Anda di halaman 1dari 10

HIPERTIROID

1. Pendahuluan
Tirotoksikosis merupakan suatu keadaan klinis yang diakibatkan oleh peningkatan hormon
tiroid secara substansial pada jaringan tubuh. Berbeda denga hipertiroidisme, yaitu suatu
peningkatan sintesis dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Tirotoksikosis memiliki
beberapa etiologi dan manifestasi, penanganan yang adekuat membutuhkan diagnosis yang
tepat.1,2 Tirotoksikosis merupakan gangguan hormone tirotropin serum subnormal (biasanya tidak
terdeteksi) dengan peningkatan kadar serum triiodothyronine (T3) dan atau tiroksin bebas (free
T4). Hipertiroidisme subklinis didefinisikan sebagai TSH serum rendah atau tidak terdeteksi
dengan T3 dan T4 bebas dalam rentang normal. Tirotoksikosis yang jelas maupun subklinis dapat
menyebabkan tanda dan gejala khas.1
Di Amerika Serikat, prevalensi hipertiroidisme sekitar 1,2% (0,5% hipertiroid dan 0,7%
hipertiroid subklinis). Penyebab paling umum hipertiroid diataranya Graves Disease (GD), Toxic
Multinodular Goiter (TMNG), and Toxic Adenoma (TA).1 Di Indonesia, prevalensi
hipertiroidisme mencapai 6,9% (berdasarkan data penelitan kesehatan dasar terbaru yang
dilakukan pada tahun 2007, tingkat cut off TSH <0,55 mIU/L). GD merupakan etiologi
hipertiroidisme yang paling sering ditemui, merupakan 60-80% dari semua kasus tirotoksikosis di
seluruh dunia, sering ditemukan pada wanita dengan perbandingan wanita : laki-laki adalah 8:1.2
Tabel 1. Penyebab tirotoksikosis3
2. Patofisiologi
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh mekanisme umpan balik kompleks yang melibatkan
interaksi faktor stimulasi dan penghambatan. Thyrotropin-releasing hormone (TRH) dari
hipotalamus menstimulasi kelenjar hifofisis untuk melepaskan thyroid stimulating hormone
(TSH). 4 Terikatnya reseptor TSH pada kelenjar tiroid menyebabkan pelepasan hormon tiroid,
terutama T4 dan sedikit T3. Peningkatan kadar hormon ini bekerja pada hipotalamus untuk sebagai
feed back negatif untuk mengurangi sekresi TRH dan sintesis TSH. Sintesis hormon tiroid
memiliki bahan baku yodium. Iodida anorganik pada makanan diangkut ke kelenjar tiroid oleh
transporter iodida, diubah menjadi yodium dan terikat pada tiroglobulin oleh enzim tiroid
peroksidase melalui proses organifikasi. Proses ini menghasilkan pembentukan monoiodotyrosin
(MIT) dan diiodotyrosine (DIT) untuk membentuk T3 dan T4. Kemudian disimpan dengan
tiroglobulin di lumen folikel tiroid. Tiroid mengandung banyak persediaan pre hormon tiroid.4
Hormon tiroid menyebar ke sirkulasi perifer. Lebih dari 99,9% T4 dan T3 dalam sirkulasi
perifer terikat pada protein plasma dan tidak aktif. FT3 20-100 kali lebih aktif secara biologis
daripada FT4. FT3 bebas bertindak dengan mengikat reseptor nucleus (protein pengikat DNA inti
sel), yang mengatur transkripsi berbagai protein seluler. Setiap proses yang menyebabkan
peningkatan sirkulasi perifer hormon tiroid tak terikat dapat menyebabkan tirotoksikosis.
Gangguan mekanisme homeostatik normal dapat terjadi pada tingkat kelenjar pituitari, kelenjar
tiroid, atau di perifer. Terlepas dari etiologi, hasilnya adalah peningkatan transkripsi pada protein
seluler, yang menyebabkan peningkatan tingkat metabolisme basal. Dalam banyak hal, tanda dan
gejala hipertiroidisme menyerupai keadaan kelebihan katekolamin. Pada penyakit Graves,
autoantibody yang beredar terhadap reseptor TSH memberikan stimulasi terus menerus pada
kelenjar tiroid. Antibodi ini merangsang produksi dan pelepasan hormon T3 dan T4. Selain itu
merangsang pengambilan yodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid. 4
Gambar 1. Umpan balik axis tiroid hipotalamus-hipofisis-tiroid. Skema representasi sistem
umpan balik negatif yang mengatur kadar hormon tiroid.
TRH =Thyroid releasing hormone; TSH = Thyroid stimulating hormone.4
3. Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, serta
pemeriksaan radiologi. Gejala klinis tergantung dari derajat tirotoksikosis, durasi lama penyakit,
kepekaan individu terhadap hormone tiroid serta usia pasien.3 Diagnosis etiologi dari tirotoksikosis
dilakukan lebih lanjut jika gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium awal tidak bisa
mengindentifikasi penyebab. Pemeriksan lanjutan bergantung dari ketersediaan sumber daya yang
tersedia, diataranya adalah Radioaktif Iodine Uptake (RAIU), TRab (thyrotropin receptor
antibody) dan USG tiroid.1
Pasien dengan hipertiroidisme sering datang dengan kehilangan berat badan tanpa disertai
dengan penyebab yang jelas walaupun terjadi peningkatan napsu makan, namun pada 5% pasien
hipertiroid terjadi peningkatan berat badan. Tirotoksikosis menyebabkan kelainan nerologis mulai
dari hiperaktif, irritable, hingga depresi pada orang tua yang sering menyamarkan hipertiroid.1
Pasien muda lebih sering mengeluhkan gejala peningkatan saraf simpatik yang berlebihan seperti
gelisah, hiperaktif dan tremor, sedangkan lansia umumnya mengeluhkan gejala kardiovaskular
(kardiomiopati, aritmia).2 Selain itu tirotoksikosis juga sering mengakibatkan periodik paralisis
hipokalemia. Manifestasi kardiak yang dapat terjadi diantaranya adalah sinus takikardi, yang
sering diserati dengan palpitasi. Curah jantung tinggi menghasilkan peningkatan denyut nadi,
tekanan nadi yang melebar dan murmur sistolik yang dapat menyebabkan perburukan angina atau
gagal jantung pada orang tua atau mereka yang menderita penyakit jantung yang sudah ada
sebelumnya. Atrial fibrillation lebih sering terjadi pada pasien lebih dari 50 tahun.2,3
Tabel 2. Tanda dan gejala tirotoksikosis3

Optalmopati dan dermopati merupakan gejala khas GD

Pada GD kelenjar tiroid biasanya membesar secara diffus dua sampai tiga kali ukuran
normalnya, memiliki konsistensi tegas, tapi tidak nodular. Bisa disertai dengan bruit pada margin
inferolateral lobus tiroid, karena peningkatan vaskularitas kelenjar.3 Beberapa pasien dengan
graves disease sering disertai dengan klinis ophthalmopathy. Manifestasi paling awal dari
ophthalmopathy biasanya sensasi gatal, ketidaknyamanan pada mata dan air mata berlebih.
Proptosis dapat dideteksi dengan eksoftalmometer. Pada kasus yang berat, proptosis dapat
menyebabkan paparan dan kerusakan kornea terutama jika kelopak mata gagal menutup saat tidur.

Gambar 2. A. Optalmophaty pada GD; lid retraction,


periolbital edema, injeksi konjungtiva, proptosis,
B. Dermopathy tiroid, C Archopaty tiroid.3
Membedakan hipertiroidisme dan penyebab tirotoksikosis lainnya, pemeriksaan dapat
dilakukan pemeriksaan RAIU. Hipertiroidisme yang memiliki scaning RAIU yang tinggi,
sedangkan etiologi lainnya memiliki nilai yang rendah atau normal dengan pemberian iodium
radioaktif.2 Pemeriksan scaning RAIU dilakukan pada saat persentasi klinis tidak sesuai dengan
GD. Scaning juga perlu dilakukan jika terdapat penyakit nodul tiroid.2
Evaluasi pemeriksaan laboratorium TSH memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas tes darah
tunggal tertinggi, yang digunakan dalam evaluasi pasien diduga tirotoksikosis dan harus digunakan
sebagai pemeriksaan awal. Namun, bila tirotoksikosisnya sangat dicurigai, akurasi diagnostik
meningkat bila serum TSH, T4 bebas, dan total T3 dinilai pada saat awal evaluasi.1
Pada gejala hipertiroidisme yang nyata serum FT4, T3 dan atau keduanya meningkat,
sedangkan TSH serum adalah subnormal (biasanya <0,01mU / L) atau tidak terdeteksi. Pada
hipertiroidisme ringan, serum T4 dan FT4 bisa normal, namun serum T3 mungkin kadarnya naik,
dan TSH serum rendah atau tidak terdeteksi. Hasil laboratorium ini yang disebut dengan '' T3-
toksikosis '' dan mungkin mewakili tahap awal hipertiroidisme disebabkan oleh GD atau penyakit
nodul tiroid atutonom. Hipertiroidisme subklinis didefinisikan sebagai TF4 serum normal dan
Total T3 normal atau FT3 normal, dengan konsentrasi TSH serum subnormal.1
TRab diperiksa saat scaning tiroid tidak tersedia atau kontraindikasi.1,2 TRab memiliki nama
lain thyroid stimulating antibody (TSab), thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) atau long
acting thyroid stimulator (LATS) ditemukan 63-81% positif pada GD. Anti-thyroid peroksidase
(Anti-TPO) merupakan antibody yang tidak spesifik untuk penyakit tiroid autoimun dan
ditemukan 8% positif pada GD. Pemeriksaan antibody pada GD ditemukannya signifikan
peningkatan anti-TPO dan TRab. Pada Toksik multinodular goiter dan Toksik adenoma nilai anti-
TPO dan TRab titernya rendah atau negative.4
USG leher dilakukan pada pasien dengan posisi terlentang dengan leher hiperekstensi.
Kepekaan USG leher dapat mendeteksi massa tumor dengan ukuran terkecil 2 mm kemudian
membedakan nodul padat dengan kista sederhana maupun kista kompleks. USG dapat
memberikan informasi ukuran tiroid, kepadatan jaringan, aliran vascular, kecepatan dan sebagai
guiding dalam melakukan aspirasi jarum halus diagnostik.2 Biopsi aspirasi jarum halus dilakukan
jika terdapat nodul tiroid untuk membedakan suatu keganasan dan jinak.2
4. Terapi
Penatalaksanaan hipertiroidisme melibatkan 3 aspek yang saling terkait diantaranya adalah
radioaktif iodine (RAI), obat anti tiroid (OAT), tiroidektomi. Selain itu terapi suportif lain dalam
meminimalkan efek hormon tiroid pada jaringan perifer seperti beta-blocker. Penentuan pilihan
terapi didasarkan atas beberapa faktor diataranya adalah beratnya gejala, usia, ukuran struma, dan
komorbid yang lain.1,2
Tabel 2. Pertimbangan klinis pertimbangan modalitas terapi GD

√√ = dianjurkan; √ = bisa diberikan; ! = butuh perhatian; - = bukan terapi pilihan utama tapi dapat
dipertimbangkan berdasarkan beberapa keadaan; x = kontraindikasi; GO = Graves’ orbitopathy, ATD = Anti
Tiroid Drugs, RAI = Radioactive Iodine
a. Pasien perempuan sedang kehamilan dan merencanakan kehamilan dalam 6 bulan kemudian

Beta bloker direkomendasikan pada semua pasien dengan tirotoksikosis simtomatik,


terutama pasien lansia dan pasien tirotoksik dengan denyut jantung istirahat lebih dari 90 kali per
menit atau adanya kelaian kardiovaskular.1
Pada pasien yang menjalani terapi RAI untuk GD, beta-adrenergik blocker dipertimbangkan
untuk tetap diberikan walaupun pasien asimptomatik terutama pada pasien dengan resiko
komplikasi perburukan karena hipertiroid. Pemberian beta bloker dan metimazole dapat diberikan
pada pasien yang akan menjalani terapi RAI pada pasien dengan resiko komplikasi hipertiroid
yang besar kemudian dapat di stop 2-3 hari setelah terapi RAI atau bahkan metamizole dapat
diberikan hingga 3-7 hari kemudian. Sebelum dilakukan terapi RAI, penatalaksanaan komorbid
pasien harus terlebih dahulu diberikan. Sebelum menjalani terapi RAI, harus dilakukan
pemeriksaan status kehamilan pada pasien yang berpotensi untuk hamil. Pemeriksaan fungsi tiroid
FT4 dan total T3 serta TSH dikontrol pada minggu 1 hingga 2 bulan, kemdian dilakukan setiap 4-
6 minggu selama 6 bulan hingga pasien mengalami hypotiroid dan stabil untuk diberikan hormone
tiroid. Apabila pada pasien GD tetap mengalami hipertiroid setalah 6 bulam terapi RAI, pemberian
terapi RAI ulang bisa dipertimbangkan.1
Sebelum diberikan OAT pasien harus diberi tahu efek samping obat diantaranya adalah
ruam-ruam gatal, ikterik, tinja berwarna pucat, urin berwarna gelap, arthralgia, sakit perut, mual,
kelelahan, demam, atau faringitis. Sebelum memulai OAT seabiknya pasien dilakukan
pemeriksaan darah lengkap dan enzim liver. Terdapat 2 golongan OAT yang tersedia diantaranya
adalah proprylthiouracil (PTU) dan imidazole (metimazole (MMI), carbamazole, dan
thiamazole).2
Pemberian dosis awal metimazole rata-rata 15 mg/hari (rentang dosis 10-30 mg) dan PTU
rata-rata 300 mg/hari (rentang dosis 150-450 mg). Pemeriksaan laboratorium FT4 dan Total T3
idelnya dilakukan setelah 2-6 minggu sejak dimulai OAT tergantung dari derajat tirotoksikosis.
Selanjutnya penyesuaian dosis harus dilakukan berdasarkan kontrol hasil laboratorium. Begitu
pasien itu eutiroid, dosis metimazole biasanya dapat diturunkan sebesar 30-50% dan pemeriksaan
laboratorium diulang dalam 4-6 minggu. Begitu euthyroid dicapai dengan dosis minimal
pengobatan, evaluasi klinis dan laboratorium bisa dilakukan pada interval 2-3 bulan. Dosis
maintenance PTU bisa diberikan 50 mg diberikan 2-3 kali sehari. Sedangkan dosis maintenance
MMI adalah 5-10mg/ hari 1,2
Metimazole merupakan terapi pilihan pada pasien hipertiroid yang diberikan terapi dengan
OAT, kecuali pada pasien dengan kehamilan trimester 1 serta pasien dengan krisis tiroid
pemberian PTU lebih disarankan. Metimazole diberikan hingga 12-18 bulan dan pada pasien GD
yang mengalami remisi yang ditandai dengan TSH dan TRab normal pada saat itu, pemeriksaan
TRab penting dilakukan dalam memperkirakan kemungkinan remisi. Pada pasien yang mengalami
relaps setelah diberikan metimazole maka dibertimbangkan untuk terapi RAI dan tiroidektomi,
dengan melanjutnya metimazole dosis rendah. 1,2
Jika operasi merupakan pilihan terapi pada GD, maka pasein harus dalam keadaan eutyroid
sebelum dilakukan tindakan dengan OAT dengan atau tanpa beta bloker. Operasi tiroidektomi
pada GD dilakukan dengan tiroidektomo total atau mendekati total. OAT harus segera di stop pada
pasien GD selain itu beta bloker juga daapat dihetikan. Setelah dilakukan operasi maka dapat
diberikan L-thyroxine dengan dosis 0.8 lg/lb atau 1.6 lg/kg dan pada pasien lansia mungkin
memerlukan penurunan dosis. Selanjutnya dilakukan pengukuran TSH diperiksa 6-8 minggu post
operasi.1
Pada pasien yang akan menjalani RAI, dapat diberikan metimazole dan beta bloker dapat
diberikan sebelumnya terutama pada pasien-pasien hipertiroid usia tua dan perburukan gejala
tirotoksikosis. Pemberian metimazole dan beta blocker dapat diberikan 3-7 hari setelah RAI namun
MMI harus ditunda pemberian pada 3-5 hari sebelum dilakukan RAI.1,2
Pada pasien dengan TMNG dan TA yang mengalami hipertiroid harus mendapatkan
metimazole dengan atau tanpa beta bloker hingga mengalami euthyroid kemudian dilakukan
tiroidektomi. Operasi tiroidektomi total dan mendekati total harus dilakukan pada TMNG jika
dilakukan tiroidektomi. Apabila tiroidektomi dilakukan untuk TA maka usg tiroid harus dilakukan
untuk menilai kelenjar tiroid, kemudian dapat dilakukan lobektomi tiroidektomi, ismustectomi dari
adenoma jika tumor terisolasi. 1
Indikasi pilihan terapi Graves hipertiroid berdasarkan berbagai modalitas:1
a. Radioactive iodine (RAI) merupakan pilihan untuk wanita yang merencanakan kehamilan
di masa depan (lebih dari 6 bulan setelah RAI), individu dengan komorbid yang meningkatkan
risiko tindakan bedah, dan pasien yang sebelumnya dioperasi atau diradiasi eksternal leher, atau
tidak tersedianya ahli bedah terkait, pasien dengan kontraindikasi OAT atau gagal mencapai
euthyroidism selama pengobatan dengan OAT. Pasien dengan periodic paralisis tirotoksikosis,
gagal jantung kanan pulmonal
b. OAT dipertimbangkan pada pasien dengan kemungkinan remisi yang tinggi (wanita,
penyakit ringan, gondok kecil, dan TRAb negatif atau titer rendah), kehamilan, orang tua yang
memiliki komorbid yang meningkatkan resiko operasi, pasien dengan tingkat keamanan radiasi
rendah atau tinggal di panti jompo, pasien yang sebelumnya sudah dilakukan operasi atau radiasi
leher, tidak tersedianya akses terhadap dokter bedah tiroid, pasien dengan optalmopathy yang
sedang hingga berat serta pasien yang membutuhkan kontrol laboratorium lebih cepat.
c. Pembedahan merupakan pertimbangan untuk wanita yang merencanakan kehamilan
kurang dari 6 bulan selama asalkan kadar hormon tiroid normal (yaitu, mungkin Sebelum kadar
hormon tiroid akan normal jika RAI dipilih sebagai terapi), teradapat gejala kompresi yang nyata
biasanya pada gondok besar (berat lebih dari 80 gram), hasil pemeriksaan RAIU yang relatif
rendah, ada kecurigaan terahdap keganasan tiroid terutama setelah dilakukan pemeriksaan sitologi,
nodul tiroid besar terutama jika lebih besar dari 4 cm atau jika tidak berfungsi, adanya
hiperparatiroidisme yang membutuhkan operasi, pasien dengan tingkat TRAb sangat tinggi, pasien
dengan optalmophaty yang berat.
Kontra indikasi pilihan terapi Graves hipertiroid berdasarkan berbagai modalitas: 1
a. RAI dikontraindikasikan pada pasien sedang dalam kehamilan, sedang dalam masa laktasi,
terdapat kanker tiroid, atau kecurigaan kanker tiroid, pasien yang tidak dapat memenuhi syarat
keamanan radiasi, pasien beresiko tinggi pada wanita yang merencanakan kehamilan dalam 4-6
bulan.
b. OAT dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap
OAT
c. Pembedahan dikontraindikasikan pada pasiten dengan komorbid yang tidak
memungkinkan dilakukannya tindakan operasi. Pasien dengan kehamilan dipertimbangkan
dilakukan tindakan bedah saat tidak terkontrol dengan OAT terutama dihindari pada trimester
pertama dan ketiga karena efek iatrogenic dari tindakan anestesi,
4. Prognosis
Prognosis GD dinilai dari tingkat remisi dan kambuh. Tingkat remisi pada GD dewasa lebih
tinggi dari pada anak-anak. OAT mampu menginduksi remisi permanen pada 30-50% kasus. Jika
kambuh terjadi pada pasien GD yang diobati dengan OAT, terapi destruktif menjadi pilihan yang
tepat. Setelah 12-18 bulan pemberian OAT lebih dari 50% pasien akan mengalami kambuh.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa nilai TRAb yang tinggi sebelum penghentian terapi terkait
dengan tingkat relaps tinggi. Rasio T3 / T4 lebih dari 20 berhubungan dengan lebih dari 80% risiko
relaps. Tingkat TSH rendah 4 minggu setelah penghentian ATD telah berkorelasi dengan kejadian
relaps pada 70% kasus.2 Pasien hipertiroid yang disebabkan oleh toksik multinodular goiter dan
toksik adenoma tidak akan mengalami remisi. Pemberian OAT dilakukan hingga megnalami
eutiroid, kemudian selanjutnya dilakukan ablasi dengan RAI, pemberian OAT jangka panjang dan
dosis tinggi tidak disarankan3
Semua pasien harus dipantau secara ketat terhadap kejadian relaps setelah penghentian OAT.
Sekitar 75% kejadian kambuh terjadi pada 3 bulan pertama setelah penghentian. Jika kambuh
terjadi, pemberian ATD lebih lanjut dalam waktu yang lebih lama harus ditentukan atau terapi
destruktif mungkin dipertimbangkan.2
Referensi
1. Ross DS, Burch HB, Cooper DS, et al. 2016 American Thyroid Association Guidelines
for Diagnosis and Management of Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis.
American Thyroid Association. 10:1343-1321
2. The Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid Diseases. Indonesian
Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism.JAFES.2012;27:34-37
3. Jameson JL, Mandel SJ, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In: Harrison’s
principles of internal medicine. 19’th Edition. New York: McGraw-Hill; 2008. 2296-
2237.
4. Lee SL. Hyperthyroidism and Thyrotoxicosis. Medscape. Updated: Jul 17, 2017

Anda mungkin juga menyukai