Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENGENALAN MEDAN (INFORMATION BUILDING)

1.1 Latar Belakang Masalah


Tuberculosis adalah infeksi bakteri kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, biasanya di tandai dengan terbentuknya
granuloma secara patologis. Predileksinya biasanya pada paru, namun
organ lain dapat terkena juga. (CDC, 2009)
Tuberkulosis (TB) saat ini menduduki peringkat 10 besar penyebab
kematian terbanyak di dunia. Data dari WHO pada tahun 2015 terdapat
10,4 juta orang menderita TB dan 1,8 juta orang meninggal karena TB
(WHO, 2016). Data terbaru WHO menyebutkan bahwa saat ini Indonesia
berada pada peringkat kedua di dunia dengan jumlah penderita TB
terbanyak yakni sebanyak 1 juta jiwa (WHO, 2016). Berdasarkan rencana
strategis kementrian kesehatan dari 2010 sampai 2014, saat ini strategi
nasional pengendalian TB adalah menurunkan prevalensi TB dari 235 per
100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk, meningkatkan
angka CDR dari 70% menjadi 90% pada 2014, mempertahankan angka SR
(Success Rate) sebesar 88%, meningkatkan persentase provinsi dengan
CDR ≥ 70% dari 15% menjadi 50% pada 2014, meningkatkan persentase
provinsi dengan SR ≥ 85% dari 84% menjadi 88% pada 2014.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
Berdasarkan hasil profil kesehatan provinsi Jawa Timur, didapatkan
capaian CDR (Case Detection Rate), yang merupakan proporsi penemuan
kasus TB BTA Positif dibanding dengan perkiraan kasus dalam persen,
pada tahun 2012 sebesar 63.03% (DKP Jatim, 2013). Angka ini masih di
bawah target capaian nasional untuk tahun 2012 yang sebesar 80%
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Sedangkan untuk SR
(Success Rate) pada tahun 2011 sebesar 91% dari target 88%. (DKP Jatim,
2013).

Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten yang ada di jawa timur.


Berdasarkan data presentasi kolaborasi TB dan HIV di Banyuwangi tahun

1
2

2016 didapatkan angka CDR yang menurun yaitu dari 53% di tahun 2014
menjadi 49% di tahun 2015. Data proporsi suspek juga menurun dari 54%
di tahun 2014 menjadi 52% di tahun 2015. (Dinkes Banyuwangi, 2016).
Puskesmas Bajulmati merupakan salah satu Puskesmas di Kabupaten
Banyuwangi yang berada di Kecamatan Wongsorejo dengan jumlah
penduduk yang sebesar 48.106 jiwa. Dari data mini lokakarya puskesmas
Bajulmati tahun 2017 didapatkan penemuan suspek TB tidak memenuhi
target. Dari target 392 orang hanya terpenuhi 101 orang. Penemuan BTA
positif juga tidak memenuhi target, dari 39 orang hanya terpenuhi 16
orang. (Mini Lokakarya Puskesmas Bajulmati, 2017)
Desa Bimorejo merupakan salah satu desa di wilayah kerja puskesmas
Bajulmati. Menurut data formulir TB 6 didapatkan penemuan suspek TB
menurun dari 17 orang menjadi 9 orang. Sedangkan penemuan BTA positif
meningkat dari 1 orang menjadi 2 orang. (Form TB 6 Puskesmas
Bajulmati, 2015 dan 2016)
Masalah yang ditemukan dari data jumlah kasus dan angka penemuan
kasus TB Puskesmas Bajulmati pada tahun 2016 :
1. Angka penjaringan suspek sebesar 101 dari target 392 (25,7%)
2. Angka penemuan kasus TB paru BTA(+) (CDR) hanya sebesar
41,02% dari target 90%
3. Proporsi pasien BTA (+) diantara suspek sebesar 15,8% dari target 5-
15%
Menurut wawancara dengan PJ P2M TB penyebab masalah yang
ditemukan utamanya adalah tenaga kesehatan yang kurang komunikasi,
edukasi dan informasi ke pasien dan kader yang kurang.
Menurut survei lingkungan yang dilakukan di desa Bimorejo,
ditemukan permasalahan kesehatan lain yang terdapat pada masyarakat
Bimorejo yakni kurangnya pengetahuan masyarakat tentang TB, masalah
ekonomi masyarakat, dan cakupan BPJS yang sedikit.
Program TB di Puskesmas Bajulmati antara lain :
1. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course)
2. Imunisasi BCG
3

3. Penjaringan suspek TB di kunjungan Ruang Pelayanan Umum,


Puskesmas Pembantu, dan Pondok Bersalin Desa di wilayah kerja
Puskesmas
4. Pemeriksaan kontak serumah penderita TB dengan BTA positif
5. Melibatkan penderita sembuh sebagai promotor pengobatan gratis TB
di Puskesmas Bajulmati akan tetapi sekarang tidak berjalan lagi.
6. Kunjungan rumah (home visit) dan poli TB
Menanggapi permasalahan di atas, penulis berinisiatif untuk
mengatasi permasalahan tersebut dengan mengadakan upaya promotif dan
preventif dari TB terutama di Desa Bimorejo, Kecamatan Wongsorejo
karena angka kasusnya tinggi. Untuk menyelenggarakan upaya tersebut,
diperlukan kerja sama lintas sektor, serta yang tak kalah penting adalah
terutama masyarakat Desa Bimorejo, Kecamatan Wongsorejo itu sendiri.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mampu menjalankan pelayanan kesehatan paripurna mengenai upaya
promotif dan preventif TB dengan memanfaatkan ilmu-ilmu kedokteran
secara multidisiplin pada masyarakat di daerah tertentu dengan tinggal
bersama masyarakat guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat. Selain itu mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
dan melakukan kedokteran komunitas di lapangan dengan menggunakan
sumber daya setempat dan menggerakkan peran serta masyarakat, serta
menjalankan pelayanan kesehatan dengan menggunakan konsep
kedokteran keluarga dan upaya kesehatan berbasis masyarakat.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Melakukan pengenalan medan di wilayah kerja Puskesmas Bajulmati,
Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi.
b. Menentukan diagnosis komunitas di wilayah kerja Puskesmas
Bajulmati, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi dengan
cara mengidentifikasi masalah, pemecahan masalah, pengembangan
solusi, pembentukan model, dan pengembangan program.
4

c. Menjalankan terapi komunitas di wilayah kerja Puskesmas Bajulmati,


Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi
d. Menyusun evaluasi program terapi komunitas yang diselenggarakan di
wilayah kerja Puskesmas Bajulmati, Kecamatan Wongsorejo,
Kabupaten Banyuwangi.

1.3 Kepustakaan
1.3.1 Definisi TB Paru
Tuberculosis adalah infeksi bakteri kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, biasanya di tandai dengan terbentuknya
granuloma secara patologis. Predileksinya biasanya pada paru, namun
organ lain dapat terkena juga (CDC, 2009)
Bakteri TB menular lewat udara, biasanya pada TB paru menular
lewat batuk, berbicara atau bernyanyi, baik itu ke keluarga, teman, ataupun
teman kerja. Ketika seseorang menghirup kuman TB, bakteri dapat
tinggal di paru dan mulai tumbuh, kemudian menyebar lewat pembuluh
darah ke organ-organ tubuh manusia, seperti ginjal,tulang belakang dan
otak . TB tidak menyebar dengan memegang tangan penderita, berbagi
makanan atau minuman, memegang sprei pasien atau tempat duduk toilet,
berbagi sikat gigi, atau pun berciuman. (CDC,2016)
1.3.2 Faktor Resiko TB
Pada salah satu penelitian di Purwokerto mengatakan bahwa ada
hubungan antara riwayat keluarga yg menderita TB, perilaku merokok
keluarga, kondisi lingkungan rumah yang buruk dengan kejadian TB pada
balita dan menyebabkan risiko sebesar 6,786; 5,091; 4,210 kali terhadap
kejadian TB di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. (Aan Sunani dan
Ratifah, 2014) Faktor paling dominan terhadap terjadinya tuberculosis
pada anak adalah status anak pernah kontak TB serumah dari keluarga
miskin. Adapun faktor lainnya seperti status anak dengan gizi kurang, dan
status ekonomi keluarga miskin juga mempengaruhi kejadian tuberculosis
pada anak di Kabupaten Purworejo. (Setya, A.R., 2009)
5

Bergonzoli et al. melakukan penelitian dan mendapati bahwa dengan


penyelenggaraan air minum yang bersih, cakupan sanitasi dasar, status
gizi, dan perempuan yang tidak buta huruf dapat menurunkan mortalitas
dari penyakit TB. Determinan social, seperti hidup yang kurang beruntung
dan kondisi kerja, malnutrisi, kurangnya pengetahuan masyarakat,
kemiskinan, dan faktor lainnya dapat berperan penting terhadap terjadinya
TB. Orang yang hidup dibawah garis kemiskinan memiliki risiko terbesar
dalam terjadinya TB. Orang yang memiliki sosioekonomi rendah biasanya
lebih sering kontak dengan sumber TB aktif dikarenakan kepadatan rumah
yang tinggi, rumah yang ventilasinya kurang, makanan yang tidak aman,
terbatasnya akses menuju fasilitas kesehatan dan kurangnya kemampuan
untuk merubah pengetahuan kesehatannya yang salah tentang perilaku
hidup sehat. (Bergonzoli et al., 2016)
Adapun beberapa faktor yang signifikan berhubungan dengan
kejadian TB di Indonesia. Adanya riwayat penyakit diabetes mellitus.
Masyarakat yang mempunyai penyakit diabetes mellitus mempunyai risiko
yang tinggi terjadinya penyakit TB. Faktor berikutnya adalah umur tua,
jenis kelamin laki-laki, status pendidikan rendah, tingkat ekonomi rendah,
perilaku merokok, dan kondisi rumah yang padat berpengaruh bermakna
untuk terjadinya penyakit TB. (Pangaribuan lamria. 2007).
Adapun pada penelitian lain disebutkan beberapa faktor risiko
terhadap kejadian tuberculosis, yaitu indikator pendidikan, pendapatan dan
kelas social. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa secara bersama-sama
indikator pendidikan, pendapatan, dan kelas social yang rendah
meningkatkan risiko kejadian tuberculosis paru. Penanggulangan
tuberkulosis perlu disertai dengan upaya peningkatan determinan sosial,
yaitu melalui peningkatan pendidikan yang berupa pendidikan nonformal.
Peningkatan pendidikan tersebut diharapkan dapat meningkatkan indikator
pendapatan dan kelas social sehingga diupayakan hal ini dapat
menurunkan kejadian TB paru. Upaya tersebut memerlukan dukungan
tidak hanya dari instansi kesehatan tetapi juga dari instansi di luar
kesehatan dan pemerintah (Wulan, 2014).
6

Gambar 1.1 Faktor Risiko TB (Hargreaves, J.R. et al, 2011).


Determinan utama dari epidemiologi TB adalah ketidakseimbangan
sosio-ekonomi global, jumlah populasi yang sangat tinggi, urbanisasi
besar-besaran, pertumbuhan populasi. Kondisi ini menyebabkan
ketidakseimbangan distribusi dari determinan social kunci dari TB,
termasuk kerawanan pangan, malnutrisi, rumah dan kondisi lingkungan
yang kotor, tingkat keuangan, kondisi geografis, penghalang budaya untuk
akses ke fasilitas kesehatan terdekat. Ventilasi yang buruk dan
overcrowding didalam rumah, tempat kerja, komunitas meningkatkan
paparan terhadap infeksi TB. Kemiskinan, malnutrisi, dan kelaparan dapat
meningkatkan kepekaan terhadap infeksi dan keparahan dari output klinis
(Hargreaves, J.R. et al, 2011).

Gambar 1.2 Faktor Risiko Infeksi dan Penyakit TB (Narasimhan et al, 2012)
7

Bagan ini menggambarkan karakteristik utama yang mempengaruhi


risiko individu untuk terjadi infeksi dan penyakit tuberculosis (Narasimhan
et al, 2012). Faktor risiko lainnya yang sangat penting pada level populasi
adalah tempat tinggal yang buruk dan kondisi kerja berhubungan dengan
risiko tinggi terjadinya transmisi TB. Infeksi HIV, malnutrisi, merokok,
diabetes mellitus, penyalahgunaan alkohol, polusi udara didalam ruangan
adalah faktor yang menyebabkan gangguan pada sistem imunitas pejamu
dalam melawan kuman TB. Prinsipnya, menurunkan berbagai faktor risiko
akan menurunkan insidens terjadinya TB pula. Perkembangan
sosioekonomi dapat berkontribusi penting terhadap kontrol TB dengan
peningkatan kondisi hidup, status nutrisi, dan pelayanan fasilitas
kesehatan. Namun pertumbuhan ekonomi ini juga bisa menyebabkan
terjadinya peningkatan TB karena adanya urbanisasi besar-besaran dan
perubahan gaya hidup masyarakat. Program TB nasional harus diperkuat
dengan berkolaborasi dengan program kesehatan public lainnya dalam
rangka prevensi, terapi, dan managemen dari HIV, malnutrisi, merokok,
diabetes, dan penyalahgunaan alkohol (Lonnroth et al, 2009).

1.3.3 Diagnosis TB
1.3.3.1 Anamnesis
Anamnesis dari TB dengan mencari gejala-gejala seperti : berat badan
turun tidak jelas, keringat malam, demam malam hari, cepat lelah, batuk
lebih dari 3 minggu dan berdarah, nyeri dada, kurang nafsu makan, apakah
ada riwayat terpapar TB, melihat dari mana orang tersebut untuk mencari
endemis TB atau tidaknya (negara asal, umur Ras dan pekerjaan) yang
dapat meningkatkan risiko terkena TB, melihat apakah ada penyakit lain
yang membuat lebih mudah terinfeksi TB; contohnya HIV dan DM, serta
apakah ada riwayat penggunaan obat TB.
1.3.3.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik general seperti biasa dan juga pemeriksaan yang
menunjang sakit TB yang terkena pada organ tsb, semisal TB paru
terdapat kelainan pada paru.

1.3.3.3 Tes TB
8

Mantoux tuberculin skin test (TST) atau tes darah TB dapat


menentukan infeksi M. Tuberculosis. TST dengan cara menyuntikkan
cairan tubeculin pada kulit di lengan bawah kemudin pasien kembali pada
48-72 jam berikutnya untuk di periksa di bagian bekas suntikan. Jika
positif di dapatkan adanya benjolan yang >10 mm, jika negatif apabila
tidak terjadi reaksi apa-apa pada bekas suntikan. Tes darah TB
menggunakan interferon-gamma release assays or IGRAs. Jika positif
apabila terinfeksi, jika tidak ada reaksi, berarti TB negatif.
1.3.3.4 Xray
Foto yang di pake biasanya foto x ray Thorax . Biasanya lesi terlihat
bisa berbeda-beda di ukuran, benuk, densitas, dan cavitas. Biasanya
pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah pasien yang tidak ada gejala
namun TST dan Tes darah TBnya positif benar-benar menderita TB atau
tidak.
1.3.3.5 Diagnostik Microbiologi
Pemeriksaan pengecatan batang tahan asam pada sputum .
Pemeriksaan ini tidak dapat mengonfirmasi apakah pasien ini menderita
TB, karena bakteri tahan asam bukan hanya M. Tuberculosis saja.
Sehingga kultur adalah cara untuk diagnosis yang tepat, walaupun pada
positif kultur tidak langsung di obati.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).

1. S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis


datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua
2. P (pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas.
3. S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi hari.
9

Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu


pemeriksaan mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan
Ziehl Nielsen dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana
pewarnaannya dilakukan dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk
penapisan).
Alur diagnosis TB adalah sebagai berikut.

Gambar 1.3 Alur diagnosis TB

1.3.4 Tahap Pengobatan TB


10

Tahap awal di berikan setiap hari gunanya untuk menurunkan jumlah


kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisis pengaruh dari
sebagian kecil kumanyang mungkin suda resistan. Tahap ini harus di
berikan minimal 2 bulan. Tahap lanjutan untuk membunuh sisa kuman
yang masih hidup, minimal 6 bulan(CDC,2014).
Panduan OAT yang di gunakan di Indonesia oleh program nasional
pengendalian tuberkulosis di Indonesia adalah :
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
- Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
- Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10 HR
Obat yang di gunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke 2 yaitu kanamissin, kapreomisin,
levofloksasin, etionamide, sikloserin, moksifloksasin dan PAS, serta OAT
lini 1 , yaitu pirazinamid dan etambutol (CDC,2014).
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri
dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien. (CDC,2014).
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya. (CDC,2014)
Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket
untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. (CDC,2014).
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT
mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
11

a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga


menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep.
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien(CDC,2014).

Tabel 1.1 Dosis Obat TB untuk Dewasa

1.3.5 Strategi Umum Program Pengendalian TB Nasional


Strategi umum program pengendalian TB tahun 2011-2014 adalah
ekspansi. Fase ekspansi pada periode 2011-2014 bertujuan untuk
konsolidasi program dan akselerasi implementasi inisiatif-inisiatif baru
sesuai dengan strategi Stop TB terbaru, yaitu Menuju Akses Universal:
pelayanan DOTS harus tersedia untuk seluruh pasien TB, tanpa
memandang latar belakang sosial ekonomi, karakteristik demografi,
wilayah geografi dan kondisi klinis. (Dirjen P2&PL Kementerian
Kesehatan RI, 2011)
Strategi nasional program pengendalian TB nasional adalah sebagai
berikut: (1) Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang
bermutu; (2) Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan
kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya; (3) Melibatkan seluruh
penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan dan
swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin kepatuhan
terhadap International Standards for TB Care; (4) Memberdayakan
12

masyarakat dan pasien TB; (5) Memberikan kontribusi dalam penguatan


sistem kesehatan dan manajemen program pengendalian TB; (6)
Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB;
dan (7) Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis (Dirjen P2&PL Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Strategi 1 sampai dengan strategi 4 merupakan strategi umum, dimana
strategi ini harus didukung oleh strategi fungsional yang terdapat pada
strategi 5 sampai dengan strategi 7 untuk memperkuat fungsi-fungsi
manajerial dalam program pengendalian TB. (Dirjen P2&PL Kementerian
Kesehatan RI, 2011)
1.3.5.1 Pengendalian TB pasca Millenium Development Goals (MDGs)
Pada tahun 2000 hingga tahun 2015 usaha nasional maupun global
dalam mengurangi beban penyakit TB difokuskan kepada pencapaian
target MDGs yang dijadwalkan harus tercapai pada tahun 2015. Target 6c
dari MDG6 adalah untuk "menghentikan dan memundurkan" kejadian TB.
Kemitraan Stop TB yang didirikan pada tahun 2001 mengadopsi target ini
dan menetapkan dua target tambahan yaitu prevalensi TB dan angka
kematian TB harus menjadi setengah jumlah angka tahun 1990 pada tahun
2015 (WHO, 2016)
Secara global, angka kematian TB turun sebanyak 47% antara tahun
1990 dan 2015, dengan sebagian besar yang peningkatan terjadi setelah
tahun 2000. Target pengurangan 50% ditemui di empat wilayah WHO;
yaitu Amerika, Mediterania Timur, Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik
Barat; dan 11 negara dengan beban TB yang tinggi. Sementara itu,
prevalensi TB turun sebesar 42% antara tahun 1990 dan 2015. Target
pengurangan 50% dicapai di tiga wilayah WHO; Amerika, Asia Tenggara
dan Pasifik Barat; dan dalam sembilan negara dengan beban TB tinggi
(WHO, 2016).
Indonesia merupakan negara pertama diantara High Burden Country
(HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target
global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun
2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah
ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213
13

diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate


untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata
pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir
adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91% (Dirjen
P2&PL Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Gambar 1.4 Strategi Akhiri TB (WHO, 2016)


14

Berakhirnya program MDGs pada tahun 2015 membuat dunia


memasuki era Sustaining Development Goals (SDGs) yang dijadwalkan
akan berakhir pada tahun 2030. Sejalan dengan hal tersebut, strategi
penanggulangan TB berganti menjadi End TB Strategy. Penanggulangan
TB disebutkan dalam poin 3.3 SDG3 yaitu “Pada tahun 2030, akhiri
epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria dan penyakit tropis yang terabaikan,
dan memerangi hepatitis, penyakit water-borne, dan penyakit menular
lainnya.” (WHO,2016).
Strategi Akhiri TB meliputi periode tahun 2016-2035 dengan tujuan
keseluruhan program adalah mengakhiri epidemi global TB. Hal tersebut
didefinisikan sebagaisekitar 10 kasus baru per 100000 penduduk per
tahun. Jumlah tersebut merupakan level kasus yang ditemukan pada
negara dengan beban TB rendah pada tahun 2015.
Strategi akhiri TB mempunyai 3 indikator utama, yaitu angka kematian
TB per tahun, rasio insidensi TB per tahun, dan persentase rumah tangga-
dengan TB yang mengalami biaya katastropik akibat penyakit TB. Strategi
Akhiri TB dijelaskan secara singkat pada gambar 1. (WHO, 2016)
Program pengendalian TB di Indonesia pasca era MDGs mengacu
pada Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015 -2019. Arah
kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan nasional 2015-2019
merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang
Kesehatan (RPJPK) 2005-2025, yang bertujuan meningkatkan
kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan
perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di
seluruh wilayah Republik lndonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Sasaran pembangunan kesehatan padan tahun 2015-2019, khususnya
dalam pengendalian penyakit menular TB, yaitu dengan penetapan target
15

baru prevalensi TB per 100.000 penduduk. Target prevalensi TB per


100.000 penduduk pada tahun 2019 adalah 245 kasus. Angka tersebut naik
52 kasus dari status awal (2013) yaitu sebanyak 297 kasus per 100.000
penduduk ( Kementerian Kesehatan RI, 2013).
1.3.6 Evaluasi Program Pengendalian TB Nasional
Meskipun Program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai
target angka penemuan dan angka kesembuhan, namun penatalaksanaan
TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan
Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) yaitu
semua pasien TB dimanapun tinggal harus mendapatkan pelayanan TB
sesuai strategi Directly Observed Treatment Short - course (DOTS) dan
standar pelayanan berdasar International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC).
Dari hasil Riskesdas 2010 ditemukan bahwa 18-37% penderita
mencari tempat pengobatan ke dokter praktek mandiri (DPM),
berdasarkan pencatatan dan pelaporan di Subdit TB sangat sedikit pasien
TB yang dilaporkan oleh DPM. Hal ini menggambarkan adanya
kesenjangan antara jumlah kasus TB yang ditemukan oleh DPM dengan
jumlah kasus TB yang dilaporkan.
Dalam rangka mencapai akses universal seharusnya semua pasien TB
dapat ditemukan/mendapat pelayanan secara paripurna dan dilaporkan.
Sejalan dengan upaya pencapaian sasaran tersebut Pemerintah telah
menetapkan Stranas pengendalian TB dengan mentargetkan lebih dari
80% pasien TB dapat ditemukan dan mendapatkan pelayanan secara
lengkap sampai sembuh(Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. HK.02.02/MENKES/305/2014 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis merupakan acuan bagi
dokter yang terlibat dalam penanganan tuberkulosis pembuat keputusan
klinis, institusi pendidikan dan kelompok profesi terkait untuk menyusun
panduan praktik klinis/standar prosedur operasional dalam penanganan
tuberkulosis di fasilitas pelayanan kesehatan.
16

Masih banyaknya kasus TB yang “hilang” atau tidak terlaporkan ke


program merupakan masalah terbesar yang harus dihadapi. Hal ini penting
untuk agar tidak menghambat laju pencapaian target program selanjutnya.
Beberapa tantangan internal yang masih dialami program pengendalian
TB nasional antara lain :
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Faskes yang ada belum seluruhnya terlibat sepenuhnya dalam program
pengendalian TB. Bersumber data dasar provinsi pada tahun 2012 baru
sekitar 38% RS yang menerapkan pelayanan dengan menggunakan strategi
DOTS.
b. Ketenagaan
Meskipun dilaporkan bahwa 98% staf di Puskesmas dan lebih kurang
24% staf TB di rumah sakit telah dilatih, program TB harus tetap
melakukan pengembangan sumber daya manusia mengingat tingkat mutasi
staf yang cukup tinggi. Tantangan baru yang harus dihadapi program TB
adalah meningkatnya kebutuhan akan pelatihan untuk pendekatan baru
seperti TB resisten obat, PAL, PPI TB, dan lainnya. Pelatohan dasar
tentang TB tetap dibutuhkan mengingat ekspansi program serta berbagai
inovasi baru untuk memperkuat pelaksanaan program, misalnya mengenai
alat diagnostic baru, system informasi TB elektronik, AKMS dan
manajemen logistic.
c. OAT
Pemenuhan kebutuhan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan
tanggung jawab pemerintah pusat. Kendala yang masih harus dihadapi
adalah masih belum optimalnya sistem manajemen mulai dari
perencanaan, pengadaan, distribusi sampai kepada dispensing obat kepada
pasien dan pencatatan pelaporan. Kemampuan SDM dan system
manajemen OAT ditingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota harus
ditingkatkan secara terus menerus agar tidak terjadi kekurangan cadangan
obat.
d. Pembiayaan
17

Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk


pengendalian TB sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat
dan daerah. Alokasi APBD untuk pengendalian TB secara umum rendah
dikarenakan masih tingginya ketergantungan terhadap pendanaan dari
donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan masyarakat lainnya
yang juga perlu didanai. Rendahnya komitmen politis untuk pengendalian
TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB.
Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas
untuk melakukan advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat
maupun daerah baik untuk pembiayaan program maupun biaya
operasional lainnya sesuai kebutuhan daerah. Saat ini struktur pembiayaan
yang tersedia lebih banyak terpusat kepada aspek kuratif sedangkan
pembiayaan untuk aspek promotif, preventif dan rehabilitatif masih sangat
kecil. Tantangan baru seberti TB resisten obat, epidemi ganda TB-HIV dan
TB-DM juga memerlukan dukungan pendanaan yang lebih besar.
e. Kepatuhan Penyedia Pelayanan Kesehatan Pemerintah dan Swasta
Terhadap Pedoman Nasional Pengendalian TB.
Banyak kemajuan telah dicapai dalam perluasan program pengendalian
TB nasional, namun penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit
dan praktik swasta belum sesuai dengan standar mutu yang telah
ditetapkan program. Pengalaman yang diambil dari upaya menerapkan
standar pelayanan berdasar International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC) masih menemui banyak kendala antara lain karena tidak adanya
kerangka aturan yang menjadi payung hukumnya. Untuk itu perlu
dilakukan upaya untuk mentransformasikan setandar pelayanan seperti
ISTC kedalam bentuk aturan yang memiliki payung hukum yang kuat
yaitu menjadi suatu Pedoman Nasional Praktek Kedokteran Tatalaksana
TB (PNPK-TB). PNPK TB akan menjadi acuan penyusunan panduan
praktek klinis (PPK), standar pelayanan dan clinical pathway di faskes
baik FKTP maupun FKRTL.Upaya lain untuk meningkatkan kepatuhan
penyedia layanan terhadap pedoman nasional adalah dengan
mengembangkan sistem akreditasi dan sertifikasi yang memasukkan
18

layanan TB yang berkualitas. Dengan dua upaya tersebut diharapkan


mampu menjamin kepatuhan penyedia layanan sehingga pasien tidak akan
dirugikan oleh layanan yang tidak sesuai standar (Kementrian Kesehatan
RI, 2015).
Selain tantangan yang bersifat internal maka program pengendalian TB
juga menghadapi kendala di luar program yang apabila tidak ditanggulangi
secara bersamaan akan mengakibatkan pencapaian program akan
terhambat. Tantangan tersebut antara lain:
a. Sistem Jaminan Kesehatan
Belum meratanya akses terhadap layanan yang bermutu karena
kendala finansial. Sehingga tanpa tersedianya suatu jaminan
kesehatan yang bisa mencakup seluruh warga negara akan
mengakibatkan capaian semua program kesehatan termasuk TB
menjadi tidak optimal.
b. Pertumbuhan ekonomi tanpa disparitas.
Disparitas pembangunan dan hasil-hasilnya akan mengakibatkan
tingginya beban permasalahan determinan sosial seperti sandang,
pangan, papan, pendidikan, pekerjaan. Hal tersebut akan
meningkatkan kerentanan bagi populasi yang tidak memperoleh
manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh
mudahnya penularan TB. Beban TB yang tinggi akan
mengakibatkan beban sosial yang besar yang akan mengancam
tercapainya target pemerataan pembangunan.
c. Meningkatnya kerentanan terhadap TB akibat masalah kesehatan
lain.
Beberapa masalah kesehatan akan memberi dampak negatif
terhadap capaian program TB di Indonesia seperti: meningkatnya
laju epidemi HIV, besarnya populasi merokok, angka prevalensi
diabetes yang tinggi, permasalahan gizi buruk/ malnutrisi. Selain
itu beban TB yang tinggi juga menjadi penghambat tercapainya
target kesehatan seperti penurunan angka kematian ibu/ wanita
hamil dan anak (Kementrian Kesehatan RI, 2015).
19

1.3.7 Determinan Rendahnya CDR TB


Determinan yang menyebabkan rendahnya angka CDR adalah
ketakutan akan stigma baik oleh anggota masyarakat maupun penyedia
layanan kesehatan, kurangnya komunikasi yang efektif antara fasilitas
perifer dan laboratorium di rumah sakit kabupaten, adanya pengobatan
tradisional terlepas dari salah atau benar dapat membuat pasien tidak
datang ke fasilitas kesehatan (Ahorlu, 2013). Selain itu, persyaratan untuk
identifikasi optimal tersangka TB dan diagnosis pasien TB di puskemas
tidak terdapat di semua Puskesmas, perolehan kualitas sampel dahak yang
baik sangat penting untuk diagnosis TB, dan masih tingginya angka
negatif palsu dan positif palsu dari hasil pemeriksaan laboratorium
(Wahyuni, 2007).
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Okuonghae di nigeria,
beberapa determinant dari terlambatnya Case Detection TB sehingga CDR
menjadi lebih rendah adalah masih banyaknya masyarakat yang tidak
mengerti tentang tanda dan gejala TB termasuk bagaimana penularannya,
kurangnya informasi tentang TB dari Mentri Kesehatan yang dapat
dilakukan melalui iklan di media televisi atau radio, tidak mengerti
bagaimana yang dimaksud dengan potensial TB dengan menggunakan
batuk kronis sebagai markernya, adanya pencegahan untuk melakuakn
pemeriksaan ke fasilitas kesehatan akibat dari stigma yang ikut serta pada
paien TB dan keluarganya, serta ketidaktahuan masyarakat tentang kapan
waktu yang tepat untuk berobat ke fasilitas kesehatan jika terdapat keluhan
batuk (Okuonghae, 2010).
Berdasarkan literatur kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap
penyakit TB dan kurangnya partisipasi masyarakat merupakan determinant
yang sering ditemukan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Masyarakat
yang kurang ikut berpartisipasi dalam menemukan kasus TB yang ada di
wilayah tersebut, dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang
apa itu TB, bagaimana penelurannya, dan terutama tanda dan keluhan
yang dialami penderita TB sehingga masyarakat kurang aktif dalam
berpartisipasi menemukan kasus TB tersebut. Hal ini didukung oleh
20

sebuah penelitan yang pernah dilakukan sebelumnya di Nigeria pada tahun


2008, yaitu mengenai bagaimana seseorang dapat terinfeksi TB didapatkan
33,1% dari responden berpikir orang yang terinfeksi dengan TB berasal
dari udara sementara 47,3% berpikir orang terinfeksi melalui kontak
dengan orang yang terinfeksi TB. 19,3% tidak tahu bagaimana orang yang
terinfeksi dengan TB sementara 0,3% berpikir orang terinfeksi TB dari
debu. Sedangkan untuk tanda dan keluhan yang dialami seseorang dengan
TB, didapatkan 39,1% dari responden menyebutkan paling banyak 3
tanda-tanda seseorang mengalami TB sementara sekitar 32,2% mampu
menyebutkan lebih dari tiga tanda-tanda seseorang mengalami TB, dan
28,7% tidak bisa menyebutkan gejala TB. Berdasarkan hasil yang
didapatkan tersebut, dapat dikatakan bahwa masih banyak masyarakat
yang tidak mengetahui bagaimana seseorang dapat terinfeksi TB, dan
bagaimana tanda-tanda serta gejala dari TB tersebut (Okuonghae, 2010).
Selain itu, penelitain lain juga mengatakan salah satu penyebab
terlambatnya diagnosis pasien TB adalah kepercayaan dan perilaku
masyarakat yang sudah ada disekitarnya. Telah didapatkan bahwa
kurangnya pengetahuan tentang TB, internalisasi stigma, malu akan
menjadi pasien TB, self-treatment, dan memilih untuk mecari pengobatan
tradisional atau pengobatan lain yang tidak berkualitas menjadikan peran
yang signikan sebagai penghambat untuk terdiagnosis TB (Khazaei et al.,
2016). Dan pada penelitian yang dilakukan oleh Agboatwalla et al.,
mengatakan jauhnya jarak untuk mencapai fasilitas kesehatan, tingkat
pendidikan pasien, dan pengetahuan tentang tuberculosis itu sendiri
merupakan aspek yang berkontribusi untuk terjadinya keterlambatan yang
panjang dari deteksi kasus TB (Agboatwalla, 2003).
1.3.8 Indikator Program TB
1.3.8.1 Angka Penjaringan Suspek
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000
penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini
digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien adalah suatu
21

wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu


ke waktu (triwulan/tahunan).
Rumus :
Jumlah suspek yg diperiksa X 100.000
Jumlah penduduk
Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar
suspek (TB .06) UPK yang tidak mempunyai wilayah cakupan
penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta,
indikator ini tidak dapat dihitung.
1.3.8.2 Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek
Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara
seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan
mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan
menetapkan kriteria suspek.
Rumus:
Jumlah pasien TB BTA positif yg ditemukan X 100%
Jumlah seluruh suspek TB yg diperiksa
Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % )
kemungkinan disebabkan :
a. Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak
memenuhi kriteria suspek, atau
b. Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( negatif palsu ).
Bila angka ini terlalu besar ( > 15 % ) kemungkinan disebabkan :
a. Penjaringan terlalu ketat atau
b. Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( positif palsu).
1.3.8.3 Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB Paru
Tercatat/diobati
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara
semua pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan
prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh
pasien Tuberkulosis paru yang diobati.
22

Rumus :
Jumlah pasien TB BTA positif (baru + kambuh) X 100%
Jumlah seluruh pasien TB (semua tipe)
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh
lebih rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan
prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).
1.3.8.4 Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB
Adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh
pasien TB tercatat.
Rumus :
Jumlah pasien TB Anak (<15 thn) yg ditemukan X 100%
Jumlah seluruh pasien TB yg tercatat
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan
ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%.
Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi
overdiagnosis.
1.3.8.5 Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang
ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang
diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien
baru BTA positif pada wilayah tersebut.
Rumus :
Jumlah pasien baru TB BTA Positif yang dilaporkan dalam TB.07 X 100%
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA Positif
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh
berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif
dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program
Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 70%.
1.3.8.6 Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang
ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah
23

tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan


kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah
tersebut.
Rumus :
Jumlah pasien TB (semua tipe) yg dilaporkan dlm TB.07 X 100.000
Jumlah penduduk
Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend)
meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.
Tinggi rendahnya angka CNR di suatu wilayah selain dipengaruhi
oleh upaya penemuan kasus (case finding) juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain seperti kinerja sistem pencatatan dan pelaporan di wilayah
tersebut, jumlah fasyankes yang terlibat layanan DOTS, dan banyaknya
pasien TB yang tidak terlaporkan oleh fasyankes.
1.3.8.7 Angka Konversi (Conversion Rate)
Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA
positif yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah
menjalani masa pengobatan intensif. Indikator ini berguna untuk
mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.
Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB paru BTA
positif :
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg konversi X 100%
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg diobati
Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01,
yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang
mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa
diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan
intensif (2 bulan).
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah
dapat dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai
adalah 80%.
24

1.3.8.8 Angka Kesembuhan (Cure Rate)


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase
pasien baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa
pengobatan, diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.
Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif
pengobatan ulang dengan tujuan :
a. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap
obat terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans
kekebalan obat.
b. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan
menggunakan obat baris kedua (second-line drugs).
c. Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang
terjadi pada pasien dengan HIV.
Cara menghitung angka kesembuhan untuk pasien baru BTA positif.
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg sembuh X 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati
Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01,
yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang
mulai berobat dalam 9 - 12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung
berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung
dari laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%.
Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil
pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan
hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, default, dan pindah.
Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan
menghasilkan proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan
datang yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian
Tuberkulosis. Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas
penanggulangan TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan
ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun. Sedangkan angka gagal
25

untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk daerah
yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari
10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
1.3.8.9 Angka Keberhasilan Pengobatan
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase
pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik
yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB
paru BTA positif yang tercatat.
Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka
kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan
kategori 1.
Jumlah pasien baru TB BTA positif (sembuh + pengobatan lengkap) X 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati
1.3.8.10 Angka Kesalahan Laboratorium
Pada saat ini Penanggulangan TB sedang dalam uji coba untuk
penerapan uji silang pemeriksaan dahak (cross check) dengan metode
Lot Sampling Quality Assessment (LQAS) di beberapa propinsi. Untuk
masa yang akan datang akan diterapkan metode LQAS di seluruh UPK.
a. Metode LQAS
Perhitungan angka kesalahan laboratorium metode ini
digunakan oleh propinsi-propinsi uji coba.
b. Metode 100 % BTA Positif & 10 % BTA Negatif
Sebagian besar propinsi masih menerapkan metode uji silang
perhitungan sebagai berikut :
Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan
laboratorium yang menyatakan prosentase kesalahan pembacaan
slide/ sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama
setelah di uji silang (cross check) oleh BLK atau laboratorium
rujukan lain.
Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara
mikroskopis langsung laboratorium pemeriksa pertama. Angka
26

kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransi


maksimal 5%. Apabila error rate ≤ 5 % dan positif palsu serta
negatif palsu keduanya ≤ 5% berarti mutu pemeriksaan baik.
Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide yang di
uji silang (cross check) relatif sedikit. Pada dasarnya error rate
dihitung pada masing-masing laboratorium pemeriksa, di tingkat
kabupaten/ kota. Kabupaten / kota harus menganalisa berapa persen
laboratorium pemeriksa yang ada diwilayahnya melaksanakan cross
check, disamping menganalisa error rate per PRM/PPM/RS/BP4,
supaya dapat mengetahui kualitas pemeriksaan slide dahak secara
mikroskopis langsung.
1.3.9 Epidemiologi TB di Indonesia dan Jawa Timur
Berdasarkan profil TB WHO Indonesia, insidensi TB di Indonesia
sebanyak 395 per 100.000 populasi, 647 per 100.000 populasi,prevalensi
mortalitas TB sebesar 40 per 100.000 populasi, dan notifikasi kasus TB
sebesar 330.729 kasus. Angka detailnya adalah sebagai berikut.

Gambar 1.5 Profil TB WHO Indonesia


27

Berdasarkan pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI


ditemukan bahwa Case Detection Rate TB secara nasional mengalami
penurunan dalam tiga tahun terakhir.

Gambar 1.6 Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate) Indonesia, 2012 -
2014
Dari data yang ada ditemukan juga Case Notification Rate semua
kasus TB di tingkat nasional sejak 1999 cenderung meningkat, namun
CNR mengalami stagnansi dalam empat tahun terakhir. Data yang ada juga
menyebutkan adanya peningkatan kasus TB seiring dengan peningkatan
HIV-AIDS dan proporsi rumah berlokasi di daerah kumuh.

Gambar 1.7 Case Notification Rate (CNR) Semua Kasus TB, Antar Provinsi, 2014
28

Ditemukan juga adanya kecenderungan peningkatan kasus TB MDR


di Indonesia selama 5 tahun terakhir. Pada CNR semua kasus TB antar
provinsi, Jawa Timur menduduki peringkat keenam terendah dari seluruh
provinsi di Indonesia. Dari data angka keberhasilan pengobatan ditemukan
bahwa Jawa Timur menduduki peringkat kelima dari seluruh provinsi di
Indonesia dengan angka keberhasilan 91%.

1.4 Metode
1.4.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survei.
Data yang dikumpulkan merupakan data yang diperlukan untuk mengukur
variabel pengetahuan dan perilaku terhadap penyakit TB. Semua data yang
didapatkan melalui penelitian kemudian diskor dan dianalisis.
1.4.2 Analisis Data
Analisis data menggunakan software statistik SPSS 24 for Windows.
Variabel-variabel disajikan secara deskriptif. Data deskriptif tersebut
kemudian dikategorisasi menurut kriteria yang telah direncanakan, yaitu
berdasarkan skoring untuk masing-masing subvariabel.

1.5 Populasi dan Sampel


Populasi adalah masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Bajulmati khususnya masyarakat Desa Bimorejo, Kecamatan
Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi.
Kriteria inklusi : semua masyarakat desa yang bersedia. Didapatkan
besar sampel sejumlah 50 orang tiap populasi dengan metode accidental
sampling

1.6 Variabel
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dua variabel yaitu variabel
pengetahuan, dan perilaku. Variabel pengetahuan diketahui melalui 12
pertanyaan. Variabel perilaku diketahui melalui 4 pertanyaan.
1.7 Kerangka Konseptual
29

Determinan rendahnya Case


Detection Rate TB Paru

Masyarakat Tenaga Kesehatan

Sigma di masyarakat Komunikasi kurang efektif antar


tenaga kesehatan

Pengobatan tradisional di masyarakat


Error Rate yang tinggi di
laboratorium

Jarak yang jauh dengan fasilitas


kesehatan Sigma di tenaga kesehatan

Partisipasi masyarakat yang kurang

Pengetahuan masyarakat yang Sikap masyarakat Perilaku masyarakat


kurang yang kurang yang kurang

Variabel diteliti Variabel tidak diteliti

Gambar 1.8 Kerangka Konseptual

1.8 Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen pengumpulan data berupa kuesioner survei. Cara
penggunaan kuesioner dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth
inerview). Sebelum pengisian data, diberikan informed consent untuk
ketersediaan responden. Instrumen pengumpulan data dapat dilihat pada
lampiran.
Instrumen pengumpulan data untuk variabel pengetahuan responden
berupa 12 pertanyaan mengenai penyakit TB Paru. Pertanyaan mengenai
tentang TB Paru, pengertian TB Paru, penyebab TB Paru, penularan TB
30

Paru dan cara penularannya, pencegahan TB Paru dengan imunisasi,


penegakan diagnosis TB Paru, pemeriksaan dahak, TB Paru dengan
makanan bergizi, pengobatan TB Paru, lama pengobatan TB Paru, biaya
pengobatan TB Paru, dan TB Paru dengan kutukan.
Instrumen pengumpulan data untuk variabel perilaku responden
berupa 4 pertanyaan. Pertanyaan mengenai perasaan responden jika
menderita TB Paru, apa yang akan dilakukan untuk mencegah TB Paru, apa
yang dilakukan jika diminta periksa dahak, dan apa yang dilakukan jika
tetangga sakit.

1.9 Hasil
1.9.1 Gambaran Umum Responden
Survei tentang penyakit TB Paru di wilayah kerja Puskesmas
Bajulmati, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi,
menghasilkan gambaran mengenai pengetahuan dan perilaku terhadap
penyakit TB. Didapatkan data berupa responden berjenis kelamin
perempuan lebih banyak, rata-rata pendidikan terakhir tamat SLTP,
mayoritas berusia 21 - 30 tahun, pekerjaan paling banyak adalah petani,
penghasilan masyarakat sebagian besar <1.000.000, pembiayaan kesehatan
terbanyak dengan uang pribadi.
31

Tabel 1.2 Distribusi Gambaran Umum Responden


Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)
Laki-laki 14 28,0
Perempuan 36 72,0
Total 50 100,0
Usia Jumlah (n) Persentase (%)
≤20 3 6,0
21 – 30 15 30,0
31 – 40 14 28,0
41 – 50 10 20,0
51 – 60 6 12,0
>60 2 4,0
Total 50 100,0
Pendidikan Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak Sekolah 1 2,0
Tamat SD 11 22,0
Tamat SLTP 19 38,0
Tamat SLTA 16 32,0
Tamat D3/PT 3 6,0
Total 50 100,0
Pekerjaan Jumlah (n) Persentase (%)
PNS/ Pensiunan PNS 1 2,0
Pegawai Swasta 2 4,0
Pedagang/wiraswasta 13 26,0
Petani 16 32,0
Buruh 4 8,0
Lain-lain 14 28,0
Total 50 100,0
Penghasilan Jumlah (n) Persentase (%)
<1.000.000 27 54,0
1.000.000 - 3.000.000 17 34,0
>3.000.000 6 12,0
Total 50 100,0
Pembiayaan kesehatan Jumlah (n) Persentase (%)
Uang Pribadi 31 62
BPJS 8 16
Jamskesmas 4 8
Lain-lain 7 14
Total 50 100,0
32

1.9.2 Pengetahuan tentang TB Paru


Dari survei yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa
hanya 6 (12%) orang masyarakat desa Bimorejo yang mengetahui dengan
baik tentang TB Paru, sisanya sebanyak 44 (88%) orang kurang
mengetahui TB Paru. Angka ini didapatkan dari skoring dimana jumlah
total skor kurang dari rata-rata ditambah simpang deviasi dianggap sebagai
kurang mengetahui tentang TB Paru, begitu pula sebaliknya. Berikut
uraian distribusi dari masing-masing jawaban kuisioner pengetahuan TB
Paru.

a. Tahu tentang TB Paru


Tabel 1.3 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan perilaku
masyarakat terhadap TB Paru
Pengetahuan TB Jumlah (n) Persentase (%)
Ya 28 56,0
Tidak 22 44,0
Total 50 100,0

Dari tabel di atas sebagian besar responden mengetahui tentang


penyakit TB tetapi masih ada yang tidak tahu.

b. Pengertian Penyakit TB Paru


Tabel 1.4 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan perilaku
masyarakat terhadap TB Paru
Pengertian TB Jumlah (n) Persentase (%)
Batuk berdahak bercampur darah 16 32,0
Batuk akibat rokok 34 68,0
Batuk dengan gatal di tenggorokan 0 0
Tidak tahu 0 0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden salah dalam


mengartikan definisi penyakit TB Paru, yaitu batuk akibat rokok.
33

c. Penyebab Penyakit TB Paru


Tabel 1.5 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan perilaku
masyarakat terhadap TB Paru
Penyebab penyakit TB Paru Jumlah (n) Persentase (%)
Kuman atau bakteri 16 32,0
Debu, asap, udara kotor 23 46,0
Guna-guna 2 4,0
Tidak tahu 9 18,0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden salah dalam


mengartikan penyebab penyakit TB Paru, yaitu disebabkan karena
debu, asap, dan udara kotor.

d. Cara penularan penyakit TB Paru


Tabel 1.6 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan perilaku
masyarakat terhadap TB Paru
Cara penularan penyakit TB Paru Jumlah (n) Persentase (%)
Terhirup percikan ludah atau dahak 28 56,0
penderita Tuberkulosis
Bersentuhan langsung dengan 10 20,0
penderita Tuberkulosis.
Sudah ada dari masih di kandungan 2 4,0
Tidak tahu 10 20,0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui cara penularan TB Paru, yaitu dengan terhirup percikan
ludah atau dahak penderita TB Paru.

Pencegahan TB Paru dengan imunisasi


Tabel 1.7 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan perilaku
masyarakat terhadap TB Paru
Pencegahan TB Paru dengan Jumlah (n) Persentase (%)
Imunisasi
Ya, dengan imunisasi BCG 21 42,0
Ya, dengan imunisasi apa saja 17 34,0
34

Tidak bisa dicegah dengan imunisasi 2 6,0


Tidak tahu 9 18,0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui cara pencegahan TB Paru dengan imunisasi, yaitu dengan
imunisasi BCG.

e. Cara diagnosis penyakit TB Paru


Tabel 1.8 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan perilaku
masyarakat terhadap TB Paru
Cara diagnosis penyakit TB Paru Jumlah (n) Persentase (%)
Pemeriksaan dahak di puskesmas 30 60,0
Pemeriksaan darah di puskesmas 14 28,0
Tidak ada pemeriksaan khusus 4 8,0
Tidak tahu 2 4,0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui cara diagnosis penyakit TB Paru, yaitu dengan pemeriksaan
dahak di puskesmas.

f. Tahu pemeriksaan dahak di puskesmas


Tabel 1.9 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan perilaku
masyarakat terhadap TB Paru
Tahu pemeriksaan Jumlah (n) Persentase (%)
dahak
Ya 28 56,0
Tidak 22 44,0
Total 50 100,0

Dari tabel di atas sebagian besar responden mengetahui tentang


pemeriksaan dahak di puskesmas tetapi masih ada yang tidak tahu.
35

g. Hubungan TB Paru dengan makanan bergizi


Tabel 1.10 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan
perilaku masyarakat terhadap TB Paru
Hubungan TB Paru dengan makanan Jumlah (n) Persentase (%)
bergizi
TB Paru bertambah baik dengan 31 62,0
makanan bergizi
Pengobatan TB Paru sedikit 11 22,0
dipengaruhi oleh makanan bergizi
Tidak ada pengaruh makan makanan 6 12,0
bergizi selama makan obat.
Tidak tahu 2 4,0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui hubungan penyakit TB Paru dengan makanan bergizi, yaitu
TB Paru bertambah baik dengan makanan bergizi.

h. Pengobatan penyakit TB Paru


Tabel 1.11 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan
perilaku masyarakat terhadap TB Paru
Pengobatan penyakit TB Paru Jumlah (n) Persentase (%)
Pengobatan teratur, perbaikan 41 82,0
lingkungan, dan perubahan perilaku
Berobat kalau ada waktu 4 8,0
Tidak dapat disembuhkan 0 0
Tidak tahu 5 10,0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui pengobatan penyakit TB Paru, yaitu dengan Pengobatan
teratur, perbaikan lingkungan, dan perubahan perilaku.
36

i. Lama pengobatan TB Paru


Tabel 1.12 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan
perilaku masyarakat terhadap TB Paru
Lama pengobatan TB Paru Jumlah (n) Persentase (%)
6 bulan 22 44,0
6 hari 10 20,0
6 minggu 2 4,0
Tidak tahu 16 32,0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui lama pengobatan penyakit TB Paru, yaitu selama 6 bulan.

j. Biaya pengobatan TB Paru


Tabel 1.13 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan
perilaku masyarakat terhadap TB Paru
Biaya pengobatan TB Paru Jumlah (n) Persentase (%)
Gratis 26 52,0
Rp. 1.000.000,00 19 38,0
Rp. 10.000.000,00 1 2,0
Tidak tahu 4 8,0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui biaya penyakit TB Paru, yaitu gratis.

k. TB Paru dan kutukan


Tabel 1.14 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan
perilaku masyarakat terhadap TB Paru
TB Paru dan kutukan Jumlah (n) Persentase (%)
Setuju 10 20,0
Tidak Setuju 40 80,0
Total 50 100,0
37

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui TB Paru dengan kutukan, yaitu tidak setuju kalau TB Paru
berhubungan dengan kutukan.

1.9.3 Distribusi frekuensi pengetahuan TB Paru dengan jenis kelamin,


pendidikan, penghasilan, dan pembiayaan kesehatan

a. Distribusi frekuensi pengetahuan TB Paru dengan jenis kelamin


Tabel 1.15 Distribusi frekuensi pengetahuan TB dengan jenis kelamin
Pengetahuan TB
Total
Kurang Baik
14 0 14
Laki-laki
(100,0%) (0%) (100,0%)
Jenis kelamin
30 6 36
Perempuan
(83,3%) (16,7%) (100,0%)
44 6 50
Total
(88,0%) (12,0%) (100,0%)

Dari tabel diatas didapatkan bahwa perempuan memiliki persentase


pengetahuan TB yang baik lebih banyak dari pada laki-laki.

b. Distribusi frekuensi pengetahuan TB Paru dengan pendidikan


Tabel 1.16 Distribusi frekuensi pengetahuan TB dengan pendidikan
Pengetahuan TB
Total
Kurang Baik
1 0 1
Tidak Sekolah
(100,0%) (0%) (100,0%)
11 0 11
Tamat SD
(100,0%) (0%) (100,0%)
17 2 19
Pendidikan Tamat SLTP
(89,5%) (10,5%) (100,0%)
13 3 16
Tamat SLTA
(81,3%) (18,8%) (100,0%)
2 1 3
Tamat D3/PT
(66,7%) (33,3%) (100,0%)
Total 44 6 50
38

(88,0%) (12,0%) (100,0%)


Dari tabel diatas didapatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan,
semakin banyak pula persentase pengetahuan TB yang baik.

c. Distribusi frekuensi pengetahuan TB Paru dengan penghasilan


Tabel 1.17 Distribusi frekuensi pengetahuan TB dengan penghasilan
Pengetahuan TB
Total
Kurang Baik
25 2 27
<1.000.000
(92,6%) (7,4%) (100,0%)
1.000.000 – 15 2 17
Penghasilan
3.000.000 (88,2%) (11,8%) (100,0%)
4 2 6
>3.000.000
(66,7%) (33,3%) (100,0%)
44 6 50
Total
(88,0%) (12,0%) (100,0%)

Dari tabel diatas didapatkan bahwa semakin tinggi penghasilan,


semakin banyak pula persentase pengetahuan TB yang baik.

d. Distribusi frekuensi pengetahuan TB Paru dengan pembiayaan


kesehatan
Tabel 1.18 Distribusi frekuensi pengetahuan TB dengan pembiayaan
kesehatan
Pengetahuan TB
Total
Kurang Baik
29 2 31
Uang pribadi
(93,5%) (6,5%) (100,0%)
7 1 8
BPJS
Pembiayaan (87,5%) (12,5%) (100,0%
kesehatan 3 1 4
Jamkesmas
(75,0%) (25,0%) (100,0%)
5 2 7
Lain-lain
(71,4%) (28,6%) (100,0%)
44 6 50
Total
(88,0%) (12,0%) (100,0%)
39

Dari tabel diatas didapatkan bahwa persentase pengetahuan TB yang


baik lebih banyak pada masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan
(BPJS/Jamkesmas) daripada yang memakai uang pribadi untuk berobat.

1.9.4 Perilaku masyarakat terhadap TB Paru


Survei perilaku masyarakat terhadap TB Paru dibagi menjadi 4
macam perilaku. Berikut uraian distribusi dari masing-masing jawaban
kuisioner perilaku masyarakat terhadap TB Paru.

a. Tujuan pengobatan TB Paru


Tabel 1.19 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan
perilaku masyarakat terhadap TB Paru
Tujuan pengobatan TB Paru Jumlah (n) Persentase (%)
Berobat ke tempat pelayanan kesehatan 48 96,0
Berobat ke dukun kampung 2 4,0
Dibiarkan 0 0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui tujuan pengobatan penyakit TB Paru, yaitu berobat ke
tempat pelayanan kesehatan.

b. Pencegahan penyakit TB Paru


Tabel 1.20 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan
perilaku masyarakat terhadap TB Paru
Pencegahan penyakit TB Paru Jumlah (n) Persentase (%)
Menutup mulut/hidung saat 45 90,0
batuk/bersin dan tidak meludah di
sembarang tempat.
Mengisolasi diri tanpa perlu berobat 4 8,0
sampai sembuh
Tidak tahu 1 2,0
Total 50 100,0
40

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui cara pencegahan penyakit TB Paru, yaitu menutup
mulut/hidung saat batuk/bersin dan tidak meludah di sembarang tempat

c. Memeriksakan dahak jika sakit TB Paru


Tabel 1.21 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan
perilaku masyarakat terhadap TB Paru
Memeriksakan dahak jika sakit TB Paru Jumlah (n) Persentase (%)
Datang ke puskesmas untuk 48 96,0
memeriksakan dahak
Tidak perlu ke puskesmas dan membeli 1 2,0
obat sendiri
Tidak tahu 1 2,0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui cara memeriksakan daha jika sakit TB Paru, yaitu datang ke
puskesmas untuk memeriksakan dahak

d. Tindakan jika tetangga sakit TB Paru


Tabel 1.22 Distribusi jawaban kuisioner survei pengetahuan dan
perilaku masyarakat terhadap TB Paru
Tindakan jika tetangga sakit TB Paru Jumlah (n) Persentase (%)
Membawa ke puskesmas terdekat 46 92,0
Menjauhi tetangganya tersebut 2 4,0
Tidak melakukan apa-apa 0 0
Tidak tahu 2 4,0
Total 50 100,0

Dari tabel diatas didapatkan sebagian besar responden sudah


mengetahui tindakan yang dilakukan jika tetangga sakit TB Paru, yaitu
dengan membawa ke puskesmas terdekat.

1.10 Pembahasan
41

Dari survei yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa mayoritas


responden memiliki pengetahuan tentang TB Paru masih kurang. Terdapat
4 subvariabel yang menunjukkan angka rendah yaitu pengertian TB Paru,
penyebab TB Paru, pencegahan TB Paru dengan imunisasi dan lama
berobat TB Paru. Dari perilaku masyarakat terhadap TB Paru mayoritas
responden telah memiliki perilaku tepat dan baik.
1. Analisis kesenjangan (gap)
Dari hasil survei yang ada ditemukan bahwa pengetahuan
tentang TB Paru masih rendah. Peserta BPJS kesehatan dan jaminan
kesehatan lain juga kurang. Jaminan kesehatan juga berpengaruh
dengan penemuan kasus suspek TB Paru
2. Analisis perhatian (concern)
Berdasarkan hasil diskusi dengan puskesmas masalah TB Paru
cukup menjadi perhatian utama karena masih rendahnya angka
penjaringan suspek dan angka capaian penemuan kasus baru.
Pentingnya peningkatan pengetahuan untuk mencegah masalah ini
adalah agar terbentuk kesadaran, sikap dan perilaku yang lebih baik
pada penyakit TB Paru.
3. Analisis tanggung jawab (responsibility)
Penanggulangan permasalahan ini perlu kerja sama lintas
sektor, mulai dari keluarga sebagai lingkungan masyarakat terkecil,
tenaga kesehatan (dokter, bidan, dan perawat), serta pemerintahan
(kantor desa, kecamatan, Dinas Kesehatan Kabupaten, Dinas
Kesehatan Provinsi) karena penyakit TB terjadi di lingkup yang luas.
Pengembanan tanggung jawab tersebut memiliki dasar Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis (TB).

1.11 Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan masalah-masalah yang
ditemukan dari survei adalah sebagai berikut.
42

1. Kurangnya pengetahuan penyakit TB Paru pada masyarakat


1. Kurangnya masyarakat yang memiliki BPJS sebagai jaminan
kesehatan

Anda mungkin juga menyukai