Anda di halaman 1dari 11

Dampak UU Mineral dan Batubara Terhadap Masa Depan

Industri Pertambangan di Indonesia


Rocardo Fiipadhlillah Chang (1606822945)
rocardofpdhchng@gmail.com
Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Sekilas Tentang UU. No. 4 Tahun 2009

Indonesia merupakan
negara yang kaya akan
sumberdaya alam renewable,
seperti batubara dan mineral
sebagai tombak kemajuan
pembangunan negara.
Menurut Radhi (2014), sudah
lebih setengah abad lamanya Timeline Perkembangan(Revisi) UU. Minerba
kekayaan alam yang dikandung Ibu Pertiwi dieksploitasi secara besar-besaran yang
lebih menguntungkan bagi perusahaan asing beserta komparadornya sedangkan nilai
tambah pengurasan hasil tambang bagi bangsa Indonesia selama ini amat rendah,
sehingga negara gagal memanfaatkan hasil kekayaan alam bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat seperti yang diamanahkan oleh UUD 1945. Dalam hal ini,
pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 yang mengatur
pertambangan berdasarkan sistem perjanjian Kontrak Karya (KK) pada pertambangan
mineral dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kuasa
Pertambangan (KP). Namun sistem tersebut dianggap tidak lagi dapat mengatur
pertambangan di Indonesia karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan
persaingan tingkat global. Persoalan ini menjadi salah satu faktor pendorong adanya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengubah sistem KK, PKP2B, dan KP
menjadi sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pada Undang-Undang Minerba pasal 36
menyatakan bahwa IUP terdiri dari dua proses, yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi
Produksi. Di dalam IUP Operasi Produksi terdapat proses pemurnian. Proses pemurnian
disebut juga pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara
pasal 170 yang menyatakan bahwa pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud
dalam pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-
Undang ini diundangkan.

1
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, mengatur tentang peningkatan harga jual
bahan galian tambang dalam bentuk fure konsentrat bukan lagi konsentrat. Dalam hal ini
perusahaan harus melakukan pemurnian (smelting) terlebih dahulu untuk membentuk
bahan galian tambang yang fure konsentrat. Undang-undang tersebut didukung dan
diperjelas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2014.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 pasal 112 C ayat (1) menyatakan
bahwa penambangan mineral dan batubara wajib melakukan pemurnian di dalam negeri.
Atas kebijakan pemerintah tersebut banyak terjadi pro dan kontra dengan perusahaan
pertambangan di Indonesia. Di Indonesia, hanya ada 25 perusahaan dari 253 perusahaan
tambang yang mempunyai Izin Usaha Penambangan (IUP) yang telah memasuki tahap
akhir dari pembangunan smelter. Hal ini menyebabkan perusahaan lainnya terancam
mengalami kerugian. Permasalahan pada PT. Freeport dan PT. Newmont yang melakukan
Pemberhentian Hak Kerja (PHK) pada puluhan ribu karyawannya dikarenakan persoalan
pajak yang meningkat jika melakukan ekspor bahan galian mentah, juga mengalami
kerugian Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang menurun hingga lebih dari 90%. Namun,
hal positif atas kebijakan pemerintah tersebut berpengaruh pada perusahaan yang telah
memiliki smelter sendiri seperti PT. Vale Indonesia Tbk. (INCO), yang merasa
diuntungan atas larangan ekspor karena telah memilki smelter dan itu sudah lama, begitu
pula PT. Timah (Persero) Tbk. (TINS) (Pradipta, 2014 dalam Bisnis.com).

Perkembangan Kasus pada 2014

Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 mengatur tentang


Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), juga
mengatur tentang peningkatan nilai jual ekspor mineral dan batubara. Undang-undang
tersebut dipertegas dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 112
C Ayat (1) yaitu Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112 angka 4 huruf a Peraturan Pemerintah ini wajib melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Hal ini merupakan penegas dari Undang-

2
Undang Nomor 4 Tahun 2009 pasal 170 yang menyatakan bahwa pemegang kontrak
karya yang sudah beroperasi wajib melakukan pemurnian.
Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut bertujuan untuk meningkatkan
pembangunan nasional, namun banyak perusahaan pertambangan mengklaim kebijakan
tersebut tidak memperuntungkan pihak perusahaan pertambangan dan hanya berpihak
kepada pemerintah. Tentunya perusahaan pertambangan menolak kebijakan-kebijakan
pemerintah tersebut dan membuat statement bahwa penjualan ekspor mineral murni tidak
mungkin dapat direalisasikan dalam waktu singkat dan akan berpengaruh pada penurunan
pendapatan karena biaya pajak yang besar jika tetap melakukan penjualan konsentrat
yang bukan fure konsentrat, bahkan akan berpengaruh pada Pemberhentian Hak Kerja
(PHK) secara sepihak kepada ribuan

Masalah Pembuatan Smelter yang Problematik

Pembangunan smelter yang perkembangannya cenderung jalan di tempat memang


tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dialami pelaku usaha tambang. Kendala
yang sering menghambat pembangunan smelter diantaranya ketersediaan infrastruktur.
Smelter membutuhkan infrastruktur
penunjang seperti listrik untuk
menjalankan pabrik, jalan untuk
mengangkut bahan mentah dan
hasil olahan, dan pelabuhan untuk
mendistribusikan hasil produksi
smelter. Pemerintah dalam hal ini
dapat dinilai gagal dalam
menyediakan kebutuhan infrastruktur Smelter

tersebut. Permasalahan seperti ketersediaan listrik yang minim, kondisi jalan yang rusak,
hingga tata pelabuhan yang tidak efisien masih sering kita jumpai di Indonesia.
Keterbatasan akses infrastruktur tentu menjadi permasalahan yang cukup serius
karena sudah seharusnya fasilitas penunjang ini disediakan oleh pemerintah. Infrastruktur
listrik di daerah yang memiliki potensi tambang sering kali memiliki rasio elektrifikasi

3
rendah, seperti Sumatera Selatan sebesar 76,38%, Kalimantan Tengah 67,23%, Sulawesi
Tenggara 66,78%, NTB 68,05%, dan bahkan Papua hanya 43,46%. Padahal,
pembangunan smelter umumnya dilakukan di dekat site pertambangan untuk menekan
biaya transportasi. Dengan rasio elektrifikasi yang rendah, investor akan berpikir dua kali
sebelum berinvestasi pada pembangunan smelter.

Rasio Elektrifikasi Tahun 2014

Permasalahan berikutnya yang turut menghambat perkembangan pembangunan


smelter di Indonesia adalah kendala birokrasi dan tata ruang. Tidak mengejutkan lagi jika
kendala birokrasi dan regulasi di negeri ini dapat menghambat hilirisasi industri
pertambangan. Perizinan yang berbelit-belit, kendala pembebasan lahan, hingga tumpang
tindihnya peraturan turut melatarbelakangi pembangunan smelter yang jalan di tempat.
Contohnya dengan hadirnya Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 Dan PP No. 1 Tahun 2014
yang beberapa poinnya tumpang tindih dengan keberadaan UU Minerba. Belum lagi
ketidakjelasan tata ruang yang menjadi kendala bagi investor dalam berinvestasi.
Tumpang tindih peta kehutanan, peta pertambangan, dan rencana tata ruang wilayah
masih menjadi permasalahan yang harus segera diselesaikan.
Melihat permasalahan tersebut, sinergisasi antar pemerintah, pelaku usaha
tambang, investor, dan stakeholder terkait sangat diperlukan dalam menentukan arah

4
industri pertambangan Indonesia nantinya. Tentunya berbagai upaya yang telah dilakukan
dalam menentukan solusi permasalahan ini tidak dapat berjalan secara terpisah antar
stakeholder terkait. Produk kebijakan Kementrian ESDM dan Kementrian Keuangan
dalam menjaga target terwujudnya hilirisasi industri pertambangan 2017 sebagai upaya
peningkatan nilai tambah olahan mineral adalah bentuk sinergisasi yang cukup baik.
Meskipun memang Kementrian ESDM sebelumnya tidak bisa konsisten dalam
menjaga target tersebut pada 2014 sesuai dengan substansi UU Minerba. Kebijakan bea
keluar untuk ekspor mineral yang tidak dan telah diolah yang dikeluarkan oleh
Kementrian Keuangan (Kemenkeu) dalam Permenkeu No. 6/2014 memang cukup
mengejutkan sebagian besar produsen dan pemegang KK. Namun, Pemerintah
menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan instrumen fiskal agar perusahan-
perusahaan sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 170 UU Minerba serius dalam
membangun fasilitas pemurnian (smelter) dan bukan sebagai pungutan pendapatan. Hal
ini dapat diamati dengan adanya kenaikan bea keluar yang berasal dari pendapatan
penjualan dengan peningkatan secara bertahap dari 20-25 persen pada 2014 hingga 60
persen pada 2016.
Peraturan yang dikeluarkan oleh Kementrian Keuangan tersebut di satu sisi
memang akan sangat memberatkan pihak pengusaha tambang sehingga wajar jika
terdapat tuntutan hukum terkait penerapan peraturan ini. Hal ini yang dilakukan oleh
Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APEMINDO) dengan pengajuan tuntutan hukum
ke Mahkamah Konsititusi Indonesia terkait pembedaan perlakuan untuk jenis
mineral yang berlainan.

Peraturan yang berlaku menetapkan larangan parsial dengan peningkatan bea


keluar terhadap ekspor mineral tidak diolah yang masih tersisa

5
Pembangunan smelter yang sebagian besar sedang dalam tahap running ini tentunya akan
sangat merugikan jika ada peraturan yang tumpang tindih atau direvisi sehingga larangan
ekspor mineral mentah dilonggarkan, terutama bagi perusahaan tambang dalam skala
yang tidak begitu besar. Modal awal dalam pembangunan fasilitas pemurnian ini tentu
tidak sedikit, mulai dari penyedaan kebutuhan listrik, pendanaan, hingga perizinan. Selain
itu, jika hal in terus dibiarkan tanpa penawasan dan sikap yang tegas maka industri
permunian akan kekurangan bahan baku, karena pengusaha tambang akan terdorong
untuk mengekspor bahan mentah secara besar-besaran ketimbang melakukan pengolahan
di dalam negeri. Padahal upaya pembangunan smelter yang dilakukan oleh pengusaha
tambang taat hukum ini mendukung amanat konstitusi yang tertuan dalam UU Minerba.
Kerugian dari sikap inkonsisten pemerintah ini juga akan dirasakan oleh pihak
investor. Investasi senilai US$ 30 Miliar yang ditanamkan investor dapat hangus dan
sekitar 9000 pekerja terancam dirumahkan jika industri pemurnian sampai bangkrut
akibat imbas dari kebijakan yang inkonsisten ini. Bahkan perbankan nasional juga
akan mengalami dampak kerugian dengan 70% investasi pembangunan smelter atau
sekitar US$ 21Miliar dibiayai oleh BUMN dan Swasta. Jika kondisi ini terjadi tentu
negara dan investor akan mengalami kerugian sehingga iklim investasi menjadi tak
menentu. Padahal, investasi pembangunan fasilitas pemurnian ini seharusnya merupakan
investasi yang sangat menjanjikan. Hal ini dikarenakan selain memperoleh nilai tambah
mineral, pembangunan smelter juga mendukung iklim investasi di Indonesia, serta
berpotensi membuka lapangan pekerjaan baru di Indonesia. Dengan begitu, kerugian
yang ditimbulkan akan sangat besar akibat perubahan kebijakan pelarangan ekspor ini
jika nantinya direalisasikan.

Masa Depan dari UU. Minerba

Pengaplikasian kebijakan diatas oleh pemerintah tersebut tidak hanya menjadikan


sektor pertambangan Indonesia lebih dikontrol oleh pemerintah dan tidak lagi di kuasai
oleh negara asing. Yang dimana hal ini dikarenakan pada kebijakan pemerintah tersebut
terdapat aturan tentang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Dalam perizinan
tersebut tentunya dibuat perjanjian dengan mempertimbangkan kesejahteraan rakyat.

6
Juga, terletak pada peningkatan nilai tambah ekspor mineral. Penerapan dengan
mengekspor fure konsentran tentunya akan meningkatkan harga jual yang berpengaruh
pada jangka panjang yaitu peningkatan devisa. Menurut Yualdo T. Yudoprawiro, analis
Samuel Sekuritas Indonesia dalam risetnya (Pradipta, 2014) dalam Bisnis.com bahwa
dampak positif secara jangka panjang adalah harga komoditas mineral berpotensi naik
karena hilangnya suplai dari Indonesia. Selain itu, Menurut Manajer Sektor dan Ekonom
Utama Bank Dunia untuk program perekonomian Indonesia, Jim Brumby (Kelik, 2014)
dalam The Indonesia Way, menyatakan bahwa komoditas mineral yang diekspor nantinya
merupakan produk olahan, sehingga akan memberi nilai tambah.
Pembangunan smelter yang diwajibkan pemerintah Indonesia berpengaruh positif
pada penyediaan lapangan kerja baru. Terdapat ribuan karyawan baru yang akan bekerja
pada perusahaan smelter yang dibangun. Tentunya warga sekitar pertambangan akan
merasakan keuntungan dari perusahaan tambang yang dibangun. Menurut pengusaha
tambang yang tergabung dalam Asosiasi Tambang Emas Indonesia (ATEI) (Anonimous,
2014 dalam Beritadaerah.com) menyatakan bahwa pro dan kontra terkait dengan
kebijakan yang dikeluarkan adalah hal biasa dan Pemerintah diminta tidak perlu takut
akan ancaman perusahaan yang akan melakukan PHK besar-besaran karena apabila
smelter selesai dibangun, efeknya untuk sektor ketenagakerjaan akan bertambah besar
dan bukan penggangguran yang muncul, melainkan pembukaan lapangan pekerjaan baru.
Kebijakan minerba oleh pemerintah juga berdampak positif pada lingkungan dan
Sumber Daya Alam (SDA). Berdasarkan artikel balikpapanpos.co.id yang berjudul
Antisipasi PHK Massal (2014) menyebutkan bahwa dengan adanya kebijakan minerba
akan berpengaruh positif pada penyelamatan persediaan SDA sekaligus mengurangi
dampak kerusakan alam yang ditimbulkan. Hal ini berpengaruh baik pada lingkungan
yang konsentrannya tidak dikeruk secara besar-besaran dan lebih terkontrol untuk umur
tambang yang lebih lama dan safety energy. Selain itu, Indonesia perlahan-lahan akan
mampu keluar dari krisis energi dengan eksploitasi yang minimal dan perolehan laba yang
maksimal untuk peningkatan harga jual bahan galian tambang karyawan pada setiap
perusahaan, tercantum pada artikel lensaIndonesia.com yang berjudul 585.527 Pekerja
Tambang Kena PHK Gara-Gara UU Minerba, (Aziz,2014).
Berdasarkan artikel Daily Investor yang berjudul Freeport Indonesia Terancam

7
Bangkrut (Hartati, 2013) menyebutkan bahwa PT. Freeport Indonesia mengalami
penurunan produksi hingga 60% akibat berlakunya UU tersebut. Kegiatan produksi yang
hanya 40% dan tanggungan biaya begitu besar mengakibatkan perusahaan akan
mengalami potential loss sebesar US$ 5 miliar hingga Pemberhentian Hak Kerja (PHK)
pada ribuan karyawan. Permasalahan tersebut mebuat PT. Freeport Indonesia terancam
tidak akan bertahan lama.
Selain PT Freeport terdapat beberapa perusahaan pertambangan lain yang
mengeluhkan kebijakan pemerintah yang melarang ekspor konsentrat dan mewajibkan
ekspor fure mineral logam. Atas kebijakan pemerintah, perusahaan diwajibkan
melakukan smelting terlebih dahulu sebelum melakukan ekspor mineral untuk
menghasilkan fure konsentran. Beberapa perusahaan tersebut tidak memiliki smelter
untuk melakukan proses pemurnian, hal inilah yang dikeluhkan karena perusahaan harus
membangun smelter sendiri. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Pasal
112 C ayat (3) dan (4) menyatakan bahwa pemegang kontrak karya dan pemegang IUP
Operasi Produksi yang melakukan penambangan mineral dan telah melakukan kegiatan
pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu.
Artikel Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan UPN Veteran yang berjudul
Pembangunan Smelter yang Tak Kunjung Usai (2014) menjelaskan bahwa dalam proses
pembangunan smelter terdapat banyak kendala seperti perizinan pembukaan lahan yang
tidak mudah, membutuhkan pembangkit listrik dalam jumlah besar, perizinan
pembangunan smelter seperti IUP yang tidak mudah, juga kendala yang membutuhkan
biaya yang besar. Berdasarkan pernyataan Ketua Asosiasi Tambang Emas Indonesia
(ATEI), Natsir Mansyur (2014) pada artikel Tender-Indonedia.com yang berjudul
Pengusaha Tambang Butuh Waktu Lama Bangun Smelter bahwa dalam pembangunan
smelter membutuhkan waktu selama empat tahun. Jika perusahaan pertambangan
diwajibkan memiliki smelter sendiri, maka pernyataan tersebut dianggap akan merugikan
perusahaan pertambangan sektor mikro. Perusahaan pertambangan sektor mikro hanya
melangsungkan produksi dalam jangka pendek, jika perusahaan tersebut membangun
smelter, maka diperkirakan waktu pembangunan smelter lebih lama dibandingkan waktu
produksi. Berbeda halnya dengan perusahaan pertambangan sektor makro seperti PT.
Freeport yang pertambangannya yang memiliki usia tambang panjang, memiliki smelter

8
sendiri merupakan ladang investasi.
Kebijakan pemerintah pada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah mengenai
Mineral dan Batubara tentunya dibuat untuk pembangunan dan perekonomian Indonesia
menjadi lebih baik. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa selama ini sektor
pertambangan berpengaruh besar dalam perekonomian untuk membangun Indonesia.
Pemerintah juga menyadari bahwa sektor pertambangan di Indonesia kurang membentuk
Indonesia yang superior. Pertambangan Indonesia kurang menguntungkan pihak pribumi
sebagai daerah penghasil sumber energi tersebut. Pemerintah mengolah sistem lama
dengan membuat kebijakan baru yang bertujuan untuk pertambangan Indonesia yang
lebih baik.

9
Daftar Pustaka

Aziz, Fatkhul. 2014b. Desak Pemerintah Bertanggung Jawab: 585.527 Pekerja


Tambang Kena PHK Gara-gara UU Minerba [online]. Available from URL:
http://www.lensaindonesia.com/2014/01/16/585-527-pekerja-tambang-kena-phk- gara-
gara-uu-minerba.html diakses pada tanggal 28 Maret 2018.
Balik Papan Pos. 2014. Antisipasi PHK Massal [online]. Available from URL:
http://balikpapanpos.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=109397 diakses pada 28
Maret 2018.
Fatah, Hafizh. 2014. Sekilas Tantangan Penerapan UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara [online]. Available from URL:
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/01/16/sekilas-tantangan-penerapan- uu-no-
4-tahun-2009-tentang-pertambangan-mineral-dan-batubara-628289.html diakses pada
tanggal 28 Maret 2018.
Hartati, Euis Rita. 2014. Dampak Pelarangan Ekspor Mineral: Freeport Indonesia
Terancam Bangkrut [online]. Available from URL:
http://www.investor.co.id/home/freepot-indonesia-terancam-bangkrut/74210 diakses
pada 28 Maret 2018.
Himpunan Mahasiswa Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta. 2014.
Pembangunan Smelter Tak Kunjung Usai [online]. Available from URL:
http://hmtaupnyk.com/news/pembangunan-smelter-tak-kunjung-usai/ diakses pada
tanggal 28 Maret 2018.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Sitinjak, Parlindungan. 2011. Sekilas tentang Undang-Undang No.4 Tahun 2009 dan
Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 [online]. Available from URL:
http://pertambangan.kaltimprov.go.id/umum/92-sekilas-tentang-uu-no4-tahun- 2009-

10
dan-peraturan-pemerintah-no23-tahun-2010.html diakses pada tanggal 28 Maret
2018.
“Indonesia Defies Freeport on Export Tax”, Jakarta Post, 30 Januari 2014 available
from URL : (http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/30/indonesia-defies-
freeport-export-tax.html) diakses pada tanggal 28 Maret 2018.
Menafsirkan “% pajak yang berlaku” dalam peraturan Menkeu sebagai persentase
pendapatan penjualan.
Sumber: “The Export Ban as Finally Introduced – A Grand Compromise with much
Residual Uncertainty”, Bill Sullivan, Coal Asia, Vol. 39
Indonesian Mining Group Challenges Ore Export Ban in Court”, Reuters, 22 Januari
2014
http://uk.reuters.com/article/2014/01/22/indonesia-minerals-court-
idUKL3N0KW3JB20140122 dalam World Bank diakses pada tanggal 28 Maret
2018.

11

Anda mungkin juga menyukai