LAPORAN PENDAHULUAN KDP (Oksigenasi)
LAPORAN PENDAHULUAN KDP (Oksigenasi)
OLEH:
Popi Dyah Putri Kartika, S.Kep
NIM 132311101035
LEMBAR PENGESAHAN
Jember, 2018
TIM PEMBIMBING
DAFTAR ISI
a. Hidung
Hidung atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua
lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya
terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang
masuk ke dalam lubang hidung (Syaifuddin, 2006).
Di bagian depan berhubungan keluar melalui nares (cuping hidung) anterior
dan di belakang berhubungan dengan bagian atas farings (nasofaring). Masing-
masing rongga hidung dibagi menjadi bagian vestibulum, yaitu bagian lebih lebar
tepat di belakang nares anterior, dan bagian respirasi (Graaff, 2010).
Menurut Pearce (2007) permukaan luar hidung ditutupi oleh kulit yang
memiliki ciri adanya kelenjar sabesa besar, yang meluas ke dalam vestibulum nasi
tempat terdapat kelenjar sabesa, kelenjar keringat, dan folikel rambut yang kaku
dan besar. Rambut ini berfungsi menapis benda-benda kasar yang terdapat dalam
udara inspirasi.
Terdapat 3 fungsi rongga hidung :
1) Dalam hal pernafasan = udara yang di inspirasi melalui rongga hidung akan
menjalani 3 proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghanatan, dan pelembaban.
2) Ephithelium olfactory = bagian meial rongga hidung memiliki fungsi dalam
penerimaan bau.
3) Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukan suara- suara fenotik
dimana ia berfungsi sebagai ruang resonasi.
Menurut Graaff (2010) pada potongan frontal, rongga hidung berbentuk seperti
buah alpukat, terbagi dua oleh sekat (septum mediana). Dari dinding lateral
menonjol tiga lengkungan tulang yang dilapisi oleh mukosa, yaitu:
1) Konka nasalis superior,
2) Konka nasalis medius,
3) Konka nasalis inferior, terdapat jaringan kavernosus atau jaringan erektil yaitu
pleksus vena besar, berdinding tipis, dekat permukaan.
Diantara konka-konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus yaitu meatus
superior (lekukan bagian atas), meatus medialis (lekukan bagian tengah dan meatus
inferior (lekukan bagian bawah). Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara
7
pernafasan, sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan dengan tekak, lubang
ini disebut koana. Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas, keatas
rongga hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang disebut sinus
paranasalis, yaitu sinus maksilaris pada rongga rahang atas, sinus frontalis pada
rongga tulang dahi, sinus sfenoidalis pada rongga tulang baji dan sinus etmodialis
pada rongga tulang tapis (Syaifuddin, 2006).
Pada sinus etmodialis, keluar ujung-ujung saraf penciuman yang menuju ke
konka nasalis. Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman, sel tersebut terutama
terdapat di bagianb atas. Pada hidung di bagian mukosa terdapat serabut-serabut
syaraf atau respektor dari saraf penciuman disebut nervus olfaktorius (Syaifuddin,
2006). Disebelah belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-
langit terdapat satu lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan
rongga pendengaran tengah, saluran ini disebut tuba auditiva eustaki, yang
menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring. Hidung juga berhubungan
dengan saluran air mata disebut tuba lakminaris (Syaifuddin, 2006). Fungsi hidung,
terdiri dari :
1) Bekerja sebagai saluran udara pernafasan
2) Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu hidung
3) Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa
4) Membunuh kuman-kuman yang masuk, bersama-sama udara pernafasan oleh
leukosit yang terdapat dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung.
b. Faring
Tekak atau faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan
dan jalan makanan. Terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung
dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ
lain keatas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang
bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini
bernama istmus fausium. Ke bawah terdapat dua lubang, ke depan lubang laring,
ke belakang lubang esofagus (Syaifuddin, 2006).
8
Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat
folikel getah bening. Perkumpulan getah bening ini dinamakan adenoid.
Disebelahnya terdapat 2 buah tonsilkiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang
terdapat epiglottis (empang tenggorok) yang berfungsi menutup laring pada waktu
menelan makanan (Syaifuddin, 2006). Menurut Graaff (2010) Faring dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu:
1) Nasofaring, yang terletak di bawah dasar tengkorak, belakang dan atas
palatum molle. Pada bagian ini terdapat dua struktur penting yaitu adanya
saluran yang menghubungkan dengan tuba eustachius dan tuba auditory.
Tuba Eustachii bermuara pada nasofaring dan berfungsi menyeimbangkan
tekanan udara pada kedua sisi membrane timpani. Apabila tidak sama, telinga
terasa sakit. Untuk membuka tuba ini, orang harus menelan. Tuba Auditory
yang menghubungkan nasofaring dengan telinga bagian tengah.
2) Orofaring merupakan bagian tengah farings antara palatum lunak dan tulang
hyodi. Pada bagian ini traktus respiratory dan traktus digestif menyilang
dimana orofaring merupakan bagian dari kedua saluran ini. Orofaring terletak
di belakang rongga mulut dan permukaan belakang lidah. Dasar atau pangkal
lidah berasal dari dinding anterior orofaring, bagian orofaring ini memiliki
fungsi pada system pernapasan dan system pencernaan. refleks menelan
berawal dari orofaring menimbulkan dua perubahan makanan terdorong
masuk ke saluran cerna (oesophagus) dan secara stimulant, katup menutup
laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam saluran
pernapasan. Orofaring dipisahkan dari mulut oleh fauces. Fauces adalah
tempat terdapatnya macam-macam tonsila, seperti tonsila palatina, tonsila
faringeal, dan tonsila lingual.
3) Laringofaring terletak di belakang larings. Laringofaring merupakan posisi
terendah dari farings. Pada bagian bawah laringofaring system respirasi
menjadi terpisah dari sitem digestif. Udara melalui bagian anterior ke dalam
larings dan makanan lewat posterior ke dalam esophagus melalui epiglottis
yang fleksibel.
9
c. Laring
Pangkal Tenggorokan (laring) merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra
servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat
ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari
tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi
laring (Syaifuddin, 2006). Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain:
1) Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun sangat jelas terlihat pada pria.
2) Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker
3) Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin
4) Kartilago epiglotis (1 buah).
Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis
yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Syaifuddin, 2006). Proses terbentuknya
suara merupakan hasil dari kerjasama antara rongga mulut, rongga hidung, laring,
lidah dan bibir. Pada pita suara palsu tidak terdapat otot, oleh karena itu pita suara
ini tidak dapat bergetar, hanya antara kedua pita suara tadi dimasuki oleh aliran
udara maka tulang rawan gondok dan tulang rawan bentuk beker tadi diputar.
Akibatnya pita suara dapat mengencang dan mengendor dengan demikian sela
udara menjadi sempit atau luas (Syaifuddin, 2006). Pergerakan ini dibantu pula oleh
otot-otot laring, udara yang dari paru-paru dihembuskan dan menggetarkan pita
suara. Getaran itu diteruskan melalui udara yang keluar – masuk. Perbedaan suara
seseorang bergantung pada tebal dan panjangnya pita suara. Pita suara pria jauh
lebih tebal daripada pita suara wanita (Syaifuddin, 2006).
d. Trakea
Batang Tenggorokan (trakea) merupakan lanjutan dari laring yang terbentuk
oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku
kuda. Panjang trakea 9-11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi
oleh otot polos. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang
disebut sel bersilia hanya bergerak kearah luar (Syaifuddin, 2006).
10
e. Bronkus
Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri, bronkus lobaris kanan ( 3
lobus) dan bronkus lobaris kiri ( 2 bronkus). Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi
10 bronkus segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus
segmental. Bronkus segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus
subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik dan
saraf (Syaifuddin, 2006).
1) Bronkiolus
Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus. Bronkiolus
mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk
selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan nafas.
2) Bronkiolus terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang
mempunyai kelenjar lendir dan silia).
3) Bronkiolus respiratori
Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori. Bronkiolus
respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara lain jalan nafas
konduksi dan jalan udara pertukaran gas.
4) Duktus alveolar dan sakus alveolar
Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan
sakus alveolar. Dan kemudian menjadi alvioli.
11
f. Paru-Paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-sel
epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m². Pada
lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan
dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah
(paru-paru kiri dan kanan) (Syaifuddin, 2006).
Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru),
lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun
oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus
inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru
kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah
segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen
pada lobus superior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen pada
lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan
yang bernama lobulus (Syaifuddin, 2006).
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang
berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah
bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali,
cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus
yang diameternya antara 0,2-0,3 mm (Syaifuddin, 2006).
Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada
atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus.
Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang
bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral
(selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-
paru. Kedua pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar.
Antara keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru dapat
berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk
meminyaki permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan
dinding dada sewaktu ada gerakan bernapas (Syaifuddin, 2006).
12
B. Epidemiologi
Gangguan sistem respirasi merupakan gangguan yang menjadi masalah besar
di dunia khususnya Indonesia diantaranya adalah penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). PPOK mempengaruhi 15 juta orang Amerika dan mengakibatkan
kematian 160.000 jiwa pertahun, peringkat ke-empat sebagai penyebab kematian di
Amerika pada tahun 2005. Angka prevalensi PPOK di negara-negara Asia
Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam
(6,7%) dan China (6,5%). Indonesia prevalensi rata-rata PPOK 3,7% per mil.
Khusus Jawa barat 4% per mil. Maka dari itu Global Initiative for chroniic
obstructive Lung Disesase (GOLD) memperkirakan PPOK sebagai penyebab
kematian ke-6 pada pada tahun 1990 dan akan meningkat menjadi penyebab ke-3
pada tahun 2020 di seluruh dunia (Maranata, 2010)
C. Etiologi
Menurut Tarwanto (2006) angguan kebutuhan oksigen dapat disebabkan oleh
beberapa faktor :
1. Faktor Fisiologi
a) Menurunnya kemampuan mengikatO 2 seperti pada anemia
b) Menurunnya konsentrasi O2 yang diinspirasi seperti pada Obstruksi saluran
pernafasan bagian atas
c) Hipovolemia sehingga tekanan darah menurun yang mengakibatkan
terganggunya oksigen(O2)
d) Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi, demam luka, dll
e) kondisi yang mempengaruhi pergerakkan dinding dada seperti pada
kehamilan, obesitas, muskulur sekeletal yang abnormal, penyakit kronis
seperti TBC paru.
2. Faktor Perilaku
a) Nutrisi, misalnya gizi yang buruk menjadi anemia sehingga daya ikat
oksigen berkurang.
b) Exercise, exercise akan meningkatkan kebutuhan Oksigen.
16
Faktor
Resiko
Ventilasi Obstruksi jalan nafas/ pengeluaran Perubahan volume sekuncup Penyempitan pembuluh
pernafasan mukus yang banyak serta kontraktilitas jantung darah akibat plak
Exercise
Hipoventilasi /
Ketidakefektifan, Terganggunya difusi pertukaran Darah tidak mampu
Hiperventilasi
bersihan jalan O2 dan CO2 di alveolus mengikat O2 secara adekuat
Metabolisme Peningkatan nafas
meningkat kebutuhan O2 Takipneu /
bradipneu
Gangguan
pertukaran gas
Cemas
Ketidakefektifan,
pola nafas
18
F. Penatalaksanaan Medis
Pemberian O2 dapat dibagi atas 2 teknik:
1. Sistem aliran rendah
Teknik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara
ruangan. Teknik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe
pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini
ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu bernafas dengan pola
pernafasan normal, misalnya klien dengan Volume Tidal 500 ml dengan kecepatan
pernafasan 16 – 20 kali permenit (Harahap, 2005). Yang termasuk dalam sistem aliran
rendah yaitu kataeter nasal, kanula nasal, sungkup muka sederhana, sungkup muka
dengan kantong rebreathing, sungkup muka dengan kantong non rebreathing.
a) Kateter nasal
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 1-6. Keuntungan pemberian
O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara, murah dan nyaman
serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap. Kerugian Tidak dapat
memberikan konsentrasi O2 lebih dari 45%, tehnik memasuk kateter nasal
lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi
iritasi selaput lendir nasofaring, aliran lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan
nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah
tersumbat (Harahap, 2005).
b) Kanul nasal
Kecepatan aliran yang disarankan (L/menit): 1-6. Keuntungan Pemberian
O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah
memasukkan kanul dibanding kateter, klien bebas makan, bergerak, berbicara,
lebih mudah ditolerir klien. Kerugian tidak dapat memberikan konsentrasi
O2 lebih dari 44%, suplai O2berkurang bila klien bernafas lewat mulut,
mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput
lender (Harahap, 2005).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Dada (toraks) merupakan bagian ideal untuk pemeriksaan radiologi. Parenkim
paru- paru yang berisi udara memberikan resistensi yang kecil terhadap
jalannya sinar x, sehingga parenkim memberikan bayangan yang sangat
memancar. Bagian yang lebih padat udara akan sukar ditembus sinar x,
sehingga bayangannya lebih padat. Benda yang lebih padat akan memberikan
kesan berwarna lebih putih dari pada bagian yang berbentuk udara jika dilihat
pada lembar hasil radiologi dada. Pemeriksaan rontgen atau radiologi dada
diindikasikan untuk :
22
selalu membuat deviasi trakea ke sisi jauh dari yang sakit. Pada
atelektasis, trakea sering tertarik pada sisi yang sakit. Frekwensi
pernapasan adalah parameter penting untuk diperhatikan; ini harus
dihitung sedikitnya 15 detik lebih sering dari baisanya. Seringkali
frekwensi pernapasan dicatat sebagai 20 kali per menit, yang sering
berarti bahwa frekwensi diperkirakan daripada menghitungnya.
Kedalaman pernapasan sering berarti sebagai frekwensi pernapasan.
Sebagai contoh, bila pasien bernapas 40 kali per menit, seseorang dapat
berpikir masalah pernapasan berat terjadi, tetapi bila pernapasan sangat
dalam pada frekwensi tersebut, ini dapat berarti pasien mengalami
pernapasan Kussmaul sehubungan dengan sidosis diabetik atau asidosis
lain. Namun demikian, bila pernapasan dangkal pada frekwensi 40 kali
per menit, dapat menunjukan distres pernapasan berat karena penyakit
paru obstruktif, penyakit paru restriktif, atau masalah paru lain. Durasi
inspirasi versus durasi ekspirasi penting dalam menentulcan apakah ada
obstruksi jalan napas. Pada pasien dengan penyakti paru obstruktif,
ekspirasi memanjang lebih dari 1½ kali panjang inspirasi.
d) Observasi ekspansi dada umum adalah bagian integral dalam pengkajian
pasien. Secara normal kita mengharapkan kurang lebih 3 inci ekspansi
pada ekspirasi maksimal ke inspirasi maksimal. Gerakan abdomen
dalarn upaya pernapasan (normal terjadi pada pria daripada wanita)
dapat diobservasi. Spondilitis ankilosis atau artritis Marie- StAimpell
adalah satu kondisi dimana ekspansi dada umurn terbatas. Perbandingan
ekspansi dada atas dengan dada bawah dan observasi gerakan diafragma
untuk menentukan apakah pasien dengan penyakit obstruksi paru
difokuskan pada ekspansi dada bawah dan penggunaan diafragma
dengan benar. Lihat pada ekspansi satu sisi dada versus sisi yang lain,
memperlihatkan bahwa atelektasis, khususnya yang disebakan oleh plak
mukus, dapat menyebabkan menurunnya ekspansi dada unilateral.
29
akan tidak mungkin merasakan vibrasi ini atau vibrasi menurun. Bila pasien
mengalami atelektasis karena sumbatan jalan napas, vibrasi juga takdapat
dirasakan. Fremitus taktil agak meningkat pada kondisi konsolidasi, tetapi
deteksi terhadap ini sulit. Hanya dengan palpasi pada dada pasien dengan
napas perlahan, seseorang dapat merasakan ronki yang dapat diraba yang
berhubungan dengan gerakan mukus padajalan napas besar (Setiawati,
2017).
penyekat antara stetoskop dengan paru. Pada obstruksi jalan napas seperti
penyakit paru obstruksi menahun (PPOM) atau atelektasis, intensitas bunyi
napas menurun. Dengan napas dangkal ada penurunan gerakan udara melalui
jalan napas dan bunyi napas juga tidak keras. Pada gerakan ter batas dari
diafragma toraks, dapat menurunkan bunyi napas pada area yang terbatas
gerakannya. Pada penebalan pleural, efusi pleural, pnemotoraks, dan
kegemukan ada substansi abnormal Oaringan fibrosa, cairan, udara, atau
lemak) antara stetoskop dan paru di bawahnya; substansi ini menyekat bunyi
napas dari stetoskop, membuat bunyi napas menjadi tak nyaring (Setiawati,
2017).
Secara umum, ada tiga tipe bunyi yang terdengar pada dada normal:
a) bunyi napas vesikuler, yang terdengar pada perifer paru normal;
b) bunyi napas bronkial, yang terdengar di atas trakea;
c) bunyi napas bronkovesikuler yang terdengar pada kebanyakan area paru
dekat jalan napas utama
Bunyi napas bronkial adalah bunyi nada tinggi yang tampat terdengar
dekat telinga, keras, dan termasuk penghentian antara inspirasi dan
ekspirasi. Bunyi napas vesikuler lebih rendah, mempunyai kualitas desir,
dan termasuk takada penghentian antara inspirasi dan ekspirasi. Bunyi
napas bronkovesikuler menunjukan bunyi setengah jalan antara kedua tipe
bunyi napas. Bunyi napas bronkial, selain terdengar pada trakea orang
normal, juga terdengar pada beberapa situasi dimana ada konsolidasi-
contohnya pnemonia. Bunyi napas bronkial juga terdengar di atas efusi
pleural dimana paru normal tertekan. Dimanapun terdengar napas bronkial,
di sini bisajuga terjadi dua hal lain yang berhubungan dengan perubahan:
(1) perubahan E ke A, dan (2) desiran otot pektoralis. Perubahan E ke A
hanya berarti bahwa bila seseorang mendengar dengan stetoskop dan pasien
mengatakan “E” apa yang didengar orang tersebut secara nyata adalah bunyi
A daripada bunyi E. Ini terjadi bila ada konsolidasi (Setiawati, 2017).
32
Batasan karakteristik :
1) Batuk yang tidak efektif 8) Perubahan frekuensi napas
2) Dispnea 9) Perubahan pola napas
3) Gelisah 10) Sianosis
4) Kesulitas verbalisasi 11) Sputum dalam jumlah yang berlebih
5) Mata terbuka lebar 12) Suara napas tambahan
6) Ortopnea 13) Tidak ada batuk
7) Penurunan bunyi napas
Berhubungan dengan:
Lingkungan
1) Perokok
2) Perokok pasif
3) Terpajan asap
Obstruksi jalan napas
36
Batas Karakteristik:
1) Bradipnea 8) Penurunan tekanan ekspirasi
2) Dispnea 9) Penurunan tekanan inspirasi
3) Fase ekspirasi memanjang 10) Penurunan ventilasi semenit
4) Ortopnea 11) Pernapasan bibir
5) Penggunaan otot bantu 12) Pernapasan cuping hidung
pernapasan 13) Perubahan ekskursi dada
6) Penggunaan posisi tiga titik 14) Pola napas abnormal
7) Peningkatan diameter 15) Takipnea
anterior-posterior
37
Berhubungan dengan :
1) Ansietas.
2) Cidera medula spinalis.
3) Deformitas dinding dada.
4) Deformitas tulang.
5) Disfungsi neuromuskular.
6) Gangguan muskuloskeletal.
7) Gangguan neurologis (misal EEG positif, trauma kepala, gangguan
kejang).
8) Hiperventilasi.
9) Imaturitas neurologis.
10) Keletihan.
11) Keletihan otot pernapasan.
12) Nyeri.
13) Obesitas.
14) Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru.
15) Sindrom hipoventilasi.
Berhubungan dengan:
1) Ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
2) Perubahan membrane alveolar-kapiler.
39
NO
NO NOC NIC
DX
1. I Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 a. Manajemen Jalan
jam, klien dapat mencapai bersihan jalan napas yang Napas
efektif, dengan kriteria hasil: 1) Buka jalan napas
pasien
Respiratory Status: Airway patency 2) Posisikan pasien
N Tujuan untuk
Indikator Awal
o 1 2 3 4 5 memaksimalkan
1. Pengeluaran sputum ventilasi.
pada jalan napas 3) Identifikasi Pasien
2. Irama napas sesuai untuk perlunya
yang diharapkan pemasangan alat
3. Frekuensi jalan napas buatan
pernapasan sesuai 4) Keluarkan secret
yang diharapkan dengan suction
5) Auskultasi suara
Keterangan: napas, catat bila
1. Keluhan ekstrim ada suara napas
2. Keluhan berat tambahan
3. Keluhan sedang 6) Monitor rata-rata
4. Keluhan ringan respirasi setiap
5. Tidak ada keluhan pergantian shift
dan setelah
dilakuakan
tidakan suction
b. Suksion Jalan Napas
1) Auskultasi jalan
napas sebelum
dan sesudah
suction
2) Informasikan
keluarga tentang
prosedur suction
3) Berikan O2
dengan
menggunakan
nasal untuk
memfasilitasi
suksion
nasotrakheal
4) Hentikan suksion
dan berikan
oksigen bila
Pasien
menunjukkan
bradikardi
40
peningkatan
saturasi oksigen
5) Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
6) Jelaskan pada
pasien dan
keluarga tentang
penggunaan
peralatan : O2,
Suction, Inhalasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., dan Wagner, C.M. 2017.
Nursing Intervention Classification (NIC), 6th edition.United Kingdom:
Mosby.
Maranata, Daniel,. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya:
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., dan Swanson, E. 2017. Nursing Outcomes
Classification (NOC), 5th edition.United Kingdom: Mosby.
Tarwoto & Wartonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan.
Edisi Ke-3. Jakarta: Salemba Medika.