Anda di halaman 1dari 7

DEBU dan TINTA HITAM

1942.
Scene 1
“Maryah! Ayo nduk cepet! Wis awan iki”. (Ningsih)
“Inggih bude”. (Maryah)
Mentari menyapa dengan kehangatan bersanding dengan kicauan burung kecil menemani
langkah Maryah dengan Ningsih budenya menyusuri jalan menuju tempat mereka mencari sesuap
nasi.
“Bude, disalap pundi gendise?”. (Maryah)
“Sebelahe lemari iku nduk. Rodok cepet yo masake”. (Ningsih)
Maryah dengan Ningsih bekerja di suatu tempat dimana hampir seluruh tentara musuh
mengisi energinya sebelum membantai habis bumi pertiwi Indonesia. Mereka bekerja di sebuah
tempat makan milik Jepang.
“Hei! Dimana makananku? Dasar malas!” (Tentara Jepang)
“Tunggu sebentar. Maafkan saya”. (Maryah)
“Wis nduk beno bude wae sing masak. Awakmu ngresiki mejo iku” (Ningsih)
“Inggih. Maturnuwun bude”. (Maryah)
Caci maki sudah makanan sehari-hari mereka di sana. Sekecil apapun kesalahan itu akan
menjadi besar. Tapi, ya sudahlah mereka memang tak punya jalan lain. Ningsih hanya seorang janda
miskin tanpa anak, sedang Maryah hanya seorang gadis bodoh yang menempuh pendidikan hanya
sampai kelas 2 sekolah rakyat. Walau begitu, Ningsih sangat mencintai Maryah bagai darah
dagingnya sendiri. Tak pernah mengeluh apapun yang diterima, selalu ikhlas dalam melakukan
apapun. Ingin rasanya Maryah membahagiakan Ningsih. Namun apa daya? Semenjak kedua orang
tua Maryah tiada Ningsihlah yang mengadopsi Maryah. Ayah Maryah seorang pahlawan bangsa
yang gugur saat berperang mengusir Belanda 3 tahun lalu, sedang ibu Matyah akhirnya juga
menemani ayahnya diperistihatan terakhir saat terjadi pembantaian yang dilakukan Jepang di
tempat kelahiran Maryah Solo 1 tahun lalu. Saat ibu Maryah tiada, Maryah masih berusia 15 tahun.
Rasanya seperti hancur semua kebahagiaan Maryah. Namun Ningsih adalah satu-satunya orang
yang memberi Maryah kekuatan.
Matahari telah kembali keperaduannya ke arah barat. Langitpun mulai gelap dengan
memberikan warna indah seraya mengucapkan selamat datang untuk rembulan yang siap menerangi
tempat Maryah berdiri.
“kesel nduk?” (Ningsih)
“Ndak bude. Bude kesel ta?” (Maryah)
“Iyo nduk. Tapi yowes lha. Ayo mulih terus turu”. (Ningsih)
Pekerjaan selesai, Maryah dan Ningsih telah siap untuk merebahkan badan pada kasur
hangat walaupun kapuknya sudah mulai mengeras. Tak masalah bagi Maryah, asal tidak
merepotkan Ningsih yang bersedia menampung Maryah untuk tinggal bersamanya. Malam semakin
larut, semakin gelap dan hanya terdengar suara binatang-binatang kecil sedang bernyanyi.
Terkadang juga terdengar suara senjata dan teriakan orang yang kesakitan karena disiksa. Suara
yang membuat Maryah teringat kembali pada masa kelamnya saat kedua orang tuanya direnggut
nyawanya secara paksa. Saat mendengar suara itu, Maryah langsung menutup telinganya walau
terkadang ia menangis. Namun Maryah tak mau membangunkan Ningsih yang telah lelap tertidur
dengan tangisannya. Maryahpun keluar dari kamar dan duduk di kursi ruang tengah sambil
menahan tangisnya. Setelah tenang, Maryahpun memasuki kamar lagi dan bersiap menyambut
bunga tidurnya yang indah.
***
Scene 2
“Kita sambut penari cantik kita, Maryah”. (MC Acara)
Tepuk tangan penonton adalah irama kedua dalam gerakan Maryah dan memberi kekuatan
luar biasa. Menari adalah pekerjaan Maryah selain membantu Ningsih di rumah makan. Tentu saja
Maryah juga bekerja pada Jepang. Terkadang mereka merayakan kemenangan setelah menguasai
suatu daerah di negara ini kemudian membuat pesta dan mengundang Maryah sebagai penghibur.
Maryahpun berpikir apakah ia seorang pengkhianat negara? Saat negaranya terjajah, ia malah ikut
dalam pesta para manusia tak memiliki hati ini dan tak cuma sekali Maryah melakukannya. Namun,
menari adalah sebagian dari hidup Maryah. Saat ia menari, ia merasa hidupnya lengkap dan menjadi
penari sudah merupakan cita-citanya. Ningsih juga sangat mendukung Maryah menari asal tidak
terjebak oleh tipu muslihat musuh. Ningsih pernah mengatakan bahwa menari adalah turunan dari
ibu Maryah. Ibu Maryah dulunya seorang penari dan saat menari itulah ibu Maryah bertemu dengan
ayah Maryah. Ayah Maryah jatuh cinta pada ibu Maryah saat melihat gerakan indah ibu Maryah
saat menari. Bukankah hal itu sangat indah. Maryah ingin seperti ibunya.
Suatu ketika saat Maryah menari, ada sepasang mata yang menarik perhatiannya. Seorang
pria Jepang, kulitnya bagai putih salju, rambutnya yang hitam bagai burung gagak, dan gagah. Saat
Maryah menatapnya, ia juga menatap Maryah. Hal itu baru pertama Maryah rasakan. Sejak saat itu,
setiap Maryah menari laki-laki itu selalu ada melihat Maryah dengan mata sayunya. Tak tahu
mengapa Maryah sangat bahagia. Apabila laki-laki itu tak tampak, maka mata Maryah akan sibuk
mencari-cari dimana gerangan laki-laki itu.
“Tuhan apa aku menyukainya?” (Maryah)
Sulit dipungkiri seketika laki-laki itu memenuhi isi otak Maryah. Sampai akhirnya laki-laki itu
menemui Maryah.
“Nama saya Ryu, Ryuzaki” (Ryu)
Kata-kata singkat itu mampu meluluhkan hati Maryah. Dengan logat Jepangnya yang sangat
ketara dan kemampuan berbahasa Indonesia yang sedikit susah dimengerti laki-laki Jepang itu
berusaha menyampaikan perasaannya pada Maryah.
“Saya suka kamu Maryah. Bisa kita jalan berdua?”. (Ryu)
Bisa dibayangkan seberapa keras detak jantung Maryah saat itu, bagai mendengar alunan merdu
dari malaikat cinta.
***
Scene 3
“Opo nduk? Kowe seneng karo tentara Jepang? Bude ora setuju!” (Ningsih)
Itulah kalimat yang diucapkan Ningsih saat tahu bahwa Maryah menjalin hubungan dengan
Ryu. Cahaya terang yang terasa dihati Maryah mendadak gelap dan pekat. Maryah sangat sedih.
“Kowe lali ta Jepang iku musuh nduk. Pengkhianat kabeh mereka iku” (Ningsih)
“Tapi bude aku tresno karo Ryu” (Maryah)
“Kowe kenek tipu dayane nduk”. (Ningsih)
Ningsih benar-benar tak merestui Maryah. Padahal Maryah yakin bahwa Ryu tidak sama.
Tidak mungkin tentara Jepang mau memalingkan pandangannya kepada gadis bodoh tak
berpendidikan seperti Maryah. Tetap, Maryah telah jatuh cinta pada Ryu. Maryah berjalan,
menyusuri rumah para tetangga, sesekali terlihat bercak darah dijalanan.
“Pasti ini bekas darah orang tak berdosa yang dibantai oleh Jepang. Apa Ryu juga ikut membantai
rakyat-rakyat tak berdosa? Tentu saja iya. Ia kemarikan untuk menjajah negaraku.” (Maryah)
Berkali-kali Maryah meyakinkan dirinya sendiri bahwa Ryu adalah penjajah, Ryu itu musuh.
Namun, tidak bisa. Rasa cintanya pada Ryu menutup semua kekurangannya. Tiba-tiba seorang laki-
laki mendekati dan menyadarkan lamunannya.
“Hati-hati berjalan, nanti jatuh.” (Ryu)
Ryu tersenyum melihat Maryah berjalan sambil memikirkan Masalahnya ini. Sampai
akhirnya Maryah bercerita larangan Ningsih mendekati Ryu.
“Tak apa. Saya ini memang seorang musuh di sini, tapi saya tak pernah membunuh orang
Indonesia”. (Ryu)
Kata-kata Ryu membuat hati Maryah tenang kembali. Maryah memutuskan untuk tetap
bersama Ryu dan tetap mencintainya.
“Bolehku lihat kau menari lagi?” (Ryu)
Maryah tertawa kecil mendengar ucapan Ryu.
“Tentu saja”. (Maryah)
Kami berjalan bersama menyusuri sisa-sisa jalan Maryah tadi yang tak terarah. Tentu saja
mereka menjadi pusat perhatian. Seorang gadis bodoh berjalan dengan malu-malu dibelakang
seorang tentara Jepang, padahal biasanya para gadis yang berjalan bersama tentara Jepang adalah
seorang budak yang wajahnya penuh luka siksaan tentu saja dengan air mata yang mengalir. Namun
Maryah tidak peduli. Maryah mencintai Ryu.
***
Scene 4
“Pamit bude” (Maryah)
“Ati-ati nduk. Bude iki ngemani kowe nduk. Bude gak gelem kowe duwe nasib podo koyok wong
tuamu” (Ningsih)
“Aku ndak apa-apa bude. Ryu orang baik. Aku berangkat sik yo”. (Maryah)
Semenjak itu, kemanapun Maryah pergi Ryu setia menemaninya. Saat Maryah menaripun
Ryu menunggu sampai akhir acara. Walau Ningsih tetap tidak setuju, Maryah yakin budenya akan
mengerti apa yang ia rasakan. Suatu ketika saat Maryah dan Ryu berjalan-jalan, Ryu mengatakan
hal yang membuat Maryah agak sedih.
“Maryah, aku harus pergi.” (Ryu)
“Kau mau kemana Ryu?” (Maryah)
“Aku akan ke Kalimatan. Jendral memindahkan tugasku ke sana. Aku harus segera pergi.” (Ryu)
“Kalimantan? Dimana itu? Sebuah tempat yang belum pernah aku dengar.” (Maryah)
“Di seberang Pulau Jawa Maryah” (Ryu)
Dengan terpaksa Maryah melepaskan Ryu untuk menyelesaikan tugasnya. Walau begitu
Maryah yakin Ryu akan kembali dan mencarinya di sini. Merekapun berpisah sampai waktu yang
tak tahu kapan. Ryu pergi ke tempat yang bahkan Maryah sendiri tak tau dimana. Hari-hari
selanjutnya Maryah jalani seperti biasa. Membantu Ningsih di tempat makan, sesekali juga menari
apabila ada undangan. Namun tidak ada Ryu. Tak ada sosok tentara tampan Maryah lagi di sisinya.
“Hah! Ya sudahlah, aku yakin dia akan kembali.” (Maryah)
Begitu saja yang bisa Maryah lakukan untuk menenangkan hatinya.
“Maryah, lapo kok ngelamun wae? Ndang siap-siap kono. Jare arepe onok undangan nari teko wong
penting.” (Ningsih)
“Inggih bude”. (Maryah)
“Baru pertamaku rasakan tidak ingin menari. Mungkin karena rinduku pada Ryu yang telah
berbulan-bulan tak berjumpa.” (Maryah dalam hati)
***
Scene 5
“Maryah, mengapa kau lemas dan tak bersemangat seperti biasa?”. (Kaito)
Sesok laki-laki gagah mendekati Maryah. Jendral Kaito, seorang Jendral perang Jepang
yang mengundang Maryah menari sekarang.
“Ada apa gerangan ia berbicara padaku? Tidak pernah seperti ini sebelumnya.” (Maryah dalam hati)
Maryah sangat kaget, takut, tegang menjadi satu sampai-sampai tak bisa diungkapkan
dengan kata-kata.
“Tak usah takut cantik. Aku tak akan membunuhmu. Aku hanya ingin mengatakan kalau tarianmu
luar biasa.” (Kaito)
“Terima kasih” (Maryah)
Hanya kalimat itu yang muncul dari mulut Maryah, karena Maryah tak bisa mengatasi rasa
campur aduk dihatinya ini.
“Ku dengar kau menjalin hubungan dengan prajuritku. Apa benar?”. (Kaito)
Maryah tak tau harus menjawabnya ato tidak, namun agak lama akhirnya hanya anggukan
kepala yang Maryah berikan pada Jendral itu.
“Tak usah takut begitu Maryah, aku di sini justru ingin meminta maaf sebab telah memisahkanmu
dengan kekasihmu tercinta itu”. (Kaito)
Betapa kagetnya Maryah karena ada seorang Jendral meminta maaf pada seorang gadis tak
berkelas seperti dia.
“Memang aku sedih kekasihku pergi, namun tak pernahku menyalahkan siapapun atas hal ini.”
(Maryah dalam hati)
“Sebagai permohonan maafku, aku akan menawarkan sesuatu yang menarik padamu Maryah, aku
akan mengajakmu ke tempat Ryu berada dan menjadikanmu seorang penari di sana. Apa kamu
tertarik Maryah?” (Kaito)
“Tak usah terburu-buru menjawab, pikirkan saja dulu. Besok pagi aku akan menumui lagi. Selamat
tinggal”. (Kaito)
Tawaran itu seperti angin segar buat Maryah. Keinginan Maryah untuk menjadi seorang
penari akan segara tersampaikan dan Maryah juga akan bertemu dengan Ryu.
“Aku harus segera pulang dan membicarakan berita bahagia ini pada bude”. (Maryah)
Sesampaiknya di rumah.
“Bude gak setuju nduk! Kowe iku tipu!” (Ningsih)
Itu saja yang Ningsih katakan semenjak Maryah menceritakan apa yang telah ia alami tadi.
“Kowe iku dibujuki. Teko awal budekan wes ngomong ati-ati ojok sampek kenek tipu muslihat
musuh.” (Ningsi)
“Aku ndak ditipu bude. Mereka berhati lembut. Aku ngerti orang-orang yang tulus bude”. (Maryah)
“Yowes sekarepmu. Bude wes ngandani kowe gak percoyo karo bude malah percoyo karo musuh.
Ojok lali mbiyen ibumu mati soale dibantai karo Jepang”. (Ningsih)
Kata-kata bude terngiang-ngiang di telinga Maryah sepanjang hari. Maryah tau Ningsih
mengkhawatirkannya, tapi Maryah ingin pergi. Maryah ingin menari lebih baik lagi dan bertemu
Ryu.
“Aku ingin sekali pergi.” (Maryah dalam hati)
Keesokan harinya Maryah bertemu Jendral Kaito dan menyetujui tawarannya. Jendral itu
tertawa dan menepuk-nepuk bahu Maryah.
“Ayo kita segera berangkat Maryah”. (Kaito)
Hari keberangkatan sudah ditentukan. Maryah benar-benar menyiapkan dirinya untuk segala hal
yang akan terjadi. Maryah yakin akan menjadi orang sukses di sana. Maryah berpamitan pada
Ningsih. Ningsih menangis dan memeluk Maryah erat.
“Ati-ati nduk yo. Ati-ati.” (Ningsih)
Itu yang Ningsih bisikan terus pada Maryah sebelum berangkat.
***
Scene 6
“Ayo semua turun! Kita sudah sampai” (Tentara Jepang)
Terdengar aba-aba dari awak kapal laut yang Maryah naiki menandakan bahwa Maryah
sudah sampai. Betapa senang hati Maryah karena akan berjumpa dengan cita-cita dan kekasihnya
itu. Maryah dan puluhan gadis lain turun. Maryah berfikir para gadis itu juga bernasib baik
sepertinya dan dibawa ke sini untuk menggapai cita-citanya. Mereka diajak menuju sebuah asrama
tentara Jepang yang dipagari bambu tinggi. Para Jepang menyebutnya ian jo. Di tempat itu terdapat
puluhan kamar terjejer teratur.
“Mungkin itu tempat kami beristirahat sebelum kami dipindahkan ditempat kami nantinya akan
bekerja.” (Maryah dalam hati)
Sebelum Mereka menempati kamar-kamar itu, seorang tentara Jepang yang ternyata
pengurus asrama itu menemui Mereka.
“Kalian harus menjalani beberapa pemeriksaan dan saya akan merubah nama kalian menjadi nama
Jepang”. (Tentara Jepang)
Nama Maryah pun berubah menjadi Mayu. Maryah merasa pembagian nama ini sedikit
aneh, tapi mungkin untuk mempermudah memanggil mereka nantinya. Setelah pembagian nama
selesai, Maryah dan puluhan gadis lainnya digiring menuju rumah sakit Jepang untuk menjalani
pemeriksaan kesehatan mereka karena selama 3 hari melakukan perjalan jauh dari Yogjakarta
menuju Kalimantan. Sesampainya di rumah sakit itu betapa kangetnya Maryah karena ada sesosok
laki-laki yang ingin Maryah temui telah berada di sana dan menantinya. Ryu ada di sana.
“Sedang apa kau di sini Maryah? Pulanglah kau ke tanah Jawa!”. (Ryu)
Baru saja rasa senang melihat kekasihnya, tiba-tiba seperti dihempaskan jatuh. Kekasih yang
Maryah cinta menolaknya.
“Pulang sekarang Maryah!” (Ryu)
Belum selesai kata-kata yang Ryu katakan, mendaratlah sebuah timah panas menancap tepat
menembus jantung Ryu.
“Ryuuuuuuuuuu” (Maryah)
Maryah berlari menghampiri kekasihnya yang bersimbah darah bersamaan Jendral Kaito
menghampirinya.
“Itulah akibat telah mengkhianatiku Ryu. Pemberontak harus mati. Kau mencintai orang Indonesia
yang merupakan musuh kita. Rasakanlah akibatnya ha..ha..ha”. (Kaito)
“Tidak Ryu! Maafkan aku. Seharusnya aku tidak kemari. Jangan tinggalkan aku Ryu!” (Maryah)
Tak kuat Maryah menahan tangisnya melihat Ryu tewas di depan matanya akibat
kebodohannya sendiri.
“Ayo ikut denganku Maryah!” (Kaito)
“Tidak! Aku tidak mau ikut dengan Jendral kejam sepertimu”. (Maryah)
Maryah diseret, dipaksa mengikuti Jendral Kaito yang telah tega membunuh Ryu kekasih
Maryah. Maryah di bawa ke asmara tentara lagi dan dimasukkan ke kamar nomor 10. Maryah,
menangis hanya menangis saja. Saat Maryah telah hanyut dalam tangisnya, tiba-tiba datanglah
sesosok laki-laki berkumis masuk ke kamar Maryah begitu saja tanpa permisi. Maryah berteriak
namun tak ada yang menghiraukannya. Laki-laki itu mendekati Maryah dan memaksanya melayani
nafsu kejamnya. Direnggutlah mahkota kegadisan Maryah oleh lelaki berkumis itu.
“Aku hancur. Kekasih yang ingin aku temui tewas dibunuh di depan mataku, cita-citaku ingin
menjadi penari pun kandas. Aku ingin pulang, tapi tidak bisa aku tidak punya kekuatan.” (Maryah
dalam hati sambil menangis)
***
Ending
Hari-hari kelam Maryah dimulai. Maryah dijadikan jugun ianfu. Setiap hari Maryah dipaksa
melayani 5 sampai 10 laki-laki berhidung belang. Kebodohanlah yang membuat Maryah begini.
Sekalipun Maryah memaksa, apa daya ia tak bisa melawan laki-laki yang secara bergantian
menikamati tubuhnya ini. Tidak jarang juga Maryah disiksa oleh mereka karena kurang puas
dengan pelayanannya. Waktu makan hanya dijatah sehari hanya 1 kali makan, itu saja apabila
sempat. Hidup Maryah benar-benar menderita. Sampai akhirnya Maryah mengandung entah anak
siapa. Usia kandungannya semakin hari semakin membesar. Kini usia kandungannya sudah 5 bulan.
Maryah dipanggil oleh pengurus ian jo dan diperintahkan untuk pergi ke rumah sakit Jepang.
Maryah pikir untuk memeriksakan kandungannya. Tapi tidak, sesampainya di sana Maryah
langsung dibawa ke sebuah kamar yang lengkap di dalamnya alat-alat bedah.
“Ada apa ini?” (Maryah)
Mereka menggugurkan kandungan Maryah secara paksa tanpa bius. Mereka menekan-nekan
perut yang berisi janin itu kencang-kencang. Maryah berteriak kesakitan.
“Sakit sekali rasanya seperti mau mati.” (Maryah)
Beberapa saat kemudian keluarlah janin dikandungan Maryah itu. Sangat kecil dan tak
berdosa dibuang begitu saja.
“Kejam, mereka sangat kejam.” (Maryah)
Setelah proses aborsi itu Maryah sangat lemas sedikitpun tak punya tenaga. Maryah
mengalami pendarahan hebat dan tidak ada yang memperdulikan Maryah.
“Aduh! Sakit! Sakit sekali. Tolong aku! Tolong!” (Maryah)
Namun tak ada yang mau mendengarnya. Maryah terbaring lemah tak berdaya. Maryah
hanya bisa meratapi takdirnya dan menyesali perbuatannya sendiri yang tak mempercayai Ningsih
dulu. Tanpa sadar air matanya mengalir jatuh membasahi pipinya bersamaan Maryah menutup
matanya.

SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai