Anda di halaman 1dari 3

Login Sign Up

Berita · Pusat Data · Klinik · Events · Produk · Pro

Search

Berita · Pusat Data · Klinik · Events · Produk · Pro

Prolegnas 2015-2019:
Jumat, 27 Pebruari 2015
Lima Hal Krusial dalam Revisi UU Perkawinan
M-22/MYS
Bergantung pada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi.
Ilustrasi Pernikahan. Foto: SGP
DPR dan DPD mengusulkan perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Usulan
itu kini sudah masuk Program Legislasi Nasional 2015-2019. Meskipun tak masuk prioritas tahun
ini, revisi UU Perkawinan kemungkinan bakal mendapat perhatian banyak pihak, sebagaimana
dulu kelahiran UU No. 1 Tahun 1974.

Dari perbincangan hukumonline dengan aktivis perempuan LBH APIK Erna Ratnaningsih, dan
dosen Fakultas Syar’iyah dan Hukum UIN Ciputat Nurul Irfan terungkap setidaknya lima hal
krusial yang perlu dibahas pembentuk Undang-Undang kelak. Tentu saja, ada kemungkinan
masalah lain muncul dalam pembahasan.

1. Usia menikah
Dalam UU Perkawinan 1974, batas minimal usia nikah bagi perempuan 16 tahun dan bagi laki-
laki 19 tahun. Irfan dan Erna setuju agar batas usia nikah bagi perempuan minimal 18 tahun. Ini
juga sejalan dengan batas usia anak yang disebutkan dalam UU Perlindungan Anak. “Kalau (UU
Perkawinan) mau direvisi, boleh juga disesuaikan minimal usia perkawinan menjadi 18 tahun,
disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak,” jelas Irfan.

Batas usia perkawinan 16 tahun ini telah dipersoalkan sejumlah kalangan ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Sejauh ini, Mahkamah sudah mendengar pandangan organisasi keagamaan dan
sejumlah pakar. Tak ada kesatuan pendapat; ada yang ingin mempertahankan, ada pula yang ingin
menaikkan batas usia minimal. Perdebatan di Mahkamah Konstitusi sangat mungkin mengemuka
lagi kelak dalam pembahasan. Kini, tinggal bagaimana putusan MK.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek ikut mendorong revisi UU Perkawinan, terutama upaya
menaikkan batas minimal usia nikah ini.

2. Syarat Sahnya Perkawinan


Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan sudah lama menjadi perdebatan. Kalangan aktivis
perempuan sudah mengusulkan draf gabungan yang akhirnya berbunyi: “Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku”.

Ada dua isu penting berkaitan dengan keabsahan perkawinan. Pertama, perkawinan beda agama.
Erna setuju jika revisi UU Perkawinan mengatur dan tidak mempersulit perkawinan beda agama.
Mekanismenya, ajukan saja ke pengadilan, nanti pengadilan yang memutuskan. Sebaliknya, Irfan
kurang setuju. “Jangan diarahkan boleh menikah antaragama, nanti persoalan. Nanti repot lagi,”
ujarnya.

Isu kedua adalah penghayat kepercayaan. Menurut Erna, tidak boleh lagi UU Perkawinan
menghambat pelaksanaan dan pencatatan perkawinan para penghayat kepercayaan yang ada di
Indonesia. Erna mengingatkan UU Administrasi Kependudukan juga sudah memungkinkan para
penghayat kepercayaan mendapatkan keabsahan.

Masalah keabsahan perkawinan, terutama berkaitan dengan kawi beda agama, sudah masuk
Mahkamah Konstitusi. Mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum UI yang mempersoalkannya.
Kini, tinggal menunggu bagaimana putusan Mahkamah. Putusan ini akan mempengaruhi pula arah
revisi UU Perkawinan.

3. Status anak luar kawin


Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 sebenarnya telah membawa perubahan
besar karena anak luar kawin dinyatakan mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya.
Meskipun demikian, ada kemungkinan menjadi perdebatan bagaimana status anak yang lahir
dalam married by accident. Rumusan yang ada saat ini, menurut Irfan, seolah-olah anak yang lahir
akibat hamil duluan dianggap sah. Ini berakibat anak yang lahir dari hasil zina juga dianggap sah.
Kalangan ulama kemungkinan akan mempersoalkan. Revisi UU Perkawinan juga sudah harus
mengakomodasi dan memberikan solusi atas kasus bayi tabung dan sewa rahim (surrogate
mother).

4. Status kepala keluarga


Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan menyebutkan suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu
rumah tangga. Rumusan ini menurut Erna bersifat diskriminatif, bias gender. Kalangan aktivis
perempuan seperti Erna menilai para penyusun revisi perlu sensitivitas gender. Faktanya, tak
sedikit keluarga yang ‘kepala keluarganya’ justru perempuan.

5. Poligami
UU Perkawinan menganut asas monogami. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 3 ayat (1). Tetapi
UU ini juga memperbolehkan seorang pria beristeri lebih dari satu. “UU ini melanggengkan
praktek poligami,” kritik Erna.
Dalam prakteknya, pengadilan tidak ketat menerapkan syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Acapkali suami melakukan tekanan lewat pengadilan agar isteri memperbolehkan suaminya
poligami. Cara lain adalah dengan memalsukan identitas.

Menurut Nurul Irfan, sebenarnya dalam RUU lain yang pernah digodok, RUU Materil Pengadilan
Agama, sudah ada ide mengkriminalisasi pelaku poligami. Petugas yang membuat surat-surat
yang memperbolehkan poligami tanpa memenuhi syarat itu juga bisa dipidana. Ide ini, kata Irfan,
menarik untuk dicermati meskipun sejauh ini baru ide dalam RUU Materil Pengadilan Agama, dan
belum masuk ke dalam revisi UU Perkawinan.

Mahkamah Konstitusi juga pernah mengadili permohonan pengujian aturan monogami dalam UU
Perkawinan tersebut pada 2007 silam. Dalam putusannya Mahkamah menyatakan negara harus
mengatur poligami.
4 Komentar | Kirim Komentar
BERITA TERKAIT:
Menkes Berharap UU Perkawinan Direvisi
Aktivis Perempuan Siap Intervensi Pengujian Aturan Poligami
Menilik Kontroversi Perkawinan Sejenis
PPP Kritik Putusan MK tentang Anak Luar Nikah
Membangun Peran Penting Pelaku Perkawinan Lintas Negara
Back »

Ke Atas · Berita · Search


Lihat Versi Desktop
Home · Tentang Kami · Mengapa Kami · Pedoman Media Siber · Kode Etik · Kebijakan Privasi ·
Bantuan dan FAQ · Karir ·
Copyright © 2018 hukumonline.com, All Rights Reserved

Sumo
Focus Retriever
87
SharesFacebook87WhatsAppTwitterGoogle+0LinkedIn0SumoMe

Anda mungkin juga menyukai