Manajemen Cairan Dan Transfusi
Manajemen Cairan Dan Transfusi
Konsep Kunci
1. Waktu paruh cairan kristaloid intravaskular adalah 20-30 menit, sebagian besar
cairan koloid memiliki waktu paruh intravaskular antara 3 dan 6 jam.
2. Pasien dengan nilai hematokrit normal secara umum hanya ditransfusi hanya
jika kehilangan volume darah lebih dari 10-20%. Nilai pasti berdasarkan pada
kondisi medis pasien dan prosedur bedah yang dilakukan.
3. Reaksi transfusi yang paling berat diakibatkan oleh inkompatibilitas ABO;
antibodi yang didapatkan secara alamiah dapat bereaksi dengan antigen (asing)
dalam transfusi, mengaktivasi komplemen, dan berakibat pada hemolisis
intravaskular.
4. Pada pasien dalam keadaan anestesi, reaksi hemolisis akut bermanifestasi
dalam bentuk peningkatan temperatur, takikardia yang tidak dapat dijelaskan,
hipotensi, hemoglobinuria, dan diffuse oozing pada lapang operasi.
5. Transfusi dengan produk darah yang mengandung leukosit nampaknya lebih
baik dalam kondisi imunosupresif.
6. Pasien imunocompromise dan imunosupresi (misal, pada infant prematur dan
resipien transplantasi organ) mudah untuk mengalami infeksi sitomegalovirus
(CMV) yang berat melalui transfusi. Beberapa pasien harus mendapat darah
bebas CMV.
7. Penyebab paling sering dari perdarahan setelah transfusi darah masif adalah
trombositopenia dilusi.
8. Hipokalsemia yang signifikan, dapat menyebabkan depresi jantung, akan tetapi
tidak terjadi pada sebagian besar pasien normal kecuali kecepatan transfusi
melebihi 1 U per 5 menit.
9. Abnormalitas asam-basa yang paling sering terjadi setelah transfusi darah masif
adalah alkalosis metabolik pasca operasi.
Semua pasien kecuali pasien yang menjalani prosedur bedah yang paling ringan
memerlukan jalur vena dan terapi cairan intravena. Beberapa pasien mungkin
memerlukan transfusi darah atau komponen darah. Pemeliharaan volume intravaskuler
normal sangat diperlukan pada periode perioperatif. Anestesiolog harus dapat menilai
volume intravaskuler dengan akurat dan mengganti setiap defisit cairan atau elektrolit
1
dan kehilangan yang sedang berlangsung. Kegagalan atau kesalahan dalam
penggantian cairan atau transfusi dapat menyebabkan morbiditas atau bahkan
kematian.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling reliabel dalam periode perioperatif.
Tanda-tanda terhadap hipovolemia (tabel 29-1) antara lain turgor kulit, hidrasi membran
mukosa, isi dari nadi perifer, kecepatan detak jantung dan tekanan darah istirahat, serta
perubahan (ortostatik) dari posisi berbaring ke duduk atau posisi berdiri, dan kecepatan
pembentukan urin. Sayangnya, banyak obat-obatan yang digunakan selama anestesi,
seperti efek fisiologis stres operasi, mengubah tanda-tanda ini dan menjadikannya tidak
reliabel pada periode pasca operasi. Pada saat operasi, parameter yang sering
digunakan adalah isi dari nadi perifer (radius atau dorsalis pedis), kecepatan
pembentukan urin, dan tanda-tanda indirek seperti respons tekanan darah terhadap
ventilasi tekanan positif dan efek vasodilatasi atau inotropik dari agen anestesi.
2
Pitting edema (terdapat pada presacral pada pasien debridden atau pada daerah
pretibial pada pasien rawat jalan) dan peningkatan kecepatan pembentukan urin
merupakan tanda-tanda hipervolemia pada pasien dengan fungsi jantung, hepar dan
ginjal yang normal. Tanda lanjutan dari hipervolemia antara lain takikardia, ronkhi
pulmoner, wheezing, sianosis, dan sekresi pulmoner yang berbusa berwarna merah
muda.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Beberapa pengukuran laboratorium mungkin dapat digunakan untuk melihat
volume intravaskuler dan kecukupan perfusi jaringan. Pengukuran ini antara lain
hematokrit serial, pH darah arteri, berat jenis urin atau osmolalitas, natrium urin atau
konsentrasi klorida, natrium serum, dan rasio kreatinin serum terhadap nitrogen urea
darah (BUN). Pengukuran ini hanya merupakan indikasi indirek volume intravaskuler
dan sering tidak sesuai dengan kondisi intraoperatif karena komponen tersebut
dipengaruhi oleh banyak variabel dan hasilnya yang sering terlambat. Tanda laboratoris
dari dehidrasi antara lain peningkatan hematokrit, asidosis metabolik yang progresif,
berat jenis urin lebih dari 1,010, natrium urin kurang dari 10 mEq/L, osmolalitas urin
lebih dari 450 mOsm/kg, hipernatremia, dan rasio BUN-creatinin lebih dari 10:1. Untuk
kelebihan cairan, hanya tanda radiologis seperti peningkatan vaskularisasi pulmoner
dan tanda interstitial (Kerly “B” lines) atau infiltrat alveolar difus.
3
PENGUKURAN HEMODINAMIS
Pengawasan hemodinamis didiskusikan pada Bab 6. Monitoring tekanan vena
sentralis diindikasikan pada pasien dengan fungsi jantung dan paru yang normal
dimana status volume cairan sulit dinilai atau dengan maksud lain jika diinginkan
perubahan yang cepat atau mayor. Bacaan tekanan vena sentralis harus
diintepretasikan sesuai dengan kondisi klinis pasien. Nilai yang rendah (< 5 mmHg)
mungkin merupakan nilai yang normal kecuali berkaitan dengan tanda-tanda
hipovolemia. Terlebih lagi, respons terhadap bolus cairan (250 mL) sama pentingnya:
peningkatan yang kecil (1-2 mmHg) mungkin menggambarkan perlunya tambahan
cairan yang lebih banyak, dimana peningkatan yang besar (> 5 mmHg)
mengindikasikan perlunya memperlambat pemberian carian dan mengevaluasi kembali
status volume cairan tubuh pasien. Bacaan tekanan vena sentral lebih dari 12 mmHg
menandakan peningkatan tekanan vena sentralis dan mungkin disebabkan oleh
hipervolemia dengan kondisi disfungsi ventrikel kanan, peningkatan tekanan
intratorakal, atau penyakit perikardial restriktif.
Monitoring tekanan arteri pulmonalis diperlukan jika tekanan vena sentralis tidak
berkaitan dengan penilaian klinis atau jika pasien memiliki disfungsi ventrikel kanan baik
primer maupun sekunder. Bacaan tekanan oklusi arteri pulmoner (PAOP) kurang dari 8
mmHg mengindikasikan adanya hipovolemia jika didukung oleh tanda klinis yang
menyertai; bagaimanapun juga, nilai kurang dari 15 mmHg mungkin berkaitan dengan
hipovolemia relatif pada pasien dengan komplians ventrikuler yang buruk. Pengukuran
PAOP yang lebih tinggi dari 18 mmHg merupakan tanda peningkatan dari tekanan arteri
pulmonalis dan biasanya berakibat pada overload volume ventrikel kiri. Adanya penyakit
katup mitral (biasanya stenosis), stenosis aorta berat, atau myxoma atrial kiri atau
trombus dapat mengubah hubungan normal antara PAOP dan volume end-diastolic
ventrikel kiri (lihat Bab 6, 19, 20, dan 21). Peningkatan tekanan torakal dan tekanan
saluran nafas pulmoner juga dapat menyebabkan kesalahan; sehingga, semua
pengukuran tekanan harus selalu didapatkan pada akhir ekspirasi dan diintepretasikan
pada konteks kondisi klinis pasien.
4
Teknik yang lebih baru dalam mengukur volume ventrikel yaitu dengan
ekokardiografi transesofageal atau dengan radioisotop dan memiliki ketepatan yang
lebih akurat tapi tidak tersedia secara luas.
CAIRAN INTRAVENA
Terapi cairan intravena terdiri dari kristaloid, koloid, atau kombinasi dari
keduanya. Larutan kristaloid merupakan larutan aqueous dengan ion berat molekul
rendah (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung
substansi dengan berat molekul tinggi seperti protein atau polimer glukosa yang besar.
Larutan koloid menjaga menjaga tekanan onkotik koloid plasma (lihat Bab 28) dan
sebagian besar tetap berada di dalam intravaskuler, sedangkan larutan kristaloid
dengan cepat akan mencapai keseimbangan dan didistribusikan keseluruh ruang cairan
ekstraseluler.
Terdapat perbedaan pendapat pada penggunaan cairan koloid terhadap
kristaloid untuk pasien-pasien bedah. Pendukung koloid menyatakan bahwa dengan
menjaga tekanan onkotik plasma, koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume
intravaskuler serta kardiak output normal. Pendukung kristaloid berpendapat bahwa
dengan menggunakan cairan kirstaloid, efektifitasnya sama dengan koloid jika diberikan
dengan jumlah yang mencukupi. Dengan mempertimbangkan bahwa koloid dapat
menyebabkan terbentuknya cairan edema pulmoner pada pasien dengan peningkatan
permeabilitas kapiler pulmoner, karena tekanan onkotik interstitial pulmoner paralel
dengan plasma (lihat Bab 22). Beberapa sifat umum dapat dibuat sebagai berikut:
1. Kristaloid, jika diberikan dengan jumlah yang mencukupi, sama efektifnya
dengan koloid dalam mengembalikan volume intravaskuler.
2. Mengganti defisit volume intravaskuler dengan kristaloid secara umum
membutuhkan volumer 3 sampai 4 kali lebih banyak daripada koloid.
3. Sebagian besar pasien bedah memiliki keadaan defisit cairan ekstraseluler yang
melebihi defisit cairan intravaskuler.
4. Defisit cairan intravaskuler yang berat dapat dikoreksi dengan cepat
menggunakan larutan koloid.
5. Pemberian cepat sejumlah besar kristaloid (> 4-5 L) memiliki angka kejadian
yang lebih besar berkaitan dengan edema jaringan.
5
Beberapa bukti menyebutkan (akan tetapi tidak membuktikan) bahwa jaringan
yang mengalami edema yang cukup berat dapat mengganggu transport oksigen,
penyembuhan luka dan pengembalian fungsi usus setelah operasi besar.
LARUTAN KRISTALOID
Penggunaan kristaloid harus dipertimbangkan untuk memulai resusitasi cairan
pada pasien dengan shok karena perdarahan dan shok septik, pada pasien dengan
luka bakar, pada pasien dengan trauma kepala untuk menjaga tekanan perfusi serebral
dan pada pasien yang menjalani plasmapharesis dan reseksi hepatik. Jika 3-4 L
kristaloid telah diberikan dan respon hemodinamis tidak cukup baik, maka koloid dapat
ditambahkan untuk resusitasi cairan.
Berbagai jenis larutan saat ini telah tersedia (Tabel 29-2). Larutan dipilih
berdasarkan tipe cairan hilang yang akan diganti. Untuk kehilangan cairan yang
melibatkan air saja, penggantian dilakukan dengan menggunakan larutan hipotonis,
atau disebut sebagai “maintenance-type solution”. Jika kehilangan cairan melibatkan
baik air dan elektrolit, penggantian dilakukan dengan menggunakan larutan elektrolit
isotonis, atau biasa disebut “replacement-type solution”. Glukosa dapat ditemui pada
beberapa jenis larutan yang berguna untuk menjaga tonisitas atau untuk mencegah
ketosis dan hipoglikemia karena puasa. Anak cenderung untuk terjadi hipoglikemia (<
50 mg/dL) setelah 4-8 jam puasa. Wanita nampaknya cenderung untuk terjadi
hipoglikemia setelah puasa yang lama (> 24 jam) daripada pria.
6
Karena sebagian besar cairan intraoperatif yang hilang adalah cairan isotonis,
maka biasanya digunakan “replacement-type solution” untuk mengganti kehilangan
cairan. Larutan yang paling banyak digunakan adalah larutan Ringer Laktat. Walaupun
sedikit hipotonis (kurang lebih terdapat 100 mL air bebas dalam tiap liter larutan ini dan
natrium 120 mEq/L), RL secara umum memiliki efek yang paling kecil dalam komposisi
cairan ekstraseluler dan merupakan larutan yang paling fisiologis jika sewaktu-waktu
dibutuhkan dalam jumlah besar untuk mengganti cairan yang hilang. Laktat dalam
larutan RL akan diubah oleh hati menjadi bikarbonat. Normal Saline jika diberikan
dalam jumlah besar akan mengakibatkan asidosis hiperkloremik dilusional yang
disebabkan oleh isi natrium dan klorida yang tinggi (154 mEq/L). konsentrasi plasma
bikarbonat menurun ketika konsentrasi klorida meningkat. NS merupakan larutan yang
direkomendasikan untuk kondisi alkalosis metabolik hipokloremik dan untuk
mengencerkan PRC sebelum transfusi darah dilakukan. Lima persen dekstrosa dalam
air (D5W) digunakan untuk mengganti kekurangan air saja serta sebagai cairan
maintenans untuk pasien dengan restriksi natrium. Salin hipertonis 3% digunakan
dalam terapi hiponatremi simtomatik yang berat (Lihat Bab 28). Larutan saline 3-7%
digunakan untuk resusitasi pasien shok hipovolemik. Larutan ini harus diberikan
perlahan-lahan (sebaiknya menggunakan kateter vena sentralis) karena dapat
mengakibatkan hemolisis.
LARUTAN KOLOID
Aktivitas osmotik substansi dengan berat molekul tinggi yang terdapat di dalam
koloid cenderung membuat larutan ini tetap berada di dalam intravaskuler. Waktu paruh
intravaskuler larutan kristaloid antara 20-30 menit, sedangkan sebagian besar larutan
koloid memiliki waktu paruh antara 3-6 jam. Harga larutan yang cukup mahal serta
komplikasi dari penggunaannya yang mungkin terjadi berkaitan dengan penggunaan
koloid cenderung membatasi penggunaannya. Pada umumnya, indikasi yang dapat
diterima untuk penggunaan larutan koloid antara lain (1) resusitasi cairan pada pasien
dengan defisit cairan yang berat (misal, shok hemorhagik) sebelum darah untuk
7
transfusi datang, dan (2) resusitasi cairan pada kondisi hipoalbuminemia berat atau
kondisi yang berkaitan dengan kehilangan protein dalam jumlah besar seperti pada luka
bakar. Pada pasien luka bakar, koloid juga harus dipertimbangkan pada luka yang
melibatkan lebih dari 30% luas permukaan tubuh atau jika lebih dari 3-4 L cairan
kristaloid telah diberikan selama 18-24 jam pasca luka bakar.
Banyak klinisi juga menggunakan larutan koloid sebagai terapi gabungan dengan
kristaloid jika penggantian cairan yang diperlukan melebihi 3-4 L sebelum dapat
dilakukan transfusi. Harus diperhatikan bahwa larutan ini terdapat dalam sediaan NS
(Cl-145-154 mEq/L) dan juga dapat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik.
Beberapa larutan koloid tersedia secara umum. Semua larutan tersebut berasal baik
dari protein plasma maupun polimer glukosa sintetis dan disediakan dalam larutan
elektrolit isotonis.
Koloid yang berasal dari darah antara lain albumin (larutan 5% dan 25%) dan
fraksi protein plasma (5%). Keduanya dipanaskan sampai 60 0 C selama minimal 10 jam
untuk meminimalkan resiko transmisi hepatitis dan penyakit virus lain yang dapat
ditransmisikan melalui albumin. Fraksi plasma protein mengandung α- dan β-globulin
sebagai tambahan albumin dan biasanya berakibat pada reaksi hipotensif. Reaksi ini
merupakan reaksi alergi dan mungkin melibatkan aktivator prekalikrein.
Koloid sintetis antara lain dextrose starch dan gelatin. Gelatin berkaitan dengan
reaksi alergi yang dimediasi histamin dan tidak tersedia di Amerika Serikat. Dextran
tersedia sebagai dextran 70 (Macrodex) dan dextran 40 (Rheomacrodex), yang memiliki
berat molekul 70.000 dan 40.000. Walaupun dextran 70 merupakan volume ekspander
yang lebih baik dibandingkan dengan dextran 40, dextran 40 juga meningkatkan aliran
darah di dalam mikrosirkulasi , mungkin melalui mekanisme penurunan viskositas
darah. Dekstran juga diketahui memiliki efek antiplatelet. Pemberian melalui infus lebih
dari 20 mL/kg per hari dapat berinteraksi dengan blood typing, yang mungkin
memperpanjang bleeding time (dextran 40), dan telah diketahui berkaitan dengan gagal
ginjal. Dextran juga dapat bersifat antigenik, serta menimbulkan reaksi anafilaktoid dan
anafilaksis baik yang ringan atau berat. Dextran 1 (Promit) diberikan terlebih dahulu
sebelum dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat;
8
dextran 1 bekerja sebagai hapten dan mengikat semua antibodi dextran yang
bersirkulasi di dalam darah.
Hetastarch (hydroxyethyl starch) juga tersedia sebagai larutan 6% dengan berat
molekul rata-rata 450.000. Molekul kecil dibuang melalui ginjal, sedangkan molekul
yang besar harus dipecah terlebih dahulu oleh amilase. Hetastarch sangat efektif
sebagai plasma ekspander dan lebih murah jika dibandingkan dengan albumin.
Kelebihan yang lain yaitu Hetastarch bersifat nonantigenik serta jarang terjadi reaksi
anafilaktoid. Penelitian mengenai koagulasi dan bleeding time menemukan bahwa
Hetastarch tidak berpengaruh secara signifikan setelah pemberian sebanyak 0,5-1,0 L.
Walaupun transplantasi ginjal pada pasien akan memburuk setelah dilakukan infus
hetastarch masih merupakan hal yang kontroversial. Hal serupa terjadi, terdapat
kontroversi berkaitan antara penggunaan hetastarch yang digunakan pada pasien yang
menjalani bypass kardiopulmoner. Pentastarch, larutan starch dengan berat molekul
yang lebih rendah nampaknya memiliki efek samping yang lebih kecil dan mungkin
akan menggantikan hetastarch.
9
DEFISIT CAIRAN PREEXIST
Pasien yang dipersiapkan untuk operasi, setelah semalam puasa tanpa intake
cairan apapun akan mengalami defisit cairan preexist yang sebanding dengan lamanya
puasa. Defisit cairan yang terjadi dapat diperkirakan dengan mengkalikan angka
maintenance normal dengan lamanya puasa. Untuk orang dengan berat rerata 70 kg
yang berpuasa selama 8 jam, nilai ini (40+20+50) mL/jam x 8 jam atau 880 mL.
(kenyataannya, defisit ini akan berkurang karena konservasi cairan yang dilakukan oleh
ginjal).
Kehilangan cairan abnormal sering berkontribusi terhadap defisit preoperatif.
Perdarahan preoperatif, muntah, diuresis dan diare merupakan penyebab yang paling
sering. Kehilangan cairan tersembunyi (redistribusi nyata; lihat bawah) dikarenakan
sekuestrasi cairan oleh jaringan luka atau jaringan yang terinfeksi atau asites dapat
cukup bermakna. Peningkatan kehilangan cairan karena hiperventilasi, demam dan
berkeringat sering tidak terlihat.
Idealnya, semua defisit cairan semua pasien harus digantikan pada periode
preoperatif. Cairang yang digunakan harus mirip dengan komposisi dengan cairan yang
hilang (Tabel 29-4).
10
KEHILANGAN CAIRAN PADA OPERASI
Kehilangan Darah
Salah satu tugas yang paling penting dan paling sulit bagi anestesiologis adalah
secara kontinyu memonitor dan memperkirakan kehilangan darah. Walaupun perkiraan
dapat dikacaukan oleh perdarahan yang tak terlihat yang masuk kedalam luka atau
dibawah drape operasi, keakuratan sangat penting untuk memancdu terapi cairan dan
transfusi darah yang akan dilakukan.
Metode yang paling banyak digunakan untuk emeperkirakan kehilangan darah
adalah pengukuran darah pada tabung suction bedah dan secara visual memperkirakan
darah pada surgical sponges dan laparotomy pads (“laps”). Sponge yang terendam
penuh darah (4x4) dikatakan menahan darah kurang lebih 10 mL, sedangkan “lap” yang
terendam darah kurang lebih menahan 100-150 mL. Perkiraan yang lebih akurat
didapatkan dengan menimbangnya sebelum dan sesudah digunakan untuk menyerap
darah (biasanya digunakan pada prosedur bedah pediatri). Penggunaan larutan irigasi
dapat mengacaukan perkiraan yang dibuat, akan tetapi penggunaannya harus benar-
benar diperhatikan dan beberapa pendekatan digunakan untuk mengkompensasi
kesalahan perhitungan yang dibuat. Hematokrit atau konsentrasi hemoglobin serial
menggambarkan rasio sel darah terhadap plasma, tidak selalu kehilangan darah;
terlebih lagi, pergeseran cairan yang cepat dan penggantian secara intravena dapat
berefek pada pengukuran. Hematokrit mungkin berguna pada prosedur yang lama atau
ketika sulit dilakukan perkiraan kehilangan darah.
11
Redistribusi internal cairan (sering disebut “ruang ketiga”) dapat menyebabkan
pergeseran cairan yang masif dan kekurangan cairan intravaskular yang berat. Jaringan
yang mengalami trauma, inflamasi, atau infeksi (seperti yang terjadi pada luka bakar,
luka yang luas, diseksi bedah, atau peritonitis) dapat mensekuestrasi sejumlah besar
cairan dalam ruang interstitial dan menyebabkan translokasi cairan melalui permukaan
serosa (asites) atai kedalam lumen usus. Akibat dari peristiwa ini adalah peningkatan
obligat pada komponen nonfungsional dari kompartemen ekstraseluler karena cairan
belum memiliki keseimbangan dengan sisa dari kompartemen. Pergeseran cairan ini
tidak dapat dicegah dengan menggunakan cara restriksi cairan dan cairan yang
mengalami pergeseran adalah cairan kompartemen ekstraseluler dan intraseluler.
Disfungsi seluler yang terjadi karena hipoksia dapat mengakibatkan peningkatan
volume cairan intraseluler, juga karena expense kompartemen ekstraseluler fungsional.
Yang terakhir, kehilangan yang bermakna pada cairan limfatik mungkin terjadi selama
proses diseksi retroperitoneal yang luas.
12
hematokrit) pada level tersebut. Untuk sebagian besar pasien, titik tersebut memiliki
nilai hemoglobin antara 7 dan 8 g/dL (atau hematokrit 21-24%)
Dibawah konsentrasi hemoglobin 7 g/dL, curah jantung saat istirahat meningkat
untuk menjaga pengiriman oksigen dalam batas normal. Tingkat hemoglobi sebesar 10
g/dL secara umum digunakan pada pasien yang tua dan pasien dengan penyakit
jantung atau penyakit paru yang signifikan. Batas yang lebih tinggi mungkin digunakan
jika diperkirakan akan terjadi kehilangan darah berkelanjutan.
Pada praktek, sebagian besar klinisi memberikan larutal RL kurang lebih 3-4 kali
volume kehilangan darah, atau koloid dalam rasio 1:1, sampai titik transfusi dicapai.
Pada saat tersebut, darah yang hilang harus digantikan dengan volume yang sama
dengan sediaan darah PRC (packed red cell).
Titik transfusi dapat ditentukan preoperatif dari nilai hematokrit dan dengan
memperkirakan volume darah (Tabel 29-5). Pasien dengan hematokrit normal harus
ditransfusi hanya jika kehilangan darah lebih dari 10-20% dari volume darah. Nilai yang
pasti berdasarkan pada kondisi medis pasien dan prosedur bedah yang dilakukan.
Jumlah kehilangan darah yang diperlukan untuk menurunkan nilai hematokrit pada 30%
dapat dihitung dengan cara berikut:
1. Perkirakan volume darah dari Tabel 29-5.
2. Perkirakan volume sel darah merah (RBCV) pada hematokrit preoperatif (RBCV -
preop).
3. Perkirakan RBCV pada hematokrit 30% (RBCV 30%), anggaplah volume darah
normal dipertahankan.
4. Hitung volume sel darah merah yang hilang ketikan hematokrit 30%; RBCV lost =
RBCVpreop – RBCV30%.
5. Kehilangan darah yang diijinkan = RBCV lost x 3
Contoh
Seorang wanita dengan berat badan 85 kg memiliki hematokrit preoperatif 35%.
Berapa banyak darah yang hilang untuk menurunkan nilai hematokrit sampai 30%?
Perkiraan volume darah = 65 mL/kg x 85 kg = 5525 mL.
RBCV35% = 5525 x 35% = 1934 mL.
RBCV30% = 5525 x 30% = 1658 mL
Sel darah merah pada 30% = 1934 -1658 = 276 mL
13
Kehilangan darah yang diijinkan = 3 x 276 mL = 828 mL.
Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien ini kehilangan
darah lebih dari 800 mL. Kehilangan lebih lanjut, transfusi hanya direkomendasikan
sampai hematokrit turum sampai 24% (hemoglobin < 8 g/dL), akan tetapi perlu untuk
memasukkan dalam hitungan, kecepatan kehilangan darah dan kondisi komorbid
pasien, misal, penyakit jantung dimana transfusi mungkin diindikasikan hanya jika
kehilangan darah sebanyak 800 mL.
Penuntun lain yang biasa digunakan adalah sebagai berikut: (1) satu unit sel
darah merah akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematokrit 2-3% (pada
dewasa); dan (2) transfusi 10 mL/kg sel darah merah akan meningkatkan konsentrasi
hemoglobin sebesar 3 g/dL dan hematokrit sebesar 10%.
14
TRANSFUSI
KELOMPOK DARAH
Membran sel darah merah manusia diperkirakan mengandung setidaknya 300
determinan antigenik yang berbeda. Setidaknya 20 sisten kelompok antigen darah yang
berbeda telah diketahui; ekspresi dari tiap kelompok berdasarkan pada kontrol genetik
dari lokus kromosom terpisah. Sayangnya, hanya sistem ABO dan sistem Rh yang
penting dalam sebagian besar kasus transfusi darah. Setiap individu sering
menghasilkan antibodi (aloantibodi) terhadap allel yang tidak mereka miliki didalam tiap
sistemnya. Beberapa antibodi bertanggungjawab terhadap sebagian besar reaksi
transfusi yang berat. Antibodi bisa terdapat secara “natural” atau sebagai respons
terhadap sensitisasi dari transfusi sebelumnya atau kehamilan.
Sistem ABO
Secara gampang, lokus kromosomal untuk sistem ini memproduksi dua allel: A
dan B. taip allel merepresentasikan enzim yang memodifikasi glikoprotein permukaan
sel sehingga menghasilkan antigen yang berbeda. (biasanya, terdapat multipel varian
dari A dan B). sebagian besar individual tidak memiliki antibodi A dan B yang dibentuk
secara “natural” (terutama imunoglobulin M (IgM) terhadap antigen ini (Tabel 29-7)
dalam tahun pertama kehidupannya. Antigen H merupakan prekursor struktural sistem
ABO akan tetapi prekursor tersebut dihasilkan oleh lokus kromosom yang berbeda.
Tidak adanya antigen H (genotip hh, juga disebut fenotipe Bombay) mencegah
ekspresi gen A atau B; individu dengan kondisi ini sangat jarang, dan akan memiliki
antibodi anti-A, anti-B, dan anti-H.
Sistem Rh
15
Sistem Rh dikode oleh dua gen yang terletak pada kromosom 1. Terdapat kira-
kira antigen terkait Rh sebanyak 46, akan tetapi pada sebagian besar kondisi klinis,
lima antigen utama (D, C, c, E, dan e) dan antibodi yang berkorespondensi dengannya
terdapat pada sebagian besar jaringan yang terkait dengan sistem Rh. Untuk lebih
mudahnya, hanya keberadaan atau ketiadaan dari allel yang paling banyak dan paling
imunogenik, antigen D, merupakan pertimbangan yang digunakan. Kurang lebih 80-
85% dari populasi kulit putih memiliki antigen D. Individu yang tidak memiliki allel ini
disebut sebagai Rh-negatif dan biasanya membentuk antibodi terhadap antigen D
hanya satelah paparan terhadap transfusi sebelumnya (Rh-positif) atai kehamilan (ibu
dengan Rh-negatif yang melahirkan bayi dengan Rh-positif).
Sistem Lain
Sistem lain yaitu antigen Lewis, P, Ii, MNS, Kidd, Kell, Duffy, Lutheran, Xg, Sid,
Cartright, YK, dan Chido Rodgers. Untungnya, dengan beberapa perkecualian (Kell,
Kidd, Duffy, dan S), alloantibodi terhadap sistem ini jarang menyebabkan reaksi
hemolisis yang berat.
UJI KOMPATIBILITAS
Tujuan dari uji kompatibilitas adalah untuk memperkirakan dan mencegah reaksi
antigen-antibodi sebagai akibat dari transfusi sel darah merah. Darah donor dan
resipien ditentukan tipenya dan diperiksa akan adanya antibodi tambahan.
Uji ABO-Rh
Reaksi transfusi yang paling berat disebabkan oleh inkompatibilitas ABO; antigen
yang didapat secara natural dapat bereaksi terhadap antigen yang ditransfusikan
(asing), mengaktivasi komplemen, dan menyebabkan hemolisis intravaskuler. Sel darah
merah pasien kemudian diperiksa dengan serum yang diketahui memiliki antibodi
terhadap A dan terhadap B untuk menentukan tipe darah. Karena hampir selalu
prevalensi universal dari antibodi ABO natural, konfirmasi tiper darah kemudian dibuat
16
dengan menguji serum pasien terhadap sel darah merah yang dikenal sebagai tipe
antigen.
Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibodi anti-D untuk menentukan Rh.
Jika subyek merupakan Rh-negatif, keberadaan antibodi anti-D diperiksa dengan
mencampur serum pasien terhadap sel darah merah Rh-positif. Kemungkinan
pembentukan antibodi anti-D setelah pajanan tunggal terhadap antigen Rh adalah 50-
70%.
Crossmatching
Crossmatch menyamarkan transfusi: sel darah merah dicampur dengan serum
resipien. Uji silang memiliki tiga fungsi: (1) mengkonfirmasi tiping ABO dan Rh (dalam
waktu kurang dari 5 mernit), (2) mendeteksi antibodi untuk sistem kelompok darah lain,
dan (3) mendeteksi antibodi pada titer yang rendah atau antibodi yang tidak menjendal
dengan mudah. Dua fungsi terakhir diatas membutuhkan waktu setidaknya 45 menit.
Skrining Antibodi
Tujuan dari uji ini adalah untuk mendeteksi adanya antibodi di dalam serum yang
sebagian besar terkait dengan reaksi non hemolisis non-ABO. Uji ini (juga dikenal
sebagai tes Coombs indirek) membutuhkan waktu 45 menit dan memerlukan
pencampuran serum subyek dengan sel darah merah yang diketahui memiliki komposis
antigenik; jika terdapat antibodi yang spesifik, antibodi akan megikat membran sel
darah merah, dan penambahan antibodi antiglobulin mengakibatkan aglutinasi sel
darah merah. Skrining dilakukan secara rutin pada sema darah donor dan mungkin
dilakukan untuk resipien yang berpotensi terjadi reaksi silang.
Penentuan Tipe dan Crossmatch terhadap Penentuan Tipe dan Skrining
Insidensi dari reaksi hemolisis yang serius setelah transfusi darah kompatibilitas
ABO- dan Rh- dengan skrining negatif tetapi tanpa uji silang adalah kurang dari 1%. Uji
silang, bagaimanapun juga memastikan keamanan optimal dan mendeteksi keberadaan
antibodi yang kurang umum untuk diuji dalam skrining. Uji silang saat ini dilakukan
hanya jika prosedur bedah elektif dimanan probabilitas transfusinya tinggi. Karena
waktu yang diperlukan (45 menit), jika dua tipe sebelumnya dan prosedur skrining telah
17
didokumentasikan, beberapa pusat telah memulai uji silang terkomputerisasi (tak ada
uji silang yang benar-benar dilakukan).
TRANSFUSI EMERGENSI
Ketika pasien mengalami perdarahan, kebutuhan untuk transfusi meningkat
sehingga meningkatkan pemenuhan uji silang, skrining, atau bahkan penentuan tipe
golongan darah. Jika tipe darah pasien dusah diketahui, uji silang yang cepat
membutuhkan waktu kurang dari 5 menit, akan mengkonfirmasi kompatibilitas ABO.
Jika tipe darah resipien tidak diketahu denga pasti dan transfusi harus dimulai sebelum
penentuan golongan darah selesai, darah tipe O Rh-negatif (donor universal) mungkin
dapat digunakan.
18
kesehatan melakukan uji asam nukleat ntuk virus RNA untuk mendeteksi hepatitis B,
hepatitis C, dan virus HIV, dan sedang dilakukan penelitian untuk mendeteksi virus
West Nile. Uji tersebut merupakan uji yang memiliki sensitivitas sangat tinggi dan harus
dipersempit sejauh jendela virus positif tetapi hasil tes negatif.
Sekali darah dikumpulkan, larutan antikoagulan dan pengawet ditambahkan.
Larutan yang paling banyak digunakan adalah CPDA-1, yang mengandung sitrat
sebagai antikoagulan (dengan mengikat kalsium), fosfat sebagai buffer, dekstrosa
sebagai sumber energi sel darah merah, dan adenosin sebagai prekursor untuk sintesis
adenosine triphosphate (ATP). Darah dengan pengawet CPDA-1dapat disimpan selama
35 hari, setelah itu, viabilitas dari sel darah merah akan menurun dengan cepat.
Sebagai alternatif, digunakan baik AS-1 (Adsol) atau AS-3 (Nutrive) yang dapat
memperpanjang usia darah sampai 6 minggu.
Semua unit dipisahkan menjadi tiap bagian komponen darah yaitu, sel darah
merah, platelet, dan plasma. Jika disentrifugasi, satu unit whole blood dapat menjadi
kurang lebih 250 mL packed red blood cells (hematokrit 70%); setelah penambahan
dengan lebih banyak pengawet saline, volume dari satu unit PRC dapat mencapai 350
mL. sel darah merah secara normal disimpan dalam suhu 1-6 0 C. sel darah merah
dapat dibekukan dengan larutan gliserol hipertonis untuk jangka waktu sampai 10
tahun. Teknik yang terakhir ini biasanya digunakan untuk menyimpan darah dengan
fenotipe yang jarang ditemukan.
Supernatan disentrifus untuk menghasilkan platelet dan plasma. Satu unit
platelet biasanya berisi 50-70 mL plasma dan dapat disimpan pada suhu 20-24 0 C
selama 5 hari. Sisa supernatan plasma kemudian diproses lagi dan dibekukan untuk
menjadi fresh frozen plasma; pembekuan yang cepat membantu mencegah inaktivasi
dari faktor koagulasi yang labil (V dan VIII). Pencairan perlahan fresh frozen plasma
menghasilkan presipitat mirip gelatin (cryoprecipitate) yang mengandung faktor VIII dan
fibrinogen konsentrasi tinggi. Cryopresipitat yang telah cair ini dapat dibekukan kembali
untuk disimpan. Satu uni darah mengandung kurang lebih 200 mL plasma, yang
dibekukan untuk penyimpanan; jika pernah mencair, maka harus ditransfusikan dalam
24 jam. Platelet secara alternatif didapatkan dengan automated plateletpharesis, yang
menghasilkan ekuivalen sampai 6 unit reguler dari satu pasien tunggal.
19
PRAKTEK TANSFUSI INTRAOPERATIF
20
FFP juga digunakan pada pasien yang menerima transfusi darah masif (lihat
bawah) dan masih mengalami perdarahan setelah transfusi platelet. Pasien dengan
defisiensi antitrombin III atau purpura trombotik trombositopeni juga mendapatkan
keuntungan dari transfusi FFP.
Tiap unit FFP membawa resiko infeksi yang sama besar seperti yang terdapat
pada setiap unti whole bloood. Sebagai tambahan, beberapa pasien tertentu mungkin
mengalami sensitisasi terhadap protein plasma. Unit kompatibilitas ABO harus diberikan
secara rutin tetapi tidak harus selalu. Seperti pada sel darah merah, FFP harus
dihangatkan pada 370C sebelum dilakukan transfusi.
Platelet
Transfusi platelet harus diberikan pada pasien dengan trombositopenia atau
disfungsi platelet dengan adanya perdarahan. Transfusi profilaksis platelet juga
diindikasikan pada pasien dengan nilai platelet kurang dari 10.000-20.000 x 10 9/L
karena peningkatan resika perdarahan spontan.
Nilai hitung platelet kurang dari 50.000 x 10 9/L berkaitan dengan peningakatan
perdarahan selama pelaksanaan operasi. Pasien dengan trombositopenia yang akan
mendapatkan operasi atau prosedur yang invasif harus mendapat transfusi platelet
profilaksis preoperatif: jumlah platelet harus meningkat sampai kurang lebih 100.000 x
109/L. persalinan per vaginam dan prosedur bedah minor mungkin dilakukan pada
pasien dengan jumlah platelet yang redah tetapi dengan fungsi platelet yang baik dan
jumlah platelet yang lebih dari 50.000 x 10 9/L.
Tiap unit platelet diharapkan dapat meningkatkan jumlah platelet 10.000 –
20.000 x 109/L. Unit plateletpharesis berisi sama dengan 6 unit donor tunggal reguler.
Peningkatan yang lebih sedikit dapat diperkirakan pada pasien dengan riwayat transfusi
platelet sebelumnya. Disfungsi platelet juga dapat meningkatkan perdarahan operasi
walaupun nilai normal platelet dalam rentang normal dan dapat didiagnosis preoperatif
dengan uji waktu perdarahan (bleeding time). Transfusi platelet mungkin juga
diindikasikan pada pasien dengan disfungsi platelet dan peningkatan perdarahan
operasi.
21
Transfusi platelet kompatibel ABO selalu diinginkan tetapi tidak harus selalu
dilakukan. Transfusi platelet biasanya hanya bertahan 1-7 hari setelah transfusi.
Kompatibilitas ABO mungkin meningkatkan waktu ketahanan platelet. Sensitisisi Rh
dapat terjadi pada resipien Rh-negatif karena terdapatnya sedikit sel darah merah pada
unit platelet Rh-positif. Terlebih lagi, antibodi anti-A atau anti-B pada 70 mL plasma
pada tiap unit platelet dapat menyebabkan reaksi hemolisis terhadap sel darah merah
resipien ketika diberikan transfusi unit platelet dengan ABO inkompatibel dalam jumlah
besar. Pemberian imunoglobulin Rh terhadap individual Rh-negatif dapat mencegah
sensitisasi Rh pada transfusi platelet dengan Rh-positif. Pasien yang membentuk
atibodi terhadap antigen HLA (terdapat pada linfosit dalam konsentrat platelet) atau
antigen platelet spesifik yang memerlukan HLA yang kompatibel atau unit donor
tunggal. Penggunaan transfusi plateletpharesis mungkin menurunkan kemungkinan
sensitisasi.
Transfusi Granulosit
Transfusi granulosit, disiapkan dengan leukapharesis, mungkin diindikasikan
pada pasien neutropenik dengan infeksi bakterial yang tidak berespons terhadap
antibiotik. Granulosit yang ditransfusikan memiliki waktu hidup dalam sirkulasi yang
sangat pendek, sehingga transfusi harian 10 10 granulosit biasanya diperlukan. Iradiasi
dari unit ini menurunkan insidensi reaksi donor terhadap host, kerusakan endotel paru,
dan masalah lain yang berkaitan dengan transfusi leukosit (lihat bawah), tetapi mungkin
berpengaruh sebalinya terhadap fungsi granulosit. Availabilitas filgastrim (granulocyte
colony-stimulating factor, atau G-CSF) dan sargramotism (granulocyte macrophage
colony-stimulating factor, atau GM-CSF) telah mengurangi penggunaan transfusi
granulosit secara signifikan.
KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH
KOMPLIKASI IMUN
Komplikasi imun setelah transfusi darah biasanya dikarenakan sensitisasi
resipien terhadap sel darah merah donor, sel darah putih, platelet, atau protein plasma.
22
Mekanisme yang kurang umum, sel atau serum yang ditransfusikan mungkin memiliki
respons imun terhadap resipien.
1. Reaksi Hemolisis
Reaksi hemolisis biasanya melibatkan kerusakan spesifik sel darah merah yang
ditransfusikan oleh antibodi resipien. Hal yang kurang umum terjadi, hemolisis pada sel
darah merah resipien terjadi sebagai akibat transfusi antibodi sel darah merah. Unit
konsentrat platelet, FFP, konsentrat faktor pembekuan atau kriopresipitat yang
inkompatibel mungkin mengandung sejumlah kecil plasma dengan aloantibodi anti-A
atau anti-B (atau keduanya). Transfusi sejumlah besar dari unit tersebut dapat memicu
hemolisis intravaskuler. Reaksi hemolisis secara luas diklasifikasikan sebagai bentuk
akut (intravaskuler) atau lambat (ekstravaskuler).
23
c) Darah harus diambil untuk mengidentifikasi hemoglobin dalam plasma, untuk
mengulang uji kompatibilitas, dan untuk mendapatkan pemeriksaan koagulasi
dan hitung platelet.
d) Kateter urin harus dipasang, dan urin harus selalu diperiksa akan adanya
hemoglobin.
e) Diuresis osmotik harus dimulai dengan menggunakan manitol dan cairan
intravena.
f) Pada keadaan dimana terjadi kehilangan darah dengan cepat, perlu dipikirkan
penggunaan platelet dan FFP.
24
donor yang membungkus sel darah merah resipien membutuhkan pemeriksaan ulang
yang lebih teliti dari spesimen pretransfusi baik dari pasien maupun donor.
Terapi reaksi hemolisis lambat yang paling awal adalah terapi suportif. Angka
kejadian reaksi transfusi hemolisis tipe lambat diperkirakan kurang lebih 1:12.000
transfusi. Kehamilan (pajanan terhadap sel darah merah fetus) juga bertanggungjawab
dalam pembentukan aloantibodi terhadap sel darah merah.
Reaksi Febris
Sensitisasi sel darah putih atau platelet biasanya bermanifestasi sebagai bentuk
reaksi febris. Reaksi ini cukup sering terjadi (1-3% episode transfusi) dan memiliki ciri
dengan peningkatan termperatur tanpa ditemukan bukti adanya hemolisis. Pasien
dengan riwayat reaksi febris berulang harus menerima transfusi sel darah merah
rendah leukosit saja. Transfusi sel darah merah dapat dibuat menjadi rendah leukosit
dengan sentrifugasi, filtrasi atau teknik freeze-thaw.
Reaksi Urtikaria
Reaksi urtikaria biasanya memiliki karakteristik eritema, hives, dan gatal-gatal
tanpa demam. Reaksi ini cukup sering terjadi (1% transfusi) dan nampaknya
disebabkan oleh karena sensitisasi pasien terhadap protein plasma yang ditransfusikan.
Reaksi urtikaria dapat diterapi dengan obat-obatan antihistaminik (H 1 bloker dan
mungkin H2 bloker) serta steroid.
Reaksi Anafilaksis
Reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi (kurang lebih 1 dari 150.000 transfusi).
Reaksi yang berat ini mungkin terjadi setelah beberapa mililiter darah diberikan,
khususnya pada pasien dengan defisiensi IgA dengan antibodi anti IgA yang menerima
transfusi darah yang mengandung IgA. Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan terdapat
25
pada 1:600-800 pada populasi umum. Beberapa reaksi membutuhkan terapi dengan
epinefrin, cairan, kortikosteroid, dan H 1 dan H2 bloker. Pasien dengan defisiensi IgA
harus mendapat washed PRC, deglycerolized frozen red cells, atau unit darah merah
bebas IgA.
Purpura Pascatransfusi
Trombositopenia yang berat jarang terjadi setelah transfusi darah dan hal ini
disebabkan oleh terbentuknya aloantibodi platelet, untuk alasan yang belum diketahui,
antibodi ini juga merusak platelet pasien sendiri. Angka platelet biasanya turun 1
minggu setelah transfusi. Plasmapharesis biasanya direkomendasikan.
26
Supresi Imun
Transfusi produk darah mengandung leukosit nampaknya bersifat imunosupresif.
Hal ini secara jelas terlihat pada resipien transplan ginjal, dimana transfusi darah
preoperatif nampaknya meningkatkan ketahanan donor. Beberapa penelitian
berpendapat bahwa kekambuhan pertumbuhan keganasan nampaknya lebih mungkin
terjadi pada pasien yang menerima transfusi darah selama operasi. Bukti yang ada juga
menyebutkan bahwa transfusi leukosit alogenik dapat mengaktivasi virus laten pada
resipien. Yang terakhir, transfusi darah mungkin meningkatkan insidensi infeksi yang
serius setelah operasi atau trauma.
KOMPLIKASI INFEKSI
Infeksi Virus
A. Hepatitis
Sampai uji rutin untuk virus hepatitis diimplementasikan, insidensi hepatitis
karena transfusi darah adalah 7-10%. Setidaknya 90% dari kasus tersebut disebabkan
oleh virus hepatitis C. Insidensi hepatitis pascatransfusi adalah antara 1:63.000 dan
1:600.000; 75% dari kasus tersebut bersifat anikterik, dan setidaknya 50% berkembang
menjadi penyakit hati kronis. Terlebih lagi, pada kelompok dengan penyakit hati kronis
tersebut, setidaknya 10-20% berkembang menjadi sirosis.
27
karier infeksius yang asimtomatis; sel darah putih pada unit darah dari donor memiliki
kemampuan mentransmisikan virus tersebut. Pasien dengan kondisi imunokompromis
atau imunosupresi (misal, infant prematur dan resipien transplantasi organ) biasanya
mudah terserang infeksi CMV yang berat melalui transfusi. Idealnya, beberapa pasien
harus menerima unit CMV negatif saja. Bagaimanapun juga, penelitian saat ini
mengindikasikan bajwa resiko transmisi CMV dari transfusi produk darah rendah
leukosit sama dengan unit darah dengan hasil uji CMV negatif. Oleh karena itu, unit
darah rendah leukosit secara klinis sesuai untuk pasien tersebut. Human T cell
lymphotropic viruses I dan II (HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan virus limfoma,
respectively seperti yang telah dilaporkan telah ditransmisikan melalui transfusi darah;
leukemia juga telah diketahui berkaitan dengan myelopathy. Transmisi parvovirus telah
dilaporkan terjadi setelah transfusi konsentrat faktor koagulasi dan dapat menyebabkan
krisis aplastik sementara pada inang yang imunokompromis. Penggunaan filter leukosit
khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak menghilangkan insidensi komplikasi ini.
Infeksi Parasit
Penyakit parasit yang dapat ditransmisikan melalui transfusi antara lain malaria,
toxoplasmosis, dan penyakit Chagas. Untungnya, kasus-kasus tersebut sangat jarang
terjadi.
Infeksi Bakterial
Kontaminasi produk darah oleh bakteri merupakan penyebab terbanyak kedua
pada transfusi yang berkaitan dengan kematian. Prevalensi dengan hasil kultur dari
kantong darah yang positif berkisar antara 1/2000 untuk produk platelet sampai 1/7000
untuk pRBC. Prevalensi sepsis yang disebabkan oleh transfusi darah berkisar antara
1/25.000 untuk platelet sampai 1/250.000 untuk pRBC. Jumlah ini cukup besar jika
dibandingkan dengan resiko HIV atau Hepatitis dengan angka prevalensi 1-2/sejuta.
Baik bakteri gram-positif (Staphylococcus) dan gram-negatif (Yersinia dan Citrobacter)
jarang tetapi dapat mengkontaminasi transfusi darah dan menularkan penyakit. Untuk
mencegah kemungkinan kontaminasi bakterial yang bermakna, produk darah harus
diberikan dalam periode kurang dari 4 jam. Penyakit bakterial spesifik yang
28
ditransmisikan oleh transfusi darah dari donor antara lain sifilis, brucellosis,
salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam ricketsiosis.
Koagulopati
Penyebab perdarahan terbanyak setelah tansfusi darah masif adalah
trombositopenia dilusional. Dilusi faktor koagulasi yang signifikan secara klinis jarang
terjadi pada pasien dengan kondisi yang sebelumnya normal. Pemeriksaan koagulasi
dan hitung platelet, jika telah tersedia, idealnya dapat menjadi penuntuk transfusi
platelet dan FFP. Analisis viskoelastis pembentukan bekuan whole blood
(tromboelastografi dan analisis Sonoclot) mungkin juga berguna.
Toksisitas Sitrat
Kalsium yang diikat oleh pengawet sitrat secara teoritis menjadi bermakna pada
transfusi sejumlah besar darah atau produk darah. Hipokalsemia yang signifikan secara
klinis, menyebabkan depresi kardiak, tidak pernah terjadi pada sebagian besar pasien
normal kecuali kecepatan pemberian darah lebih dari 1 unit per 5 menit. Karena
metabolisme sitrat secara primer terjadi di hati, pasien dengan penyakit hati atau
disfungsi (dan mungkin pasien hipotermia) mungkin perlu diberikan infus kalsium
selama transfusi masif.
Hipotermia
Transfusi darah masif merupakan indikasi absolut untu menghangatkan produk
darah dan cairan intravena pada temperatur normal. Aritmia ventrikuler yang
berkembang menjadi fibrilasi sering terjadi pada temperatur sekitar 30 0C. Hipotermia
dapat mengganggu resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat dengan transfer
29
panas yang sangat efisien telah menurunkan insidensi hipotermi terkait transfusi secara
signifikan.
Keseimbangan Asam-Basa
Walaupun darah yang disimpan menjadi lebih asam karena adanya antikoagulan
adam sitrat dan akumulasi metabolit sel darah merah (karbon dioksida dan asam
laktat), asidosis metabolik yang signifikan karena transfusi jarang terjadi. Abnormalitas
asam basa yang terjadi setelah transfusi darah masif adalah alkalosis metabolik
pascaoperasi. Setelah perfusi normal tercapai, setiap asidosis metabolik akan
diperbaiki, dan alkalosis metabolik yang progresif karena sitrat dan laktat yang
terkandung dalam transfusi dan resusitasi cairan akan diubah menjadi bikarbonat oleh
hati.
TRANSFUSI AUTOLOG
Pasien yang menjalani prosedur operasi elektif dengan kemungkinan tinggi
dilakukan transfusi dapat mendonasikan darahnya sendiri untuk digunakan selama
30
operasi. Pengambilan biasanya dilakukan 4-5 minggu sebelum dilakukan operasi.
Pasien diijinkan untuk mendonasikan satu unit darah selama hematokrit pasien
setidaknya 34% atau hemoglobin minimal 11 g/dL. Diperlukan minimal 72 jam antara
donasi untuk memastikan bahwa volume plasma kembali menjadi normal. Dengan
suplementasi besi dan terapi rekombinan eritropoetin (400 U per minggu), setidaknya
tiga atau empat unit darah dapat diambil sebelum operasi. Beberapa penelitian
berpendapat bahwa transfusi darah autolog tidak memiliki efek samping ketahanan
pada pasien yang menjalani operasi untuk kanker. Walaupun transfusi autolog
nampaknya mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi, cara ini tidak sepenuhnya
aman. Resiko yang ada antara lain reaksi imunologis yang disebabkan oleh kesalahan
tulis dalam pengambilan darah dan labeling, kontaminasi, dan penyimpanan yang tidak
benar. Reaksi alergi dapat terjadi karena alergen (misal, ethylene oxide) yang terlarut
kedalam darah dari peralatan pengambilan darah dan penyimpanan. Pengambilan
darah autolog preoperatif saat ini masih digunakan dengan frekuensi yang semakin
jarang.
HEMODILUSI NORMOVOLEMI
31
Hemodilusi normovolemia akut berdasarkan pada premis bahwa jika konsentrasi
sel darah merah menurun, jumlah total sel darah merah yang hilang berkurang ketika
sejumlah besar darah tertampung; terlebih lagi, curah jantung tetap normal karena
volume intravaskuler tetap terjaga. Darah biasanya diambil sesaat sebelum operasi
dengan kateter intravena berdiameter besar dan kemudian diganti dengan kristaloid
dan koloid sehingga pasien menjadi normovolemia tetapi memiliki hematokrit 21-25%.
Darah yang diambil disimpan dalam kantung CPD pada temperatur ruangan (dapat
sampai 6 jam) untuk menjaga fungsi platelet; darah diberikan kembali pada pasien
setelah terdapat kehilangan darah atau secepatnya jika diperlukan.
DONOR-DIRECTED TRANSFUSIONS
Pasien dapat meminta donasi darah dari anggota keluarga atau teman yang
diketahui memiliki darah ABO yang kompatibel. Sebagian besar bank darah menolak
praktek ini dan biasanya memerlukan donasi setidaknya 7 hari sebelum operasi untuk
memproses darah yang didonasikan dan mengkonfimasi kompatibilitasnya. Penelitian
yang membandingkan keamanan unti donor-directed terhadap unit donor acak telah
menemukan tidak adanya perbedaan atau dengan kata lain unit darah dari bank darah
lebih aman.
DISKUSI KASUS:
32
Apakah anemia sel sickle?
Anemia sel sickle adalah tipe anemia hemolitik yang diturunkan dan disebabkan
oleh pembentukan hemoglobin yang tidak normal (HbS). HbS berbeda dengan
hemoglobin dewasa normal (HbA) yang secara struktural terdapat substitusi valine
untuk asam glutamik dalam posisi ke enam di rantai β. Secara fungsional, hemoglobin
sickle memiliki afinitas dan kelarutan yang lebih rendah terhadap oksigen (P 50= 31
mmHg). Terkait dengan oksigenasi, HbS telah mengalami polimerasi dan mengendap
dalam sel darah merah, sehingga menyebabkan sel tersebut berbentuk sickle. Pasien
memproduksi hemoglobin fetal (HbF) dalam jumlah yang bervariasi (2-20%).
Tampaknya sel dengan jumlah HbF yang besar lebih terlindungi dari proses sickling.
Pembentukan dan perusakan yang berlangsung terus menerus dan bersifat ireversibel
pada sel sickle akan menyebabkan terjadinya anemia. Nilai hematokrit biasanya
berkisar antara 8-30% akibat hemolisis ekstravaskuler. Ketahanan sel darah merah
berkurang menjadi 10–12 hari apabila dibandingkan dengan ketahanan sel darah
merah normal yang mencapai 120 hari.
Apa perbedaan antara anemia sel sickle dengan trait sel sickle?
Ketika terjadi defek genetik untuk hemoglobin dewasa baik secara maternal atau
paternal yang berasal dari kromosom (No.11), pasien bersifat homozigot untuk HbS dan
memiliki anemia sel sickle (HbSS). Ketika hanya satu kromosom yang memiliki gen
sickle, pasien tersebut bersifat heterozigot dan memiliki trait sel sickle (HbAS). Pasien
dengan trait sel sickle memproduksi jumlah HbA (55-60%) dan HbS (35-40%) yang
bervariasi. Berbeda dengan pasien yang memiliki HbSS, mereka secara umum tidak
anemik, asimtomatik, dan memiliki waktu hidup yang normal. Sickling terjadi hanya
dalam kondisi hipoksemia ekstrem atau dalam keadaan low-flow. Sickling secara
khusus cenderung terjadi pada medula renal; sehingga banyak pasien dengan trait sel
sickle memiliki kegagalan fungsi ginjal dalam mengkonsentrasikan urin. Beberapa
pasien dengan HbAS dilaporkan memiliki infark medula ginjal, limpa, dan paru.
Bagaimana prevalensi gen sel sickle pada ras kulit hitam di Amerika?
33
Anemia sel sickle terutama merupakan penyakit keturunan dari penduduk kulit
hitam Afrika Tengah. Diperkirakan 0,2-0,5% warga kulit hitam Amerika memiliki gen
homozigot untuk gen sickle sedangkan 8-10% memiliki gen heterozigot. Anemia sel
sickle lebih sedikit ditemukan pada pasien keturunan mediterania.
Gejala–gejala apa saja yang biasanya tampak pada penderita anemia sel sickle?
Pasien dengan HbSS secara umum menunjukkan gejala sejak balita, yaitu
ketika tingkat hemoglobin fetal (HbF) menurun dengan nyata. Penyakit ini memiliki ciri
yaitu krisis episodik akut dan kronis serta gambaran yang progresif (Tabel 29-8). Anak–
anak menampakkan pertumbuhan yang lambat dan infeksi yang terus berulang. Infark
limpa yang berulang akan menyebabkan atropi limpa dan menyebabkan asplenisme
fungsional pada masa dewasa. Pasien biasanya meninggal akibat infeksi ginjal
berulang atau gagal ginjal. Krisis sering diakibatkan oleh pengendapan yang
disebabkan infeksi, cuaca dingin, dehidrasi, atau bentuk lain dari stress. Krisis dapat
dibagi ke dalam tiga tipe:
1. Krisis Vasooclusive: tergantung dari pembuluh yang terlibat, kejadian akut ini
dapat mengakibatkan infark mikro atau makro. Sebagian besar dari krisis yang
menyakitkan diperkirakan disebabkan oleh mikro infark pada berbagai jaringan.
34
Secara klinis, krisis ini tampak sebagai nyeri di perut, dada, punggung, dan
sendi. Sangat sulit membedakan penyebab krisis yang terjadi adalah penyebab
bedah atau non bedah pada nyeri perut. Kebanyakan pasien memiliki pigmented
gallstone ketika dewasa dan banyak yang bermanifestasi sebagai kolesistitis
akut. Fenomena vasooklusif pada pembuluh yang lebih besar dapat
menghasilkan trombosis yang mengakibatkan infak limpa, otak, paru-paru, hati,
dan yang jarang terjadi yaitu infark otot jantung.
2. Krisis Aplastik: anemia berat (Hb 2-3 g/dL) dapat terjadi secara cepat ketika
produksi sel darah merah pada sumsum tulang habis atau tersupresi. Infeksi dan
defisiensi folat kemungkinan besar memainkan peranan yang penting. Beberapa
pasien juga mengalami leukopenia.
3. Krisis Sekuestrasi Limpa: terkumpulnya darah yang tiba-tiba di limpa dapat
terjadi pada bayi dan anak-anak, dan hal ini dapat menyebabkan hipotensi yang
mengancam jiwa. Mekanisme sekuestrasi limpa diperkirakan oleh karena oklusi
secara parsial atau komplit yang terjadi pada sistem drainase vena dari limpa.
35
Bagaimana anemia sel sickle didiagnosis?
Sel darah merah dari pasien dengan anemia sel sickle telah terbentuk sickle
karena penambahan reagen pengkonsumsi oksigen (metabisulfite) atau sebuah larutan
ionik hipertonik (solubility test). Konfirmasi memerlukan elektroforesis hemoglobin.
36
Apa cara terbaik mempersiapkan pasien dengan anemia sel sickle untuk sebuah
operasi?
Persiapan operasi preoperatif dibutuhkan oleh seluruh pasien yang akan
menjalani operasi. Pasien harus cukup diberikan rehidrasi, infeksi harus dikontrol, dan
tingkat konsentrasi hemoglobin harus dalam tingkat yang dapat diterima. Terapi tranfusi
preoperatif hingga prosedur operasi harus sesuai dengan masing-masing individu
pasien. Biasanya transfusi tukar parsial juga disarankan sebelum prosedur operasi
besar. Tidak seperti dalam tranfusi sederhana, transfusi tukar menurunkan kekentalan
darah. Hal ini juga meningkatkan kapasitas angkut darah dan menurunkan
kemungkinan terjadinya sickling. Secara umum tujuan dari tranfusi tersebut adalah
untuk mencapai hematokrit 35-40% dan 40-50% hemoglobin normal (HbA 1). Meskipun
keuntungan dari transfusi tukar kepada pasien yang sedang dianestesi masih belum
jelas, hal ini jelas membantu pasien yang sedang mengalami krisis.
37
Suplemen oksigen, kontrol nyeri yang optimal, fisioterapi paru–paru, dan ambulasi awal
dilakukan untuk menghindari komplikasi.
Apakah signifikansi anemia sel sickle dan talasemia pada satu pasien yang sama?
Kombinasi dari HbS dan talasemia, yang pada umumnya merupakan β-
talasemia, memiliki variasi dan efek yang tidak pasti pada tingkat keparahan penyakit.
Secara umum, kombinasi keduanya cenderung lebih ringan pada pasien kulit hitam
daripada pasien keturunan mediterania.
38
Apakah signifikansi dari genotip HbSC?
Hampir 0,1% warga Amerika secara simultan merupakan heterozigot bagi HbS
dan HbC (Hb-SC). Pasien ini secara umum memiliki anemia hemolitik ringan. Beberapa
pasien secara khusus memiliki krisis nyeri, infark limpa, dan disfungsi hati. Manifestasi
pada mata mirip dengan penyakit yang berkaitan dengan HbSS dan biasanya memiliki
tingkat komplikasi tinggi selama trisemester ketiga kehamilan dan persalinan.
Apakah hemoglobin E?
Hemoglobin E terjadi akibat substitusi tunggal pada rantai β dan varian
hemoglobin paling umum ke dua di dunia. Hemoglobin E sering dialami pasien dari Asia
Tenggara. Meskipun afinitas pengikatan oksigen normal, substitusi tersebut merusak
produksi rantai β (serupa dengan talasemia-β). Pasien homozigot memiliki mikrotosis
yang bermakna dan sel target yang mencolok, tetapi biasanya pasien tidak anemis
serta tidak terdapat manifestasi apapun.
39
terkait dengan gen X, dan kaum pria yang biasanya terpengaruh. Setelah sel darah
merah menjadi tua, aktivitas G6PD berkurang. Konsekuensinya, sel darah merah yang
sudah tua paling mudah teroksidasi. Kerusakan ini lebih sering cepat terjadi pada
varian yang dimiliki oleh keturunan Mediterania, tetapi hanya kerusakan moderat terjadi
pada pasien dengan varian A-. Kebanyakan pasien tidak anemis, tetapi dapat
mengalami hemolisis akibat tekanan oksidan, seperti infeksi virus dan bakteri, dan
akibat mengkonsumsi obat tertentu (Tabel 29-9). Hemolisis dapat disebabkan oleh
asidosis metabolik. Episode hemolisis dapat muncul bersama hemoglobinuria dan
hipotensi. Kejadian tersebut secara umum terbatas karena hanya sel yang tua yang
akan rusak. Variasi mediteran kadang diasosiasikan dengan tingkat anemia hemolitik
kronis tertentu, dan beberapa pasien sangat sensitif terhadap kacang fava.
40