endocrinology: Dalam: Peseovitz OH, Eugster EA, penyunting. Pediatsic endocrinology: mechanisms, manifestations, and management. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 2004.h.1-23. 6. Rice AM, Rivkees SA. Receptor transduction of hormone action. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric enclocrinology. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders-Elsevier, 2008.h.26-73. 7. Sahay RK, Unnikrishnan AG, Bhadada SK, Agrawal JK. Hormone receptor disorders. JIACM 2002;3:65- 80. B. Spiegel A, Caner-SuC, Tayler SL. Mechanism of Action of hormones that act at the cell surface. Dalam: Kronenberg HM, Melmed S, Polonsky, Larsen PR, penyunting. Williams textbook of endocrinology. Bdish ke-110. Philadelphia: Saunders-Elsevier publication, 2008. h.476-621. 9. Westwood M. Principles of hormone action. Dalam: Brook CGD, Clayton PE, Brown RS, penyunting. Brook's clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-6. UK: Wiley-Blackwell, 2009.b.24-38 ‘Mekanisme Kerja Hormon AT BAB 3 PERTUMBUHAN DAN GANGGUAN PERTUMBUHAN PERTUMBUHAN NORMAL Pertumbuhan anak merupakan proses interaksi berbagai hal, seperti faktor genetik, lingkungan terutama nutrisi, serta pengaruh faktor endokrin. Pertumbuhan pada anak terjadi terutama pada lempeng epifisis yang merupakan tempat terjadinya deposisi tulang sehingga terjadi penambahan tinggi badan. Beberapa hormon yang terlibat dalam proses pertumbuhan ini meliputi hormon pertumbuhan, hormon tiroid, hormon seks, insulin, dan hormon adrenal, Selain itu terdapat beberapa faktor pertumbuhan. Selain itu terdapat IGF-I dan IGF-2. Regulasi pertumbuhan pranatal Pertumbuhan janin di dalam uterus dipengaruhi oleh ukuran uterus, nutrisi, dan status metabolik ibu. Dengan ukuran uterus yang cukup besar, nuttisi ibu yang baik, serta keadaan metabolisme yang baik akan dihasilkan bayi yang besarnya optimal. Faktor lingkungan yang kurang baik, seperti nuttisi yang kurang akan menghasilkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Ini saat normal bayi intrauterin selama 37-42 minggu disebut sebagai bayi cukup bulan. Rata-rata akan didapatkan bayi dengan berat lahir + 3.000 gram dan panjang + 50 em. Di samping itu beberapa hormon juga berperan dalam periode pertumbuhan pranatal, seperti insulin, IGFs, dan IGE-BP; sedangkan hormon pertumbuhan dan hormon tiroid tidak terlalu berperan pada pertumbuhan intrauterin. Hal ini terbukti bahwa anak yang dilahirkan dengan defisiensi hormon pertumbuhan atau hipotiroid kongenital mempunyai berat badan lahir dan panjang badan yang normal. Sebaliknya kedua hormon ini sangat berperan pada pertumbuhan pasca natal. Pertumbuhan pasca natal Pertumbuban pasca lahir ditandai oleh 3 fase, yaitu fase bayi (infant), kanak-kanak (childhood), dan pubertas (puberty). Pertumbuhan pasca natal pada fase bayi ditandai oleh pertumbuhan yang pesat, kemudian diikuti oleh penurunan kecepatan tumbuh secara progresif. Pada fase ini terjadi pertambahan panjang anak berturut-turut sekitar 25 em, 12 Pertumbuhan dan Gangguan Pertumbuhan 19 cm, dan 8 cm per tahun dalam 3 tahun pertama kehidupan. Fase ini diikuti oleh fase anak dengan pertumbuhan yang relatif stabil, yaitu 4-7 cm per tahun sampai awitan pubertas dengan disertai pertambahan berat badan per tahun yang relatif stabil. Kemudian fase ini diikutioleh fase pubertas dengan akselerasi pertumbuhan dan deselerasi pertumbuhan sampai terjadinya penutupan lempeng epifisis yang ditandai dengan bethentinya_pertumbuhan. Selama fase bayi terjadi proses kanalisasi untuk mencari potensi genetiknya. Pada fase ini sering terjadi catch-down atau catch-up, misalnya bayi besar yang dilahirkan dari orang tua yang kecil akan memotong kurva pertumbuhan menuju persentil yang lebih rendah sesuai dengan potensi genetiknya. Catch-down ini ditandai dengan pararelisme pertumbuhan linear, berat badan, dan lingkar kepala. Jadi dengan catch-down ini tidak berarti terjadi gangguan pertumbuhan. Peran hormon pada proses pertumbuhan Hormon tiroid Hormon tiroid berperan penting dalam maturasi tulang pada masa pranatal dan pasca natalserta proses mielinisasisistim saraf pusat pada masa pranatal. Hormon tiroid mempunyai efek pada sekresi hormon pertumbuhan, mempengaruhi kondrosit secara langsung dengan meningkatkan sekresi IGF, serta memacu maturasi kondrosit. Defisiensi hormon tiroid akan menyebabkan retardasi pertumbuhan dan penghentian maturasi tulang. Kekurangan hormon tiroid pada masa anak akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan dan retardasi maturasi tulang. Dengan pengobatan levotiroksin akan terjadi kejar tumbuh sehingga dapat mencapai tinggi badan normal. Hormon steroid seks Hormon steroid seks berperan penting dalam proses diferensiasi seks, tetapi tidak berperan pada pertumbuhan prapubertas. Hal ini dapat dilihat dengan tidak terdapatnya gangguan pertumbuhan pada pasien dengan hipogonad, sebelum timbulnya pubertas. Konsentrasi hormon steroid seks ini tidak banyak berubah pada fase prapubertas. Testosteron Testosteron pada laki-laki dihasilkan oleh sel Leydig. Terdapat 3 periode peningkatan hormon testosteron. Periode pertama yaitu pada masa fetus kira-kira usia kehamilan 11 minggu. Pada periode ini testosteron berperan dalam diferensiasi genitalia eksterna untuk membentuk penis dan skrotum. Selain itu, pada periode ini testosteron juga mempengaruhi sel otak. Kadar testosteron darah menurun secara cepat setelah lahir dan kemudian terjadi peningkatan kadar testosteron kedua dengan puncaknya pada usia 2 bulan setelah lahir. Peningkatan testosteron pada periode kedua ini masih belum diketahui fungsinya. Setelah usia 6 bulan kadar testosteron darah akan menurun sampai rendah sekali dan kemudian meningkat sangat tinggi pada periode pubertas. Keadaan ini merupakan peningkatan testosteron ke-3. Pada periode pubertas, testosteron ini akan berperan dalam proses pacu tumbuh serta menginduksi pertumbuhan seks sekunder. 20 Buku Ajar Endokrinologi Estrogen Ovarium menghasilkan estrogen dalam bentuk utama sebagai estradiol. Nilai estrogen ini sangat rendah sampai masa prepubertas. Pada periode pubertas nilai estrogen ini akan meningkat dan akan menginduksi tanda-tanda seks sekunder pada wanita, yaitu pertumbuhan paytidara, uterus, dan vagina. Estrogen juga merangsang pertumbuhan pelvis dan rambut pubis, serta akan menyebabkan terjadinya pacu tumbuh pada wanita. Pada saat timbulnya menstruasi kadar estrogen berfluktuasi secara teratur secara siklik diikuti oleh peningkatan kadar progesteron. Sekresi estradiol ini diatur oleh FSH, Hormon pertumbuhan Hormon pertumbuhan berperan dalam seluruh fase pertumbuhan baik pranatal maupun pasca natal. Anak yang mengalami defisiensi hormon pertumbuhan hanya akan mencapai tinggi akhir sekitar 130 cm. Pada periode pasca natal hormon pertumbuhan bekerja melalui sistem GH — IGE-1 — IGEBP-3. Hormon pertumbuhan ini akan meningkatkan produksi {GE-I dan IGFBP-3 yang terutama dihasilkan oleh hepar dan kemudian akan menstimulasi produksi IGF-I lokal dari kondrosit. Rosenfeld membuktikan bahwa hormon pertumbuhan ini juga mempunyai efek langsung pada lempeng pertumbuhan tanpa melalui IGF-1. Hormon pertumbuhan ini dikeluarkan secara episodik dan hampir selalu terdapat dalam kadar yang sangat rendah. Setiap hari umumnya terdapat 8 sampai 9 kali peningkatan kadar hormon pertumbuhan selama 1-20 menit. Hormon pertumbuhan ini meningkat pada waktu olah raga dan pada waktu tidur, Pada periode pubertas, sekresi hormon pertumbuhan akan sangat meningkat secara bersamaan dengan peningkatan hormon steroid seks yang akan menyebabkan pacu tumbuh. Insulin Insulin ternyata juga berpengaruh pada pertumbuhan pasca natal. Hal ini dibuktikan bahwa pada anak dengan DM tipe-1 yang tidak terkontrol akan terjadi gangguan pertumbuhan. Pada keadaan ini terjadi penurunan kecepatan pertumbuhan disertai peningkatan kadar hormon pertumbuhan serta penurunan kadar IGF-I. Hal ini menggambarkan suatu keadaan resistensi relatif terhadap hormon pertumbuhan. Pemberian insulin yang intensif akan memperbaiki kecepatan pertumbuhan dan meningkatkan kadar IGE-1. Gangguan pertumbuhan pada anak DM tipe-1 diakibatkan juga oleh penurunan kadar IGF-1 dan peningkatan kadar IGFBP-3 yang disebabkan oleh defisiensi insulin. Pada anak DM tipe-1 dengan kontrol metabolik sangat buruk dapat terjadi sindrom Mauriac dengan gejala obesitas, perawakan pendek, dan hepatomegali. Akan tetapi, saat ini keadaan tersebut jarang dijumpai Somatomedin/IGF-1 Kerja hormon pertumbuhan pada tulang memerlukan perantara yang disebut sebagai somatomedin IGF-1. Banyak jaringan yang mampu menghasilkan {GF-1, namun penghasil IGF-I terbesar adalah hepar. Pertumbuhan dan Gangguan Pertumbuhan 21 Nutrisi dalam proses pertumbuhan Pentingnya peran nutrisi dalam proses kecepatan tumbuh dan tinggi akhir dapat dijelaskan dengan adanya secular trend pasca perang dunia II di Jepang, Tinggi anak laki-laki pada usia 17 tahun meningkat 6,6 cm dan anak perempuan meningkat 3,1 cm pada tahun 1967. Pada tahun 1988 peningkatan menjadi 9,7 cm pada anak laki-laki, dan 5,7 cm pada anak perempuan. Peningkatan ini diakibatkan oleh meningkatnya kecepatan tumbuh prapubertas. Secular trend ini disebabkan oleh meningkatnya keadaan sosioekonomi serta perubahan pola makanan, terutama dengan meningkatnya konsumsi makanan barat. APLIKASI KURVA PERTUMBUHAN Tanner menggambarkan pertumbuhan sebagai gambaran keadaan masyarakat. Data antropometrik yang merefleksikan ukuran tubuh manusia juga merefleksikan keadaan lingkungan masyarakat ataupun keadaan sub-populasi, sehingga memungkinkan kita untuk membandingkannya dengan populasi lain ataupun negara lain. Kurva pertumbuhan digunakan oleh ahli kesehatan anak secara universal di seluruh dunia dalam pemantauan pertumbuhan. Berat badan dan tinggi badan merupakan parameter antropometrik yang paling sering digunakan dalam menilai pertumbuhan anak sedangkan parameter yang lainnya digunakan untuk kepentingan yang berbeda. Dalam bidang pediatrik, kurva yang menggambarkan pertambahan tinggi badan dan berat badan digunakan sebagai salah satu indikator kesehatan anak. Tinggi badan dianggap sebagai indikator kesehatan secara keseluruhan, sedangkan berat badan per umur merupakan indeks yang paling sering dipakai di seluruh dunia untuk menggambarkan indikasi kesehatan anak. Tinggi badan anak tersebut harus dibandingkan dengan populasinya untuk mengetahui apakah anak tersebut berbeda atau sama dengan distribusi tinggi populasinya. Di samping itu tinggi badan orangtua harus dilihat sebagai pertimbangan untuk menilai faktor genetik dalam keluarganya. Pertumbuhan pada anak biasanya akan mengikuti pola tertentu dan dapat diprediksi, di samping itu dibutuhkan kurva acuan yang bisa mewakili populasi untuk penilaian dan perbandingan. Kurva acuan ini dipakai sebagai alat yang sangat penting untuk menilai pertumbuhan. Pertumbuhan dapat diukur secara obyektif dengan berbagai_ukuran antropometrik yang digambarkan dalam kurva pertumbuhan. Hal ini digunakan secara universal di seluruh dunia untuk pemantauan pertumbuhan anak di klinik. Regulasi pertumbuhan pada anak Mengamati anak yang sedang tumbuh dan berkembang merupakan hal yang sangat menarik Proses pertumbuhan anak telah dimulai sejak saat konsepsi. Pada periode ini terjadi pertumbhuan yang sangat cepat, dari hanya beberapa milimeter sampai sekitar 3000 gram dengan panjang badan sekitar 50 cm pada saat bayi lahir. Pada periode ini pertumbuhan bayi sangat dipengaruhi oleh faktor disamping faktor genetiknya sendiri, Gangguan yang terjadi selama masa kehamilan ibu akan mempengaruhi pertumbuhan bayi di dalam kandungan, 22 Buku Ajar Endokrinologt demikian juga beberapa faktor lain seperti kebiasaan ibu merokok, 1uinum alkohol, tidak memperhatikan gizi serta kesehatan selama kehamilan dsb. Proses pertumbuhan di dalam kandungan ini kita disebut sebagai pertumbuban intra uterin. Proses pertumbuhan berikutnya kita sebut sebagai proses pertumbuhan pasca natal Proses pertumbuhan pada fase ini dapat kita bagi menjadi 3 fase yang dikenal sebagai fase ICP yait 50) 40) Height velocity Combined ‘chilshood Lefgney 024 ee RM 6 Age (years) Gambar 3.1. Model ICP dari Kalberg untuk anak laki-laki, Fase Infant Fase ini merupakan representasi pertumbuhan pasea natal dari “fetal growth” Pertumbuhan pada periode ini ditandai dengan fase pertumbuhan yang sangat cepat pada tahun pertama, kemudian kecepatan pertumbuhan ini menurun dengan cepat sampai usia 2 rahun dan semakin melambat sampai usia 3 tahun, Hal ini terjadi sebagai akibat kombinasi perlambatan pengaruh periode infancy dan mulai berperannya komponen childhood. Pada tahun pertama pertambahan tinggi badan anak kira-kira 1 1/2 kali panjang lahir, kemudian pada tahun ke dua pertambahan tinggi badan sekitar 10 cm. Pada satu tahun pertama pertambahan berat badan menjadi 3 kali lipat dari berat lahir Fase Childhood Pada fase ini pertumbuhan anak relatif stabil dan lambat sampai pada fase berikutnya. Perubahan tempo ini merupakan hasil dari peranan hormon pertumbuhan sebagai regulasi utama yang mengatue pertumbuhan linier. Fase ini menghasilkan peningkatan sitting height dan leg length, jadi sebagai Komponen utama dalam pertambahan tinggi badan. Hampir 2/3 tinggi badan tercapai pada fase ini. Pada fase ini pertumbuhan anak berkisar antara 5-7. cm pertahunnya. Pertumbuhan dan Gangguan Pertumbuhan 23 Fase Puberty Pada fase ini terjadi percepatan pertumbuhan karena pengaruh peningkatan hormon steroid seks dan hormon pertumbuhan, kita akan melihat tiba-tiba anak cepat sekali bertambah tingginya dan kemudian pelan-pelan pertumbuhan akan berhenti. Pada wanita fase ini timbulnya lebih awal dibandingkan anak laki-laki. Pada fase ini di samping terjadi penambahan tinggi badan, juga terjadi perubahan bentuk fisik, timbulnya tanda- tanda sekunder, dan perubahan emosi, dll. Fase ini kemudian akan berakhir, dan dengan: demikian proses pertumbuhan si anak akan selesai. Kurva pertumbuhan Reference curve/kurva acuan pertumbuhan telah dibuat di berbagai negara berdasarkan data penelitian potong lintang. Kurva pertumbuhan ini digunakan untuk memantaupertumbuhan anak sesuai dengan populasi acuannya. Untuk negara-negara yang tidak mempunyai kurva pertumbuhan WHO menganjurkan penggunaan kurva NCHS/CDC sebagai acuan, Akan tetapi penggunaan kurva ini yang didasarkan pada populasi Amerika Serikat tentunya tidak sesuai untuk setiap negara di dunia ini jika tanpa penyesuaian-penyestiaian tertentu. Lagi pula pola pertumbuhan di suatu negara tentu tidak sama dengan negara lainnya karena perbedaan etnis, sosioekonomi and adanya secular trend pada masyarakat tersebut. Dengan terdapatnya secular trend maka revisi kurva pertumbuhan haras dilakukan secara berkala, paling tidak setiap 10 tahun sekali untuk mengadaptasi adanya perubahan akibat pengaruh sosiockonomi dan faktor lingkungan lainnya. Pemilihan Kurva Pertumbuhan Kurva pertumbuhan digunakan untuk evaluasi dan pemantauan individu serta skrining populasi. Mengingat fungsinya yang sangat penting ini maka kita harus mengetahui kurva pertumbuhan mana yang akan digunakan dalam praktik sehari-hari Walaupun pertumbuhan anak akan mengikuti pola pertumbuhan yang hampir sama, tetapi selalu terdapat perbedaan atau variasi pola pertumbuhan dari setiap populasi disebabkan oleh perbedaan etnik, ras, geografis, faktor lingkungan serta sosioekonomi yang menyebabkan perbedaan pola maturasi dan tinggi akhit. Tinggi akhir dari berbagai etnik akan berbeda walaupun sudah memperhitungkan adanya secular trends. Oleh karena itu untuk penilaian pertumbuhan sebaiknya dipakai kurva pertumbuhan yang mewakili populasi nasional dari suatu negara. Kalaupun kita menggunakan kurva pertumbuhan dari populasi lain maka harus diingat bahwa populasinya berbeda dan perlu penyesuaian-penyesta tertentu, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam interpretasi atau terapi yang diberikan. ian Kurva pertumbuhan dapat dibuat secara potong lintang (cross-sectional), longitudinal ataupun dengan semilongitudinal, masing-masing kurva punya keuntungan dan kekurangan. Kurva pertumbuhan berdasarkan data cross sectional mempunyai beberapa keuntungan seperti + Dapat diperoleh informasi tentang adanya secular trend + Data dapat diperoleh dalam waktu relatif singkat 24 Buda Ajar Endokrinologi + Sampel cukup banyak dan dapat mewakili populasi Fenomena yang berhubungan dengan umur menurut petiode dapat diperoleh misalnya perbandingan tinggi akhir dari setiap penelitian. Di samping itu juga terdapat beberapa kekurangan seperti : + Tidak terdapat kurva laju pertumbuhan + Tidak didapatkan centile crossing. Dengan adanya secular trend seharusnya ditemukan adanya centile crossing akan tetapi dengan metode ini tidak terlihat. Kurva pertumbuhan yang berdasarkan data longitudinal dapat menghasilkan kurva laju pertumbuban, namun memiliki beberapa kekurangan seperti: + Penelitian memerlukan waktu sangat lama + Data yang didapat akan kadaluarsa pada saat akhir penelitian + Mabal dan sangat rumit + Sampel hanya sedikit dan kemungkinan angka drop-out lebih tinggi Oleh karena itu hampit di setiap negara kurva acuan biasanya dibuat secara potong lintang seperti kurva NCHS/CDC dan kurva pertumbuhan Indonesia, Aplikasi kurva pertumbuhan dalam praktik sehari hari Kurva pertumbuhan yang lengkap biasanya terdiri dari berberapa jenis kurva dan parameter yang dibandingkan dengan berbagai variabel. Tinggi badan dan berat badan merupakan parameter yang paling sering digunakan dalam memantau pertumbuhan anak. Tinggi badan dianggap sebagai indikator kesehatan secara keseluruhan, tetapi berat badan per umur merupakan indeks yang paling sering digunakan. Onis dkk pada 2004 menunjukkan bahwa hanya 154 dari 178 negara di seluruh dunia yang menggunakan kurva pertumbuhan, semua negara menggunakan berat badan menurut umur untuk evaluasi pertumbuhan anak dan hanya separuh yang menggunakan tingpi badan menurut umur Kurva pertumbuhan biasanya terdiri dari beberapa jenis kurva. Terdapat berbagai jenis kurva yang digunakan untuk monitor pertumbuhan, di antaranya yang cukup sering digunakan adalah: + berat badan menurut umur * tinggi badan menusut umur + berat badan menurut tinggi + lingkar kepala menurut umur + indeks massa tubuh * tinggi duduk + sub-ischial leg length + rasio tinggi duduk terhadap tinggi badan + tebal lipatan kulit + lingkar pinggang + lingkar lengan atas + Tingkar pinggul + rentang lengan Pertumbuhan dan Gangguan Pertumbuhan 5 Masing-masing kurva ini digunakan untuk kepentingan tertentu dalam evaluasi pertumbuhan, bahkan sering kita gunakan kombinasi kurva tersebut untuk lebih teliti dalam menilai pertumbuhan anak. Kurva pertumbuhan juga berguna untuk pencegahan serta untuk diagnosis dini overweight dan obesitas. Berat badan dan tinggi badan Penilaian pertumbuhan meliputi sekali atau beberapa kali pengukuran anttopometri. Hasil pengukuran ini kemudian diplot ke dalam kurva pertumbuhan yang sesuai dan dilakukan interpretasi hasil. Berikutnya harus dilakukan perencanaan dari hasil yang didapatkan. Berat badan dan tinggi badan merupakan indikator yang paling sering digunakan dalam praktek sehari-hari. Berat badan sebagai satu-satunya ukuran tanpa digabung dengan ukuran- ukuran lainnya hanya memberikan sedikit informasi dalam praktek klinis. Bila didapatkan berat badan seorang anak di atas nilai normal untuk usianya maka nilai ini sebaiknya dibandingkan dengan tinggi badannya dan nilai ini harus dibandingkan dengan populasi acuannya. Berat badan bila dibandingkan terhadap tinggi badan dapat diekspresikan dalam berbagai cara, yang paling sederhana adalah dibandingkan dengan tinggi badan dan diplot ke dalam kurva pertumbuhan Pada periode bayi, pengukuran berat badan lebih bermanfaat dibanding tinggi badan oleh karena pada periode ini berat badan bertambah tiga kali lipat dibandingkan saat lahir sehingga berat badan merupakan indikator sensitif gangguan pertumbuhan. Setelah fase bayi selesai maka selanjutnya tinggi badan merupakan indikator yang penting, Setelah usia 1-2 tahun anak akan tumbuh menurut lajur pertumbuhannya dan hampir tidak pernah memotong garis persentil. Begitu fase pubertas timbul, terjadi percepatan pertumbuhan atau pacu tumbuh dan dapat terjadi pemotongan garis persentil lagi karena awitan dan durasi pubertas tidak terjadi secara seragam. Penggunaan garis persentil ini akan memudahkan orangtua dan tenaga kesehatan dalam memahami kurva pertumbuhan. Berat badan terhadap tinggi badan Metode yang paling sering dipakai untuk menilai overweight adalah dengan menggunakan kurva berat badan dan tinggi badan secara bersama-samia. Kurva berat badan terhadap tinggi badan memberikan informasi lebih baik karena memberikan sedikit gambaran tentang body composition. Berdasarkan kurva ini dapat dilihat pada kurva CDC 2000, tinggi badan terbatas hanya dari 77 cm sampai 122 cm, sehingga kurva ini terbatas penggunaannya pada anak usia muda. Akan tetapi penggunaan kurva berat badan terhadap tinggi badan ini tidak menggambarkan Klasifikasi obesitas dan at risk of overweight. Untuk keperluan ini maka diperlukan kurva IMT. Indeks massa tubuh Indeks massa tubuh (IMT) digunakan secara Juas untuk menentukan tingkat obesitas pada orang dewasa. Penggunaan IMT untuk menentukan tingkat obesitas pada anak harus dilakukan secara hati-hati karena IMT pada anak bervariasi dipengaruhi oleh umur, jenis 26 Buleu Ajar Endokrinologi kelamin dan tingkat maturasi. IMT pada anak bervariasi dipengaruhi oleh uma, jenis kelamin dan tingkat maturasi. Banyak cara yang bisa dipakai untuk menentukan derajat obesitas pada seorang anak, retapi IMT masih merupakan parameter yang dianjurkan oleh karena sederhana dan mudah dilakukan. Para ahli merekomendasikan pedoman skrining overweight dan obesitas pada anak dan remaja berdasarkan persentil IMT. Disebut obesitas jika nilai IMT di atas persentil 95 dan overweight jika nilai IMT berada diantara persentil 85 sampai 95. Proporsi tubuh Proporsi tubuh dibagiatas tubuh bagian atasdan bagian bawah. Metode yanglazim digunakan untuk melihat propossi tubuh ini adalah dengan membandingkan tinggi duduk terhadap tinggi badan, subischial leg lenght terhadap tinggi badan dan menghitung rasio segmen atas tethadap segmen bawah tubuh. Proporsi tubuh bagian bawah (segmen bawah) diperolch dengan mengukur jarak bagian atas simifisis pubis sampai telapak kaki. Bagian atas diambil dengan mengurang! tinggi badan dengan bagian bawah tubuh. Rasio proporsi segmen atas dan bawah ini dibandingkan dengan nilai standar untuk umur dan jenis kelamin, Rasio segmen atas tethadap segmen bawah tubuh yang semula sekitar 1,7 pada saat lahir akan mendekati nilai 1 pada usia 8-10 tahun. Proporsi tubuh ini merupakan dasar untuk evaluasi diagnosis displasia skeletal sehingga dengan relatif mudah kita dapat mendiagnosis akondroplasia, sindrom Marfan, dan kelainan talang lainnya. Sindrom Marfan adalah suatu kelainan autosomal dominan jatingan ikat yang ditandai oleh perawakan tinggi yang tidak proporsional dengan tungkai relatif lebih panjang, Evelett dan Tanner memperlihatkan bahwa perbedaan proporsi tubuh ini dipengaruhi genetik. Ras kaukasia mempunyai perawakan lebih tinggi dengan tungkai yang lebih panjang, Dengan perbaikan lingkungan dan sosioekonomi terjadi perbaikan tinggi badan terutama panjang tungkai pada semua etnis, schingga pemantauan panjang tungkai dianggap sebagai cara yang baik dalam menilai keadaan lingkungan dan sosioekonomi dibanding pemantauan tinggi badan. Anak yang ditelantarkan memiliki tungkai yang lebih pendek dan terlihat mengalami pemanjangan tungkai setelah intervensi sosial. Perbaikan keadaan lingkungan akan memperbaiki panjang tungkai dan memperbaiki tinggi akhis, hal ini kita kenal sebagai secular trend. Rentang lengan Rentang lengan adalah jarak terjauh dari rentangan kedua tangan, diukur dari ujung jari tengah kanan ke ujung jari tengah kiri, Di atas 2 tahun pengukuran rentang lengan dilakukan dengan berdiri tegak dan kedua tangan direntang 90 derajat terhadapa aksis vertikal. Rentang lengan ini sama dengan tinggi badan pada periode infancy, untuk anak vang tinggi tentang lengan ini 3-5 cm lebih panjang daripada tinggi badan. Pada anak dengan perawakan pendek rentang lengan ini tidak pernah melebihi tinggi badan. Pengukuran rentang lengan ini membantu diagnosis kelainan skeletal seperti sindrom Marfan. Pertumbuhan dan Ganggwan Pertumbuhan 27 Parameter lain Lingkar pinggang Sepesti diketahui indeks massa tubuh digunakan sebagai indikator untuk mengidentifikasi overweight dan obesitas pada anak dan remaja, walaupun IMT tidak dapat membedakan fat mass dan fat free mass. Mengingat hal tersebut maka IMT bukan merupakan parameter yang baik untuk mengetahui adanya adipositas sentral. Lingkar perut dipakai sebagai indikator adipositas sentral karena lebih menggambarkan kondisi lemak abdominal. Secara epidemiologis lemak abdominal ini sangat berhubungan erat dengan risiko terjadinya sindrom metabolik seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes melitus tipe-2 dan peningkatan risiko mortalitas pada dewasa. Maffeis mendapatkan korelasi yang bermakna antara lingkar perut pada anak perempuan dengan resistensi insulin dan tekanan darah dinstolik. Beberapa keuntungan menggunakan lingkat pinggang dibandingkan IMT adalah lebih mudah dilakukan, dapat memprediksi mortalitas lebih baik dibanding indeks antropometrik lainnya, dan dapat menilai distribusi lemak dan kelainan metabolik. Lingkar Paha Lingkar paha diukur pada bagian atas paha secara horizontal dengan lipatan glutea. Ukuran lingkar paha ini pada wanita dihubungkan dengan risiko terjadinya kelainan kardiovaskuler serta morbiditas dan mortalitas akibat kelainan jantung koroner, Lingkar paha dan lingkar pinggang merupakan risiko independen, bahkan berbanding terbalik terhadap risiko terjadinya kelainan kardiovaskuler. Lingkar pinggang yang kecil serta lingkar paha yang besar keduanya merupakan faktor protektif terhadap kelainan kadiovaskuler. Lingkar Lengan Atas (LLA) Kurva ini digunakan sebagai salah satu alternatif dalam pengukuran status nutrisi pada anak. Komite ahli dari WHO menganjurkan penggunaan kurva ini untuk anak usia 5 tahun. Pengukuran LLA ini dilakukan pada pertengahan lengan atas dengan posisi lengan ekstensi dan dalam keadaan relaks Tebal lipatan kulit Pengukuran tebal lipatan kulit memberikan informasi tentang komposisi tubuh dan status gizi, termasuk gambaran lean body mass. Pengukuran tebal lipatan kulit ini biasanya dilakukan di lengan atas diantara siku dan bahu pada biceps atau triceps, di bagian ujung bawah skapula atau di atas krista iliaka. Daerah yang paling sering digunakan adalah daerah biceps atau triceps karena lebih praktis, Walaupun pengukutan tebal lipatan kulit dapat menggambarkan obesitas tetapi akurasinya sangat kurang, perlu ketrampilan, dan sering tidak memberikan hasil yang sama Kurva Kecepatan Pertumbuhan Kurva kecepatan pertumbuhan memungkinkan Klinisi untuk mengikuti_pertumbuhan 28 Buku Ajar Endokrinologi secara detail dalam satuan waktu, walaupun secara umum ini kurang praktis. Pertumbuhan merupakan suatu proses yang dinamik, sehingga diperlukan pengukuran yang berkala untuk menilai kecepatan pertumbuhan dalam satu satuan waktu, Pengetahuan tentang kecepatan pertumbuhan ini diperlukan untuk menilai pertumbuhan pada anak yang sakit. Hambatan kecepatan pertumbuhan dapat menggambarkan beratnya penyakit sedangkan normalisasi kecepatan pertumbuhan dapat menggambarkan proses penyembuhan. Setiap anak paling tidak harus punya 2 titik pengukuran supaya dapat menilai kecepatan pertumbuhan. Dengan demikian dapat dilihat pola pertumbuhan anak, apakah sejajar dengan garis persentil atau melenceng untuk menentukan tindakan selanjutny: ‘Anak-anak biasanya tumbuh sesuai kanal pertumbuhannya, Pertumbuhan memotong gatis persentil masih dianggap normal jika terjadi pada tahun pertama kehidupan, setelah satu tahun biasanya pemotongan garis persentil tidak terjadi lagi. Pada saat pubertas, terjadi lagi pemotongan garis persentil. Pada tahun-tahun pertama, kecepatan pertumbuhan ini masih relatif tinggi, kemudian menjadi relatif stabil sebesar 5-7 cm per tahun sampai usia pubertas. Pada saat pubertas terjadi lagi percepatan pertumbuhan, pada anak perempuan pertambahan tinggi selama periode ini kira-kira 8,3 cm/tahun dan pada anak laki-laki 9,5 cmi/tahun. Anak dengan defisiensi GH akan mengalami pertumbuhan di bawah persentil 25 pada kurva kecepatan pertumbuhan. PERAWAKAN PENDEK Perawakan pendek merupakan suatu terminologi untuk tinggi badan yang berada di bawah persentil 3 atau -2 SD pada kurva pertumbuhan yang berlaku pada populasi tersebut. Pertumbuhan normal akan menggambarkan keadaan Kesehatan anak tersebut. Untuk menilai pertumbuhan anak kita harus tahu cara/metode pengukuran tinggi anak secara akurat dan memasukkan ukuran tersebut pada kurva pertumbuhan, sehingga bisa dihindari kesalahan diagnosis karena kesalahan teknik pengukuran dan dapat dinilai tinggi badan anak secara pasti. Walaupun hal ini mudah, akan tetapi sebagian besar klinisi tidak memehami cara pengukuran yang akurat serta kurang memahami penilaian dari plotting hasil pengukuran tersebut. Evaluasi perawakan pendek ini sangat dibutubkan untuk menilai proses pertumbuhan anak dengan menilaipolapertumbuhan, melakukan analisisdan pemeriksaan fisisyangcermat dapat membantu membedakan etiologi perawakan pendek adalah proses patologis atau masih merupakan variasi normal/fisiologis. Akurasi diagnosis memungkinkan dilakukannya terapi dini dan hasil yang maksimal. Tidak semua perawakan pendek memerlukan rujukan, bahkan sebagian besar dapat ditangani oleh dokter spesialis anak umum, jika mengetahui cara pendekatan dan melakukan beberapa pemeriksaan tambahan, Untuk dapat melakukan pemeriksaan, evaluasi dan penatalaksanaan anak dengan perawakan pendek secara terarah, maka perlu juga dipahami proses pertumbuhan normal sejak pranatal sampai dewasa Pertumbuhan dan Gangguan Pertmbuhan 29 Etiologi Perawakan Pendek Berbagai pendekatan etiologi dilakukan oleh para ahli, akan tetapi pada dasamya dapat dibagi menjadi dua yaitu : + Variasi normal + Keadaan patologis Variasi normal Pertumbuhan yang normal menggambarkan kesehatan anak yang baik. Pertumbuhan tinggi badan merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Perawakan pendek yang dikategorikan sebagai variasi normal adalah: * Familial short stature (perawakan pendek familial) * Constitutional delay of growth and puberty (CDGP) Perawakan pendek familial ditandai oleh: + Pertumbuhan yang selalu berada di bawah persentil 3 + Kecepatan pertumbuhan normal + Usia tulang normal + Tinggi badan kedua atau salah satu orang tua yang pendek * Tinggi akhir di bawah persentil 3 Constitutional delay of growth and puberty ditandai oleh + Perlambatan pertumbuhan linear pada 3 tahun pertama kehidupan + Perumbuhan linear normal atau hampir normal pada saat prapubertas dan selalu berada di bawah persentil 3 + Usia tulang terlambat + Maturasi seksual terlambat + Tinggi akhir biasanya normal Anak dengan CDGP amumnya terlihat normal dan disebut sebagai late bloomer. Biasanya terdapat riwayat pubertas terlambat dalam keluarga. Usia tulang terlambat, akan tetapi masih sesuai dengan usia tinggi. Anak dengan perawakan pendek familial selama periode bayi dan prapubertas akan mengalami pertumbuhan yang sama seperti anak dengan CDGP. Anak-anak ini akan tumbuh memotong garis persentil dalam 2 tahun pertama kehidupan dan mencari potensi genetiknya. Pubertas terjadi normal dengan tinggi akhir berada di bawah persentil 3, tetapi masih normal sesuai potensi genetiknya dan paralel dengan tinggi badan orangtua. Kelainan patologis Anak dengan perawakan pendek patologis dapat dibedakan menjadi proporsional dan tidak proporsional. 30 Buku Ajar Endokrinologi Perawakan pendek proporsional meliputi: + Malnutrisi + IUGR + pyschososial dwarfism + Penyakit kronik + Kelainan endokria, seperti: defisiensi hormon pertumbuhan, hipotiroid, sindrom Cushing, serta resistensi hormon pertumbuhan, defisiensi IGF-1, dll. Sedangkan perawakan pendek tidak proporsional disebabkan oleh lelainan tulang seperti kondrodistrofi, displasia tulang, sindrom Kallman, sindrom Marfan, serta sindrom Klinefelter. Pendekatan diagnostik perawakan pendek Pada anak dengan perawakan pendek harus dilakukan pemeriksaan secara baik dan teraral agar tata laksananya optimal. Kriteria awal pemeriksaan anak dengan perawakan pendek adalah: + TB di bawah persentil 3 atau -2 SD + Kecepatan tumbuh di bawah persentil 25 + Perkiraan tinggi badan dewasa di bawah midparental height Di bawah ini terdapat suatu algoritme pendekatan diagnostik anak dengan perawakan _ Perawakan pendek Kecenatan pertumbuhan — Normal Tidak normal ¥. ¥ Variasi normal Patoloais 4 — as es Perawakan Proporsional Tidak) [_Distnorix pendek tamil 2 tahun + Kadar GH <7 ng/ml pada 2 jenis uji provokasi * IGF rendah * Tidak ada kelainan dismorfik tulang atau sindrom tertentu Pengobatan hormon pertumbuhan bisa dimulai segera setelah diyakini tidak terdapat massa intrakranial. Hormon pertumbuhan diberikan secara subkutan dengan dosis 2 TU/ myhati atau 25-50 yg/kg/hari pada usia prapubertas. Pada usia pubertas dosis ini bisa sampai 100 jg/kg/hari. Dosis yang lebih tinggi juga diperlukan untuk sindrom Turner atau perawakan pendek akibat IUGR. Respon pengobatan sangat tergantung pada dosis terapi. 32 Bulas Ajar Endokrinologi Terapi diberikan sebanyak 6 kali per minggu. Pemantauan secara berkala diperlukan untuk melihat respon pengobatan, Evaluasi dilakukan setiap 3 atau 6 bulan. Peningkatan tinggi badan serta peningkatan kecepatan pertumbuhan merupakan indikator evaluasi yang penting, Untuk meningkatkan kepatuhan, penyesuaian dosis, serta keamanan pengobatan diperlukan pemeriksaan IGF-1, IGEBP3 setiap tahun, Penelitian tentang keamanan penggunaan hormon pertumbuhan telah dilakukan oleh Growth Hormone Research Society. Pada umumnya efek samping yang didapatkan minimal dan hanya terjadi pada kurang dari 3% kasus, Efek samping terapi hormon pertumbuhan antara lain hipertensi intrakranial (pseudotumor serebri), edema, slipped capital femoral epiphysis, skoliosis yang makin memburuk, ginekomastia, hiperglikemia, dan keganasan. Terapi hormon pertumbuhan dihentikan bila lempeng epifisis telah menutup atau respon terapi tidak adekuat. Ciri respon terapi yang tidak adekuat adalah bila pertambahan kecepatan pertumbuhan kurang dari 2 cm per tahun. Evaluasi respons terapi GH Untuk melakukan evaluasi terapi GH pada penderita dengan perawakan pendek dipakai beberapa parameter seperti : 1. Pertumbuhan linear Hasil obyektif terapi GH ialah peningkatan kecepatan tumbuh dan tinggi akhir. Pengobatan dianggap memberikan respons baik bila pertumbuhan linear meningkat >2 cm/tahun, 2. Komposisi tubuh Tanner pada penelitiannya memperlihatkan bahwa penderita yang diterapi dengan GH mengalami peningkatan massa otot dan pengurangan jaringan lemak hanya setelah 1 bulan pengobatan. 3. IGF-1, IGE-2 dan IGE-BP Pada penelitian yang dilakukan oleh Hall dan Olin pada penderita defisiensi GH yang mendapat terapi GH, ternyata kadar IGF-1 berkorelasi dengan kadar GH sebelum dan sesudah terapi. Kadar IGF-2 tidak rergantung pada GH, sehingga tidak bisa dipakai dalam evaluasi pengobatan GH. Sedang kadar IGFBP 3 akan berkurang pada defisiensi GH dan meningkat setelah terapi dengan GH. 4, Parameter pertumbuhan biokimia Di samping IGF-I terdapat juga parameter lain uncuk menentukan respons terapi dengan GH. Kadar prokolagen IIT mempunyai korelasi dengan kurva pertumbuhan pada 6-12 bulan pertama terapi 5. Efek metabolik Wright dkk mengemukakan bahwa pemberian terapi GH akan memperbaiki metabolisme tubuh penderica. Perbaikan ini meliputi memperbaili keadaan hipoglikemi dan sensitivitas terhadap insulin. Pertumbuhan dan Gangguan Pertumbuhan 33 SINDROM TURNER Sindrom ‘Turner adalah salah satu kelainan ktomosom yang paling sering terjadi pada manusia, dengan insidens sekitar 1:2000 kelahiran hidup anak wanita, tanpa memandang latar belakang etnisnya. Anak perempuan yang menderita sindrom Turner mengalami kehilangan satu kromosom X, yang menyebabkan perawakan pendek, limfedema, kelainan jancung, disgenesis gonad, wajah dismorfik, dan masalah lainnya. Sekitar 50-60% pasien sindrom Turner dilaporkan memiliki kariotipe 45,X. Anak ini cenderung memiliki fenotip has yang seringkali didiagnosis saat neonatus, Sebanyak 20-30% pasien mengalami kelainan struktur pada kromosom X, seperti cincin, isokromosom pada lengan panjang, dan delesi parsial lengan pendek; dan 30-40% memiliki pola mosaik (kariocipe yang memiliki dua atau lebih tipe sel yang khas) yang melibakan kromosom X, seperti 45,X/46,XX; 45,X/46,X.i(X)s dan 45,X/46,XY. Hal ini diperkirakan akibat kehilangan kromosom setelah fertilisasi. Gambaran Klinis Gambaran klinis sangat bervariasi, tergantung pada usia saat ditegakkan diagnosis. Sebagian besar pasien yang terdiagnosis pada masa pranatal, diagnosis ditegakkan berdasarkan kariotipe yang abnormal dan/atau adanya higroma kistik, hidrops fetalis, atau defek kardiak. Diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan kariotipe. Anak perempuan yang terdiagnosis pada saat masa bayi hampir selalu mengalami limfedema, dengan/atau tanpa webbed neck dan gambaran dismorfik lainnya. Sebaliknya, anak perempuan yang tidak mengalami gambaran klasik seringkali tidak terdiagnosis sampai akhir masa anak atau saat remaja dengan keluhan perawakan pendek dan/atau pubertas terlambat, atau pada masa dewasa ketika mereka mengalami kegagalan ovarium, Gambaran dismorfik Sebagian besar anak sindrom Turner memiliki satu atau lebih gambaran dismorfik akibat limfedema dan/kelainan skeletal. Namun, fenotipnya amat bervariasi, dan beberapa anak kemungkinan tidak memiliki gambaran dismorfik yang menonjol. Lebih dati separuh pasien memiliki palatum letak tinggi dan/atau retrognathia. Telinganya seringkali terletak lebih rendah dan mengalami rotasi posterior dengan bentuk heliks yang jelek. Garis rambut cenderung lebih rendah (low posterior hairline), dan pada sebagian kecil pendetita muncul webbed neck yang menunjukkan kelebihan kulit yang sebelumnya teregang di atas higroma kistik. Kelainan pada mata yang sering dijumpai adalah ptosis, lipatan epikantus, dan fisura palpebra yang mengarah ke bawah. Pada tiga perempat pasien dijumpai displasia kuku. Kukunya cenderung kecil, sempit, dan tertanam pada sudut yang tumpul. Sering juga dijumpai kubitus valgus dan metakarpal ke-4 yang pendek. Sekitar seperempat pasien didapatkan pectus excavatum, dan sebagian kecil mengalami inversi puting susu. Perawakan pendek dan kelainan skeletal Kegagalan pertumbuhan pasien sindrom Tumer disebabkan oleh 1) retardasi_pertumbuhan ringan hingga sedang in utero; 2) pertumbuban lambat selama masa bayi; 3) terlambatnya awitan 34 Bul Ajar Endokrinologi komponen pertumbuhan masa anak; 4) pertumbuhan lambat selama masa anak; dan 5) kegagalan mengalami pacu tumbuh masa pubertal (pubertal goth spurt). Anak perempuan yang menderita sindrom Turner memiliki rata-rata berat lahir -0,5 hingga -1,2 SD di bawah normal. Pasien sindrom Turner cenderung tampak berlemak, karena pendek dan seringkali obes. Dada seperti perisai, jarak antar puting melebar. Tangan dan kakinya juga relatif besar. Kelainan pertumbuhan tulang mengakibatkan berbagai gambaran klinis seperti leher pendek, kubitus valgus, genu valgus, dan metakarpal ke-4 pendek. Leher pendek disebabkan oleh hipoplasia pada satu atau lebih vertebra servikal. Kubitus valgus terjadi pada hampir 50% pasien dan disebabkan oleh kelainan pertumbuhan kaput radii. Sekitar 35-40% pasien memiliki metakarpal ke-4 yang pendek atau borderline dan mungkin memiliki kelengkungan abnormal pada deretan proksimal karpalnya. Metakarpal ke-4 yang pendek menyebabkan saat pergelangan tangan dikepalkan, terbentuk depresi tulang. Skoliosis terjadi pada 12-20% pasien meskipun seringkali idiopatik, sering terjadi pada awal masa anak dan bertambah berat saat pacu tumbuh (growth spurt). Kifosis juga lebih sering ditemukan, Osteoporosis dan fraktur lebih sering terjadi pada sindrom Turner. Sebagian besar pada pemeriksaan radiologi didapatkan osteopenia dengan pola trabekular yang renggang walaupun pada usia prapubertas. Osteopenia predominan pada lokasi trabekular terjadi saat masa remaja menjadi bertambab berat pada masa dewasa. Hal ini bethubungan dengan meningkarnya tumover tulang, Patogenesis demineralisasi ini masih belum diketahui, namun kemungkinan besar disebabkan adanya defek tulang intrinsik yang diperberat oleh pemberian steroid gonadal yang suboptima Diagnosis Sebagian besar anak sindrom Turner yang diagnosisnya terlambat ditegakkan memiliki manifestasi klinis yang ringan. Untuk memfasilicasi diagnosis dini, Savendahl dan Davenport telah mengusulkan pedoman-pedoman spesifik untuk skrining sindrom Tamer pada anak perempuan. Harus dilakukan pemeriksaan kariotipe pada laboratorium yang berpengalaman, dengan minimal 25 sel dalam metafase yang diperiksa menggunakan banding giemsa-tripsin (GTG). Seluruh petanda kromosom harus menjalani evaluasi lanjutan untuk menentukan ada atau tidaknya material Y, Biasanya, Laboratorium melakukan teknik FISH menggunakan probe DNA spesifike untuk kromosom Y. Pemeriksaan kariotipe yang dilakukan lebih dari 10 tahun yang lalu atau jumlah sel yang diperiksa tidak adekuat harus diulang kembali. Terapi Pasien dengan dugaan sindrom Turner sebaiknya dirujuk ke dokter endokrinologi. Limfedema Limfedema biasanya membaik dalam bulan pertama kehidupan. Namun, dapat menjadi berat atau kambuh kembali saat pubertas atau pada saat terapi sulih hormon (hormone replacement therapy). Terapi dekongestif kombinasi (CDT-combined decongestive therapy) Pertumbuhan dan Gangguan Pertumbuhan 35 yang menggunaken drainase limfatik manual, pembalutan, latihan, perawatan kulit, dan garmen pendukung regangan rendah adalah terapi yang efektif dan non invasif. Tabel 3.1. Pedoman Skiring Sindrom Turner a Gambaran dismorfik Dapat ditekomendasikan operasi plastik bagi beberapa individu yang mengalami webbed neck yang parah dan/atau kelainan telinga. Untuk seluruh operasi yang akan dilakukan, kita harus mempertimbangkan risiko terbentuknya keloid. Perawakan pendek dan kelainan skeletal Sasaran terapi hormonal adalah untuk: 1) mencapai tinggi badan normal menurut umur pada masa anak; 2) memasuki pubertas pada usia yang normal; 3) mencapai tinggi badan dewasa yang normal pada usia yang normal pula; dan 4) menghindari efek samping terapi. Waktu dan pemberian terapi hormonal pada sindrom Turner masih terus berkembang sejalan dengan makin bertambahnya pengalaman dalam menggunakan terapi ini. Hormon pertumbuhan merupakan pilihan utama, Dengan persetujuan FDA pada akhir tahun 1996, Amerika Serikat bergabung dengan negara maju lain dalam menggunakan terapi GH sebagai standar, Pemberian terapi GH bersamaan dengan steroid anabolik tampaknya memberikan efek yang menguntungkan. Sedangkan steroid anabolik, termasuk testosteron, oxandrolone, fluoxymesterone, dan nandrolone, bila digunakan sendiri, akan meningkatkan kecepatan penambahan tinggi badan jangka pendek, namun tidak memperbaiki tinggi badan akhir. Disgenesis gonad Idealnya, dosis dan waktu pemberian terapi pengganti estrogen harus menyerupai pola pertumbuhan pubertas normal. Penggantian estrogen diberikan pada awal masa remaja (usia 10-12 tahun) memungkinkan pubertas mulai dan berjalan pada usia yang normal dan memungkinkan pematangan tulang maksimal saat masa remaja. Estrogen juga berperan pada fusi epifisis, sehingga pemberian terapi pengganti estrogen yang terlalu awal dapat menyebabkan berhentinya pertumbuhan skeletal terlalu dini, sehingga akan menurunkan tinggi badan dewasanya, Upaya untuk memaksimalkan pertumbuhan sebelum masa remaja 36 Buku Ajar Endokrinologi merupakan hal yang sangat penting, karena memungkinkan pasien untuk mencapai tinggi badan dewasa yang normal serta memasuki masa pubertas pada usia yang relatif normal. Secara umum, terapi pengganti estrogen tidak boleh dimulai sebelum usia 12 tahun atau ditunda sampai melebihi usia 15 tahun. Sebelum dimulai terapi estrogen, kadar gonadotropin serum harus diperiksa terlebih dahulu untuk menetapkan adanya kegagalan gonad, Pemeriksaan ultrasonografi dapat memberikan informasi tambahan tentang kondisi ovarium dan uterus. Terapi pengganti estrogen harus dimulai dengan dosis yang relatif rendah, biasanya seperenam hingga seperempat dari dosis dewasa. Estrogen terkonjugasi (Premarin) dapat dimulai dengan dosis 0,3 mg/hari, ditingkatkan menjadi 0,625 mg/hari setelah 6-12 bulan. Dengan regimen ini, sebagian besar anak perempuan akan mampu mencapai pertumbuhan payudara setidaknya sampai Tanner 3 dalam waktu 12 bulan; dan bila diperlukan, dosis estrogen dapat ditingkatkan hingga 1,25 mg/hari. Preparat estrogen alternatif antara lain: etinil estradiol oral (50-100 ng/kgBB/hari), 17-beta-estradiol, atau patch estrogen. Keuntungan masing-masing preparat estrogen dibanding preparat lainnya untuk sindrom Turner masih belum dievaluasi. Setelah terapi estrogen selama 1-2 tahun, ditambahkan progestin selama 10-12 hari setiap bulan untuk menginduksi menstruasi dan mengurangi risiko hiperplasia dan/atau karsinoma endometrium. Salah satu regimen yang sering digunakan adalah membatasi terapi pengganti estrogen selama 1-26 hari setiap bulan, dan memberikan medroksi-progesteron-asetat (Provera) 5-10 mg pada hari 17-26. “Terapi estrogen dan progestin jangka panjang yang dimulai pada pertengahan hingga akhir masa remaja dan dilanjutkan sampai masa dewasa diperlukan untuk mencapai massa tulang yang normal. Langkah tambahan untuk mencegah osteoporosis juga harus kita lakukan, antara lain memastikan asupan kalsium yang adekuat (lebih dati 1000 mg kalsium elemental per hari pada usia pra-remaja, dan 1200 - 1500 mg per hari setelah usia 11 tahun), menganjurkan aktivitas fisik untuk mengurangi berat badan, dan menghindari terapi hormon tiroid yang berlebihan. Mengingat gonadoblastoma dapat terjadi sejak awal masa anak, dianjurkan dilakukan gonadektomi profilaksis pada saat ditegakkan diagnosis bila kariotipenya mengandung material kromosom Y atau petanda kromosom yang teridentifikasi sebagai material Y pada pemeriksaan FISH. Pilihan reproduksi pada perempuan sindrom Turner terus berkembang. Pada pasien fertil, walaupun jarang dianjurkan dilakukan amniosentesis pranatal karena tingginya angka kelainan kromosom. Bagi pasien yang steril dapat memilih untuk mengadopsi anak atau dilakukan fertilisasi buatan. Gangguan belajar Anak yang menderita sindrom Turner pada saat diagnosis ditegakkan harus dilakukan evaluasi perkembangan dasar atau setidaknya dalam masa prasekolah, Pelatihan akademik, terapi okupasi, dan melatih strategi untuk memecahkan masalah, dapat membantu pasien sindrom Turner untuk mengatasi tantangan visuospasial dan kognitifnya. Psikoterapi individual mungkin dipertukan untuk mengatasi masalah sosial dan emosional yang biasanya dialami oleh pasien sindrom Turner. Pemberian terapi estrogen yang tepat waktu merupakan hal yang penting, karena terbukti beberapa defisit neurokognitif, seperti memori, waktu Pertumbuhan dan Gangguan Pertumbichan 37 reaksi, dan fungsi motorik, disebabkan defisiensi estrogen, dan setidaknya dapat dipulihkan dengan terapi estrogen. Banyak pasien dan keluarganya yang diuntungkan dengan adanya program kelompok pendukung, seperti yang ditawarkan oleh Tumer Syndrome Society of the United States (TSSUS), yang memiliki situs internet: http:/Avww.turner-syndrome.org. PERAWAKAN TINGGI ‘Anak dengan tinggi badan berada di atas +2 sd atau di atas persentil 97 disebut perawakan tinggi. Terdapat berbagai etiologi, tetapi umumnya anak dengan perawakan tinggi ini normal atau datang dari keluarga dengan perawakan tinggi. Anak-anak ini umumnya menghasilkan hormon pertumbuhan dan IGF yang lebih tinggi. Penyebab lain adalah nutrisi berlebih (overutrition) yang berlanjut menjadi obesitas eksogen. Etiologi perawakan tinggi dapat dilihat pada tabel 3.2. Tabel 3.2. Etiologi perawakan tinggi ‘Nonpatologis Genetik/fa Gigantisme ‘Hipertiroid _Gangguon hhormon seks Pubertas prekoks Hipegonad hipogonadotropik Goreque Hem a exer Cee a) Tumor adrenal Kelainan genetik Gangguan kromosom seks Sindrom Kleinefeter (KXY) Ekstra Y (seperti XYY, XYYY) Sindrom genetik Sindrom Marfan Homosisinuria Sindrom Sotos (gigantisme serebral) Sindrom Weaver Berikut ini adalah algoritme diagnosis pasien dengan perawakan tinggi (Gambar 3.3) Terapi Terapi untuk perawakan tinggi dilakukan pada remaja dengan prediksi tinggi akhir yang berlebihan. Terapi supresi pertumbuhan ini harus dibicarakan dengan anak dan orang tua, baik mengenai cara maupun efek samping yang mungkin timbul. Penting untuk dibicarakan mengenai tinggi badan yang masih bisa ditolerir. Di negara Barat, terapi ini biasanya dilakukan untuk perkiraan tinggi badan >183 cm untuk perempuan dan >200 cm untuk laki-laki, Di Indonesia belum ada kesepakatan untuk batasan tinggi badan yang 38 Buku Ajar Endokrinologi Perawakan Tinggi Kecepatan tumbuh ee rmeningkat y oe + Rentang lengan, tinggi ‘Obesitas. nonendakrin ie oa an = re | [ra] [Borris rang Prediksi tinggi ‘Giganisme cerebral Sindrom Madan akan tt ‘Sindrome Becht Homie [Pertimbanakan teraoi_| | saemann Kelainan romosom sex rome ‘Upadistrof total Insert estrogen Androgen sensiviy syndrone Gambar 3.3. Algoritme diagnosis perawakan tinggi Dikutp dar: Hochberg Z. Tall stalure, Dalam: Practical algorithms in pediatric endocrinology. Eds keds, Haifa, 2008, perlu diberikan terapi supresi pertumbuhan ini. Untuk anak laki-laki digunakan testosteron, sedangkan pada remaja putri digunakan preparat estrogen. Penggunaan preparat estrogen pada remaja putri untuk supresi_pertumbuhan bersifat kontroversial terutama untuk risiko penggunaan jangka panjang. Pengobatan ini menggunakan preparat estrogen 2,5 — 20 mg per hari. Estrogen memacu maturasi tulang, namun penggunaan estrogen secara rasional seharusnya memacu maturasi twlang tanpa mempercepat pertumbuhan sehingga terjadi penutupan lempeng epifisis. Penggunaan estrogen untuk supresi pertumbuhan pada remaja putri dimulai oleh Goldziher pada tahun 1956 dengan reduksi tinggi akhir antara 2,6 — 6,2 cm dari prediksi. Preparat estrogen yang disukai adalah preparat estrogen konjugasi atau etinil estradiol. Terapi dimulai bila usia tulang sudah mencapai 15-16 tahun. Efek samping yang sering timbul adalah penambahan berat badan, sakit kepala, mual, kram kaki, peningkatan pigmentasi areola dan puting susu, serta sekret vagina (keputihan). ‘Terjadinya peningkatan berat badan serta induksi menarke dapat mengakibarkan gangguan emosional. Efek lain yang jarang terjadi adalah trombosis, hipertensi, gangguan fungsi hati, serta gangguan kandung empedu. Pertumbuhan dan Gangguan Pertumbuhan 39 Penggunaan testosteron dosis tinggi digunakan pada remaja laki-laki untuk mensupresi pertumbuhannya. Pengobatan ini akan memacu maturasi tulang sehingga mengurangi tinggi badan akhir. Terapi dengan testosteron ini juga dipakai oleh para atlet untuk meningkatkan performa serta pembentukan tubuh, tetapi risiko fertilitasnya dalam jangka panjang belum diketahui. Daftar bacaan 1. Batubara JRL. Growth diagrams of Indonesia Children [Tesis]. University Press Maastricht. Maastricht, 2006. Burniat W, Cole T], Lissaw I, Poskitt E, Childhood and adolescent obesity. Edisi pertama. United Kingdom: Cambridge University Press,2002. 3. Cole T], Bellizzi MC, Flegal KM, Dietz WH. Establishing a standard definition for child overweight and obesity worldwidk ional survey. BMJ 2000;320:1240-3, 4. Cole TJ, Flegal K, Dietz WH. Detecting obesity based on skinfold thicknesses. Am J Clin Nutr 2005;81:196- Sole T). Assessment of growth. Best Pract Res Clin Endoc Metab 2002;16:383-98. Sole T). The secular trend in human physical growth: a biological view. Econ Hum Biol 2003;1:161-8. de Onis M, Habicht JP Anthropometric reference data for international use: ‘World Health Organization Expert Committee. Am J Clin Nutr 1996;64:650-8. 8. de Onis M, Wijnhoven TM, Onyango AW. Worldwide practices in child growth pemantauan. ] Pediatr 2004;144:461-5. 9. de Onis M. The use of anthropometric in the prevention of childhood overweight and obesity. Int ] Obes Relat Metab Disord 2004;28:S81-5. 10. El-Mansoury, M, Berntomp, K, Bryman, I, dkk. Elevated liver enzymes in Tuner syndrome during a 5-year follow-up study. Clin Endocrinol (Oxf) 2008;68:485. 11. Elsheikh, M, Hodgson, H), Wass, JA, Conway, GS. Hormone replacement cherapy may improve hepatic function in women with Tumer's syndrome. Clin Endocrinol (Oxf) 2001;55:227. te recommendations from a 12, Eveleth PB, Tanner JM. Worldwide variation of human growth. Cambridge University Press. Cambridge 2000.h.186. 13. Floodmark CE, Sveger T, Nillson-Ehle P. Waist measurement correlate to a potentially atherogenic lipoprotein profile in obese 12-14 years old children. Acta Paediatr 1999; 83:941-45. 14. Fredriks AM, van Buuren S, van Heel W, Digkman-Neerincx G, Verloove-Vanhorick B Wit JM. Nation- wide age references for siting height, leg length and sitting height/height ratio and their diagnostic value for disproportionate growth disorders. Arch Dis Child 2005 15, Fredriks AM. Growth Diagrams: fourth Dutch Nation-wide survey[Tesis]. Bohn Stafleu Van Loghum BV. Houten 1997. 16. Freedman DS, Wang J, Maynard LM, Thornton JC, Mei Z, Pierson RN, dkk. Relation of BMI to fat and fat free mass among children and adolescents. Int ] Obes Relat Metab Disord 2005;19:1-8. 17. Gerver WJ, de Bruin R, Drayer NM. A persisting secular trend for body measurements in Dutch children. The Oosterwolde Il Study. Acta Paediatr 199438 18. Gerver W], De Bruin R. Relationship between height, sitting height and subischial leg length in Dutch Children: Presentation of normal values. Acta Paediatr 1995,84:532-35 19. Gerver WJM, De Bruin R. Pediatric Morphometric: a reference manual. Maastricht: University Press Maastricht,2001. 40 Buku Ajar Endokrinologt 20, Gravholt, CH, Fedder, J, Naeraa, RW, Muller, J. Occurrence of gonadvlblastoma in females with Tamer syndrome and Y chromosome material: a population study. J Clin Endocrinol Metab 2000;85:3199. 21, Guo SS, Chumlea WC, Roche AK Siervogel RM. Age and maturity related changes in body coposition during adolescence into adulthood: the Fels longitudinal study. Int] Obes Relat Metab Disord 1997:21:1167 -75. 22, Heitmann BL, Frederiksen P Lissner L. Hip circumference and cardiovascular morbidity and mortality in ‘men and women. Obes Res 2004;12:482-7, 23, Kalberg J. On the construction of che infaney-Childhood-Puberty growth standard. Acta Paed Scan 1989:26-37. 24. Kuh DL, Power C, Rodgers B, Secular trends in social class and sex differences in adult height. Int J Epidemiol 1991;20:1001-9. 25. Maffeis C, Grezzani A, Pietrobelly A, Provera §, Tato L. Does waist circumference predict fat gain in children ? Ine | Obesity 2001;25:978-83. 26, Maffeis C, Pietrobelly A, Grezani A, Provera S, Tato L. Waist circumference and cardiovascular tisk factors in prepubertal children. Obes Res. 2001,9:179-87. 27. Malina RM, Katzmareyk PT. Validity of the body mass index as an indicator of the risk and presence of overweight in adolescents. Am J Clin Nutr 1999; 70:1318-68, 28. Mei Z, GrummerStrawn LM, de Onis M, Yip R. The development of 2 MUAC-for-height reference, including a comparison to other nutritional status screening indicators. Bull World Health Organ 1997;75:333-41 29. Ogden CL, Kucemarski RJ, Flegal KM, Mei Z, Guo S, Wei R, dkk Centers for Disease Control and Prevention 2000 growth charts for the Unised States: improvements to the 1977 National Center for Health Statisties version. Pediatrics 2002;109:45-60. 30. Ross, JL, Kowal, K, Quigley, CA, dkk. The phenotype of short stature homeobox gene (SHOX) deficiency in childhood: contrasting children with Leri-Weill dyschondrosteosis and Turner syndrome. J Pediatr 2005;147:499, 31. Savendahl, L, Davenport, ML. Delayed diagnoses of Turner's syndrome: proposed guidelines for change. J Pediatr 2000;137:455. 32, SeidellJC, Perusse L, Despres JP, Bouchard C, Waist and hip circumferences have independent and opposite effects on cardiovascular disease risk factors: the Quebec Family Study. Am J Clin Nutr 2001;74315-21 33. Tanner JM, Hayashi T, Preece MA, Cameron N. Increase leg length relative to trunk in Japanese children and adule 1957 t0 1977: comparison with British and Japanese Americans. Ann Hum Biol. 1982;9:411- 23. 34. Tanner JM. Foetus into man. Physical growth from conception to maturity. London: Open Book Publishing Led.1978, 35. Tanner JM. Growth as a missar of condition of society. Dalam: Demirjian A, penyunting. Secular trends and class distintions: human growth-a multidiseiplinar review. London: Taylor and Francis,1986. 36. Van der Kooy K, Leenen R, Seidell JC, Deurenberg B Droop A, bakker CJ. Waist-hip ratio is a poor predictor of changes in visceral fat. Am J clin Nutr. 1993;57:327-33. 37. Vanloon H, Saverys V, Vuylsteke JP Vlietink RE Eeckel R. Local versus universal growth standard: the effect of using NCHS as universal reference. Annals of Human Biology 1986;13:347-57 38. Wright CM, Booth WI, Bucker JMH, Cameron N, Cole T}, dkk. Growth reference charts for use in the United Kingdom. Arch Dis Child 2002;86:11 — 14 39. Yun DJ, Yun DK, Chang YY, Lim SW, Lee MK, Kim SY. Correlations among height, leg length and rentang. Jengan in growing Korean children, Ann Hum Biol 1995; 22:443-58. Pertumbudlian dan Gangguan Pertonbuhan 4h BAB 4 DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT Perkembangan normal sistim reproduksi terjadi melalui fase determinasi dan fase diferensiasi. Fase determinasi diartikan sebagai fase penentuan jenis gonad. Fase ini dipengaruhi oleh faktor kromosom dan faktor gonad. Sedangkan fase diferensiasi dipengaruhi oleh faktor hormonal yang akan menyebabkan perkembangan genitalia interna dan genitalia eksterna yang sesuai dengan kromosom seks. Apabila terjadi gangguan pada salah satu fase, sistim reproduksi tidak akan berkembang sempurna yang secara klinis akan dikenal sebagai interseks atau kini dikenal sebagai Disorders of Sex Development (DSD). Definisi DSD adalah “kelainan bawaan pada perkembangan kromosom, gonad maupun anatomis sistem reproduksi yang atipikal”. Gangguan yang termasuk dalam DSD bervariasi dari sekedar mikropenis, undesensus testis sampai complete sex reversal (XX male dan XY female) Insidens DSD diperkirakan antara 1:4500 hingga 1:5500 bayi lahir hidup. Hiperplasia adrenal kongenital (HAK) merupakan penyebab tersering dari genital ambigu maupun DSD yaitu dicemukan 50% pada bayi baru lahir. Mixed Gonadal Dysgenesis (MGD) diperkirakan merupakan penyebab tersering kedua DSD dengan insidens 1:10000. Dengan teknologi terkini hanya 50% kasus 46,XY DSD yang dapat diketahui penyebabnya dan hanya 20% kasus DSD secara keseluruhan yang dapat didiagnosis secara molekuler. Genital ambigus merupakan salah satu gejala klinis yang memberikan indikasi adanya DSD walaupun tidak semua DSD akan bermanifestasi klinis sebagai genital ambigus. Genital ambigus adalah penampilan atau fenotip genitalia eksterna yang tidak khas sehingga ragu untuk menggolongkan sebagai laki-laki atau perempuan. Diperkirakan 1% bayi lahir hidup memperlihatkan berbagai macam variasi maupun derajat genitalia yang ambigus. Insidens DSD pada genital ambigus dapat dilihat pada Gambar 4.1 Manifestasi DSD sebagian besar terjadi pada masa neonatus dan bayi dengan keluhan urama * Genitalia ambigus pada neonatus. Ditemukan pada 46,XX DSD karena HAK (misal defisiensi 21-hidroksilase), Sex chromosome DSD (misal 45,X/46,XY disgenesis gonad parsial dan DSD ovotestiskuler), sindrom insensitivitas androgen parsial (SIAK), defisiensi 5a-Reduktase-2, dan defisiensi 17B-hidroksisteroid dehidrogenase. * Testis tak teraba pada bayi ‘laki-laki’ * Penonjolan di daerah inguinal pada bayi ‘perempuan’ Hipospadia berat Klitoromegali Disorders of Sex Development 43 Manifestasi lambat dapat terjadi setelah masa neonatus baik pada anak maupun remaja dengan keluhan wtama * Virilisasi saat pubertas pada anak ‘perempuan’ + Pubertas terlambat pada anak perempuan + Amenorea primer + Ginckomastia + Infertilitas pada lelaki 46 XX SD Dan lainlain 59.2% woh Ye) Oisgenesis “35x Non Ovotesticulor Gonad Disgenesis Gonad sD 215% 13.6% 57% Gambar 4.1. Insidens DSD pada genital ambigus Klasifikasi dan etiologi Disorders of Sex Development diperkenalkan dalam sebuah pertemuan, yangmenghasilkan Consensus Statement on Intersex Disorders pada tahun 2006 untuk menggantikan terminologi sebelumnya seperti interseks atau hermafrodit. Terminologi lama ini dianggap sering memibingungkan dan seringkali tidak dapat diterima dengan baik oleh pasien dan keluarga. Schubungan dengan itu ada beberapa terminologi lama yang sudah tidak dipakai lagi, dan digantikan dengan istilah baru yang dianggap lebih tidak membingungkan dan dapat diterima oleh pasien dan keluarganya, Istilah-istilah tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1, Terminologi terdahulu dan yang baru sehubungan dengan kasus DSD. Terminologi baru DSD ‘Male pseudohermaphrodite, undervirilized male, atau: AGXY DSD. undermasculinization of XY male Female pseudehermaphrodite, overvirilization of XX female atau 46 XX DSD masculinizaion of X female True heemephrodite DSD Ovolestikuler XX male alau XX sex reversal 46 XXDSD testskuler ¢sal atau XY female A6,XY complete gonadal dysgenesis Dikutip dori: Consensus Statement on Inlersex Disorders Pediovies 2006 44 Buku Ajar Endokerinologi Etiologi DSD sangat luas. Nomenklatur DSD membagi etiologi ini di dalam 46,XX DSD, 46,XY DSD, DSD kromosom seks, DSD ovotestikules, dan 46,XX DSD testikuler. Dalam setiap kategori diusahakan diagnosis yang spesifik (Tabel 4.2) walaupun hal ini sukar dipenuhi pada 46,XY DSD. Pada dasarnya DSD dapat dibagi menjadi kelompok disgenesis gonad, kelompok individu 46,XY yang mengalami underviriisation (virilisasi yang tidak sempurna), dan kelompok individu 46,XX yang mengalami viriisasi pranatal dan pasca natal. Tabel 4.2. Klasifikasi DSD ‘Sex chromosome DSD A6XY DSD 4B XXDSD {DSD kromosom seks) 2 ‘Ads MiGncrom ume pur —> Genital _,, “stratum Gonad Duktus | sprostat bipotensial wali [Fee ioc] “uterus " o} Duktus _— “Vagina proksimal wo ovum “kits -—_ ae — Determinast Dierensast Gambar 4.3. Skema peran hormon pada perkembangan normal si Genitalia Intema n) Gonad J Duiktus Wott Tuba Fallopi > varium Gambar 3.4.Diferensiasi genitalia interna Disorders of Sex Development 51 Genitalia eksterna Sebelum terjadi diferensiasi genitalia eksterna maka baik janin laki-laki maupun perempuan memiliki struktur embrional genitalia eksterna bipotensial yaitu sinus urogenitalis, genital tubercle, genital fold, dan genital swelling (Gambar 4.5). Ada tidaknya dehidrotestsosteron (DHT) mempengaruhi berkembangnya struktur embrional tersebut. Hormon DHT merupakan hasil reaksi enzim 5-alfa reduktase pada testosteron Tabel 4.4, Perkembangan struktur embrional genitalia eksterna Siruktur embrional doh Perempuan Sinus urogenitiais Prostat® Vagina 2/3 bawah Genital wberce Penis Kitoris Genital folds : Urethra dan phallus* Labia minor “Genital swelling Skrotumt labia mayor “dipengoruhi oleh testosteron Antaraminggu 9 hingga 12 masa gestasi, genitalia eksterna janin lelakiakan mengalami virilisasi melalui DHT. Hormon DHT akan menycbabken fusi lipatan labioskrotal sehingga terbentuk skrotum. Hormon DHT akan menyempurnakan bentuk anatomi genitalia eksterna antara minggu 12 ~ 14 masa gestasi. Apabila lipatan labioskrotal tidak mengalami tusi pada akhir minggt ke-12, maka testosteron akan retap menyebabkan pertumbuhan phallus tanpa menyempurnakan fusi yang gagal tersebut. Pada trimester kehamilan testis akan desensus ke skrotum. Genitalia Eksterna Tibet Canto ys — Gombar 4.5. Diferensiasi genitalia eksterna 52 Buku Ajar Endokerinologt Perkembangan penis Perkembangan penis terjadi dalam fase intrauterin dan ekstrauterin dan dipengaruhi oleh testosteron. Pada fase intrauterin terjadi fase pembentukan (formative phase) dan fase pertumbuhan (linear growth phase). Fase pembentukan terjadi pada trimester pertama kehamilan (antara 8 sampai 14 minggu). Linear growth phase terjadi pada trimester kedua dan ketiga kehamilan dan berlanjut sampai usia pubertas. Pada keadaan normal panjang penis pada akhir trimester pertama adalah 3.5 mm, identik panjangnya dengan klitoris. Gangguan hormonal pada fase pembentukan akan mengakibatkan ukuran penis yang kecil, dengan hipospadia serta chordee. Dalam keadaan normal pada fase kedua intrauterin panjang penis bertambah panjang 10 kali lipat sehingga pada saat lahir panjangnya adalah 35mm. Pertumbuhan penis pasca natal penis tidak secepat pertumbuhan intrauterin, Kecepatan pertumbuhan penis sangat rendah antara usia 4 sampai 6 tahun, untuk kemudian secara perlahan akan meningkat dan mengalami percepatan tumbuh kedua pada masa pubertas. Pertumbuhan penis akan berhenti pada akhir masa pubertas. Garis besar kategori diagnosis DSD Secara umum DSD dengan klinis genitalia ambigus dapat dikategorikan sebagai berikut: 46,XX DSD (Bayi atau anak XX yang mengalami virilisasi) Sebagian besar kasus kategori ini ditandai dengan adanya gonad berupa ovarium disertai genitalia interna perempuan. Genitalia eksterna mengalami maskulinisasi karena pengaruh androgen. Sumber androgen intrauterin dapat berasal dari janin, ibu atau dari plasenta. Pengaruh ini bervariasi dati klitoromegali ringan sampai dengan fusi sempurna labia dengan bergesernya sinus urogenitalis sebagai lubang uretra ke arah ujung distal dari phallus yang membesar. Bila pajanan androgen tersebut terjadi di akhit masa embriologé akan didapatkan Klitoromegali tanpa fusi labia, Gonad pada kelompok ini titak akan teraba. Penyebab tersering virlisasi pada bayi atau anak XX adalah hiperplasia adrenal kongenital (HAK). Keadaan yang diturunkan secara autosomal resesif ini disebabkan oleh defek enzim pada salah satu dari proses steroidogenesis adrenal, yang mengakibatkan akumulasi steroid proksimal dari defek enzim. Defek enzim tersering adalah defisiensi 21- hidoksilase, ditkuti defisiensi 11-beta hidroksilase, dan 3-beta hidreksiteroid dehidrogenase (3-beta HSD). Akumulasi steroid pada defisiensi 21 hidroksilase pada akhivnya dikonversi menjadi androgen yang mengakibatkan terjadinya virilisasi Penyebab lain yang mungkin adalah pajanan terhadap androgen eksogen, misalnya dari konsumsi androgen atau progestin ibu atau tumor ibu yang menghasilkan androgen (arang). Sumber androgen intrauterin lainnya adalah akibat defisiensi enzim aromatase plasenta (CYP19). Encim aromatase bertugas untuk mengubah testosteron menjadi estradiol Disorders of Sex Development 53 pada unit fetoplasenta, sehingga defisiensi enzim ini akan meningkatkan kadar testosteron. pada plasenta dan janin. Secara klinis timbul virilisasi baik pada janin maupun ibu. 46,XY DSD (bayi atau anak XY yang mengalami undervirilisation) a. Penyebab tersering kategori ini adalah sindrom insensitivitas androgen (SIA atau Androgen Insensitivity Syndrome), yang dahulu dikenal dengan sindrom feminisasi testikular. Insidens antara 1:20000 hingga 1:64000. Keadaan yang diturunkan secara resesif X-linked ini, disebabkan oleh resistensi perifer (sel target) terhadap kerja androgen akibat mutasi gen reseptor androgen. Berat ringannya defek pada reseptor androgen menyebabkan ada SIA komplit (Complete Androgen Insentivity Syndrome/ CAIS/SIAK) dan parsial (Partial Androgen Insentivity Syndrome/SIAP). Pada SIAK fenotip adalah perempuan sempurna sedangkan pada SIAP terjadi genital ambigus yang bervariasi. Sebagian besar penderita SIAK akan terdiagnosis pada masa pubertas atau setelahnya karena keluhan amenore. Sebagian kecil SIAK terdiagnosis pada sia prapubertas-karena adanya hernia inguinalis atau femoralis. SAK merupakan salah satu DSD yang tidak memperlihatkan genitalia yang ambigus. Pada SIA kadar testosteron normal atau meningkat dengan genitalia interna tetap laki-laki, Tidak adanya perubahan pada genitalia interna disebabkan hormon AMH tetap disekeesi oleh testis schingga duktus Wolffi tetap berkembang dan duktus Mulleri mengalami regresi. Karena diturunkan secara Xlinked maka riwayat keluarga sangat penting. Kecurigaan adanya SIAK secara klinis adalah tidak adanya organ Mutleri, kadar serum testosteron normal untuk usia pada perempuan pada kariotipe 46,XY. Rasio testosteron terhadap androstenedion yang normal setelah uji hCG meningkatkan probabilitas SIAK. Biopsi testis yang memperlihatkan jaringan normal sudah cukup memadai untuk menegakkan diagnosis SIAK. Apabila sudah ditegakkan SIAK melalui pemeriksaan klinis, hormonal dan histologi, pemeriksaan molekuler akan menyokong diagnosisnya. Hampir 86% dari pendeita SIAK yang sudah tegak diagnosis klinisnya memperlihatkan mutasi pada reseptor androgen. Ini sangat berbeda dengan SIAP parsial yang hanya ditemukan sebesar 28%. Dengan menggunakan kriteria adanya riwayat keluarga yang serupa, mutasi reseptor androgen ditemukan pada 100% kasus SIAK dan 73% pada kasus SIAP b. Defisiensi 5 alfa reduktase merupakan penyebab lain kategori ini, yang diturunkan secara autosomal resesif, Defek enzim tersebut mengakibatkan gangguan konversi testosteron menjadi DHT. Kekurangan DHT akan menyebabkan virilisasi genitalia eksterna tidak sempurna. Yang menarik dari defek enim ini adalab secara klinis akan lebih dominan kearah perempuan walaupun genitalnya ambigus pada masa prapubertas, namun akan mengalami virilisasi hebat pada masa remaja yang diperkirakan akibat reaktivasi isoencim yang tidak bekerja pada masa intruterin, Akibat perubahan ini penderita akan mengubah identitas gender menjadi laki-laki. Bayi atau anak yang termasuk dalam kategori ini mempunyai phallus kecil, dengan korda, hipospadia posterior, skrotum bifidum yang terbentuk tidak sempurna dengan ou tanpa kriptorkismus. Produksi testosteron yang inadekuat, sebagai akibat disgenesis testis atau defek enzim, jarang ditemukan. Kelainan pada biosintesis testosteron dapat 54 Buku Ajar Endokrinologt terjadi akibat adanya mutasi pada setiap enzim yang terlibat (P450scc, P450c17, 3beta- HSD2, 1 7beta-BHSD, So-reduktase, POR). Penampilan genitalia eksterna pada defek enzim tersebut bervariasi dari perempuan sempurna hingga genital ambigus. 46,XX DSD testikuler dan DSD ovotestikuler Insidens DSD testikular diperkirakan 1:20000 hingga 25000 bayi baru lahir lelaki Manifestasi klinis XX male dapat dikategorikan sebagai DSD testiskuler dengan fenotip lelaki normal (klasik), DSD testiskuler dengan genital ambigus dan DSD ovotestiskuler. Berdasarkan adanya tidaknya unsut SRY maka diklasifikasikan sebagai DSD testikuler Y (+) yang meliputi hampir 80-90% kasus dan DSD testiskuler Y(-). Sebagian besar yang Y(+) mempunyai genitalia eksterna normal dan steril sedangkan pada Y (-) genitalia tampak ambigus pada sebagian besar kasus dan infertil. Penelitiar. aspek molekuler pada kasus- kasus DSD testikuler ini memperlihatkan bahwa pada 80% kasus terjadi akibat translokasi Y-X. Kecenderungan untuk menginaktifkan kromosom X yang mengandung Ydiperkirakan merupakan mekanisme utama terjadinya DSD testiskuler. Sumber dari fenotip lelaki pada DSD testiskuler ini diperkirakan berasal dari (1) translokasi sekuens Y termasuk gen SRY ke kromosom X atau autosom; (2) mutasi yang belum diketahui pada gen Xlinked atau autosom yang terlibat pada jalur pembentukan testis; (3) mosaicism kromosom Y yang kriptik. Sebagain besar kasus akan mengalami kegagalan untuk menjalani fase pubertas dengan rambut dada maupun aksila yang jarang disertai distribusi rambut pubis seperti perempuan. Ginekomastia ditemukan pada sepertiga kasus dan gangguan spermatogenesis ditemukan pada semua kasus. Genitalia eksterna tidak berkembang sempurna yang disertai testis yang kecil (mikrotestis) adalah ciri utama. Pada hampir 15% kasus ditemukan hipospadia, kriptorkismus atau genital ambigus yang berat. Tata laksana kasus seperti ini meliputi terapi substitusi androgen, konsultasi psikologis untuk memantapkan identitas gender, dan rekonstruksi genitalia eksterna bila ditemukan genital ambigus. Gonad pada bayi atau anak dengan 46,XX DSD testikuler adalah testis. Penyebab keadaan ini adalah adanya translokasi gen SRY pada kromosom X atau autosom (80% kasus). Etiologi lainnya yang dipikirkan adalah adanya mutasi gen DAX1 atau duplikasi gen SOX9 DSD ovotestikuler dahulu disebut true hermaphrodite. Pada keadaan ini jaringan testis dan ovarium normal kedua-duanya ditemukan tanpa memandang kariotipenya. Gonad biasanya berupa ovarium-testis atau ovarium-ovotestis. Genotip rersering adalah 46,XX, walaupun dapat pula ditemukan 46,XY atau mosaik. Kariotipe yang paling sering dilaporkan pada DSD ovotestikuler adalah 46XX, 46XY, 46XX/46XY, 45X/46XY . Gonad, genitalia interna dan eksterna didapatkan asimetri. Sisi kanan lebih sering yang mengalami ‘maskulinisasi’, sedangkan sisi kiri yang mengalami ‘feminisasi. Sisi mana yang mengalami virilisasi atau feminisas bergantung gonad yang dominan ada sisi ipsilateral. Fenotip dari DSD ovotestikuler sangat bervariasi dari perempuan hingga laki-laki normal bergantung dari fungsi sel Leydig. Namun sebagian besar kasus DSD ovotestikuler memperlihatkan adanya virilisasi. Keunikan DSD ovotestikuler adalah adanya perbedaan prevalensi dari berbagai wilayah dunia, saat pertama kali terdiagnosis dan kariotipenya. Disorders of Sex Development a a Afrika Selatan merupakan negara yang cukup sering ditemukan kasus DSD, sedangkan di belahan dunia lainnya termasuk jarang. Kariotipe 46,XY di Jepang paling dominan, berbeda dengan di Afrika (46,XX) dan di Eropa maupun Amerika (mosaicism 46XX/46XY dan 4TXXX/46XY). DSD ovorestikuler dengan mosaicism 46XX/46XY seringkali terdiagnosis pada amniocentesis namun pasca natal kasus-kasus ini ternyata mempunyai fenotip laki- Jaki normal. Hal ini disebabkan adanya kontaminasi sel-sel maternal. Ada tidaknya jaringan yang berasal dari duktus Mulleri bergantung dari kemampuan sel Sertoli memproduksi AMH, Ovarium akan berkembang normal sedangkan jaringan testis akan mengalami fibrosis yang progresif disertai spermatogenesis yang rendah. Jaringan testis dapat berfungsi normal pada awal kehidupan dan dengan bertambahnya usia, proses fibrosis yang progresif menyebabkan sekresi testsoteron akan semakin terganggu. Genitalia interna akan mengikuti gonad ipsilateral. Risiko menderita gonadoblastoma atau disgerminoma meningkat apabila tidak dilakukan tindakan sedini muingkin. Diagnosis DSD ovotestikuler dilakukan dengan pemeriksaan kromosom, pencitraan dan hormonal. Pemeriksaan USG dapat memperlihatkan uterus dan vagina; genitogram akan memperjelas gambaran vagina,serviks, uterus dan tuba falopi. Uji HCG dilakukan untuk menilai fungsi testis. Pemeriksaan histologi jaringan gonad dapat dilakukan dengan melakukan biopsi gonad. Tata laksana adalah dengan menyingkirkan gonad yang bermasalah, rekonstruksi genital yang sepadan dengan gender yang dipilih dan substitusi hormonal sefak usia pubertas. Fungsi sel Leydig lebih banyak menentukan penentuan gender pada DSD ovotestikuler. Individu dengan DSD ovotestikuler dengan virilisasi hebat biasanya dibesarkan sebagai laki- Iaki setelah dilakukan oophorektomi. Apabila virilisasi ringan dan invidu DSD ovotestikuler memiliki uterus dan ovarium dianjurkan untuk dibesarkan sebagai perempuan. Fertilitas pada DSD ovotestikuler bisa tercapai karena dapat disertai kelainan genitalia interna maupun ekstema yang normal. DSD kromosom seks Penyebab tersering kategori ini adalah mixed gonadal dysgenesis dengan gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah testis di satu sisi (lebih sering kanan) dan streak gonad di sisi lainnya. Testis dapat mengalami disgenesis atau awalnya normal, secara histologis pada streak gonad terdiri dari stroma ovarium tanpa oosit. Kariotipe tersering adalah 45,XO/46,XY, tapi dapat pula didapatkan hasil kariotipe dengan pola mosaik yang lain. Seperti pada keadaan DSD testikuler/ ovotestikuler pada kategori ini ditemukan pula gambaran asimetti, Pada individu 46,XY berat ringannyanya displasia testis menentukan gejala klinis undervirilisation yang beragam. Testis yang disgenetik walaupun masih dapat mensekresikan testosteron, produksi AMH biasanya rendah atau nihil, sehingga organ-organ derivat duktus Mulleri seringkali ditemukan Pada masa neonatus, merupakan penyebab tersering kedua genital ambigus. Sebagian besar kasus mempunyai fenotip genitalia interna testis atau ovotestis unilateral disertai gonad pita (streak gonad) kontralateral, struktur duktur Mulleri yang persisten pada sisi homolateral dengan gonad yang disgenetik, dan berbagai tingkat mndervirlisation pada genitalia cksterna. Pada kariotipe 46XY/45X sebagian besar memiliki genitalia eksterna 56 Buku Ajar Endokrinologi laki-laki, hanya sebagian kecil yang ambigus. Tata laksana kasus disgenesis gonad parsial adalah skrining tumor Wilm, penetapan gender, gonadcktomi yang relevan, dan rekonstruksi genitalia. Hampir dua pertiga kasus disgenesis gonad dibesarkan sebagai wanita. Pada kasus yang tervirilisasi hebat pemilihan gender laki-laki harus disertai dengan preservasi testis dan pemeriksaan regular untuk deteksi dini keganasan. Disgenesis Gonad Disgenesis gonad dapat bersifat total/komplit dan parsial/mixed. Dikatakan total apabila kedua gonad adalah streak gonad (gonad pita). Sedangkan disgenesis gonad dikatakan parsial apabila ditemukan gonad (testis atau ovotestis) pada satu sisi disertai gonad pita pada sisi kontralateral.Secara klinis individu dengan disgensis gonad akan meraperlihatkan gejala hipogonadism. Apabila ditemukan organ pelvis (uterus dan vagina atas) yang disertai kadar serum FSH meningkat pada kariotipe 46,XY diagnosis kerjanya adalah 46,XY DSD Disgenesis gonad dapat bermanifestasi tersendiri atau merupakan bagian dari suacu sindrom. Sindrom Frasier ditandai dengan gonad pita bilateral disertai dengan sindrom nefrotik. Mutasi dan delesi gen SRY ditemukan pada 20% kasus XY disgenesis gonad. Mekanisme molekular lainnya pada XY disgenesis gonad adalah kelainan pada gen SOX9, DAX1,SF1,WT1 dan ATRX. Masalah yang perlu mendapat perhatian pada disgenesis gonad adalah ada tidaknya kromosom Y atau cukup unsurY. Adanya unsur Y dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk menderita gonadoblastoma dikemudian hari. Insidens karsinoma gonad pada gonad yang disgenetik ini dilaporkan sebesar 15-20%. Ini berarti setiap testis yang disgenetik harus dibuang atau paling tidak skrining adanya (carsinoma in sitw (CIS). Apabila hasil biopsi testis memperlihatkan adanya CIS maka segera dilakukan pengangkatan, apabila tidak ditemukan CIS maka biopsi dilakukan pasca pubertas. DSD Complete Gonad Dysgenesis (Disgenesis Gonad Total) Disgenesis gonad total jarang ditemukan pada masa neonatus karen fenotipnya adalah perempuan tanpa ambigus. Pada kasus dengan kariotipe 46,XY (sindrom Swyer) terjadi sex reversal sehingga fenotipnya adalah perempuan.Klinis terlihat sebagai perempuan dengan tinggi badan normal, pubertas terlambat, amenore primer, sexual infantilism (tidak ada perkembangan tanda-tanda seks sekunder, hipoplasia uterus) dan gonad pita bilateral. Sebagian besar kasus DSD ini dibesarkan sebagai perempuan. Pada individu 46,XY gonadektomi harus dilakukan, reduksi klitoris, dan vaginoplasti. Terapi substitusi hormonal dilakukan saat masa pubertas. Apabila diagnosis terlambat dan sudah terlanjur dibesarkan sebagai laki-laki dan tetap ingin dibesarkan sebagai laki-laki, maka koreksi hipospadia, pengangkatan organ-organ duktus Mulleri dan gonadektomi harus dilakukan, Pada kasus demikian terapi androgen perlu diberikan pada usia pubertas Perlu dicatat bahwa tidak semua kasus DSD bermanifestasi klinis sebagai genitalia ambigus. Keadaan ini meliputi kasus sex reversal, yaitu bila fenotip bertolak belakang dari Disorders of Sex Developmen: 57 apa yang diharapkan dari genotipnya. Sebagai contoh kasus DSD tanpa genitalia ambigus adalah defek enzim komplit pada proses biosintesis testosteron (misalnya 17,20-liase dan 17 alfa-hidroksilase, 17-beta hidroksisteroid dehidrogenase), disgenesis gonad komplit, dan SIA komplit. DSD kromosom seks yang disebabkan oleh Sindrom Turner (kariotipe 45,XQ) dan Sindrom Kleinefelter (kariotipe 47,XXY) juga tidak bermanifestasi klinis genitalia ambigus. Sindrom Turner secara khas mempunyai gambaran klinis anak perempuan, perawakan pendek, dismorfik, dan kegagalan gonad, yang bermanifestasi kemudian dengan pubertas terlambat. Persistent Mullerian duct syndrome (PMDS) merupakan kasus DSD yang jarang dijumpai. Pada keadaan ini fenotip dan genotip adalah laki-laki, tapi bersamaan dengan itu ditemukan pula struktur Mullerian, Testis biasanya tidak turun, sedangkan uterus dan tuba biasanya prolaps ke dalam hernia ingunalis, Kondisi ini biasanya ditemukan secara kebetulan saat orkidopeksi atau koreksi hernia. Sindrom ini disebabkan oleh gangguan sintesis atau efek kerja perifer MIS. Disorders of sex development dapat luput dari diagnosis, bila keadaan ‘hipospadia’ tidak dievaluasi dengan baik. Pada hipospadia biasanya diasumsikan terjadi pada anak lelaki, tetapi hal ini sebaiknya tidak dianggap seperti itu tanpa pemeriksaan lebih lanjut, kecuali kedua testis turun dan berada di dalam skrotum yang berfusi. Tabel 4.5. Pengaruh hormonal pada DSD Kromosom ae 48 XY. Persistent Mullerian Duct Syndrome 46,XY ‘Gangguan perkembangan genitalia eksterna dan interna Genital ambigus: defisiensi Sbeta-HSD, POR, hipoplasia atay aplasia sel Leydig Sex reversal: Defisiensi enzim 17bela:HSD, 17/20 lyase StAR Produk tetosteron rendah 'Produksitestosteron normal, Reseptor ‘androgen abnormal Produksi testosteron normal, produksi DHT tendah 58 Sex reversal: sindrom insensiivitas androgen komplit, ‘Genital ambigus: Partial Androgen Insentivty Syndrome Genital ambigus: sindram insensitivitas androgen’ parsial Hiperplasia Adrencl Kongenital pada Defisiensi 21 Hidroksilase Defisiensi 3 beta dehidregenase Defisiensi 11 hickosilakse POR Fetoplacenta: defisiensi aromatase, POR Maternal: lvteoma kehamilan, androgen eksogen / Evipregestagent a Bula Ajar Endokerinolog! Aspek molekuler DSD Keterlibatan bermacam-macam gen sudah berhasil diungkapkan, namun keutuhan proses perkembangan sistim reproduksi masih belum lengkap. Sebagian dari gen yang telah berhasil diungkapkan seperti yang terlihat pada gambar 4.6. baru berhasil dibuktikan pengaruhnya pada tikus namun gen yang homolog pada manusia masih belum dapat dibuktikan memberikan manifestasi klinis yang serupa, Misalnya gangguan pada gen Liml dan Emx2 di tikus mengakibatkan kegagalan pembentukan urogenital ridge namun samapi saat ini tidak pernah ditemukan pada manusia. Kemudian mutasi pada gen WTI dan Sl mengakibatkan sex reversal baik pada manusia dan tikus. Perkembangan yang menarik adalah dengan keberhasilan menemukan gen RSPOL dan FOXL2 yang mulai menggeser teori bahwa template dari pembentukan sistim reproduksi adalah ada tidaknya testis, sehingga sistim reproduksi pada perempuan terjadi secara pasif. Keberadaan gen DAX1, WNT-4 yang ditemukan terlebih dahulu dan ditemukannya gen RSPOI dan FOXL2 telah memperkuat hipotesis bahwa sistim reproduksi perempuan juga ada ovarium determining gene. Urogenital i Gonad | bipotensial | Lo. 4EXX T gexy | | \ Podt ————47 SelSertoll | | SelLeydig | | Tan AMHMISRH | Testosterone | [Males | etarin lelaki Testikular | Gambar 4.6. Rangkuman gen-gen yang berperan dalam perkembangan sistem reproduksi janin. Defek pada ger-gen yang tertulis dalam huruf kecil menyebabkan sex reversal hanya pada tikus. Dikutip dori Consequences of the ESPE/LWPES guidelines for diagnosis and treatment of disorders of sex development. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab 2007. Disorders of Sex Development 59 Pendekatan diagnostik Penentuan jenis kelamin pada bayi yang lahir dengan ambigus sebaiknya tidak segera dilakukan hingga pemeriksaan telah lengkap. Keinginan orang tua harus menjadi pertimbangan penting ketika melakukan langkah-langkah diagnostik. Tidak ada algoritma yang dapat memuaskan dalam tata laksana alur diagnostik DSD, namun salah satu yang dapat membantu terlihat pada Gambar 4.7. Anamnesis Riwayat serupa dalam keluarga akan sangat membantu karena beberapa kelainan DSD diturunkan secara Mendellian seperti sindrom insensitivitas androgen (X-linked), Defisiensi 5 alfa-reduktase (autosomal resesif), hiperplasia adrenal kongenital (autosomal resesif) dan gangguan biosintesis testosteron (autosomal resesif). Riwayat kematian neonatal dini yang tidak jelas akibat muntah-muntah baik dengan atau tanpa genital ambigus merupakan petunjuk yang mengarah ke hiperplasia adrenal kongenital. Demikian pula riwayat terjadinya virilisasi pada usia pubertas mengarah kepada defisiensi 5-alfa reduktase atau defisiensi 17 beta dehidrogenase. Riwayat infertilitas dalam keluarga juga memberi petunjuk kemungkinan adanya DSD seperti pada Sindrom Insensitivitas Androgen Komplit. Riwayat kehamilan dapat memberikan petunjuk penting seperti paparan terhadap androgen, obat-obatan tertentu dan virilisasi ibu selama kehamilan (defisiensi aromatase) Pemeriksaan Fisis Keadaan umum Keadaan umum penderita seperti gagal tumbuh (HAK, sindrom Tamer), retardasi mental, mikrosefal perlu diteliti pada penderita DSD. Hipertensi ditemukan pada DSD karena defisiensi 11 beta hidroksilase. Hiperpigmentasi juga merupakan gejala HAK. Penampilan fisik yang dismorfik dengan genital ambigus cukup sering ditemukan seperti Sindrom Smith-Lemli-Opitz, kondrodisplasia punctata, ekstrofi kloaka dan lain- lain. sindrom Tumer dengan stigmata perawakan pendek, low posterior hariline, web neck, limfedema sudah sangat dikenal sebagai salah satu DSD yang khas. 60 Buku Ajar Endokrinologi Sema -Porcrangeneta iene -Uscderpa nga seaiogan sexist “MO Crane supssion Keita XX [—eerotpexy ‘Kwiotpe Onin XY ped “Sh Tune ain ‘Sedona “Mees Gonnil Organs “Sacto Sepa Dagersgeradort “Deb esther oer Song) Gambar 4,7. Alur diagnostik DSD Tabel 4.6. Sindrom genetik dengan genital ambigus Sindrom Gejala Klinis Z Genetic Aniley-Bixler Kelainan skeletal kepala dan ekstremitas, defek —-7q11.2, mutasi gen POR steroidogenesis f Campomelic dysplasia Bowing dari tulang panjang kongenital disertai skin 17424, haploinsufisiensi SOX9 dimpling, 46,XY. sex reversal, disgensis gonad ‘Smith-Lemli-Opitz Sindakeilijari kali 283, polidalalt postaxial, 11g12, autosomal recessive, gen retardasi pertumbuhan, dapat sex reversal, sterol delta-7-reduktase (DHCR7) hipospadia, mikrosofal, retordast mental, folosensifiias, palatoshizis Robinow Perawakan pendek, kelainan orodental, anomali 9422, autosomal recessive, gen jiga dan vertebra, mesomelia, hipoplasia genital, ROR2 kriptorkismus Meckel-Gruber inal polis, kelainan dukus biliors inthepatik, 1742-23 potidaktli, ensefolokel Alpha thalassemia mental Gagal tumbuh, kriptorkismus, shaw scrotum, Xq13, gen ATRX, Xlinked retardation, X-linked mikropenis, agenesis renal, kelainan skeletal, HH, retardsi mentch Disorders of Sex Development 61 Pada DSD penampilan genitalia eksterna tidak selamanya memberikan gambaran yang patognomonik untuk kelainan tertentu. Genital ambigus tidak selalu merupakan penampilan klinis pada DSD seperti pada sindrom Swyer, sindrom insensitivitas androgen,, Persistent Mullerian Duct Syndrome, XX male, XY female, defisiensi 17/20 lyase pada HAK, defisiensi Star pada HAK, hipoplasia sel Leydig, dll. Genitalia Eksterna Gonad Pemeriksaan gonad merupakan langkah strategis dalam diagnostik DSD. Kaefer dkk meneliti insiden DSD pada penderita kriptorkidism dengan hipospadia tanpa genitalia ambigus. Pada penderita kriptorkismus unilateral, insidens DSD sebesar 30% dengan rincian pada kelompok gonad palpabel ditemukan DSD sebesar 15% dan pada kelompok gonad tidak palpabel insidens DS adalah 50%. Gonad yang teraba menandakan adanya gen SRY, perkembangan testis dan regresi Mullerian pada sisi ipsilateral. Derajat penurunan testis berhubungan dengan derajat pajanan androgen pada 4 bulan terakhir kehamilan. Tiga keadaan klinis yang mungkin ditemukan, yaitu: 1) Kedua gonad teraba dan simetris Gonad yang teraba hampir selalu adalah testis dan arti klinisnya secara umum adalah bayi tersebut kemungkinan besar adalah lelaki yang tidak mengalami virilisasi adekuat dan struktur Mulleriannya mengalami regresi atau tidak ada. Diagnosis bandingnya meliputi: * Produksi testosteron inadekuat * Defisiensi atau defek reseptor androgen * Defisiensi 5-a-reduktase * Displasia testikuler minimal DSD ovotestikuler merupakan pengecualian. Pada kondisi ini ditemukan ovotestis bilateral yang simetris. 2) Asimetri gonad dengan hanya teraba 1 gonad. Ini menandakan bahwa paling tidak ada 1 testis. Yang satunya mungkin ovarium, ovotestis, atau streak gonad. Bila ditemukan asimetri gonad perlu dipikirkan: + DSD ovotestikuler (ue hermaphrodite) * Mixed gonadal dysgenesis 3) Tak teraba gonad. Pada keadaan ini kondisi gonad dan duktus tak diketahui. Petunjuk tambahan mungkin dapat dengan melakukan pemeriksaan lebih teliti untuk mengetahui apakah cincin luar inguinal terbuka atau tidak. Bila terbuka menandakan kemungkinan testis yang tidak turun, sedangkan bila tertutup dapat dihubungkan dengan adanya ovarium atau testis yang sangat displastik dengan produksi testosteron yang sangat minimal. Pemeriksaan rektal dengan menggunakan jari kelingking akan dengan mudah meraba serviks dan mengkonfirmasi adanya uterus. 62 Bula Ajar Endokeinologi Tobel 4.7. Makna pemeriksaan gonad pada genital ambigus Gonad Kenan Gonad Kiri Kesimpulan palpebel + + 46XY DSD ‘Non palpabel + : ‘46 XY DSD {osimeteris/unilaterl) = + +46, XY DSD disgenesis gonad ‘Ovotestikuler DSD. Nonpalpabel 5 - 46XX DSD 46 XY disgenesis gonad D. Phallus Pada bayi baru lahir lelaki panjang penis normal adalah 3,5 + 0,7 cm. Panjang phallus < 2,0 cm pada bayi baru lahir dianggap sebagai mikropenis. Pada bayi baru lahir perempuan panjang klitoris > 1 cm dianggap sebagai klitoromegali Mikropenis adalah ukuran penis kurang dari -2,5 SD untuk usianya, tanpa disertai kelainan struktural penis lainnya (hipospadia). Pengukuran penis menjadi isu sentral pertama di dalam penanganan mikropenis selain isu etiologi. Pengukuran penis standar adalah panjang penis yang telah diregang maksimal (stretched) tanpa ereksi. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan penggaris lurus dengan ukuran sentimeter yang diletakkan pada permukaan dorsal penis. Panjang penis adalah dari basis penis sampai glans tanpa mengukurpreputium. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali dan rerata ketiga pengukuran tersebut dianggap sebagai panjang penis. Pengukuran dengan cara ini mempunyai korelasi kuat (+0,983) dengan ukuran penis dalam keadaan ereksi. Normal atau tidaknya panjang penis tidak dapat ditentukan hanya dengan inspeksi. Apalagi pada anak obesitas dengan kondisi lemak prepubis yang dapat sedemikian tebal sehingga penis tertanam atau tersembunyi (buried penis) dalam lapisan lemak prepubis tersebut. Setelah pengukuran yang benar maka parameter atau nilai normal yang digunakan menjadi penting, Dikatakan penting karena panjang penis dikaitkan dengan faktor etnik. Pada penelitian Cheng & Chanoine (2001) ras Tionghoa secara bermakna mempunyai ukuran penis yang lebih kecil dibandingkan ras Kaukasia dan India (Tabel 4.8.). Tabel 4.8, Ukuran penis berdasarkan ras Peneli N Ras Mean (SD) _ “Feldman & Smith (1975) % 7 ~ Kaukasio 35104) Flatau dk (1975) 100 Yehudi 3,5 (0,4) Dohlan A (1986) 336 Indonesia 2,9 (0,23) Cheng & Chanoine (2001) 40 Kavkasia 3,40) 40 Tionghos 3,1 (0,3) w Eos! Indion 3.6 (0,4) Perbedaan etnis setelah usia neonatus masih kontroversi, schingga tabel 4.9 (Schonfeld dan Bebe) seringkali menjadi acuan. Disorders of Sex Development 63 berdasarkan sia Tabel 4.9. Ukuran panjang p “7 Rerata em (SD). Masa gestast < 30 minggu £05 Masa Gestasi < 34 minggu £04 term £04 0-5 bulan 3.8408 $= 12bulan 41408 1 =2 tahun 46208 2-3 tahun 50408 3-4 tahun 5421.0 AS tahun 5.6207 5-7 tahun, 6020.9 7-9 tahun 63£1.0 (Q=T tahun 63410 Orifisium uretra Orifisium uretra dan introitus vagina yang jelas terpisaly merupakan indikasi 46,XX. Apabila hanya terdapat satu lubang pada genitalia eksterna, selain kermngkinan 46,XY DSD dapat juga merupakan sinus urogenitalis pada perempuan yang mengalami virilisasi. Kaefer dkk mendapatkan insidens DSD sebesar 65% pada posisi meat dibandingkan hanya antara 5% dan 8% pada posisi meatus uretra di masing-masing midshaft dan anterior. uretra posterior Rasio anogenital Gambar 4.8. Petanda pada rasio anogenital. AzAnus; F= fourcehite posterior; Cekltors/phallus Rasio anogenital adalah jarak antara anus dengan posterior fourchewe dibagi dengan jarak s dengan dasar phallus/klitoris (Gambar 4.8.). Rasio > 0,5 mengindikasikan ilisasi. Pada lelaki yang mengalami virilisasi sempurna rasio ini adalab, | antara ani adanya vi 64 Buku Ajar Endokrinologi Stadium Prader Prader telah memberikan gambaran Klinis genital yng ambigus sesuai dengan berat ringannya ambiguisitas, Kondisi ambigus genitalia dapat diklasifikasikan berdasar Prader (Gambar 4.9.) yaitu berdasarkan berat ringannya virilisasi_ stadium 1) hanya hipertrofi Klicoris, genitalia eksterna lain normal fenotip perempuan; stadium 2)Terdapat hipertrofi klitoris, jarak sinus urogenitalis, vagina dan uretra berdekatan; stadium 3) Hipertrofi kitoris, sinus urogenitalis dangkal; stadium 4) Phallus dengan meatus urogenital kecil; stadium 5) Fenotip genitalia lelaki normal. ravenwnien stage sage? stage 3 Gambor 4.9.Stadium Prader untuk genital ambigus Pemeriksaan Penunjang Analisis kromosom Sesuai dengan klasifikasi DSD yang baru yang mendasarkan kepada kromosom, maka pemeriksaan ini harus selalu merupakan langkah pertama ketika menghadapi kasus genital ambigus atau DSD. Pemeriksaan ini sebaiknya menggunakan setidaknya 20 metafase untuk mendeteksi kemungkinan mosaicism. Lamanya hasil pemeriksaan (3 minggu) merupakan hambatan utama dalam percepatan langkah diagnostik. Untuk mengatasi hal ini maka dapat dilakukan FISH yang hanya membutuhkan 2-3 hari, Namun karyotyping tetap merupakan langkah yang harus dilalui untuk mengetahui secara pasti ada tidaknya kelainan struktural kromosom. Pencitraan USG pelvis merupakan pemeriksaan penunjang untuk melihat adanya tidak struktur duktus Mulleri (uterus), Pada bayi baru lahir, pengaruh estrogen maternal yang masih tinggi pada bayi akan sangat membantu untuk memvisualisasikan uterus karena ukurannya masih prominen. Pada usia 3 bulan besar uterus sudah berukuran prapubertal sehingga lebih sulit divisualisasi. Selain untuk memeriksa pelvis, pemeriksaan USG dapat digunakan untuk mendeteksi ada testis di regio inguinal, dan adanya hiperplasia adrenal. Genitrogram perlu dilakukan untuk mendeteksi genitalia interna dan adanya sinus urogenitalis, Disorders of Sex Development 65 Pemeriksaan hormonal Setelah pemeriksaan kromosom sebagai langkah pertama ketika berhadapan dengan kasus DSD, pemeriksaan hormonal adalah langkah strategis berikutnya, Pemeriksaan testosteron, LH,ESH, 17-OH Progesteron adalah pemeriksaan awal yang paling sering dianjurkan pada DSD. Pemeriksaan hormonal dapat dipandu oleh ada tidaknya gonad. Gonad tidak palpabel Sangat besar kemungkinannya adalah 46,XX DSD yang sebagian besat disebabkan oleh defisiensi 21-hidroksilase. Pada kasus demikian hormon yang diperiksa adalah 17-hidsoksi progesteron (17-OHP) serum, sebaiknya setelah usia 48 jam. Apabila kadar 17-OHP normal maka perlu diperiksa [1-deoxycortisol dan | L-deoxycorticosterone untuk mendeteksi ada tidaknya defisiensi 1 1-beta-hidroksilase yang merupakan kasus HAK tersering kedua. Yang unik pada HAK adalah defisiensi 3beta hidroksisteroid-dehidrogenase (3bHSD). Genital ambigus pada defisiensi 3b-HSD dapat terjadi baik pada 46,XX DSD maupun 46,XY DSD. Genital ambigus pada 46,XY dengan 3bHSD adalah karena adanya defisiensi enzim baik pada adrenal maupun testis. Gonad palpabel Apabila gonad palpabel, maka kemungkinan besar kasus yang dihadapi adalah 46.XY DSD sehingga yang diperiksa adalah serum cestostexon dan dehidrotestosteron (DHT). Rasio TDHT yang tinggi baik basal maupun setelah uji HCG (72 jam pasca suntikan HCG), mengarah kepada defisiensi 5-alfa reduktase Jaras Hipotalamus-hipofisis-gonad Setelah usia 2 minggu pemeriksaan aksis hipotalamus- hipofisis - gonad (HHG) akan memberikan gambaran yang cukup karakteristik. Hal ini disebabkan terjadinya peningkatan aktifitas poros HHG yang fisiologis pada bayi lelaki sejak usia 2 minggu dengan puncaknya pada bulan pertama dan kedia. Peningkatan fisiologis ini dapat meningkatkan kadar basal LH, FSH dan Testosteron sehingga mirip dengan uji HCG. Keadaan yang dapat terjadi pada bayi lelaki DSD 46,XY adalah L. Kadar testosteron yang rendah yang disertai * Peningkatan kadar LH/FSH maka diagnosis kerja adalah hipogonad hipergonadotropik © Kadar LH/FSH rendah maka diagnosis kerja adalah hipogonad hipergonadotropik ¢ Kadar prekursor testosteron normal dan kadar AMH atau MIS normal maka mengarah kepada hipoplasia sel Leydig ¢ Kadar prekursor tesotosteron normal dan kadar AMH atau MIS rendah maka mengarah kepada disgenesis gonad. 2. Kadar testosteron normal yang disertai ¢ Kadar DHT rendah mengarah kepada diagnosis kerja defisiensi 5-alfa reduktase © Kadar AMH rendah mengarah kepada disgenesis gonad 66 Buku Ajar Endokrinologi 3. Kadar testosterin tinggi yang disertai © Kadar LH tinggi mengarah kepada AIS LH dan FSH peslu diperiksa pada bayi dengan genital ambigus. Sebaiknya pemeriksaan ini dilakukan setelah usia satu minggu atau lebih baik pada usia 2-4 bulan yaitu pada saat terjadi peningkatan aktifitas fisiologis poros hipofisis-gonad. Kadar kedua gonadotropin ini meningkat pada disgenesis gonad atau defek reseptor LH. Selain pemeriksaan basal hormonal kadangkala perlu dilakukan uji stimulasi seperti uji hCG dan uji ACTH, Pada kasus yang dicurigai adanya gangguan biosintesis testosteron dan glukokortikoid maka sebaiknya uji ACTH digunakan. Namun apabila hanya dicurigai gangguan biosintesis testosteron maka ji hCG yang digunakan. Pasca uji hCG rasio EhCG pada defisiensi 5 alfa reduktase akan memperlihatkan hasil yang lebih tinggi dibanding basal karena tidak terbentuknya DHT. Uji hCG dapat pula digunakan untuk mendeteksi defisiensi 1 7beta-hidroskisteroid dehidrogenase (17betaHSD). Pada 17betaHSD pasca uji hCG terlihat peningkatan androstenedion sedangkan testosteron rendah, Pada DSD 46,XY dengan genital ambigus uji suntikan testosteron (25mg im. setiap 3 minggu sebanyak 4 kali) dapat dilakukan. Pada AIS dan defisiensi 5 alfa reduktase phallus tidak akan respons. Pemeriksaan molekular genetik. Analisis mutasi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis DSD akibat HAK maupun DSD lainnya (AR, SRY, SF1, WTI, CYP21, DAX-1, 17BHSD, 5a-Reductase-2). Pemeriksaan urin — profil steroid, Penggunaan gas chromatographic assay untuk melihat profil setroid pada urin sangat membantu dalam menentukan secara tepat etiologi HAK. Endoskopi/laparoskopi. Histopatologi dan imunckimiawi Tata laksana Tujuan tata laksana kasus DSD adalah: I. Menjamin semaksimal mungkin fertilitas/ reproduksi 2. Menjamin semaksimal mungkin fungsi seksual 3, Menjamin kesesuaian hasil akhir fenotip dan psikosostal dengan jenis kelamin yang ditentukan, Perlu ditekankan bahwa anak DSD berpotensi menjadi anggota_masyarakat fungsional dan orangtua harus mendapat penjelasan mengenai langkah-langkah evaluasi dan tatalaksana yang akan diambil. Tim ahli bekerja sama dengan keluarga mengambil keputusan terbaik untuk tata laksana pasien DSD. Tata laksana optimal untuk anak-anak dengan DSD memerlukan tim abli multidisiplin. Idealnya, tim tersebut meliputi endokrinologi anak, bedah dan/atau urologi, psikologi/psikiatri, ginekologi, genetik, neonatologi dan jika memungkinkan pekerja sosial, keperawatan dan komite etik. Komposisi inti akan bervariasi berdasarkan jenis DSD, sumber Disorders of Sex Deveiopment 67 daya lokal, konteks perkembangan dan lokasi, Diskusi dengan keluarga sebaiknya dilakukan oleh seorang profesional dengan kemampuan komunikasi baik. Bila diagnosis telah ditegakkan dan gender telah ditentukan, perawatan dan penanganan lanjutan tetap terus dilakukan oleh tim ahli multidisiplin. Pendekatan komprehensif ini menjaga agar seluruh aspek perawatan diperhatikan, seperti tatalaksana medis dan bedah, masalah gender, pemberian informasi, dan yang tidak kalah pentingnya masalah psikososial. Hal ini untuk menghindari kesalahan dan semua aspek tersebut dilakukan secara konsisten. Penentuan gender Ketidakpastian gender merupakan hal yang meresahkan dan memberatkan keluarga. Lebih dari 90% 46,XX DSD disebabkan oleh HAK dan semua pasien 46,XY dengan SIA komplit diidentifikasi sebagai perempuan saat baru lahir. Sekitar 60% pasien dengan defisiensi 5a- reduktase (SARD2) yang dianggap perempuan semasa bayi dan mengalami virilasi saat pubertas dan selanjutnya hidup sebagai laki-laki. Direkomendasikan untuk membesarkan anak 46,XY SIA komplit dan 46,XX HAK sebagai perempuan, sedangkan bayi dengan diagnosis defisiensi SARD2 dan 17-beta HSD sebagai laki-laki (Tabel 4.10). Penentuan jenis kelamin sebaiknya dilakukan sesegera mungkin diagnostik secara menyeluruh. Beberapa faktor yang mempengaruhi penentuan gender meliputi kariotipe, diagnosis, fenotip genitalia, pilihan operasi, dan kebutuhan terapi substitusi seumur hidup, potensi fertilitas dan fungsi seksual, risiko keganasan, pandangan keluarga, dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Selain itu informasi tentang kualitas hidup yang diperoleh dari studi literatur tentang penelitian jangka panjang kasus DSD sebaiknya juga didiskusikan dan dipertimbangkan dalam hal ini. lah evaluasi Tabel 4.10. Penentuan gender pada kasus DSD Diagnosis enentuan gender (pada umumnya) 46 XX HAK Perempuan (gender laki-laki dipertimbangkan bila stadium Powe tinggi otau diagnosisnya terlambat SIA komplit Perempuan XY ekstrofi kloaka Defisiensi 5 alfa reduktase tipe 2. laki-laki 17 beta HSD. SIA parsial loki-laki otau perempuan Mixed gonadal dysgenesis laki-laki atau perempuan DSD ovotestihuler loki‘laki gtou perempuan Dikutip dengan madifiasi dar: Disorders of sexual development. Obstet Gynecnl Clin N Am 2009. Singkoton: HAK: Hiperplosio cxranclkongentl; SA: Sindrom ieensitivios ondrogen; DSD: Disorders of sexual development; HSD:hidraksisterid ridge 68 Bul Ajar Endokrinologt Terapi pengganti steroid seks Tajuan terapi pengganti hormon steroid seks bukan hanya untuk memulai dan menjaga perkembangan tanda seks sekunder, tapi juga untuk perkembangan psikososial. Selain itu pemberian steroid seks akan bermanfaat pula untuk kesehatan tulang dan dapat mencegah osteopenia dan osteoporosis. Pasien DSD yang memerlukan terapi hormon adalah untuk mereka yang hipogonad, misalnya pada kasus pasca gonadektomi atau sindrom Turner dan/ atau kegagalan gonad primer. Dalam pemberian terapi hormon ini perlu dipertimbangkan dan didiskusikan dengan pasien dan keluarganya, antara lain hal-hal seperti saat mulai terapi, jenis terapi hormon, dan pemantauan terapi. Induksi pubertas pada anak laki-laki biasanya digunakan ester testosteron intramuskular, Pilihan lainnya adalah testosteron undekanoat oral dan testosteron transdermal, tapi dua preparat yang terakhir ini belum didapatkan di negara kita. Untuk pasien SIA parsial mungkin diperlukan dosis suprafisiologis untuk mencapai efek optimal. Pada perempuan digunakan estrogen untuk memicu pubertas dan terjadinya menstruasi. Dosis terapi estrogen ini dimulai dengan dosis rendah dan secara bertahap dinaikkan dalam beberapa tahun sampai mencapai dosis akhir regimen dewasa. Setelah 1-2 tahun terapi estrogen atau setelah terjadi menstruasi spontan ditambahkan progestin, yang diberikan siklik 10-14 hari bulan. Pada umumnya remaja dan dewasa muda lebih memilih untuk menggunakan terapi dengan kontrasepsi kombinasi oral. Tata laksana bedah Bayi yang akan dibesarkan sebagai perempuan biasanya memerlukan tindakan bedah untuk mengecilkan ukuran Klitoris, Dengan teknik mutakhir diharapkan tidak saja didapatkan vulva yang terlihat ‘normal’, tapi juga fungsi Klitoris tetap terjaga. Pada pasien HAK perempuan tindakan ini biasanya dapat dilakukan saat terapi hormonal pengganti dimulai. Vagina yang letaknya rendah dapat diusahakan pada tindakan bedah awal, tapi dapat pula ditunda sampai usia 1 tahun atau bahkan lebih. Pengangkatan testis dianjurkan untuk dilakukan segera setelah lahir pada bayi dengan SIA parsial atau disgenesis testis, yang ukuran phallusnya sangat kecil, sehingga diputuskan untuk dibesarkan sebagai perempuan. Rekomendasi waktu pengangkatan testis ini berheda sesuai kasusnya (Tabel 4.11) Pada anak lelaki, testis yang tidak turun dan diputuskan untuk dipertahankan, sebaiknya diturunkan ke skrotum saat biopsi gonad awal. Koreksi chordaee dan uretroplasti pada anak lelaki dengan hipospadia biasanya dilakukan di usia antara 6-18 bulan, dan biasanya tindakan ini dilakukan 1 tahap saja. Disorders of Sex Development 69 Tabel 4.11. Rekomendasi waktu gonadektomi Dikuip dengan modifies dar: Disorders ofsexuel development. Obstet Gynecol Clin N Am 2009, Daftar bacaan 1. Achermann JC, Ozisik G, Meeks JJ, Jameson JL. Genetic causes of human reproductive disease. J Clin Endocrinol Metab 2002;87:2447-54. 2. Allen S. Disorders of Sexual Development. Obstet Gynecol Clin N Am 2009;36:25-35. American Academy of Pediatris: Committee on Genetics, Section on Endocrinology and Section on. Urology. Evaluation of the newbom with developmental anomalies of external genitalia. Pediatrics 2000;106:138-142. 4. Ascari Al, Bergada I, Rey RA, Gottlieb S. Predictive value of anatomical findings and karyotype analysis in the diagnosis of patients with disorders of sexual development. Sex Dew 2007;1:222-9. Blizzard RM. Intersex issues: a continuing conundrum, Pediatrics 2002; 110:616-21. Brown J, Ware G. Practical management of the intersex infant. J Pediatr Endocrinol Metab 2005; 23. 7. Charles Sultana C, Parisa B Jeandela C, Lumbrosob S, Galiferc RB,Picaud JB. Ambiguous Genitalia in the Newborn: Diagnosis, Etiology and Sex Assignment. Dalam: Sultan C (ed): Pediatric and Adolescent Gynecology. Evidence-Based Clinical Practice. Endocr Dev. Basel: Karger, 2004.vol 7-h 23-38. 8 Clarkson MJ & Harley VR. Sex with two SOX on: SRY and SOX9 in testis development. TRENDS in Endocrinology & Metabolism 2002; 13:106-11. 9. Consortiumon The Management of Disorders of Sex Development, Clinical guidelines for the management of disorders of sex development in childhood. United states: Intersex Society of North America,2006. 10. Forest MG, Nicolino N, David M, Morel ¥. The virilized female: endocrine background. BJU International 2004; 9 3 (Suppl 3):35-43 11. Houk CB Hughes IA, Ahmed SE Lee PA dan Whiting Committee for the International Consensus Conference Participants Summary of consensus statement on intersex disorders and their management. Pediatrics 2006;118:753-57.. 12. Houk CR Hughes IA, Ahmed SF, Lee PA. Summary of consensus statement on intersex disorders and their management. Pediatrics 2006;1 18:753-7. 13. Hughes 1A, Acerini CL Pactors controlling testis descent. Eur Endocrinol 2008; 159:s75-82. 14. Hughes IA, Houk CR Ahmed SE, Lee PA on behalf of the LWPES/ESPE Working Group. Consensus, 70 Buku Ajar Endokrinologi Statement on Management of Intersex Disorders. Jounal of Pediatric Urology 2006; 2:148-62. 15, Hughes IA, Houk CR Ahmed SF, Lee PA on behalf of the LWPES/ESPE Working Group. Consensus Statement on Management of Intersex Disorders. Arch Dis Child 2006;91:554-63. 16, Hughes 1A, Consequences of the ESPE/LWPES guidelines for diagnosis and treatment of discrders of sex development, Best Pract Res Clin Endocrinol Metab 2007;21:351-65. 17, Hughes 1A. Disorders of Sexual Differentiation Horm Res 2007;67(suppll):91-5. 18. Hughes IA. Evaluation and management of disorders of sex development. Dalam: Brook C, Clayton B Brown, R, penyunting. Brook's clinical pediatric endocrinology. Singapore: Wiley Blackwell, 2009.h.192-212, 19. Hughes 1A. Minireview: Sex differentiation. Endocrinology 2001; 142: 3281-7. 20. Hyun G, Kolon TE A practical approach to intersex in the newborn period. Urol Clin N Am 2004;435- ae 21. Kim Y, Kobayashi A, Sekido A, DiNapoli L, Brennan J, Chaboissier MC, et al. Fgf and Wnt¢ Act as Antagonistic Signals to Regulate Mammalian Sex Determination. PlaS Biology 2006; 4(6):1000-9. 22. Klein M, Sathasivam A, Novoa ¥, Rapaport R. Recent Consensus Statements in Pediatric Endocrinology: A Selective Review. Endocrinol Metab Clin N Am 38 (2009) 811-25. 23. Lee PA, Houk CR Ahmed SF, Hughes 1A, dk. Consensus statement on management of intersex disorders. Pediatrics 2006;1 18:e488-¢500. 24. Low Y, Hutson JM. Rules for clinical diagnosis in babies with ambiguous genitalia. . Paediatr. Child Health 2003; 39:406-13. 25. Miller W: Disorders of androgen biosynthesis. Semin Reprod Med 2002;20:205-15. 26. Morel ¥, Rey R, Teinturier C, Nicolino M, Michel-Calemard L, Mowszowicz I, et al. Aetiological diagnosis of male sex ambiguity: a collaborative study, Eur } Pedaitr 2002;161:49-59, 27. Nabhan ZM, Lee PA. Disorders of sex development Curr Opin Obstet Gynecol 2007; 19:440-5. 28. Nagasaki K, Horikawa R, Fujisawa K, Hata Shigematsu Y, Tanaka T. A case of female pseudahermaphroditism caused by aromatase deficiency. Clin Pediatr Endocrinol 2004;13(1):59-64. 29. Nicolino M, Bendelac N, Jay N, Forest MG, David M. Clinical and biological assessments of the undervirilized male. BJU International 2004; 9 3(Suppl3):20-5. 30. Nihoul-Fékété C. The Isabel Forshall Lecture. Surgical management of the intersex patient: an overview in 2003. J Pediat: Surg 2004;39: 144-5, 31. Nikolova G, Vilain E, Mechanisms of Disease: transcription factors in sex determination—relevance to human disorders of sex development. Nat Clin Pract Endocrinol Metab 2006;2(4):231-8. 32. Ogilvy-Stuart AL, Brain CE, Early assessment of ambiguous genitalia. Arch. Dis. Child. 2004;89;401-7. 33, Reiner WG. Gender Identity and Sex-of-rearing in Children with Disorders of Sexual Differentiation. | Pediatr Endocrinol Metab 2005;18(6):549-53. 34, Stein MT, Sandberg DE, Mazur T, Eugster E, Daaboul J. A newborn infant with a disorder of sexual differentiation Pediatrics 2004;114;1473-7. 35. Sultan C, Lumbroso §, Paris F, Jeandel C, Terouanne B, Belon C, Andran F, Poujol N, Georger V, Gobinet J Jalaguier S, Auzou G, Nicolas JC: Disorders of androgen action. Semin Reprod Med 2002;20:217-22. 36. Ute Thyen U, Lanz K, Holterhus PM, Hior O. Epidemiology and initial management of ambiguous genitalia at birth in Germany. Horm Res 2006;66:195-203. 37. Veitia RA, Salas-Cortes L, Ottolenghi C. Testis determination in mammals: more questions than answers. Molecular and Cellular Endocrinology 2001; 179: 3-16. 38. Warne GL & Kanumakala $. Molecular endocrinology of sex differentiation, Semin Reprod Med 2002; 20: 169-79. 39, Wame GL, Raza J.Disorders of sex development (DSDs), their presentation and management in different cultures. Rev Endocr Metab Disord 2008; 9(3):227-36. Disorders of Sex Development rat 40. Warne GL, Zajac JD. Disorders of sexual differentiation. Endocrinol Metab Clin 1998;27:946-67. al. 42. nR ‘Wisniewski AB, Mazur T. 46,XY DSD with female or ambiguous external genitalia at birth due to androgen. insensitivity syndrome, 5a-reductase-2 deficiency, or 17B-hydroxysteroid dehydrogenase deficiency: a review of quality of life outcomes. International Journal of Pediatric Endocrinology 2009; 1 Yamada G, Suzuki K, Haraguchi R, Miyagawa S, Satoh Y,Kamimura M. Molecular genetic cascades for extemal genitalia formation: an emerging organogenesis program. Developmental Dynamics 2006;235:1738-52. Bul Ajar Endolrinologt BAB 5 TESTIS DAN GANGGUANNYA Aspek anatomi dan embriologi testis Turunnya (desensus) testis ke dalam skrotum merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan berbagai faktor, baik faktor anatomis maupun hormonal, Proses desensus testis terdiri atas dua tahap. Pada tahap pertama terjadi proses desensus transabdominal, yaitu penurunan testis dari abdomen ke inguinal. Pada tahap kedua terjadi desensus testis dari regio inguinal ke skrotum. a. Perkembangan seksual Traktus urogenitalis berasal dari birai urogenital yang kemudian berproliferasi membentuk birai genital. Dari sinilah kemudian terbentuk gonad primitif. Birai urogenital pada janin laki-laki dan perempuan identik sampai usia 7-8 minggu masa gestasi. Diferensiasi seksual dimulai oleh gen SRY pada kromosom Y yang memacu pembentukan testis, Mullerian Inhibiting substance (MIS) juga mempunyai peran dalam diferensiasi gonad. Mulerian Inhibiting substance menyebabkan regresi dukeus Mulleri, sedangkan testosteron menyebabkan duktus Wolfii berkembang lebih lanjut menjadi epididimis, vas deferens dan vesikula seminalis. Gubernakulum testis Pembesaran gubernakulum testis pada waktu pergerakan transabdominal dikenal sebagai “swelling reaction atau “guhernacular outgrowth", Hal ini disebabkan oleh pembelahan sel serta peningkatan asam hialwronat dan glikosaminoglikan. Asam hialuronat bersifat hidrofilik, menyebabkan ujung gubernakulum membesar (bulky) dan bersifat gelatinous, selanjutnya gubernakulum mengecil, mengikat testis dan epididimis bagian kaudal ke skrotum sehingga terjadi proses penurunan. Bagian proksimal gubernakulum akan memendek selama proses desensus ini. Proses ini mungkin merupakan mekanisme yang penting dalam memposisikan testis ke inguinal ring sehingga dengan tekanan intraabdominal akan menekan testis keluar dari abdomen. Proses ini terjadi pada usia gestasi 8-15 minggu: Ligamen suspensori kranialis Pada embrio ligamen suspensori kranialis mengalami regresi sehingga memungkinkan desensus testis, dan ini merupakan salah satu faktor penting dalam desensus testis Testis den Gangguannya 73 @. Tekanan intraabdominal Tekanan intraabdominal merupakan faktor penting dalam proses desensus testis dari rongga abdomen, tekanan intraabdominal ini tidak banyak berperan dalam fase transabdominal tetapi penting untuk testis ke bawah melewati prosesus vaginalis. Meskipun masih kontroversial, proses desensus testis transabdominal berhubungan dengan regresi ligamen suspensori kranialis, pembesaran gubernakulum ke arah kaudal serta penarikan gubernakulum ke arah wrogenital ridge, Hasil akhir dari proses ini adalah turunnya testis ke daerah inguinal. Desensus testis melalui kanalis inguinalis memerlukan prosesus vaginalis dan tekanan intra abdomen yang akan mendorong testis melalui kanalis inguinalis masuk ke dalam skrotum, Penurunan inguinoskrotal membutuhkan migrast gubernakulum bersamaan dengan memanjangnya prosesus vagit Aspek hormonal desensus testis Proses desensus testis transabdominal diatur oleh pembesaran gubernakulum dan regresi ligamen suspensori kranialis. Proses desensus testis selain dipengaruhi oleh faktor mekanis juga dipengaruhi oleh beberapa hormon meliputi Mullerian inhibiting substance (MIS), androgen, genitofemoral nerve (GEN), dan calcitonin gene related peptide (CGRP). 4 a. Mullerian inhibiting substance (MIS) MIS adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 140 kDa yang dihasilkan oleh sel sertoli dan berfungsi untuk tegresi duktus Mulleri. Gen yang mengatur MIS terdapat pada kromosom 19p13.3. Beberapa fungsi lain dari MIS adalah berperan pada diferensiasi awal testis, maturasi paru pranatal dan maturasi sel germinal pasca natal, Pada fase awal desensus testis MIS juga berperan dan ini dibuktikan dengan beberapa penelitian binatang seperti terdapatnya retensi ductus Mulleri pada gonad yang maldescent atau pada persisten ductus Mullerian ditemukan kriptorkismus dan gubernakulum yang tipis dan memanjang. b. Androgen Sampaisaat ini mekanisme pastiperanan androgen dalam turunnya testis belum diketahui secara pasti, Selama proses desensus testis intraabdominal, androgen berperan dalam regresiligamen suspensori kranialis. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa androgen mempengaruhi migrasi dan pertumbuhan gubernakulum pada fase inguinoskrotal penurunan testis melalui GFN dan neurotransmiter CGRP Tahap migrasi yang kedua dari inguinal ke skrotum lebih tergantung pada androgen, hal ini terbukti dari tingkat kestuksesan terapi hormonal. Semakin tinggi letak testis maka semakin rendah tingkat keberhasilan terapi hormonal dalam stimulasi aksis HPG untuk menginduksi penurunan testis, Peningkatan LH tidak hanya menyebabkan peningkatan kadar androgen tetapi juga merangsang sel Leydig untuk menghasilkan produk lain yaitu insidinclike factor 3 (INSL3) yang juga berperan dalam proses desensus testis. ¢. Genitofemoral nerve (GEN) Genitofemoral nerve dianggap berperan dalam proses desensus testis. 4. Caleitonin gene related peptide (CGRP) Meskipun tidak ada perubahan sekuens patogenik yang ditemukan pada jalur Bul Ajar Endoksinologi CGRP pada pasien dengan kriptorkismus namun CGRP dianggap berperan dalam obliterasi prosesus vaginalis setelah testis turun karena dalam percobaan invitro CGRP menyebabkan fusi prosesus vaginalis. Proses desensus testis dapat dilihat lebih jelas pada tabel 5.1 dan gambar 5.1. Tabel 5.1. Tahapan desensus testis _Transabdominal Inguinal: fe Weakiv ining masa eet ke 10-15 z e755 Frese Sel-sel gubemakolom i ‘Prosessus veal bey dalam 2 --sangat cepat bersamoan deng regres igamentom sspenor han Hormon igen INSLSelnsulintike Factor3; MIS: Mallerion ki Dikurip dari: Espito C, dik, Scond J Urol Nephrol 2003;37:246:9, Fase Pertama Fase Kedua 10-15 minggu 25-35 minggu gestasi gestasi => Cigamenturr! Suspensorium Kranialis Gambar 5.1. Tahapan desensus testis. KRIPTORKISMUS (Undescended testis/UDT) Kriptorkismus atau undescended testis merupakan kelainan kongenital yang cukup sering ditemukan pada anak laki-laki, dengan insidens 5,5 % pada bayi baru lahis, 1,4% pada usia 3 bulan, dan 0,5 —0,8 % pada anak usia | tahun, sedangkan pada bayi prematur insidensnya lebih tinggi (lebih kurang 21%). Penelitian prospektif mendapatkan insidens kriptorkismus pada bayi baru lahir bervariasi antara 1,6-9,0%. Insidens kriptorkismus meningkat pada pasien dengan defisiensi gonadotropin seperti pada sindrom Kallman, Prader-Willi dan Lawrence-Moon-Biedl. Kriptorkismus juga ditemukan pada beberapa sindrom dengan gangguan biosintesis testosteron. Pada sebagian kecil kasus (0,9-1,8% kasus) ditemukan penurunan spontan testis pada usia 3 bulan pada bayi dengan berat lahir 2 2500 gram). Di RSCM dilaporkan angka kejadian kriptorkismus sebesar 2,2% pada neonatus cukup bulan dan 37% pada neonatus kurang bulan’ “Testis dan Gangguannya 15 Kriptorkismus dapat terjadi secara unilateral atau bilateral; tersenditi (isolated) atau bersamaan dengan kelainan kongenital genitalia eksterna lain (misalnya hipospadia), atau terkait dengan suatu sindrom. Walaupun merupakan kelainan kongenital yang paling sering, sampaisaat ini masih cukup banyak isu mendasar yang menjadi bahan penelitian atau diskusi berkelanjutan di antara para ahli. Isu pertama adalah patomekanisme kriptorkismus; isu kedua yaitu kapan intervensi dilakukan; isu ketiga adalah apakah pilihan intervensi yang terbaik; isu keempat sebesar apakah risiko kanker testis pada kriptorkismus. Tata laksana kriptorkismus bertajuan untuk mengurangi risiko infertilites, risiko keganasan pada testis, herniasi inguinal, torsio testis, dan mengucangi stres psikologis, Faktor endokrin telah dibuktikan berperan penting dalam proses desensus testis. Oleh karena itu pada kriptorkismus terapi hormonal merupakan pilihan terapi selain terapi bedah (orkidopeksi). Pengobatan hormonal pada kriptorkismus telah dilakukan sejak tahun 1930 dengan menggunakan substansi gonadotropin yang berasal dari urin wanita hamil, Pengobatan yang dilakukan oleh berbagai ahli memberikan hasil yang bervariasi tergantung dari metode atau protokol pengobatan yang dipergunakan. Ludwig dan Potempa melaporkan bahwa bila kriptorkismus diterapi sebelum usia 2 tahun maka fertilitas yang didapatkan berkisar sekitar 87%, sedangkan bila diterapi pada usia = 13 tahun, fertilitas akan menurun sampai 14.3%, Dari laporan ini jelas terlihat bahwa terapi dini sangat penting dalam penatalaksanaan kriptorkismus. Para peneliti menganjurkan agar terapi hormonal dimulai sebelum usia 2 tahun dan sebaiknya pada usia 10 bulan sampai 24 bulan. Sedangkan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) FKUI- RSCM kami memulai terapi setelah anak berusia >9 bulan, karena setelah usia 9 bulan hampir tidak didapatkan lagi penurunan testis secara spontan. Angka keberhasilan terapi hormonal dengan hCG bervariasi antara 5-55%, sedangkan dengan GnRH agonis sebesar 9-78%. Etiologi Kriptorkismus disebabkan oleh berbagai faktor yang menyebabkan terhambatnya proses desensus testis ke dalam skrotum. Proses desensus testis dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor yaitu faktor hormonal dan faktor mekanik atau anatomis. Walaupun penyebab pasti kriptorkismus tidak diketahui, fase transabdominal penurunan testis biasanya jarang terpengaruh. Testis intraabdomen lebih jarang ditemukan, meliputi 5~10% kasus. Penyebab utama kriptorkismus adalah karena adanya defek sekresi androgen pada fase prenatal baik sekunder karena stimulasi gonadotropin hipofisis maupun karena rendahnya produkst gonadotropin plasenta. gnosis Kriptorkismus ditegakkan jika testis tidak ditemukan di dalam kantong skrotum. Jika testis tidak berada pada jalur penurunan testis yang seharusnya maka disebut sebagai maldescent testes atau ectopic testis. Terapi hormonal tidak boleh diberikan pada anak dengan maldescent testis dan harus segera dilakukan tindakan bedah. 76 Buku Ajar Endokrinologt Anamnesis harus dilakukan secara teliti untuk mengetahui faktor risiko terjadinya kriptorkismus. Pemeriksaan untuk kriptorkismus harus dilakukan dengan tangan yang hangat dengan posisi duduk dan tungkai dilipat atau posisi tidur dan anak dalam kondisi relaks, kemudian testis diraba dari inguinal ke arah skrotum dengan cara milking, bisa juga dengan satu tangan berada di kantong skrotum sedangkan tangan yang lain memeriksa mulai dari daerah spina iliaca anterior superior (SIAS) menyusuri inguinal ke kantong skrotum. Hal ini diperlukan agar testes tidak bergerak naik karena adanya refleks kremaster yang cukup peka pada anak. Refleks ini menyebabkan testis bergerak ke atas sehingga menyulitkan penilaian, Pemeriksaan fisis yang teliti harus dilakukan untuk mencari adanya sindrom yang berhubungan dengan kriptorkismus, seperti sindrom Klinefelter, Noonan, Kallman, dan sindrom Prader Willi Pada pasien kriptorkismus bilateral yang berusia kurang dari 4 bulan sebaiknya diperiksa kadar testosteron, bila usianya lebih dari 4 bulan diperlukan uji HCG untuk melihat ada tidaknya testis, Pada pasien kriptorkismul bilateral dan/atau kriptorkismus bilateral yang disertai dengan hipospadia merupakan bagian dari disorders of sex development (DSD). Pada pasien ini diperlukan pemeriksaan genitalia eksterna secara seksama, pemeriksaan analisis kromosom dan pemeriksaan penunjang lainnya. Kasus demikian sebaiknya dikonsultasikan ke abli endokrin anak untuk evaluasi lebih lanjut. Sebelum diberikan terapi, sangat penting menentukan posisi anatomis testis, hal ini berhubungan dengan keberhasilan pengobatan, karena sebagian pasien mempunyai testis retraktil yang kadang-kadang tidak memerlukan pengobatan. Pada testis retraktil, testis sebenarnya sudah turun ke dalam skrotum pada waktu lahir akan tetapi pada pemeriksaan tidak ditemukan berada di dalam skrotum kecuali bila anak dalam keadaan relaks. ‘Ada berbagai pembagian posisi testis yang diajwkan oleh berbagai peneliti, di Departemen IKAFKUI-RSCM dipakai pembagian: 1. Intra abdominal 2. Inguinal 3. Preskrotal 4. Skrotal 5. Retraktil Terkadang diperlukan beberapa pemeriksaan tambahan untuk menentukan lokasi testis yang tidak teraba, antara lain: 1, Pemeriksaan pencitraan: USG, CT Scan, MRI 2. Venografi atau Arteriografi 3. Laparaskopi Untuk mengetahui adanya testis dapat dilakukan dengan uji hCG. Pasien diberikan 1500 IU hCG IM setiap hari selama 3 hari berturut-turut dan kadar testosteron plasma diperiksa sebelum dan 24 jam setelah penyuntikan hCG. Bila didapatkan peningkatan kadar testosteron yang bermakna setelah penyuntikan hCG berarti dapat disingkirkan adanya anorkia. Testis dam Gangguannya 1 Tata laksana Beberapa hormon yang dapat digunakan untuk terapi kriptorkismus antara lain human chorionic gonadotropine (hCG), luteinizing hormone releasing hormone (LHRH), atau kombinasi keduanya, Human Chorionic Gonadotropin hormone Human chorionic gonadotropin (hCG) telah digunakan untuk pengobatan kriptorkismus sejak lama. hCG mempunyai cara kerja seperti LH, yaitu merangsang sel Leydig untuk memproduksi restosteron yang kemudian akan menginduksi turunnya testis. Keberhasilan pengobatan dengan menggunakan hCG ini sangat bervariasi, berkisar antara 20-55%. Keberhasilan terapi dengan hCG dipengaruhi olch posisi testis sebelum terapi. Hasil yang lebih baik didapatkan pada testis letak tinggi di inguinal dan testis yang retraktil, sedangkan pada testis yang terdapat di rongga abdomen hasilnya kurang memuaskan, Berikut ini adalah dosis dan lama pemberian hCG menurut Intemational Health Foundation (Tabel 5.2). ‘Terapi hanya boleh dilakukan sekali dan jika tidak berhasil harus dilanjutkan dengan terapi bedah. ‘Tabel 5.2. Dosis dan lama pemberian hCG berdasarkan umur Unie “Dosis perminggu Dosis maksimal per terapi Loma pengobatan 3-12 bulan 225010 250010 ‘5 minggu 6 tohun 8001 5000 IU 5 minggu bichon maou 1000010 8 minggu, Protokol terapi kriptoskismus masih cukup bervariasi dengan hasil yang berbeda-beda. Forest dk membandingkan 2 protokol pengobatan dengan menggunakan hCG. Seratus delapan puluh tiga anak berusia 7 bulan sampai 12 tahun dengan kriptorkismus dibagi secara random dalam 2 kelompok, kelompok pertama mendapatkan 7 kali penyuntikan hCG dengan dosis 1500 TU selang sehari, sedangkan kelompok kedua mendapatkan 4 kali penyuntikan hCG dengan dosis 100 IU/KeBB dengan interval 4-5 hari. Tidak didapatkan perbedaaan bermakna dalam desensus testis. Forest dkk menyimpulkan bahwa jarak penyuntikan hCG tidak perlu lebih cepat dari 4 hari dan pengobatan selama 3 minggu cukup untuk mencapai kadar testosteron dewasa normal yang diperlukan untuk merangsang desensus testis. Hesse dan Fisher membandingkan pemberian suntikan hCG 3 kali dengan 10 ‘kali suntikan pada 332 anak usia 1-13 tahun. Kelompok pertama mendapatkan 10 kali penyuntikan hCG sesuai dengan protokol yang diajukan Intemational Health Foundation, sedangkan kelompok lainnya mendapatkan 3 kali penyuntikan hCG dengan dosis; 3 x 1000 TU untuk anak 1-3 tahun, 3 x 1500 IU untuk anak 3-6 tahun, 3 x 3000 IU untuk anak 6-10 tahun dan 3 x 5000 IU untuk anak diatas 10 tahun. Untuk kelompok anak di atas 6 tahun protokol pengobatan pertama memberikan hasil yang lebih baik, sedangkan untuk kelompok anak usia <6 tahun hasilnya tidak banyak berbeda. Hesse dan Fisher 78 Bulee Ajar Endokrinologi menyimpulkan bahwa untuk anak usia <6 tahun pemberian suntikan hCG sebanyak 3 kali sama efektifnya dengan penyuntikan hCG 10 kali. Christiansen membandingkan pemberian hCG dengan dosis 100 IU/Kg BB, 2 kali seminggu selama 3 minggu dengan LHRH dan plasebo. Temyata HCG memberikan hasil yang lebih baik, hCG menyebabkan desensus testis sebesar 25% pada kriptorkismus bilateral dan 14% pada kriptorkismus unilateral. Juga didapatkan perbaikan posisi pada 25% penderita. Kelompok plasebo mengalami desensus testis sebanyak 3%, sedangkan kelompok yang diterapi dengan LHRH tidak mengalami desensus testis. Christiansen dkk menganjurkan hCG sebagai pilihan rerapi hormonal pertama pada penderita kriptorkismus. Suryawan dkk melaporkan hasil terapi hCG pada 20 kasus kriptorkismus dengan protokol menurut Intemational Health Foundation yang dimulai pada atau setelah usia 9 bulan. Pada saat penelitian dimulai, didapatkan 58 kasus kriptorkisims, namun sebagian besar memilih orkidopeksi sebagai pilihan pertama, baik atas permintaan orangtua atau aras pertimbangan klinis. Pertimbangan klinis utama adalah kemungkinan terjadinya kegagalan terapi hormonal, rerutama pada kriptorkismus yang tidak teraba (43 dari 58 kasus). Pada penelitian tersebut angka keberhasilan terapi hormonal adalah 65%, yaitu 75% pada kriptorkismus yang teraba (9/12) dan 50% (2/4) pada testis yang tidak teraba. Metaanalisis terapi hormonal dengan LHRH atau hCG yang dilakukan secara uji acak tersamar ganda (RCT) dengan plasebo dilaporkan oleh Pyorala dkk. Dari laporan rersebut didapatkan 1174 kasus kriptorkismus yang menjalani terapi hormonal secara acak tersamar. Risk ratio pada LHRH dilaporkan sebesar 3,21 (IK 95%:1,83-5,64, p<0,001). Angka ini menurun menjadi 2,57 (IK 95%:1,39-4,74, p<0,001) bila penelitian yang memasukkan testis retraktil dalam subyek penelitian dieksklusi. Pada penelitian tersebut disimpulkan, bahwa: * Bilaposisi testis undesensusmakin dekat dengan skrotum maka makin besar kemungkinan keberhasilan rerapi hormonal. Walaupun hanya | dari 10 kriptorkismus transabdominal yang bethasil diterapi, hampir 50% kriptorkismus inguinal dan 60% kriptorkismus preskrotal yang turun ke skrotum pasca terapi hormonal. * Tidak ada perbedaan yang berarti pada desensus testis apabila terapi hormonal dilakukan sebelum atau sesudah usia 4 tahun. * Angka relaps adalah 24% (IK95%: 13-35%) * Baik LHRH atau hCG dapat digunakan pada kasus kriptorkismus, namun pada testis yang tidak teraba sebaiknya terapi bedah merupakan pilihan utama. Luteinizing Hormone Releasing Hormone (LHRH) LHRH diberikan pada penderita kriptorkismus dengan tujuan merangsang hipofisis untuk mensekresiLH dan FSH yang kemudian merangsang sel Leydig untuk mensekresi testosteron yang berfungsi dalam proses desensus testis. LHRH diberikan secara nasal spray dengan dosis 1,2 mg per hari. Nasal spray ini diberikan 200 ug per kali semprotan tiap Iubang hidung, sebanyak 3 kali sehari, Hasil pengobaran dengan LHRH ini sangat bervariasi, sebagian peneliti mendaparkan hasil yang sangat memuaskan sedangkan lainnya tidak mendapatkan, manfaat yang berarti. Testis dan Gangguannya 79 pada penelitiannya hanya mendapatkan ereksi, nyeri pada tempat suntikan dan gangguan emosi pada 8 dari 148 anak yang diteliti. Meskipun banyak uji klinis cerkontrol tentang terapi hormonal pada kriptorkismus dengan hasil yang cukup bervariasi akan tetapi terapi hormonal dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pertama sebelum dilakukan tindakan bedah. Keuntungan terapi hormonal antara lain: 1. Keberhasilan bervariasi sebesar 10-80 % sehingga mengurangi tindakan operasi 2, Efek samping tidak ada/minimal 3. Lebih menguntungkan pada kriptorkismus bilateral Kesimpulan Kriptorkismus merupakan kelainan yang cukup banyak ditemukan pada anak laki-laki dan memerlukan penatalaksanaan yang terarah agar tidak terjadi komplikasi. Terapi hormonal merupakan salah satu cara untuk menurunkan testis ke dalam skrotum dengan menggunakan hCG, LHRH, ataupun kombinasi keduanya. Terapi hormonal dapat segera dimulai setelah usia 9 bulan dan diusahakan agar testis sudah berada pada tempatnya pada usia 2 tahun. Keberhasilan terapi hormonal sangat bervariasi tergantung dari metode yang, dipeegunakan. Terapi hormonal memberikan hasil yang lebih baik pada testis yang terletak di inguinal atau preskrotal. Keberhasilan terapi lebih baik pada anak dengan usia yang lebih besar. Terapi bedah terindikasi bila tidak didapatkan respons dengan terapi hormonal. Daftar bacaan L. Batubara JRL, Setyanto DB, Firmansyah A. Natural bistoty of eryptorchidism oflive births up ta9 months of age in Cipto Mangunkusumo Hospital, Journal of ASEAN Federation Endocrine Society 1999;17:20-8. 2. Berkowitz GS, Lapinski RH, Dolgin SE, dkk. Prevalence and natural history of cryprorchidism. Pediatrics 1993,92:44-9. 3. Cheechak BA, Wani MY, Hussain A, Hassan A. Role of human chorionic gonatropin (HCG) hormone in undescended testis-a prospective study in 100 children. J Indian Assoc Pediatr Surg 2004;9:20-4 4. Christiansen B Muller J, Buhl S, dkk. Treatment of eryprorchidism with human chosio gonadotropic hormone or gonadotropine releasing hormone: a double blind controlled study of 243 boys. Horm Res 1988; 30:187-92. 5. Darmawan BS. Perjalanan alamiah kripcorkismus pada bayi baru lahir di RSCM hingga usia 9 bulan [Tesis] Bagian Imu Kesehatan Anak EKUL-RSCM, 1997 6. DeMuinc Keiser-Schrama SMPF, Hazebrock FW, dkk. LHRH nasal spray treatment for cryptorchidism: a double-blind placebo-controlled study. Eur J Pediaer 19875146:35-7. 7. Eller JS. Ultrasonography is unnecessary in evaluating boys with nonpalpable testis. Pediatrics 2002;110:1-8. 8, Espito C, De Lucia A, Palmieri A, Centonze A, Damiano R, Savanelli A, dkk. Comparison of five different hormonal treatment protocols for children with cryptorchidism. Scand J Urol Nephtol 2003;37:246-9, 9, Firman K Peran penciteaan pada kriptorkismus, Dalam: Rukman Y, Batubara JRL, Tridjaja B, penyunting. 82 Buku Ajar Endokrinologi Tatalaksana optimal kriptorkismus. Jakarta: Bagian Tmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM IDAL Jaya, 1994.h.27-36. 10. Forest MG, David M, David L, dkk. Undescended testis: comparison of two protocols of treatment with hCG: effect on testicular descent and hormonal response, Horm Res 1988;30:198-206, 11. Giannopoulos ME, Vlachakis IG, Charissis GC. 13 Years! experience with the combined hormonal therapy of eryptorchidism. Horm Res 2001;55:33 12. Hadkiselimovie B Summary of the symposium. Dalam: Hadziselimovie E Herzog B, peryunting. Cryptorchidism, its impact on male fertility. Horm Res 2001;5:55 13, Henna MR, Del Nero RGM, Sampaio CZS, Atallah AN, Schetsini ST, Castro AA, dkk, Hormonal eryprorchicism therapy: systematic review with metanalysis of randomized clinical trial, Peciate Surg Int 2004;20:357-9. 14. Hesse V, Fisser G. Three injections of hCG are as effective as en injections in the treatment of cryptorchidism. Horm Res 1988;30:193 -7. 15. Hocht B. LHRH treatment for eryptorchidism. randomized study and 10-years follow-up result. Eur ] Pediatr 1987;146:44-6. 16. Huff DA, Snyder Il HM, Rusnack SL, Zdletie SA, Car MS, Canning DA. Hormonal therapy for the subfertlity of eryptorchidism. Horm Res 2001;55:38-40. 17. Hutson JM. Cryprorchidism and hypospadias [diakses tanggal 14 Januari 2009}. Diundul dari: heep:// wewwrendotext.org/male/male!9/maleframe(9.htm. 18, Incernational Health Foundation Reccomendatione pour le traitement de la eryprorchidie. Ann Chis Enfant 1975;16:151-2 19, Ivell R, Hartung S. The molecular basis of eryptorchidism. Mol Hum Reprod 2003:9:175-81. 20. Kaefe MR, Diamond D, Hendren WH, Vemulapall SI, Bauer SB, Peters CA, dkk. The incidence of intersexuality in children with cryptorchidism and hypospadias: stratification based on gonadal palpability and meatal position. J Urol 1999;1062:1003-6. 21, Kollin C, Hesser U, Ritzen EM, Karpe B. Testicular growth from birth to ewo years of age and the effect of orchidopexy at age nine months: a randomized controlled study. Acca Pediatr 2006;95:318-24. 22. Lee MM, Donahoe PK, Silverman BL, Hasegawa T, Hasegawa Y, Gustafson ML, dkk. Measurements of serum Millerian Inhibiting Substance in the evaluation of childwen with nonpalpable gonads. N Engl J Med 1997;336:1480-6. 23, Leung AK, Robson WL. Current status of eryptordichism. Adv Pediatr 2004;51:351-77. 24, McAleer IM, Kaplan GW. Is routine karyoryping necessary in the evaluation of hypospadias and eryptorlichism? J Urol 2001;165:2029-31 25. Misra M, Maclaughlin DT, Donahoe PK, Lee MM. Measurement of Miillerian Inhibiting Substance facilitates management of boy's microphallus and eryptorchidism. J Clin Endocrinol Metab 2002;87:3598- 3602. 26. Pyoriil $, Huteunen NP, Uhari M. A review and meta-analysis of hormonal treatment of eryptorchidism. J Clin Endocrinol Metab 1995;80:2795-9. 27. Raivio T, Toppar Ji, Kaleva M, Virtanen H, Havisto AM, Dunke L, dan Jann Ole, Serum androgen bioactivity in crypt orchid and noneryptorchid boys during postnatal reproductive hormone surge. | Clin Endlocrin Metab 2003;88:2597-9. 28, Suryawan WB, Bacubara JRL, Tiidjaja B, Pulungan AB. Gambaran klinis kriptorkismus di poliklinile endokrinologi anak RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1998-2002. Sari Pediatri 2003;5:111-6, 29. Thonneaw PE, Candia P Mieusset R. Cryptorchidism: incidence, tisk factors, and potential role of Testis dan Gangguannya 83 30. 3 84 environment: an update. J Androlog 2003;24:155-62. 58. Vinanen HE, Toppari J. Epidemiology and pathogenesis of cryptochidism. Human Reprod 2008;14:49- Wenzler DL, Bloom DA, Park JM. What is the rate of spontaneous testicular descent in infants with exyptorchidism? J Urol 2004;171:849-51 Buku Ajar Endokrinologi BAB 6 PUBERTAS DAN GANGGUANNYA Pubertas merupakan suatu tahap penting dalam proses tumbuh kembang anak. Perubahan fisik yang mencolok terjadi selama proses ini, kemudian diikuti oleh perkembangan ciri-ciri seksual sekunder, perubahan komposisi tubuh serta perubahan maturasi tulang yang cepat, diakhiri dengan menutupnya epifisis serta terbentuknya perawakan akhir dewasa. Perubahan fisik selama pubertas terjadi akibat perubahan hormonal yang berlangsung saat pubertas. Pubertas merupakan proses biologis kompleks yang terjadi pada peralihan masa anak-anak dan dewasa yang berlangsung dalam beberapa tahap dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti genetik, nutrisi, ingkungan, dan sosial ekonomi. Faktor ini bertanggung jawab terhadap awitan pubertas dan perkembangan selanjutnya menuju maturitas seksual yang lengkap. Di Amerika Serikat, sebagian besar anak perempuan akan mengalami pubertas pada usia 8-13 tahun, sedangkan anak laki-laki pada usia 9-14 tahun. Awitan pubertas pada anak perempuan ditandai oleh pertumbuhan payudara, sedangkan pada anak laki-laki ditandai oleh pertambahan volume testis. Sekitar 2,5% dari seluruh populasi mengalami pubertas di luar kisaran usia pubertas normal, baik pubertas prekoks maupun pubertas terlambat. Awitan pubertas sebelum usia 8 tahun pada anak perempuan atau 9 tahun pada anak laki- laki dianggap sebagai pubertas prekoks. Disebut pubertas terlambat jika anak perempuan usia 13 tahun belum menunjukkan tanda-tanda pubertas, atau anak laki-laki usia 14 tahun. belum menunjukkan tanda-tanda pubertas.. DEFINISI Pubertas merupakan masa transisi antara masa anak-anak dengan dewasa yang dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks. Pada masa ini terjadi perubahan-perubahan fisik maupun psikologis yang timbul karena adanya perubahan aktivitas endokrin secara sekuensial dan teratur. Ukuran dan bentuk badan berubah dari ciri khas anak ke bentuk dewasa. Tinggi badan dan berat badan meningkat dengan cepat dan tanda-tanda seksual sekunder mulai timbul. Organ-organ reproduksi berubah dari bentuk infantil menjadi bentuk dewasa. Perubahan fisik dan psikologis yang terjadi pada masa pubertas adalah akibat meningkatnya kadar hormon seks yang dihasilkan oleh gonad dan kelenjar adrenal. PERUBAHAN HORMONAL PADA MASA PUBERTAS Sebelum pubertas, steroid gonad dalam jumlah yang kecil mampu menekan aktivasi hipotalamus dan hipofisis. Dengan awitan pubertas, gonadostat hipotalamus secara Pubertas dan Gangguannya 85 progresif menjadi kurang peka terhadap efek supresi steroid seks oleh sekresi gonadotropin. Akibatnya kadar LH (luteinizing hormone) dan FSH (follicle stimulating hormone) meninekat, yang selanjutnya akan menstimulasi gonad sehingga tercapai keadaan homeostatik baru (gonadarke). Kira-kira 1-2 tahun sebelum awitan pubertas, terjadi sekresi LH dalam jumlah kecil saat tidur. Sekresi LH terjadi secara pulsatil dan dianggap mencerminkan pelepasan LHRH (luteinizing hormone releasing hormone) hipotalamus endogen secara episodik. Dengan adanya sekresi LH nokturnal tersebut, diperkirakan awitan pubertas akan terjadi dalam waktu 1-2 tahun kemudian, Sekresi LH nokturnal pulsatil terus berlanjut dan meningkat dalam aspek frekuensi maupun amplitudonya saat gambaran klinis pubertas mulai terlihat. Aktivasi GnRH (Gonadotropin releasing hormone) pulsatil_menandai awitan pubertas. GnRH ini diseksesikan oleh GnRH-containing newron ke sistim portal secara pulsatil juga. Tidak akeifnya generator GnRH pulsatil selama dekade pertama kehidupan memungkinkan terjadinya sinkronisasi antara maturasi seksual, pertumbuhan somatik, dan maturasi perilaku pada manusia. GnRH adalah suatu peptida yang terdiri atas 10 asam amino yang dikodekan pada kromosom 8p21-11.2. Neuron yang memproduksi GnRH berasal bulbus olfaktori primitif dan bermigrasi ke hipotalamus basal bagian medial. Migrasi ini dikendalikan oleh gen KAL yang terletak pada kromosom Xp22.3. Defek pada gen KAL atau produk gen ANOSMIN-1 menyebabkan sindrom Kallman yang ditandai oleh sekresi gonadotropin yang sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali dan adanya hiposmia atau anosmia. Beberapa gen yang juga berperan dalam perkembangan, migrasi, kerja neuron Environmental cues arma endogenous rhythms ave ir aBrenial Vasopressin {glen ‘ Other factors oe , Glucocorticoids x / a ee aa GnRH Neuron ieptin 20 A Body fat } > | < Sex steroids a) Reproductive function im kisspeptin dalam regulasi GnRH Dikutip dori: Dattani MT, Hindmarsh PC, Tziafer V. Evaluation of disordered of puberty. Dalam: Brook CGD, Clayton PE, Brown RS, penyunting, Brook's clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-6, UK: Wiley Blackwell, 2009. 86 Bula Ajar Endokrinologi GnRH, dan regulasi GnRH adalah FGFRI (fibroblast growth factor receptor 1), GNRHR (GnRH receptor), GPR54 (G protein-coupled receptor 54), LEP (leptin) dan reseptor leptin, SF-I (steroidogenic factor 1), DAX-1 (nuclear receptor subfamily 0, group B, member 1), dan NELF (nasal embryonic hueeinixing hormone releasing hormone factor). Kompleks sinyal kisspeptin-GPRS4 telah dianggap sebagai pintu gerbang aktivasi pubertas neuron GnRH (Gambar 6.1). Gen Kiss] mengkode satu keluarga peptida yang disebut dengan kisspetins, yang berikatan dengan reseptor GPR54. Kisspeptin dan reseptornya dieksprsikan di orak tengah. Penelitian pada manusia dan tikus memperlihatkan bahwa kehilangan fungsi GPR54 menyebabkan pubertas terlambat. Kisspeptins ini merangsang pelepasan GnRH yang selanjutnya menstimulasi sekresi gonadotropin dari hipofisis. Kisspeptins diekspresikan dalam jumlah yang banyak di nukleus arkuata dan nukleus paraventrikulaer anteroventral (PVAV) otak tengah. Faktor lingkungan, Leptin, glukokortikoid, vasopressin, steroid seks, dan faktor endogen lain berpengaruh terhadap neuron Kiss. Estradiol dan testosteron meregulasi ekspresi gen Kiss1 pada nukleus arkuata dan PVAY, tetapi respon gen Kiss1 terhadap dua steroid ini berlawanan. Estradiol dan testosteron menyebabkan downregulasi Kiss di nukleus arkuata dan menyebabkan upregulasi Kiss di PVAV sehingga neuron kisspeptin di nukelus arkuata berperan dalam mekanisme umpan balik sekresi gonadotropin, sedangkan neuron kisspeptin di PVAV berperan dalam menimbulkan peningkatan gonadotropik pre-ovulatori pada perempuan. Gonadotropin (LH dan FSH) dilepaskan ke sirkulasi secara pulsatil sesuai dengan pola sekresi GnRH. Testosteron dan progesteron menghambat frekuensi pulsasi GnRH tetapi menurunnya sekresi gonadotropin selama masa anak-anak sebelum pubertas dimediasi oleh sistim saraf pusat. LH serum akan meningkat dalam beberapa menit setelah bolus GnRH. Stimulasi episodik GnRH meningkatkan sekresi LH dan FSH, sedanekan infus kontinu GnRH menurunkan kadar LH dan FSH dan menyebabkan downregulasi reseptor GnRH di hipofisis. Selama masa remaja respons LH tethadap GnRH (gonadotropin releasing hormone) meningkat dengan cepat pada kedua jenis kelamin, namun peningkatan FSH tidak sepesat kenaikan LH. FSH dan LH bekerja secara sinergis untuk menimbulkan perubahan- perubahan gonad pada masa pubertas. Penurunan kepekaan hipotalamus dianggap penting dalam awitan pubertas. Pada saat perempuan mengalami pubertas terjadi peningkatan tajam produksi FSH yang mendahului peningkatan estradiol plasma. Sedangkan pada laki-laki produksi LH meningkat sebelum peningkatan tajam testosteron. Selama pubertas kadar LH bioaktifdalam plasma meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan LH imunoreakeif, maka terjadi perubahan kualitatif dan kuantitatif LH. Pada pertengahan masa pubertas, sekresi LH secara pulsatil semakin nyata bahkan pada saat tidur. Pada anak laki-laki, LH merangsang sel Leydig untuk mensekresi testosteron, sedangkan FSH merangsang sel Sertoli untuk memproduksi suatu peptida yang disebut inhibin yang akan menimbulkan reaksi umpan balik dan menghambat estrogen. Pada perempuan, FSH menstimulasisel granulosa untuk menghasilkan estrogen dan menstimulasi folikel untuk mensekresi inhibin, Sementara itu LH muncul dan sedikit berperan sampai saat menarke dan merangsang timbulnya ovulasi, selanjutnya LH menstimulasi sel teka untuk mensekresi androgen dan prekursomnya Pubertas dan Gangguarnya 87 Pada perempuan terjadi perubahan hormonal yang mencolok menjelang menarke yaitu penurunan sensitivitas mekanisme wmpan balik negatif hormon seks. FSH kurang ditekan oleh hormon seks schingga kadarnya akan meningkat. Peningkatan kadar FSH akan merangsang ovarium sehingga folikel-folikel primer berkembang dan kadar estradiol meningkat. Perubahan status hormonal ini akan tampak dari timbulnya tanda-tanda seks sekunder, Beberapa saat menjelang menarke, muncul mekanisme kontrol baru yaitu empan balik positif estradiol terhadap hipofisis yang menghasilkan lonjakan LH. Lonjakan LH berkaitan dengan ovulasi, Bila tidak terjadi ovulasi maka kadar estradiol menurun dan keadaan ini akan diikuti dengan perdarahan akibat deskuamasi endometrium yang berupa haid pertama (menarke). Pada anak laki-laki, peningkatan wkuran testis selama masa prapubertas dan pubertas disebabkan oleh perkembangan tubulus seminiferus di bawah pengaruh stimulasi FSH. Sekresi LH secara pulsatil menginduksi diferensiasi sel interstisial menjadi sel Leydig yang mensekresi testosteron dan nantinya akan mempengaruhi umpan balik negatif terhadap sekresi FSH. Pada saat pubertas terjadi spermatogenesis akibat pengaruh stimulasi FSH dan testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig di bawah kontrol LH. Di bawah ini (Gambar 6,2.) adalah skema mekanisme umpan balik hormonal dan faktor-faktor yang mengaturnya pada masa pubertas. |Hipotalamus \ \ rst \\ \ \ } Testose Testis Gambor 6.2. Mekanisme umpan balik hormonal dan faktor yang mengatur pada masa pubertas. 88 Buku Ajar Endokrinologi Hotmon GnRH sudah dijumpai di dalam hipotalamus janin yang berusia 10 minggu. FSH dan LH yang diproduksi pada kehamilan 10-13 minggu akan mencapai puncaknya pada usia kehamilan 20 minggu, yang kemudian menurun kembali, Rendahnya kadar gonadotropin pada saat ini tidak dapat diterangkan hanya dengan adanya hipersensitivitas tethadap steroid, melainkan mungkin pula akibat faktor intrinsik penghambat susunan saraf pusat (inhibitor SSP) yang mempunyai mekanisme kerja menekan pulsasi GnRH. Hipotalamus, hipofisis, dan gonad telah aktifdan berinteraksi selama bertahun-tahun sebelum timbulnya citi-ciri seks sekunder yang menyertai pubertas. Kadar FSH dan LH rendah, tapi masih dapat diukur sepanjang masa anak-anak dan perlahan-lahan meningkat selama pubertas. Masa anak berusia. 4-10 tahun ditandai oleh rendahnya kadar gonadotropin. Hal ini disebabkan oleh rendahnya respons hipofisis terhadap GnRH serta adanya penekanan maksimum hipotalamus (gonadostat). Saat yang tepat dimulainya tanda pubertas secara endokrinologis tidak dapat diketabiai, tetapi pada anak perempuan berusia 6-8 tahun diketahui bahwa yang pertama kali meningkat adalah hormon steroid DHEA. Kemudian FSH meningkat bersamaan, sedangkan estradiol (E2) dan LH tidak meningkat sampai usia 10-12 tahun. Pada pertengahan atau akhir masa remaja pada perempuan terjadi proses siklik dan ovulasi, Pada saat tersebut berkembanglah suatu mekanisme umpan balik positif yang ditandai oleh peningkatan kadar LH pada pertengahan siklus menstruasi sebagai respons terhadap sekresi estrogen yang meningkat. Sebelum pertengahan masa remaja kemampuan estrogen untuk melepaskan LH ini tidak ditemukan Androgen korteks adrenal juga berperan dalam proses pubertas (adrenarke). Kadar DHEA dan DHEAS (dehydroepiandrosterone sulfate) mulai meningkat sebelum perubahan fisik pubertas yang paling dini. Peningkatan ini terjadi mendahului peningkatan gonadotropin, testosteron, atau estradiol yaitu pada usia sekitar 6 tahun, Peningkatan ini pada anak perempuan terjadi lebih dini dibandingkan anak laki-laki. Kadar hormon prolaktin pada anak laki-laki rendah selama masa anak-anak. Namun terdapat peningkatan kadar prolaktin nokturnal pada awal pubertas. Pada anak perempuan kadar prolaktin mulai meningkat pada usia 14-15 tahun bersamaan dengan peningkatan kadar estrogen plasma. PERUBAHAN FISIK ANAK LAKI-LAKI PADA MASA PUBERTAS Pertumbuhan testis dan pacu tumbuh Pada anak laki-laki pertumbuhan testis merupakan tanda pertama pubertas. Pertumbuhan ini terjadi akibat perkembangan tubulus seminiferus di bawah pengaruh stimulasi FSH. Pertambahan volume testis terjadi pada usia rerata 11,5 tahun, namun pertambahan volume yang terjadi antara usia 10 sampai 13,5 tahun masih dianggap normal. Pengukuran volume testis dilakukan dengan menggunakan orkidometer Prader (Gambar 6.3), yang diberi angka 1-25. Angka ini menyatakan volume testis dalam mL. Pada bayi volumenya Pubertas dan Gangguannya 89 I mL, pada awal pubertas 4, dan dewasd umumnya di atas 10 mL. Volume testis = 4 mL merwpakan tanda seorang anak laki-laki sudah memasuki pubertas. Gambar 6.3. Orkidometer Pacu tumbuh (growth spurt) tinggi badan mulai terjadi sekitar usia 13 tahun (antara 10,5-16 tahun) dan berakhir sekitar usia 16 tahun (antara 13,5-17,5 tahun), walaupun sesudah itu tinggi badan masih bertambah meskipun dengan kecepatannya berkurang. Pertumbuhan tinggi badan pada laki-laki umumnya sudah berakhir pada usia 19-20 ahun. Setiap orang memiliki pola pertumbuhan masing-masing, ada yang mulai bertumbuh dini tetapi juga berhenti cepat, sedangkan yang lain mulai lebih lambat namun masih tumbuh terus sampai di atas usia 20 tahun. Pemeriksaan usia tulang dapat dilakukan uncuk sisa pertumbuhan yang dimiliki oleh seseorang. Pertumbuhan penis dan rambut pubis Hampir bersamaan dengan pacu. tumbuh, penis dan rambut pubis juga mulai tumbuh, Bentuk penis berubah dari bentuk infantil ke bentuk dewasa dalam waktu kurang lebih 2 tahun, Rambut pubis tumbuh secara bertahap yang dinyatekan dalam 5 tahap; PI belum ada rambut sama sekali; P2 mulai tampak rambut halus; P3 rambut semakin kasar dan lebat; P4 rambut sudah hampir penuh; P5 rambut pubis mencapai bentuk dewasa sampai pusar dan biasanya tercapai pada usia 15-16 tahun. Marshall dan ‘Tanner menyusun tahap perkembangan pubertas anak laki-laki berdasarkan pertumbuhan rambut pubis dan genitalia (testis dan penis) (Tabel 6.1). 90 Buku Ajar Endokrinologi Tabel. 6.1. Perkembangan status pubertas pada anak laki-lal Prapubertas Perfambchon volume testis, skrolum membesar, Jarong, sedkit pigmentasi dan ogok ikl, ‘menipis don kemerahan ferutama pada panglal penis Penis mulai membesor baik dalam panjang _Tebal, kal, meluas hingga ke mons pubis ‘maupun diameter, volume testis dan skrotum torus bertambah membesar Tohap 4 Testis dan skrotum terus membesar, wana Benluk dewaxa, teop! belum meluas ke medial ‘ult skrotum yang makin gelap penis makin. aha membesar baik panjang maupun diameter Tahap 5 Bentuk-dan ukvran dewasa Bentuk dewasa, meluas ke medial pubi | | }-\ | | f Sa | i ! [ i ‘ 1 tn | | | | | i we wy | | 7 v | Gambar 6.4. Pola pertumbuhan rambut pubis Pertumbuhan rambut ketiak, kumis, janggut dan perubahan suara Rambut ketiak biasanya baru tumbuh jika rambut pubis sudah mencapai P4, sedangkan kumis dan janggut baru tumbuh kemudian. Pada anak laki-laki terjadi perubahan sara akibat bertambah panjangnya pita suara mengikuti pacu tumbui lering. Hal ini terjadi bila proses pubertas sudah berlangstng beberapa waktu. Marshall dan ‘Tanner (1970) mengamati perubahan fisis selama pubertas pada 228 anak laki-laki normal dan melaporkan bahwa genitalia mulai berkembang pada usia 10-135 tahun pada 95% anak laki-laki (rata-rata 11,6::0,09 tahun) dan mencapai maturitas pada usia yang bervariast antara 13 sampai 17 tahun (rata-rata 14,9%1,10 tahun). Rata-rata genitalia mencapai tal lama 3 tahun setelah mulai berkembang, tapi beberapa anak laki-lali dapat menyelesaikan tahapan ini dalam waktu 1,8 tahun, sementara anak Jainnya memerlukan waktu sampai 4,7 tahun (Gambar 6.5) ap dewasa Pubertas dan Gangguannya 91 Pacutumbuh 10,5-16 [™.. Penis 11-14.5 13.5-17, Tess ——— 10-135, 145-18 P2. PS Rambut pubis =

Anda mungkin juga menyukai