Anda di halaman 1dari 7

Berita Terkait

Hukum Baca Alquran sambil Bersandar

Manfaat Berprasangka Baik

Mengatasi Kelelahan Cara Rasulullah

Benar Salatnya, Diterima Pula Amal Saleh lainnya

Keajaiban dan Berkah Berselawat


(foto: ilustrasi)

INILAHCOM, Jakarta--Suatu ketikaAbu Hanifahmenjumpai Imam Malik yang tengah


duduk bersama beberapa sahabatnya.

Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata,"Tahukah kalian,
siapa dia?" Mereka menjawab, "Tidak." Beliau berkata, "Dialah Numan bin Tsabit, yang
seandainya berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya perkataannya menjadi dipakai orang
sebagai argumen."

Tidaklah dikatakan berlebihan apa yang dikatakan Imam Malik dalam menggambarkan diri Abu
Hanifah, sebab beliau memang memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya,
cerdas, dan tajam wawasannya.

Buku sejarah dan kisah sangat banyak menggambarkan kekuatan argumentasinya dalam
menghadapi lawan bicaranya ketika adu argumen, begitu pula ketika menghadapi penentang
akidah. Semuanya membuktikan kebenaran pujian Imam Malik: "Seandainya dia mengatakan
bahwa tanah di tanganmu itu emas, maka engkau akan membenarkannya karena alasannya yang
tepat dan mengikuti pernyataannya." Bagaimana pula jika yang dipertahankan adalah kebenaran,
dan adu argumentasi untuk membela kebenaran?"

Sebagai bukti, ada seorang laki-laki dari Kufah yang disesatkan oleh AllahSubhanahu wa Taala.
Dia termasuk orang terpandang dan didengar omongannya. Laki-laki itu menuduh di hadapan
orang-orang bahwa Utsman bin Affan asalnya adalah Yahudi, lalu menganut Yahudi lagi setelah
Islamnya.
Demi mendengar berita tersebut, Abu Hanifah bergegas menjumpainya dan berkata, "Aku datang
kepadamu untuk meminang putrimu yang bernama fulanah untuk seorang sahabatku." Dia
berkata, "Selamat atas kedatangan Anda. Orang seperti Anda tidak layak ditolak keperluannya
wahai Abu Hanifah. Akan tetapi, siapakah peminang itu?" Beliau menjawab, "Seorang yang
terkemuka dan terhitung kaya di tengah kaumnya, dermawan dan ringan tangan, hafal
Kitabullah, menghabiskan malam dengan satu rukuk dan sering menangis karena takwa dan
takutnya kepada AllahSubhanahu wa Taala."

Laki-laki itu berkata, "Wah.. wah.., cukup wahai Abu Hanifah, sebagian saja dari yang Anda
sebutkan itu sudah cukup baginya untuk meminang seorang putri Amirul Mukminin." Abu
Hanifah berkata, "Hanya saja ada satu hal yang perlu Anda pertimbangkan." Dia bertanya,
"Apakah itu?" Abu Hanifah berkata, "Dia seorang Yahudi." Mendengar hal itu, orang itu
terperanjat dan bertanya-tanya: "Yahudi?! Apakah Anda ingin saya menikahkan putri saya
dengan seorang Yahudi wahai Abu Hanifah? Demi Allah aku tidak akan menikahkan putriku
dengannya, walaupun dia memiliki segalanya dari yang awal sampai yang akhir."

Lalu Abu Hanifah berkata, "Engkau menolak menikahkan putrimu dengan seorang Yahudi dan
engkau mengingkarinya dengan keras, tapi kau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa
Rasulullahshallallahu alaihi wa sallamtelah menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi (yakni
Utsman)?"

Seketika orang itu gemetaran tubuhnya lalu berkata, "Astaghfirullah, Aku memohon ampun
kepada Allah atas kata-kata buruk yang aku ucapkan. Aku bertaubat dari tuduhan busuk yang
saya lontarkan."

Contoh lain, ada seorang Khawarij bernama adh-Dhahak asy-Syari pernah datang menemui Abu
Hanifah dan berkata,

Adh-Dhahak: "WahaiAbu Hanifah, bertaubatlah Anda."

Abu Hanifah: "Bertaubat dari apa?"

Ad-Dhahak: "Dari pendapat Anda yang membenarkan diadakannya tahkim antara Ali dan
Muawiyah.

Abu Hanifah: "Maukah Anda berdiskusi dengan saya dalam persoalan ini?"

Adh-Dhahak: "Baiklah, saya bersedia."

Abu Hanifah: "Bila kita nanti berselisih paham, siapa yang akan menjadi hakim di antara kita?"

Adh-Dhahak: "Pilihlah sesuka Anda."

Abu Hanifah menoleh kepada seorang Khawarij lain yang menyertai orang itu lalu berkata:
Abu Hanifah: "Engkau menjadi hakim di antara kami." (dan kepada orang pertama beliau
bertanya:) "Saya rela kawanmu menjadi hakim, apakah engkau juga rela?"

Adh-Dhahak: "Ya saya rela."

Abu Hanifah: "Bagaimana ini, engkau menerima tahkim atas apa yang terjadi di antara saya dan
kamu, tapi menolak dua sahabat Rasulullahshallallahu alaihi wa sallamyang bertahkim?"

Maka orang itu pun mati kutu dan tak sanggup berbicara sepatah kata pun.

Contoh yang lain lagi, bahwa Jahm bin Sofwan, pentolan kelompok Jahmiyah yang sesat,
penyebar bidah dan ajaran sesat di bumi pernah mendatangi Abu Hanifahseraya berkata,"Saya
datang untuk membicarakan beberapa hal yang sudah saya persiapkan."

Abu Hanifah: "Berdialog denganmu adalah cela dan larut dengan apa yang engkau bicarakan
berarti neraka yang menyala-nyala."

Jahm: "Bagaimana bisa Anda memvonis saya demikian, padahal Anda belum pernah bertemu
denganku sebelumnya dan belum mendengar pendapat-pendapat saya?"

Abu Hanifah: "Telah sampai kepada saya berita-berita tentangmu yang telah berpendapat dengan
pendapat yang tidak layak keluar dari mulut ahli kiblat (muslim)."

Jahm: "Anda menghakimi saya secara sepihak?"

Abu Hanifah: "Orang-orang umum dan khusus sudah mengetahui perihal Anda, sehingga boleh
bagiku menghukumi dengan sesuatu yang telah mutawatir kabarnya tentang Anda.

Jahm: "Saya tidak ingin membicarakan atau menanyakan apa-apa kecuali tentang keimanan."

Abu Hanifah: "Apakah hingga saat ini kamu belum tahu juga tentang masalah itu hingga perlu
menanyakannya kepada saya?"

Jahm: "Saya memang sudah paham, namun saya meragukan salah satu bagiannya."

Abu Hanifah: "Keraguan dalam keimanan dalam kufur."

Jahm: "Anda tidak boleh menuduh saya kufur sebelum mendengar tentang apa yang
menyebabkan saya kufur."

Abu Hanifah: "Silakan bertanya!"

Jahm: "Telah sampai kepadaku tentang seseorang yang mengenal dan mengakui Allah dalam
hatinya bahwa Dia tak punya sekutu, tak ada yang menyamai-Nya dan mengetahui sifat-sifat-
Nya, lalu orang itu mati tanpa menyatakan dengan lisannya, orang ini dihukumi mukmin atau
kafir?"
Abu Hanifah: "Dia mati dalam keadaan kafir dan menjadi penghuni neraka bila tidak
menyatakan dengan lidahnya apa yang diketahui oleh hatinya, selagi tidak ada penghalang
baginya untuk mengatakannya."

Jahm: "Mengapa tidak dianggap sebagai mukmin padahal dia mengenal AllahSubhanahu wa
Taaladengan sebenar-benarnya?"

Abu Hanifah: "Bila Anda beriman kepada Alquran dan mau menjadikannya sebagai hujjah,
maka saya akan meneruskan bicara. Tapi jika engkau tidak beriman kepada Alquran dan tidak
memakainya sebagai hujjah, maka berarti saya sedang berbicara dengan orang yang menentang
Islam."

Jahm: "Bahkan saya mengimani Alquran dan menjadikannya sebagai hujjah."

Abu Hanifah: "Sesungguhnya AllahSubhanahu wa Taalamenjadikan iman atas dua sendi, yaitu
dengan hati dan lisan, bukan dengan salah satu saja darinya. Kitabullah dan hadis Rasulullah
jelas-jelas menyatakan hal itu:

"Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu
melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Alquran) yang telah mereka
ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, Ya Tuhan kami, kami telah beriman,
maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Alquran dan
kenabian Muhammad shallallahu alaihi wa sallam). Mengapa kami tidak akan beriman kepada
Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan
kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih? Maka Allah memberi
mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-
sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang
yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya)." (QS. Al-Maidah: 83-85)

Karena mereka mengetahui kebenaran dalam hati lalu menyatakannya dengan lisan, maka
AllahSubhanahu wa Taalamemasukkannya ke dalam surga yang di dalamnya terdapat sungai-
sungai yang mengalir karena pernyataan keimanannya itu. AllahTaalajuga berfirman:

"Katakanlah (hai orang-orang mukmin): Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqb dan anak cucunya,
dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari
Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah: 136)

Allah menyuruh mereka untuk mengucapkan dengan lisan, tidak hanya cukup dengan marifah
dan ilmu saja. Begitu pula dengan hadis Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam:

"Ucapkanlah, Laa ilaaha ilallah, niscaya kalian akan beruntung."

Maka belumlah dikatakan beruntung bila hanya sekedar mengenal dan tidak dikukuhkan dengan
kata-kata.
Rasulullahshallallahu alaihi wa sallambersabda:

"Akan dikeluarkan dari neraka barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah.."

Dan Nabi tidak mengatakan, "Akan dikeluarkan dari api neraka barangsiapa yang menganal
AllahSubhanahu wa Taala,"

Kalau saja pernyataan lisan tidak diperlukand an cukup hanya dengan sekedar pengetahuan,
niscaya iblis juga termasuk mukmin, sebab dia mengenal Rabbnya, tahu bahwa Allahlah yang
menciptakan dirinya, Dia pula yang menghidupkan dan mematikannya, juga yang akan
membangkitkannya, tahu bahwa Allah yang menyesatkannya. AllahTaalaberfirman tatkala
menirukan perkataannya:

"Saya lebih baik daripadanya: "Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari
tanah." (QS. Al-Araf: 12)

Kemudian:

"Berkata iblis: Ya tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari
(manusia) dibangkitkan." (QS. Al-Hijr: 36)

Juga firman AllahTaala:

"Iblis menjawab, Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus." (QS. Al-Araf: 16)

Seandainya apa yang engkau katakan itu benar, niscaya banyaklah orang-orang kafir yang
dianggap beriman karena mengetahui Rabbnya walaupun mereka ingkar dengan lisannya.

Firman AllahSubhanahu wa Taala:

"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati
mereka maykini (kebenaran)nya." (QS. An-Naml: 140

Padahal mereka tidak disebut mukmin meski meyakininya, justru dianggap kafir karena
kepalsuan lisan mereka.

Abu Hanifah terus menyerang Jahm bin Shafwan dengan hujjah-hujjah yang kuat, adakalanya
dengan Alquran dan adakalanya dengan hadis-hadis. Akhirnya orang itu kewalahan dan
tampaklah raut kehinaan dalam wajahnya. Dia enyah dari hadapan Abu Hanifah sambil berkata,
"Anda telah mengingatkan sesuatu yang saya lupakan, saya akan kembali kepada Anda." Lalu
dia pergi untuk tidak kembali.

Kasus yang lain, sewaktu Abu Hanifah berjumpa dengan orang-orang atheis yang mengingkari
eksistensi al-Khaliq. Beliau bercerita kepada mereka:
"Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan
barang-barang dan beban. Kapal tersebut mengarungi samuedera. Gelombangnya kecil, anginnya
tenang. Akan tetapi setelah kapal sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal
terus berlayar dengan tenang sehingga tiba di tujuan sesuai renana tanpa goncangan dan berbelok
arah, padahal tak ada nahkoda yang mengemudikan dan mengendalikan jalannya kapal. Masuk
akalkah cerita ini?"

Mereka berkata, "Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, bahkan
oleh khayal sekalipun, wahai Syaikh." Lalu Abu Hanifah berkata, "Subhanallah, kalian
mengingkari adanya kapal yang berlayar sendiri tanpa pengemudi, namun kalian mengakui
bahwa alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit yang penuh bintang, dan
benda-benda langit serta burung yang beterbangan tanpa adanya Pencipta yang sempurna
penciptaan-Nya dan mengaturnya dengan cermat?! Celakalah kalian, lantas apa yang membuat
kalian ingkar kepada Allah?"

Begitulah,Abu Hanifahmenghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan dienullah dengan


kekuatan argumen yang dianugerahkan al-Khaliq kepadanya. Beliau menghadapi para penentang
dengan argumentasi yang tepat.

Tatkala ajal menjemputnya, ditemukan wasiat beliau yang berpesan agar dikebumikan di tanah
yang baik, jauh dari segala tempat yang berstatus syubhat (tidak jelas) atau hasil ghashab.

Ketika wasiat tersebut terdengar oleh Amirul Mukminin al-Manshur beliau berkata, "Siapa lagi
orang yang lebih bersih dari Abu Hanifah dalam hidup dan matinya."

Di samping itu, beliau juga berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh al-Hasan bin
Amarah. Setelah melaksanakan pesannya, Ibnu Amarah berkata, "Semoga AllahSubhanahu wa
Taalamerahmati Anda wahai Abu Hanifah, semoga Allah mengampuni dosa-dosa Anda karena
jasa-jasa yang telah Anda kerjakan, sungguh Anda tidak pernah putus shaum selama tiga puluh
tahun, tidak berbantal ketika tidur selama empat puluh tahun, dan kepergian Anda akan membuat
lesu para fuqaha setelah Anda."[ ]

Anda mungkin juga menyukai