Anda di halaman 1dari 16

Kejang Neonatus

1.2 Definisi
Kejang pada bayi baru lahir adalah kejang yang timbul dalam masa neonatus atau
dalam 38 hari sesudah lahir. Kejang ini merupakan tanda penting akan adanya penyakit lain
sebagai penyebab kejang, yang dapat menyebabkan gejala sisa yang menetap di kemudian
hari. Bila penyebabnya diketahui, penyakit ini harus segera diobati. Kejang neonatus tidak sama
dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena konvulsi tonik klonik cenderung tidak
terjadi selama umur bulan pertama. Proses pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga
mielinisasi tidak sempurna pada otak neonates (Rennie JM, 2000) .

1.3 Etiologi
Sebanyak 10-30% tidak diketahui etiologinya, dan sebaliknya tidak jarang ditemukan lebih
dari satu penyebab kejang pada neonates (Hill A, 2000).

A. Gangguan vascular

a) Perdarahan berupa petakie akibat anoxia dan asfiksia yang terjadi pada intraserebral
atau intraventrikuler

b) Perdarahan akibat trauma langsung, yaitu berubah perdarahan di subaraknoid atau di

subdural

c) Thrombosis

d) Penyakit perdarahan seperti defisiensi vit K

e) Syndrome hiperviskositas

B. Gangguan metabolism

a) Hipokalsemia

b) Hipomagnesemia

c) Defesiensi dan ketergantungan akan piridoksin

3
d) Aminoasiduria

e) Hiponatremia

f) Hipernatremia

g) hiperbilirubinemia

C. Infeksi
a) Meningitis, sepsis

b) Ensefalitis

c) Toxoplasma congenital

d) Penyakit ‘cytomegalic inclusion’

D. Kelainan congenital
a) Porensefali

b) Hidransefali

c) Agenesis sebagian dari otak

E. Lain-lain

a) Narcotic withdrawal

b) Neoplasma

c) Dan sebagainya

1.3.1 Trauma lahir dan asfiksia


a) Kejadian perinatal termasuk komplikasi kelahiran dapat menyebabkan kejang pada
neonatus. Demikian pula faktor ibu : plasenta previa, solutio plasenta, preeklamsia,
sedasi berlebihan à asfiksia dan trauma lahir. Kelainan obstetrik yang paling banyak
menyebabkan kejang pada neonatus adalah tersering adalah preeklamsia dan gawat
janin.

4
b) 15% dari 80 bayi asfiksia menderita kejang.

c) Asfiksia menyebabkan kerusakan langsung susunan SSP berupa degenrasi dan


nekrosis atau tidak langsung menyebabkan kerusakan endotel vaskular dengan akibat
perdarahan petakie.

d) Perdarahan intrakranial sebagai trauma langsung sebagai akibat ‘moulding’ yang


terlalu hebat atau robekan dari ‘bridging vein’ yang akan menyebabkan perdarahan
subaraknoid atau paraventrikuler. Hematoma subdural biasanya mengakibatkan gejala
sesudah minggu pertama : kejang, ubun-ubun menonjol, pergerakan kurang pada sisi
kontralateral. Perdarahan retina atau subhialoid pada funduskopi patagnomik pada
kelainan ini.

e) Trauma lahir dan asfiksia biasanya disertai gangguan metabolisme lain seperti
hipokalsemia, hipomagnesemia, dan kadang-kadang hipoglikemia.

1.3.2 Sindrome hiperviskositas


a) Hiperviskositas pada neonatus disebabkan oleh meningginya jumlah eritrosit dan dapat
diketahui dari jumlah hematokrit.

b) Gejala klinis : pletora, sainosis, letargi, kejang.

c) Kejang pada neonatus disebabkan oleh anoksia dari jaringan otak akibat labatnya aliran
darah dan stasis kapiler.

1.3.3 Hipokalsemia
a) Hipokalsemia bisa tanpa gejala atau bersama-sama dengan hipomagnesemia dan
hipoglikemia.

b) Hipokalsemia pada kejang yang timbula dalam 4 hari pertama sering terdapat pada
gawat janin, perdarahn intrakranial, dsb. Keadaan ini biasanya disertai gangguan
metabolisme lain.

c) Hipokalsemia yang terjadi sesudah masa itu jarang dan dapat disebabkan pelh
hipoparatiroidsme ibu, hipoparatiroidsim nenonatus idiopatik ,atau pemberian susu
buatan berkadar fosfor tinggi.

5
d) Diagnosis hipoklasemia ditegakkan bila kadar kalsium <7,5mg% dan fosfor >8mg%.
pada pemeriksaan EKG : interval QoTc >20 detik.

1.3.4 Hipomagnesemia
a) Biasanya bersama-sama dengan hipokalsemia, hipoglikemia, gawat janin, dsb.

b) Kerusakan otak akibat hal ini belum jelas.

c) Dugaan hipomagnesemia bila hipokalsemia tanpa hipofosfatemia atau hipokalsemia


yang tidak teratasi walaupun telah diberi kalsium.

1.3.5 Hipoglikemia
a) Sementara akibat kekurangan produksi glukosa akibat kurangnya depot glikogen hepar
atau menurunnya glukoneogenesis lemak dan asam amino.

b) Pada hipoksia pembentukan energi dari glukosa menurun dengan akibat kerusakan
neuron

c) Hipoglikemia dapat terjaid pada bayi dari ibu penderita DM, BBLR, dismaturitas dan bayi
dengan penyakit umum sperti sepsis, meningitis, dsb.

d) Diagnosis hipooglikemia ditegakkan bila 3 hari pertama sesudah lahir, 2x berturut-turut


pemeriksaan gula darah <30mg% pada neonatus cukup bulan atau <20mg% pada
BBLR. Pada umur lebih dari 3 hari kadar gula darah <40mg%

1.3.6 Defisiensi piridoksin dan ketergantungan akan piridoksin


a) Jarang terjadi, namun kejang pada jam-jam pertama sesudah lahir dapat disebabkan hal
ini.

b) Penyebabnya adalah defisiensi koenzim pembentuk GABA yang merupakan inhibitor di


SSP.

c) Sekunder disebabkan oleh kekurangan B6 yang timbul pada minggu terakhir masa
neonatus dan berhubungan dengan metabolisme abnormal triftopan.

d) Bayi kejang yang tidak membaik dengan pemberian glukosa, kalsium, dsb dapat
diberikan piridoksin sambil dimonitor EEG.

1.3.7 Aminoasiduria

6
a) Gejala ‘inborn error of metabolisme’ biasanya timbul lebih lambat pada neonatus, tetapi
dapat pula berlangsung fatal pada minggu pertama.

b) Kelainan tersebut adalah : hiperglisemia, feniketonuria, penyakit ‘maplesyndrome’ dsb.

c) Diduga bila ada riwayat kematian perinatal pada kelahiran sebelumnya atau bila bayi
yang tadinya baik memperlihatkan perubahan kesadaran dan kejang dalam 48 jam
sesudah pemberian susu.

1.3.8 Hipo dan hipernatremia


a) Perubahan kadar natrium jarang pada hari-hari pertama kehidupan.

b) Hiponatremia dapat terjadi pada sekresi ADH meninggi pada meningitis, sepsi, diare
dan pengeluaran keringat belebihan. Gejala : letargi, tremor, kejang, dsb.

c) Hipernatremia pernah ditemukan pada keadaan tidak sengaja memasukan garam ke


susu karena disangka gula.

Kejang terjadi karena : dehidrasi sel otak, trombosis vena, atau perdarahan otak.

1.3.9 Hiperbilirubunemia
a) Kernicterus pada hiperbilirubinemia akibat deposit bilirubin indirek di dalam sel otak.

b) Gejala : kurang minum, kejang tonik, ‘sunstreing’ iris mata dan hipertoni ekstensor.

c) Prognosis kurang baik dan meninggalkan gejala sisa.

1.3.10 Infeksi
a) Infeksi kongenital : toxoplasmosis à encephalitis

1.3.11 Anomali kongenital


a) Kejang merupakan gejala pertama kelainan kongenital seperti porensefali dan
hidransefali

7
1.3.12 Lain-lain
a) Drug withdrawal pada bayi baru lahir dari ibu kecanduan narkotika semakin banyak.

b) Keadaan ini juga terdapat pada bayi dari ibu yang mendapat pengobatan antikonvulsan
golongan barbiturat.

c) Gejalanya adalah tremor, perubahan tonus, dan tangis abnormal.

d) Kejang hanya terdapat pada 4% bayi tsb

1.4 Epidemiologi
Angka kejadian kejang pada bayi baru lahir berkisar 0,2-1% (Harris dan steinberg, 1954,
;Brown,1973). Pada penyelidika Hendarto (1970) di RSCM Jakarta di dapatkan angka sebesar
0,7% ( Mardjono, 1998)

1.5 Patogenesis
Definisi kejang adalah depolarisasi berlebihan dari sel-sel neuron otak, yang
mengakibatkan perubahan yang bersifat paroksismal fungsi sel-sel neuron (perilaku, fungsi
motorik dan otonom) dengan atau tanpa perubahan kesadaran (Hahn JS, 2004).

Kejang pada neonatus berbeda dari kejang pada bayi, anak maupun orang dewasa dan
manifestasi kejang pada bayi prematur dibandingkan bayi cukup bulan juga berbeda. Kejang
neonatus lebih bersifat fragmenter, kurang terorganisasi dan hampir tidak pernah bersifat
kejang umum tonik klonik. Kejang pada bayi prematur lebih tidak terorganisir dibandingkan
dengan bayi cukup bulan. Hal ini berkaitan dengan perkembangan neuroanatomi dan
neurofisiologi pada masa perinatal (Hahn JS, 2004).

Organisasi korteks serebri pada neonatus belum sempurna, selain itu pembentukan
dendrit, akson , sinaptogenesis dan proses mielinisasi dalam sistem eferen korteks belum
selesai. Hal ini mengakibatkan kejang yang terjadi tidak dapat menyebar ke bagian otak yang
lain sehingga tidak menyebabkan kejang umum. Sedangkan daerah subkorteks seperti sistem
limbik berkembang lebih dahulu dibandingkan daerah korteks dan bagian ini sudah terhubung
dengan diensefalon dan batang otak sehingga kejang pada neonatus lebih banyak
bermanifestasi gerakan-gerakan seperti : oral-buccal-lingual movements seperti : menghisap.
mengunyah, drooling, gerakan bola mata dan apnea (Hahn JS, 2004)

8
Hubungan antara sinaps eksitasi dan inhibisi merupakan faktor penentu apakah kejang
yang terjadi akan menyebar ke daerah lain. Ternyata kecepatan perkembangan aktifitas sinaps
eksitasi dan inhibisi di otak manusia berbeda – beda. Sinaps eksitasi berkembang lebih dahulu
dibandingkan sinaps inhibisi terutama di daerah limbik dan korteks. Selain itu daerah
hipokampus dan neuron korteks yang masih imatur lebih mudah terjadi kejang dibandingkan
yang telah matur. Belum berkembangnya sistem inhibisi di substansia nigra juga
mempermudah timbulnya kejang (Latini G, 2004).

1.6 Manifestasi Klinis


Kejang pada nenonatus biasanya fokal dan agak sulit dikenali. Sering juga timbul kejang
klonik yang berpindah-pindah dan kejang pada ekstrimitas hemilateral. Kejang tonik klonik
jarang terjadi pada neonates (Hill A, 2000).

Gambaran klinis kejang yang sering terjadi pada neonatus:

a) Subtle :

Bentuk kejang ini lebih sering terjadi dibandingkan tipe kejang yang lain. Manifestasi
klinisnya berupa orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis yang bergetar
berulang-ulang, mata yang tiba-tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah,
gerakan seperti menghisap, mengeluarkan air liur, menjulurkan lidah, gerakan pada bibir.

b) Tonik :

Kejang tonik biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah dengan masa kehamilan
kurang dari 34 minggu dan bayi-bayi dengan komplikasi perinatal berat misalnya pada
perdarahan intraventrikular. Bentuk klinis kejang ini yaitu pergerakan tonik satu eksterimitas
atau pergerakan tonik umum.

c) Fokal :

9
Terdiri dari pstur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau ekstremitas dengan atau
tanpa adanya gerakan mata abnormal.

d) Kejang tonik umum :

Ditandai dengan fleksi tonik atau ekstensi leher, badan dan ekstremitas, biasanya dengan
ekstensi ekstremitas bawah.

i. Klonik :

Dikenal dalam 2 bentuk :

Fokal :

Terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi
unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini
pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4 kali perdetik.

Multifokal :

Bentuk kejang merupakan gerakan klonik dari salah satu atau lebih
anggota gerak yang berpindah-pindah, misalnya kejang klonik lengan
kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Bentuk kejang
ini biasanya terdapat pada gangguan metabolik dan sering dijumpai
pada neonatus dengan berat lebih dari 2500 gram.

ii. Mioklonik :

Kejang ini cenderung terjadi pada kelompok otot fleksor. Kejang mioklonik terdiri

atas :

Fokal :

Terdiri dari kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor ekstremitas

atas

10
Multifokal :

Terdiri dari gerakan tidak sinkron dari beberapa bagian tubuh

Umum :

Terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi massif dari kepala dan

badan serta adanya gerakan fleksi atau ekstensi dari ekstremitas.

Pemeriksaan fisik :

a. Inspeksi dan palpasi kepala : depresi, fraktur, moulase yang terlalu hebat
b. Transluminasi membantu diagnosis penimbunan cairan di subdural setempat,
atau adanya kelainan kongenital seperti porensefali atau hidransefali. Bila ubun-
ubun menonjol tanpa tanda-tanda infeksi selaput otak dilakukan tap subdural
secara hati-hati.
c. Funduskopi sangat penting : perdarahan retina menunjukan kemungkinan
perdarahn intrakranial, koriorenitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi
cytomegalo virus atau rubella. Adanya stasis vaskuler dengan pelebaran vena
dengan bentuk berkelok-kelok ditemukan pada sindrom hiperviskositas.
d. Pemeriksaan jantung dan paru
e. Pemeriksaan kulit : petike, sianosis, ikterus, dsb
f. Pemeriksaan abdomen : hepatosplenomegali
g. Pemeriksaan neurologis : bentuk kejang, hemy snydrome, hilangnya reflex moro,
dsb

1.7 Pemeriksaan Penunjang


· Pemeriksaan darah terhadap kadar : gula, kalsium, magnesium, natrium dan kalium
secara rutin. Pemeriksaan dengan dextrostix membantu diagnosis hipoglikemia sehingga
pengobatan dapat dilakukan sambil menunggu hasil true glucose (Hahn JS, 2004).
i. Elektrolit
ii. CBC, diff count and PLT count
iii. Arterial blood gas

11
iv. Tanda-tanda sepsis à kultur darah
v. Pungsi lumbal dan pemeriksaan CSF dan kultur
vi. Tanda-tanda hiperviskositas à konsentras hematokrit, kadar hemoglobin dan hitung
eritrosit
vii. TORCH titer, amonia level, dan asam amino di urin
viii. USG dan rontgen kepala
ix. EEG : diagnosis, pengobatan dan prognosis
x. CT : cerebral malformation and hemorraghe

1.8 Diagnosis
Diagnosa kejang pada neonatus didasarkan pada anamnesis yang lengkap, riwayat
yang berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis kejang, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang (Gatot Irawan, 2008).

a) Anamnesa

Dilihat dari faktor resiko :

• Riwayat kejang dalam keluarga :

-Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa neonatus pada anak terdahulu.

• Riwayat kehamilan :

- Infeksi TORCH atau infeksi lain pada ibu hamil

- Preeklamsia dan gawat janin

- Pemakaian obat golongan narkotik

• Riwayat persalinan :

- Asfiksia

12
-Trauma persalinan

• Riwayat pascanatal :

-Infeksi nenonatus, keadaan bayi yang tiba-tiba memburuk

-Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat

-Awitan kejang berhubungan dengan etiologi

1.9 Diagnosis Banding


Antara diagnosis banding kejang pada neonatus adalah (Gatot Irawan, 2008):

• Tetanus neonatorum

• Meningitis

• Ensefalopati bilirubin

• Asfiksia neonatorum

• Perdarahan intraventrikular

• Hipoglikemia

1.10 Komplikasi
Kejang neonatal merupakan faktor risiko yang nyata meningkatkan tingkat morbiditas
jangka panjang dan kematian neonatal. Timbulnya kejang neonatal adalah prediktor terbaik
jangka panjang khususnya defisit fisik dan kemampuan kognitif. Komplikasi dari kejang
neonatal dapat mencakup sebagai berikut (Mardjono, 1998) :

• Kejang berulang
• Retardasi mental
• Palsi cerebralis

13
• Cerebral atrofi
• Hydrocephalus ex-vacuo
• Epilepsi
• Kelenturan
• Kesulitan makan

1.11 Penatalaksanaan Kejang pada Neonatus


Kejang neonatal akut harus diterapi secara agresif, meskipun kontroversidalam
perawatan yang optimal bagi mereka. Ketika terdapat kejang klinis yang, harus dilakukan
pemeriksaan yang ketat untuk menentukan penyebab etiologi harus dimulai dengan cepat
(Rennie JM, 2000).

A. Tindakan Umum
1. Mengatur suhu lingkungan
2. Mencegah infeksi
3. Pemberian cairan yang cukup
4. Pemberian oksigen pada kejang yang berlangsung lama karena kebutuhan
oksigen sangat meningkat pada waktu kejang
5. Minimal handling (memegang bayi kalau diperlukan saja)

B. Medikamentosa : pengobatan sebaiknya ditujukan kepada penyebab utama dari kejang,


sedangkan penggunaan antikonvulsan adalah sekunder.
a. Hipoglikemia tanpa gejala
• Periksa dextrostix dan true glucose darah
• Hindari bayi dari kedinginan
• Bayi diberi ASI atau penganti ASI sebanyak 10-15ml/kgBB
• Ulangi pemeriksaan dextrostx selama 1 jam, bila kadar gula darah masih
dibawah 45mg% harus dipersiapkan pemberian larutan dextrose
• Selanjutnya pemeriksaan gula darah/dextrostix tiap 3-4 jam. bila
menunjukkan >45mg% pada 3-4x pemeriksaan maka bayi cukup diberi
minum peroral.
b. Hipoglikemia dengan gejala

14
• Tremor, mengigil, apneu, letargi, malas minum, kejang, tangis yang tidak
normal, serta pemeriksaan dextrostix <30mg% maka pemberian cairan PO
dihentikan dan pasang NGT atau pemberian cairan IV
• Bila bayi sedang kejang berikan suntikan larutan lukosa 5% 2-3ml/kgBB
sebagai bolus, awasi kemungkinan hipoglikemia kembali.
• Kemudian lanjutkan dengan larutan glukosa 10% sebanyak 8-10ml/kgBB/jam
(15ml/kgbb/menit samapai dextrostix >45mg%)
• Selanjutnya jumlah cairan diturunkan bertahap sampai 4ml/kgbb/jam sampai
dextrostix stabil >45mg% dan dilanjutkan dengan minuman peroral
• Bila dextrostix sesudah 12 jam tetap <45mg% maka dapat dberikan
hydrocortisone 5mg/kgBB IV atau IM tiap 12 jam.

c. Hipokalsemia

• Diobati dengan pemberian calcium glukonas 10% 3ml/kg BB IV perlahan-lahan


dengan pengawasan terhadap denyut jantung selama penyuntikan. Bila gejala
menghilang kalsium harus dihentikan, bila gejala tidak menghilang pikirkan
hipomagnesia dan bayi diberikan MgSO4 2-3% sebanyak 2-6ml atau larutan
50% 1 ml, 1x/hari IM.
d. Ketergantungan piridoksin

• Diberikan piridoksin diberikan piridoksin 25-50mg IV, dan dimonitor dengan EEG.
Bila terjadi kelainan metabolisme piridoksin, kelainan pada EEG akan segera
hilang setelah pemberian terapi.

e. Infeksi
• Antibiotik yang sensitif terhadap kuman penyakit, jumlah dan lamanya
pengobatan disesuaikan beratnya penyakit.

f. Sindrom hiperviskositas

• Pada polisitemia hipervolemik dilakukan flebotomi dan darah dilekuarkam 10%

dari darah sedangkan polisitemia normovolemik dilaukuan transfusi tukar parsial

30mg/kgBB plasma/plasma ekspander untuk darah yang dikeluarkan.

g. Gangguan elektrolit natrium

15
• Hiponatremia biasanya disebabkan oleh retensi air akibat sekresi ADH yang
meninggi. Pengobatannya adalah restriksi pemasukan cairan. Bila disebabkan oleh
kehilangan natrium karena ekskresi yang banyak maka pengobatannya adalah
pemberian natrium.

h. Kern icterus
• Adalah tidak ada gunanya karena kerusakan yang ditimbulkannya di otak tidak
dapat diperbaiki lagi.
Bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan terhadap penyebab kejang, lakukan blind
treatment :
o Pertama, piridoksin 25-50mg IV
o Bila dalam 2-3 menit tidak berhasil dilanjutkan dengan pemberian MgSO4
o Urutan selanjutnya kalsium glukonas dan terakhir glukosa.

C. Pengobatan Sekunder : Antikonvulsan


Obat ini mencegah terulangnya kejang dan mengakhiri aktivitas kejang klinis dan listrik.

a. Phenobarbital 20mg/kgBB IV
Penting untuk menggunakan jumlah minimal yang diperlukan fenobarbital dan
menunggu untuk efek antikonvulsan untuk mengembangkan sebelum dosis kedua
diberikan. Mulailah dengan dosis muatan dan lanjutkan dengan dosis
pemeliharaan.

b. Phenytoin 20mg/kgBB IV : lebih berhasil pada kejang tonik.


Phenytoin harus ditambahkan ke fenobarbital jika kejang bertahan. Fenitoin dapat
bertindak di korteks motorik, di mana ia dapat menghambat penyebaran aktivitas
kejang. Aktivitas batang otak pusat bertanggung jawab untuk fase tonik dari kejang
grand mal juga dapat terhambat.

c. Diazepam dihindari karena menyebabkan apneu, kolaps sirkulasi serta tidak


begitu baik untuk maintenance karena pengaruhnya terhadap penekanan
kontraski otot lebih besar dari bangkitan kejang. Terapi hanya diberikan sampai
satu minggu bebas kejang, bila kejang timbul pengobatan dimulai kembali. Tidak

16
dianjurkan pemberian anti kejang jangka panjang untuk mencegah epilepsi pada
bayi resiko tinggi.

d. Vitamin B, Water-Soluble.
Pyridoxine mungkin efektif dalam kejang yang tahan terhadap obat-obatan sudah
dibahas. Hal ini penting untuk asam deoksiribonukleat normal (DNA) sintesis dan
fungsi sel. Piridoksin harus diadili pada pasien yang tidak menanggapi rejimen atas.
Pasien dengan piridoksin tergantung kejang segera merespon piridoksin

Prosedur Terapi anti kejang :


Pemberian obat antiepilepsi harus dilembagakan secara tertib dan efisien.
Perawatan awal dengan fenobarbital harus dipertimbangkan. Jika kejang terus
berlanjut, fenitoin harus ditambahkan. Kejang persisten mungkin memerlukan
penggunaan benzodiazepin intravena, seperti lorazepam atau midazolam.
 Fenobarbital : Loading dose 10-20 mg/kg BB intramuskuler dalam 5 menit, jika
tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB sebanyak 2 kali dengan
selang waktu 30 menit.
 Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 15-20 mg/kg BB intra vena
dalam 30 menit.
 Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kgBB/hari dapat diberikan secara intramuskuler
atau peroral dalam dosis terbagi tiap 12 jam, dimulai 12 jam setelah loading dose.
 Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena atau peroral dalam dosis terbagi
tiap 12 jam.
 Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas kejang dan
penghentian obat anti kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali
didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan kepala atau adanya tanda
neurologi abnormal saat akan pulang.

1.12 Prognosis
Prognosisnya tergantung penyebab primer dan beratnya serangan. Akhir-akhir ini
prognosis bayi kejang lebih baik (Mardjono, 1998).
a. Prognosisnya buruk bila :
i. Nilai apgar menit ke 5 dibawah 6
ii. Resusitasi yang tidak berhasil baik

17
iii. Kejang yang berkepanjangan (prolonged seizures)
iv. Kejang yang timbul <12 jam setelah lahir
v. Bayi berat badan lahir rendah
vi. Adanya kelainan neurologik sampai bayi berumur 10 hari
Adanya problematika minum yang terus berlanjut
b. Best prognosis : hipocalcemia, defisiensi piridoksin, dan perdarahan subarachnoid
c. Worse prognosis : hipoglikemia, anoxia, brain malformation.
d. Gambaran EEG juga merupakan faktor prognosis, EEG interiktal yang normal 85%
mempunyai prognosis yang baik, sedangkan gambaran EEG yang isoelektrik, voltase
rendah atau paroksismal burst-suppression mempunyai prognosis buruk.

1.13 Kesimpulan
Kejang pada neonatus sering sulit dikenali, langkah pertama jika menghadapi kasus
tersebut adalah memastikan gejala yang tampak kejang atau bukan. Setelah itu dengan melihat
riwayat kehamilan, persalinan, faktor risiko, tipe kejang, awitan dan evaluasi diagnostik dapat
ditentukan etiologi. Tatalaksana selain untuk memberantas kejang juga ditujukan untuk
mengatasi etiologi. Obat antikonvulsan yang diberikan harus efektif memberantas kejang
dengan mempertimbangkan efek samping obat. Pemberian obat dihentikan sesegera mungkin
setelah kejang terkontrol baik secara klinis maupun dari pemeriksaan EEG. Pemeriksaan EEG
sangat penting untuk diagnosis, menilai respon terapi , lama terapi serta menentukan
prognosis. Prognosis ditentukan oleh etiologi, tipe kejang serta gambaran EEG.

18

Anda mungkin juga menyukai