Anda di halaman 1dari 8

Berat

Pengeroyokan massa terhadap seorang maling

Minggu, September 2007

Malam minggu itu seperti malam minggu biasanya agak ramai dan mulai sepi saat pukul
24.00 WIB. Para warga kembali kerumah masing-masing setelah bermain gaplek di
gardu.Sekitar pukul 01.00 WIB ada beberapa warga yang meronda linkungan sekitar
masyarakat RT 02/01.Mereka mengelilingi kampung dan tidak terdapat adanya sesuatu yang
mencurigakan.

Pukul tepat 02.00 WIB salah satu warga lingkungan RT 02/01 yang rumahnya terdapat
di perbatasan lingkungan RT 02/01 berteriak maling.Semua warga langsung mendatangi
tempat lokasi dan didapatinya seorang maling yang sedang dikeroyok oleh masa.

Kronologis kejadianya ketika Endar saksi mata kejadian tengah bangun malam lalu
menuju kamar mandi untuk membuang hajat.Ketika dalam keheninganya Endar mendengar
ayam peliharaanya berbunyi dan terdapat bunyi bunyi yang mencurigakan dari belakang
rumahnya yang tepat berada di belakang kamar kecil.Kemudian Endar membuka pintu
belakang dan mendapati seseorang sedang berusaha mengambil sebuah tanduk kerbau.Endar
kemudian berteriak maling dan kebetulan ada warga disekitar lokasi dan langsung menuju
lokasi.Maling kemudian ditanya-tanyakan terlebih dahulu sambal dihajar dengan tonjokan dan
tamparan sebelum masa mulai meramai dan dengan alasan yang kurang jelas langsung saja
mengeroyok sang maling.

Di lokasi sempat terdengar warga yang menyulut nyulut amarah dengan berteriak “Uwis
obong bae obong,engkone maling maning lamon tigebuki doang ma”.Kemudian ketua RT
melerai pengeroyokan dan langsung menelfon polisi.Naasnya sang maling sudah merenggut
nyawa sebelum polisi dating ke TKP.Peristiwa ini mendapat sorotan media Buser dan sempat
ramai di kelurahan Taman Baru.

Kasus ini termasuk pelanggaran HAM karena tanpa klarifikasi yang jelas nyawa
seseorang menghilang dan termasuk pelanggaran HAM berat.
Pengeroyokan maling motor oleh massa
Senin,Juli 2016

Lopang

Di siang hari seseorang berinisial A Bersama temanya ingin memotong rambut di


daerah sekitar lopang.Setelah sampai di tempat cukur “C” A kemudian memarkirkan motornya
didepan tempat cukur tersebut.Kondisi jalan agak sepi di siang hari di daerah itu.Terlihata
beberapa orang lalu lalang dengan kendaraan bermotornya.

A kemudian masuk tempat cukur “C” dan berniat untuk memotong rambutnya
sedangkan temanya menunggu di kursi didalam tempat cukur tersebut.Setalah beberapa menit
Pelaku pencurian mulai beraksi.Pelaku menaiki motor menggunakan helm dan dibonceng oleh
seorang temanya yang merupakan salah satu kelompok curanmor.Ketika pelaku sedang
mengakali motor si A teman si A melihat apa yang sedang dilakukan pelaku lantas langsung
berteriak maling dan semua orang langsung menuju tempat lokasi untuk menghajar pelaku
yang tertangkap basah sedang membobol kunci motor.Sedangkan teman pelaku sudah
meninggalkan pelaku lebih dahulu.

Helm pelaku dilepas kemudian langsung dihajar dan dikeroyoki. Kejadian tersebut
menjadi tontonan warga sekitar dan yang melintas.Kondisi pengeroyokan tak terkendali
sehingga banyaka warga yang melerai tak tertahankan oleh bendungan amuk warga yang
meningkat.Dari samping ada seorang warga yang membawa sebuah genting dan langsung saja
menimpakan dan memukulkanya ke kepala sang pelaku yang kemudian mengalir deras darah
dari kepalanya.Pelaku kemudian tewas tanpa sempat di interogasi oleh polisi.

Termasuk pelanggaran HAM berat karena menghilangkan nyawa seseorang.


Tragedi Rawa Gede
Selasa, 9 Desember 1947

Desa Rawagede

Suara azan subuh baru saja berkumandang ketika ratusan pasukan Belanda sudah
mengepung Desa Rawagede. Hari itu, Selasa, 9 Desember 1947, pukul 04.00 WIB, di bawah
pimpinan Mayor Alphons Wijman, sekitar 300 tentara Belanda mengeledah rumah warga.
Mereka mencari pejuang Republik, Kapten Lukas Kustario.

Wijman mendengar bahwa Lukas berada di Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Desa
ini—kini berubah nama menjadi Balongsari—terletak di Kecamatan Rawamerta, Kabupaten
Karawang, sekitar 15 kilometer arah timur laut dari ibu kota Kabupaten.

Rumah-rumah digeledah, namun yang dicari tidak ada. Pasukan Mayor Wijman memerintahkan
penduduk laki-laki berkumpul di tanah lapang untuk ditanya mengenai keberadaan Lukas.

Karena tak satu pun penduduk yang memberitahu di mana Lukas, Wijman memerintahkan
pasukannya menembak. Lasmi, 83 tahun, kepada Tempo menuturkan, ia mendengar para
lelaki itu berjejer. “Lalu terdengar tekdung, tekdung, bunyi senapan dikokang, kemudian
ditembakkan.”

Lasmi melihat suaminya mati terkapar dengan peluru bersarang di leher. Ini membuat
kandungannya yang berumur tujuh bulan keguguran.

Setelah itu, Lasmi mendengar tembakan mortir. Woss...jegur. Saat itu, para perempuan memilih
tiarap di tempat tidur. “Rame pisan tembakan. Canon--mortir ya, kata yang tau canon--
mortir. Wos-wos..., dari atas. Jegor!” begitu ujar Cawi binti Baisan, janda korban Rawagede
yang saat itu berumur 22 tahun.

Ada enam kali tembakan mortir. Menurut laporan Wijman, 12 kiriman mortir itu membakar
delapan sampai 10 rumah. Wijnen juga menyebut, saat ia menyerang, nyaris tiada perlawanan.
Tembakan mortirnya cuma sempat dibalas sekelompok pria tanpa seragam satu-dua kali
dengan karabin. Halangan utama pasukannya yang tengah mengarah ke barat justru tanah
berlumpur yang licin.

Wijman mengatakan pasukannya hanya berkekuatan 90 personel, diperkuat dengan 2 mortir


kaliber 2. Oleh Wijman, pasukan dibagi menjadi tiga grup. Masing-masing berkekuatan 30
orang. Rawagede dikepung dari tiga jurusan: utara, timur, dan selatan.

Pasukan utara dipimpin dua sersannya. Pasukan itu diperkuat satu bren. Pasukan selatan
dipimpin seorang sersan mayor. Mereka juga dibekali satu bren. Wijman sendiri memimpin
kelompok yang bertugas mengepung kampung dari arah timur. Dibantu dua perwira, grupnya
diperkuat sten dan 2 mortir 2.

Seluruh operasi itu selesai pukul 13.00. Namun versi lain dari Sukarman, Ketua Yayasan
Rawagede, operasi itu berlangsung hingga pukul 16.00.

Cawi, 84 tahun, janda korban pembantaian malah berkukuh tragedi itu terjadi menjelang magrib.
Ia mengaku keluar pukul 17.00 WIB bersama perempuan-perempuan lainnya mencari suami
dan orang tua mereka yang sudah ditemukan bergelimpangan di rumah dan jalanan.

Cawi tak mengetahui bagaimana suami dan tetangganya dieksekusi. Ia--seperti para
perempuan lainnya--bersembunyi di dalam rumah. Adapun para pria memilih kabur ke luar
kampung atau bersembunyi di sungai atau di kolam, seperti Siot, ayah Kadun.

Kadun saat itu berusia 10 tahun. Ia melihat bagaimana ayahnya bersembunyi di sungai dekat
rumah. “Mukanya diurugin (ditutup) sampah. Tak terlihat oleh Belanda,” ujarnya.

"Tapi Belanda bawa anjing dan anjing itu menggonggong terus. Lama-lama, tempat sembunyi
ayah disogok-sogok bayonet," kata Kadun. Ayah Kadun akhirnya muncul dari tumpukan
sampah. "Ia dibawa Belanda. Sejak itu, ia tak pernah kembali."

Menurut Sukarman, Belanda melakukan eksekusi dalam kelompok-kelompok kecil, terdiri dari
setiap lelaki yang berumur di atas 14 tahun. Masing-masing kelompok terdiri dari 10-30 orang.
"Masing-masing kelompok warga yang dikumpulkan oleh pasukan Belanda saat itu tidak saling
mengetahui kalau telah terjadi pembantaian. Karena mereka dikumpulkan secara terpisah,"
ujarnya.
Menurut data Yayasan Rawagede, jumlah warga yang menjadi korban sekitar 431 korban. Tapi,
menurut Wijnen, pihaknya cuma menembak mati 150 orang. Penembakan itu bukan tanpa
sebab. "Sangat mungkin, karena terprovokasi pihak lain, sejumlah yang tak bersalah jadi
korban."

Apa yang terjadi Selasa pagi itu membuat Rawagede bersimbah darah. “Kali Rawagede merah
oleh darah. Mayat bergelimpangan,” kata Kadun. “Di mana-mana menangis, meratap, dan
meratap.”

Sepanjang tiga hari setelah peristiwa pembantaian itu, kata Kadun, para ibu di Rawagede
mencari suami dan anak lelaki mereka. Sejak itu, tak ada lagi lelaki di kampung itu. Mereka—
para perempuan itu—bahu-membahu menggotong dan mengubur jenazah.

Dengan alat seadanya—cangkul, golok, dan sendok semen—ibu-ibu itu menggali lubang
sedalam sekitar satu meter untuk mengubur jenazah di pekarangan rumah masing-masing.

Sejak operasi itu, Rawagede tak sama lagi. Cuma dalam 6 jam (versi Belanda) atau 12 jam
(versi keluarga korban), Rawagede menjadi kampung janda. Baru bertahun-tahun kemudian,
kampung itu kembali memiliki lelaki dewasa.
Ringan

1.

Seorang anak yang tidak bersekolah dan malah harus mengemis oleh ibunya.

Penyebab : Keadaan ekonomi yang tidak mencukupi.

Hak dilanggar : Hak atas pendidikan

2.

Ketika lampu lalu lintas menyala berwarna merah dan seharusnya semua orang
berhenti, namun seorang tentara menerobos lampu merah tersebut dan anehnya polisi
tidak menangkap oknum tentara tersebut dan malah membiarkannya.

Hak dilanggar : Hak atas mendapat perlakuan sama dimuka umum.

3.

Seorang siswa yang tidak diperbolehkan untuk menyatakan pendapatnya di depan


kelas.

Hak dilanggar : Hak untuk menyatakan pendapat.


Sedang

1.

Perkelahian atau tawuran antar sekolah yang terjadi antara kubu SMKN 1 dengan kubu
SMK PGRI pada bulan April 2017. Sayangnya pada kejadian ini tidak ada pihak ketiga
yang melerai perkelahian. Tawuran ini menyebabkan kemacetan yang cukup panjang
dan merugikan beberapa pihak yang sebenarnya tidak terlibat sama sekali.

Hak dilanggar :

2.

Kasus diskriminasi terhadap seorang siswa yang melibatkan agama yang terjadi di
salah satu sekolah di Yogyakarta pada awal tahun pelajaran 2016/2017.

Hak dilanggar : Hak kebebasan untuk memeluk serta menjalankan ajaran


agamanya.

3.

Kasus pengusiran yang dilakukan oleh sebuah perusahaan secara sewenang-wenang


dan dilakukan secara paksa terhadap warga yang sudah lama menempati wilayah
tersebut.

Hak dilanggar : Hak atas tempat tinggal yang layak. [Pasal 28H ayat(1)]
TUGAS

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Nama :

- Benny Purnama
- Muhammad Erlangga
- Muhammad Faqih A-S.
- Muhammad Ibnu H.

XII MIPA 1

Anda mungkin juga menyukai