Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PERLINDUNGAN PRIBADI

TANGGUNG JAWAB PERWAKILAN SEBAGAIMANA DITERAPKAN


PADA BERBAGAI STRUKTUR BISNIS

Dosen : Bu Leni Irmawati

DISUSUN OLEH :

HANIFA MADIHATILLAH (17.156.02.11.051)

MEISKE SYAHPUTRI KUSUMAH (17.156.02.11.058)

RADA OKTAVIA (17.156.02.11.065)

STIKes Medistra Indonesia

Jln. Cut Mutia Raya No. 88 A-Kel. Sepanjang jaya-Bekasi

Tlp.(021)82431375, Fax. (021)82431374


Website: http//www.stikesmedistra-indonesia.ac.id, email: stikesmi@yahoo.co.id

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahakan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini, yang berjudul “PERLINDUNGAN PRIBADI
TANGGUNG JAWAB PERWAKILAN SEBAGAIMANA DITERAPKAN PADA BERBAGAI
STRUKTUR BISNIS” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih kepada Ibu Leni Irwati, M. Kes selaku Dosen mata kuliah Manajmen Kebidanan
yang telah memberikan tugas ini kepada Kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan Kita mengenai MANAJEMEN KEBIDANAN. Oleh karena itu Kami berharap
adanya kritik dan saran demi makalah yang Kami buat, sebelumnya Kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan Kami memohon kritik dan saran yang
membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini diwaktu yang akan datang.

Bekasi Maret 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1


1.1 Latar belakang ......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAAN ....................................................................................................... 3

2.1. Vicarious liability .................................................................................................. 3


2.2. Kemitraan umum .................................................................................................. 4
2.3. Respondeat Superiort ............................................................................................. 5

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

A. PENGERTIAN / DEFINISI PROFESI BIDAN

Menurut Organisasi Profesi Bidan (Ikatan Bidan Indonesia), Pengertian Bidan adalah
seorang perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang diakui pemerintah dan organisasi
profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk
diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.

Bidan adalah tenaga professional yang bertanggung-jawab dan akuntabel, yang bekerja
sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan nasehat selama masa hamil,
masa persalinan dan masa nifas, memfasilitasidan memimpin persalinan atas tanggung jawab
sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir, dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya
pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak, dan akses bantuan
medis atau bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan kegawat-daruratan.

Bidan mempunyai tugas penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan, tidak hanya
kepada perempuan, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini mencakup
pendidikan antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat meluas pada kesehatan
perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi dan asuhan anak.

Bidan dapat praktik diberbagai tatanan pelayanan: termasuk di rumah, masyarakat, Rumah
Sakit, klinik atau unit kesehatan lainnya.

Bidan adalah salah satu profesi tertua. Bidan terlahir sebagai wanita terpercaya dalam
mendampingi dan menolong ibu dalam melahirkan bayinya sampai ibu dapat merawat bayinya
dengan baik. Bidan bekerja berdasarkan pada pandangan filosopi yang dianut keilmuan, metode
kerja, standar paraktik, pelayanan dan kode etik profesi yang dimiliki.

Suatu jabatan profesi yang disandang oleh anggota profesi tentu mempunyai ciri- ciri yang
mampu menunjukkan sebagai jabatan yang professional.

1
a. Ciri-ciri Bidan Sebagai Profesi :
1. Mengembangkan pelayanan yang unik kepada masyarakat.
2. Anggota-anggotanya dipersiapkan melalui suatu program pendidikan yang ditujukan
untuk maksud profesi yang bersangkutan.
3. Memiliki serangkaian pengetahuan ilmiah.
4. Anggota-anggotanya menjalankan tugas profesinya sesuai dengan kode etik yang
berlaku
5. Anggota-anggotanya bebas mengambil keputusan dalam menjalankan profesi.
6. Anggota-anggotanya wajar menerima imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan.
7. Memiliki suatu organisasi profesi yang senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat oleh anggotanya.
b. Karakteristik Profesional

Karakteristik profesionalisasi yang melandasi dan tercermin pada praktik profesional


adalah sebagai berikut :

1. Terbuka terhadap perubahan.


2. Menguasai dan menggunakan pengetahuan teoritis.
3. Mampu menyelesaikan masalah.
4. Mengembangkan diri secra terus menerus.
5. Mempunyai pendidikan formal.
6. Ada sistem pengesahan terhadap kompetensi.
7. Legalisasi standar praktik profesional.
8. Melakukan praktik dengan memperhatikan etika.
9. Mempunyai sangsi hukum terhadap malpraktik.
10. Memberikan pelayanan terhadap masyarakat.
11. Memperbolehkan praktik otonomi
c. Ciri-ciri Jabatan Professional

Pelakunya secara nyata dituntut cakap dalam bekerja,memiliki keahlian sesuai tugas- tugas
khusu serta tuntutan jenis jabatannya ( cenderung spesialis )

2
Kecakapan atau keahlian seorang pekerja professional bukan hasil pembiasaan atau latihan
rutin yang terkondisi, tetapiperlu memiliki wawasan keilmuan yang mantap. Jabatan professional
menuntut pendidikan

Pekerja profesinal dituntut berwawasan luas sehingga pilihan jabatan serta kerjanya harus
disadari oleh nilai-niai tertentu sesuai jabatan profesinya. Pekerja professional bersikap positif
terhadap jabatan dan perannya, bermotivasi dan berusaha berkarya sebaik-baiknya

Jabatan professional perlu mendapat pengesahan dari masyarakat atau negaranya. Jabatan
profesional memiliki syarat-syarat serta kode etik yang harus dipenuhi oleh pelakunya. Ini
menjamin kepantasan berkarya dan sekaligus merupakan tanggung jawab professional.

d. Syarat Bidan sebagai Jabatan Professional

Bidan sebagai tenaga professional termasuk rumpun kesehatan. Untuk menjadi jabatan
professional, bidan harus mampu menunjukkan ciri-ciri jabatan professional. Memberi pelayanan
kepada masyarakat yang bersifat khusus atau spesialis. Syarat bidan sebagai jabatan professional,
yaitu :

1. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan


2. Keberadaanya diakui dan diperlukan masyarakat
3. Mempunyai peran dan fungsi yang jelas
4. Mempunyai kewenangan yang disahkan atau diberikan oleh pemerintah
5. Memiliki organisasi profesi sebagai wadah
6. Memiliki kode etik bidan
7. Memiliki etika bidan
8. Memiliki standar pelayanan
9. Memiliki standar praktik
10. Memiliki standar pendidikan yang mendasari dan mengembangkan profesi sebagai
kebutuhan masyarakat
11. Memiliki standar pendidikan berkelanjutan sebagai wahana pengembangan
kompetensi.

3
B. TANGGUNG JAWAB BIDAN

Sebagai bidan professional, selain memiliki syarat-syarat jabatan professional bidan juga
dituntut memiliki tanggung jawab sebagai berikut :

1. Menjaga agar pengetahuannya tetap up to date terus mengembangkan keterampilan dan


kemahirannya agar bertambah luas serta mencakup semua asfek peran seorang bidan
2. Mengenali batas–batas pengetahuan, ketrampilan pribadinya dan tidak berupaya
melampaui wewenangnya dalam praktik klinik
3. Menerima tanggung jawab untuk mengambil keputusan serta konsekuensi dari keputusan
tersebut
4. Berkomunikasi dengan pekerja kesehatn lainnya ( Bidan, dokter dan perawat ) dengan
rasa hormat dan martabat
5. Memelihara kerjasama yang baik dengan staf kesehatan dan rumah sakit pendukung
untuk memastikan sistem rujukan yang optimal
6. Melaksanakan kegiatan pemantauan mutu yang mencakup penilaian sejawat, pendidikan
berkesinambungan, mengkaji ulang kasus audit maternal/ perinatal
7. Bekerjasama dengan masyarakat tempat bidan praktik, meningkatkan akses dan mutu
asuhan kebidanan
8. Menjadi bagian dari upaya meningkatkan status wanita, kondisi hidup mereka dan
menghilangkan praktik kultur yang sudah terbukti merugikan kaum wanita.

Tuntutan berat terhadap tugas bidan adalah selalu berhadapan dengan sasaran dan target
pelayanan kebidanan, KB dan pelayanan kesehatan masyarakat dengan memperkuat kepercayaan,
sikap, ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian yang telah diterima dan berguna bagi masyarakat.
Konsekuensi logis dari semua itu karena kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan, dan keahlian yang
bermanfaat dan diterima oleh sebuah masyarakat itu senantiasa berubah. Maka untuk menghadapi
masyarakat seperti itu seorang bidan harus bisa mempersiapkan segenap kemampuan dan
keahliannya untuk menghadapi segala bentuk perubahan. Proses dinamika masyarakat itulah yang
menyebabkan bidan dapat menjadi agen pembaharu yang mengambil peran besar, dan peran ini
akan dapat dimainkan oleh bidan jika atasannya memang mendayagunakannya secara optimal.

4
Masalah ketenagaan atau bidan merupakan masalah besar yang dihadapi para pemimpin
instansi pelayanan kesehatan apalagi jika kaitannya terhadap kebutuhan untuk mengembangkan
sumber daya manusia itu ( bidan ) terutama pada saat bertugas di desa pada lingkungan yang
memiliki kebudayaan yang sangat beragam ( Wahyuni, 1996 ; 158 ) . Tantangan besar ini
umumnya tidak akan bisa dijawab oleh Kepala Puskesmas yang seringkali hanya banyak
melontarkan wacana retorik, sebaliknya tidak membuktikan diri memiliki kemampuan kerja
profesional ( Gerbang, 2004 ; 47 ).

C. PERILAKU PROFESIONAL BIDAN


1. Dalam melaksanakan tugas berpegang teguh dan filosofi, etika profesi dan aspek legal.
2. Bertanggung jawab dan mempertanggungjawabakan keputusan klinis yang dibuatnya.
3. Senantiasa mengikuti perkembangan pengetahuan dan keterampilan mutakhir secara
berkala.
4. Menggunakan cara pencegahan universal untuk mencegah penularan penyakit dan strategi
pengendalian infeksi.
5. Menggunakan konsultasi dan rujukan yang tepat selama memberikan asuhan kebidanan.
6. Menghargai budaya setempat sehubungan denga priktik kesehatan, kehamilan, kelahiran,
perode paca persalinan, bayi baru lahir dan anak.
7. Menggunakan model kemitraan dalam bekerja sama dengan kaum wanita/ibu agar mereka
dapaat menentukan pilihan yang telah diinformasikan tentang semua aspek asuhan,
meminta persetujuan secara tertulis supaya mereka bertanggungjwab atas kesehatannya
sendiri.
8. Menggunakan keterampilan komunikasi.
9. Bekerjasama dengan petugas kesehatan lain.
10. Advokasi terhadap pilihan ibu dalam tatanan pelayan.

5
1.2.PERTANGGUNGJAWABAN PENGGANTI (VICARIOUS LIABILITY) DALAM
KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Regulasi vicarious liability dalam Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


merupakan pengecualian dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan” sekaligus merupakan wujud dari
ide keseimbangan sekaligus pelengkap (complement) dari asas Geen Straft Zonder Schuld, hal ini
ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (2) Konsep KUHP/RKUHP 2008. Penjelasan Pasal 38
ayat (2), menyatakan bahwa vicarious liability harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu
yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.

Dari sinilah penulis merasa perlu untuk membuat sebuah penelitian tentang vicarious
liability dalam kebijakan hukum pidana, karena pada kenyataannya pengaturan vicarious liability
dalam Konsep KUHP belum menegaskan dalam hal-hal apa saja subjek hukum dapat
dipertanggunjawabkan secara vicarious. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah
bertujuan mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan mengenai: pertanggungjawaban
pengganti (vicarious liability) dalam kebijakan formulasi hukum pidana saat ini, dan
pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dalam kebijakan formulasi hukum pidana yang
akan datang. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian
yuridis normatif, yakni yang memusatkan penelitian pada sumber data sekunder.

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan komparatif
dan pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, Kebijakan
formulasi vicarious liability/ pertanggungjawaban pengganti di Indonesia saat ini lebih tertuju pada
kejahatan korporasi. Kebijakan formulasi vicarious liability/ pertanggungjawaban pengganti di
Indonesia yang akan datang sebaiknya dirumuskan tidak hanya untuk tindak pidana korporasi, atau
tidak hanya pada hubungan kerja, tapi juga dapat diterapkan pada hubungan orang tua dengan
anaknya, dan suami dengan isterinya. Vicarious liability seharusnya diterapkan pada tindak pidana
yang dirumuskan oleh undangundang sebagai tindak pidana strict liability (dilakukan oleh orang
dalam “hubungan” yang telah disebutkan), dan tindak pidana tersebut diancam dengan pidana
denda.

6
BAB II

PEMBAHASAAN

2.1 Vicarious liability


Vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada
seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of
another). Menurut Barda Nawawi Arief, vicarious liability adalah suatu konsep
pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang
dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya (the legal responsibility of one
person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done within scope of
employment) Sutan Remy Sjahdeini menterjemahkan vicarious liability menjadi
pertanggungjawaban vikarius atau pertanggungjawaban pengganti. Dalam kamus Henry Black
vicarious liability diartikan sebagai berikut :
The liability of an employer for the acts of an employee, of a principle for torts and
contracts of an agent (pertanggung jawaban majikan atas tindakan dari pekerja; atau pertanggung
jawaban principal terhadap tindakan agen dalam suatu kontrak).
Ajaran vicarious liability diambil dari hukum perdata yang kemudian dipakai dalam
praktik hukum pidana. Ketentuan ini misalnya dapat dilihat dalam hukum Pasal 1367 KUH Perdata
yang berbunyi “Setiap orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya sendiri tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang
yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya”. Dalam pasal ini disebutkan bahwa vicarious liability dapat timbul dalam
hubungan-hubungan sebagai berikut ;
a) Tanggung gugat orang tua atau wali terhadap perbuatan anaknya yang belum dewasa;
b) Tanggung gugat majikan terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan karyawan;
dan
c) Tanggung gugat guru-guru sekolah atas perbuatan murid-muridnya.
Mengutip pendapat Jowitt dan Walsh, Sutan Remy Sjahdeni menjabarkan tentang
vicarious liability berasal dari doktrinrespondeat superior, dimana dalam ajaran tersebut hubungan
antara master dengan servant atau principal dengan agent berlaku maxim qui facit per alium facit

7
per se. Dimana menurut doktrin tersebut, seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia
sendiri yang melakukan perbuatan itu. Dalam hukum Inggris, vicarious liability dapat timbul
dalam beberapa bentuk hubungan yaitu :
a) principal and agent. Jika seorang agent bertindak dalam scope authority-nya maka semua
perbuatan melawan hukum (tort) yang dilakukan agent akan menjadi tanggung jawab
principalnya.
b) partnership. Semua partner dalam sebuah partnership bertanggung jawab atas tindakan dari
salah satu pihak diantara mereka.
c) master and servant. Master (majikan) bertanggung jawab atas tindakan tort yang dilakukan
oleh servant (karyawan) dalam melakukan pekerjaannya.
Apabila dilihat dari konsep pertanggungjawaban pidana, ajaran vicarious liability
mirip dengan konsep penyertaan (deelneming). Dimana keduanya mensyaratkan ada (minimal)
dua orang yaitu pelaku yang memenuhi rumusan delik (pelaku fisik) dan pelaku yang tidak
memenuhi rumusan delik (bukan pelaku fisik) yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Menurut
Surastini, ajaran ini merupakan perluasan pertanggung jawaban pidana dari konsep penyertaan.
Adapun perbedaannya dapat dilihat :
1) Penyertaan (Deelneming)
Pertanggungjawaban terhadap “bukan pelaku fisik” (penyuruh, penggerak)
berdasarkan unsur kesengajaan (niat, kehendak untuk melakukan tindak pidana)
2) Pertanggungjawaban pengganti (Vicarious liability)
Pertanggungjawaban pidana terhadap “bukan pelaku fisik” (atasan, majikan) bukan
berdasarkan unsur kesengajaan, tetapi atas dasar adanya hubungan tertentu antara yang
bersangkutan dengan pelaku fisik.
Perluasan tersebut dapat dilihat bahwa dalam penyertaan,“bukan pelaku fisik” dapat
dipertanggungjawabkan pidana ketika terdapat unsur kesengajaan (mens rea), sedangkan dalam
vicarious liability tanpa kesengajaan pun seseorang dapat dipertanggungjawabkan pidana asalkan
terdapat hubungan tertentu.

8
Menurut Barda Nawawi Arief, dalam pelaksanaanya vicarious liability memiliki
beberapa batasan, dimana seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain apabila :
a) Tidak masuk lingkup pekerjaan atau kewenangannya;
b) Yang dilakukan employee merupakan perbuatan bantuan/pembantuan (aiding and
abetting);
c) Yang dilakukan employee adalah percobaan tindak pidana (attempt to commit an offence).
Mahrus Ali berpendapat, ada dua syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat
menerapkan teori vicarious liability, yaitu :
a) Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan dan pekerja;
dan
b) Tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau masih dalam
ruang lingkup pekerjaanny.
Romli Atmasasmita, mempertegas bahwa vicarious liability hanya berlaku terhadap jenis
tindak pidana tertentu menurut hukum pidana Inggris, yakni delik-delik yang mensyaratkan
kualitas dan delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan.
Sedangkan, Scanlan dan Ryan, dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini berpendapat, seorang pemberi
kerja hanya dapat dibebani pertanggungjawaban pidana secara vikarius apabila perbuatan yang
dilakukan oleh pegawainya adalah dalam rangka tugas pegawainya itu. Secara kontrak hal itu
berarti seorang pemberi kerja tidak harus memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatan
yang dilakukan pegawainya apabila perbuatan itu dilakukan di luar atau tidak ada hubungan
dengan tugasnya.
2.2 Tugas dan tanggung jawab bidan
a) Tugas Utama Bidan Di Komunitas
Menurut Suryani (2007) tugas utama bidan di komunitas disesuaikan dengan
peran bidan sebagai pelaksana, pengelola, pendidik dan peneliti, tugas tersebut antara lain:

Dalam menjalankan peran sebagai pelaksana asuhan atau pelayanan kebidanan, bidan
memiliki tugas mandiri, kolaborasi, dan rujukan, tugas mandiri.

9
1. Tugas-tugas mandiri bidan, yaitu:
a. Menetapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan yang diberikan,
mencakup:
1) Mengkaji status kesehatan untuk memenuhi kebutuhan asuhan klien
2) Menentukan diagnosis
3) Menyusun rencana tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapi
4) Melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana yang telah disusun
5) Mengevaluasi tindakan yang telah diberikan
6) Membuat rencana tindak lanjut kegiatan/tindakan
7) Membuat catatan dalam laporan kegiatan/tindakan

b. Memberi layanan dasar pada pranikah pada anak remaja dan wanita dengan
melibatkan mereka sebagai klien, mencakup:
1) Mengkaji status kesehatan dan kebutuhan remaja dan wanita dalam masa
pranikah baik individu maupun di masyarakat
2) Menentukan diagnosis dan kebutuhan pelayanan dasar
3) Menyusun rencana tindakan/layanan sebagai prioritas mendasar bersama
klien
4) Melaksanakan tindakan/layanan sesuai dengan rencana
5) Mengevaluasi hasi tindakan/layanan yang telah diberikan bersama klien
6) Membuat rencana tindak lanjut tindakan/layanan bersama klien
7) Membuat pencatatan dan pelaporan asuhan kebidanan
8) Memberikan asuhan kebidanan pada klien selama kehamilan normal di
masyarakat, mencakup:
9) Mengkaji status kesehatan klien yang dalam keadaan hamil baik
individu maupun di masyarakat
2.3 Kewenangan Seorang Bidan

Wewenang Bidan

Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan dan
kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan

10
(Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat.

Pengaturan praktik bidan telah diatur sejak tahun 1963 dengan ditetapkannya Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada pertolongan persalinan
normal secara mandiri, didampingi tugas lain.

Kemudian diubah menjadi Permenkes No. 363/IX/1980, yang kemudian diubah lagi
menjadi Permenkes 623/1989 dimana wewenang bidan dibagi menjadi dua yaitu wewenang umum
dan khusus ditetapkan bila bidan meklaksanakan tindakan khusus di bawah pengawasan dokter.
Pelaksanaan dari Permenkes ini, bidan dalam melaksanakan praktek perorangan di bawah
pengawasan dokter.

Tahun 1996 kembali mengalami perubahan menjadi Permenkes No. 572/VI/1996,


wewenang ini mengatur tentang registrasi dan praktek bidan. Bidan dalam melaksanakan
prakteknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan tersebut disertai dengan kemampuan
dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup :

1. Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak.


2. Pelayanan Keluarga Berencana
3. Pelayanan Kesehatan Masyarakat.

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 572/Menkes/Per/VI/1996


tentang Registrasi dan Praktik Bidan, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
363/Menkes/Per/IX/1980 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 623/Menkes/Per/IX/1989
menjadi tidak berlaku lagi.

Dalam perkembangannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 572/Menkes/Per/VI/1996


direvisi dan diganti dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002
tentang Registrasi dan Praktik Bidan.

Kepmenkes No. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan merupakan


revisi dari Permenkes No. 572/VI/1996 Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan
kolaborasi, konsultasi dan merujuk sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan dan

11
kemampuannya. Dalam keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang
ditujukan untuk penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga ditegaskan bahwa bidan dalam
menjalankan praktek harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman
serta berdasarkan standar profesi. Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Kepmenkes No.
900/2002 tidaklah mudah, karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan ini
mengandung tuntutan akan kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri.

Selanjutnya berkaitan dengan praktik bidan terdapat reformasi peraturan dengan


ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Hk.02.02/Menkes/149/I/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan yang mencabut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
900/Menkes/SK/VII/2002 berkaitan praktik bidan, Untuk menunjang pelaksanaan penurunan
kematian ibu dan bayi/anak maka Permenkes Nomor Hk.02.02/Menkes/149/I/2010 direvisi
dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin
dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.

Paragraf Kedua Perlindungan Pasien Pasal 56 (1) Setiap orang berhak menerima atau
menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah
menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. (2) Hak
menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada: a. penderita
penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas; b.
keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau c. gangguan mental berat. (3) Ketentuan
mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 57 (1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi
kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. (2)
Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku dalam hal: a. perintah undang-undang; b. perintah pengadilan; c. izin yang
bersangkutan; d. kepentingan masyarakat; atau e. kepentingan orang tersebut. Pasal 58 (1) Setiap
orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan

12
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan

Pada peraturan pemerintah ini berisikan tanggung jawab dan tugas tenaga
kesehatn termasuk didalamnay tenaga bidan : hal ini tertuang pada BAB dan Pasal sebagai berikut
:

BAB VII Bagian Kedua

Tenaga Kesehatan

Pasal 50

Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai


dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB V Bagian Kedua

Kesehatan Keluarga

Pasal 12

Kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat, kecil, bahagia, dan
sejahtera.

Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kesehatan suami istri,
anak,

dan anggota keluarga lainnya.

Pasal 13

Kesehatan suami istri diutamakan pada upaya pengaturan kelahiran dalam rangka
menciptakan keluarga yang sehat dan harmonis.

13
Pasal 14

Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan, persalinan, pasca
persalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan

Pasal 15

Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya,
dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) hanya dapat dilakukan :

a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;


b) oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersngkutan atau suami atau keluarganya;
d) pada sarana kesehatan tertentu

Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam Kepmen
Kes RI No. 900/ Menkes/SK/VII/2002

Bidan diharuskan memenuhi persyaratan dan perizinan untuk melaksanakan


praktek, dalam peraturan ini, terdapat ketentuan-ketentuan secara birokrasi hal-hal yang harus
bidan penuhi sebelum melakukan praktik dan juga terlampir informasi-informasi petunjuk
pelaksanaan praktik kebidanan. bidan hal tersebut tertuang pada Bab dan Pasal-pasal berikut :

BAB IV

PERIZINAN

Pasal 9

(1) Bidan yang menjalankan praktik harus memiliki SIPB.


(2) Bidan dapat menjalankan praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan.

Pasal 10

(1) SIPB

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada

14
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

(2) Permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan persyaratan, antara lain

meliputi:

a) fotokopi SIB yang masih berlaku;


b) fotokopi ijazah Bidan;
c) surat persetujuan atasan, bila dalam pelaksanaan masa bakti atau sebagai Pegawai Negeri
atau pegawai pada sarana kesehatan.
d) surat keterangan sehat dari dokter;
e) rekomendasi dari organisasi profesi;
f) pas foto 4 X 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.

(3) Rekomendasi yang diberikan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
e, setelah terlebih dahulu dilakukan penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan,
kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktik bidan.

Pasal 11

(1) SIPB berlaku sepanjang SIB belum habis masa berlakunya dan dapat diperbaharui kembali.
(2) Pembaharuan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala Dinas
Kesehatan

Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan :

a) fotokopi SIB yang masih berlaku;


b) fotokopi SIPB yang lama;
c) surat keterangan sehat dari dokter;
d) pas foto 4 X 6 cm sebanyak 2(dua) lembar;
e) rekomendasi dari organisasi profesi;

15
Pasal 12

Bidan pegawai tidak tetap dalam rangka pelaksanaan masa bakti tidak memerlukan SIPB.

Pasal 13

Setiap bidan yang menjalankan praktik berkewajiban meningkatkan kemampuan keilmuan


dan/atau keterampilannya melalui pendidikan dan/atau pelatihan.

BAB V

PRAKTIK BIDAN

Pasal 14

Bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan pelayanan

yang meliputi :

a) pelayanan kebidanan;
b) pelayanan keluarga berencana;
c) pelayanan kesehatan masyarakat.

Pasal 15

(1) Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a ditujukan kepada ibu
dan anak.
(2) Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pranikah, prahamil, masa kehamilan, masa
persalinan, masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval).
(3) Pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru lahir, masa bayi, masa
anak balita dan masa pra sekolah.

BAB lain dalam peraturan pemerintah ini, mengacu ke pada dua BAB tersebut, kedua bab ini
memberi gambaran umum mengenai ketentuan praktik bidan dan bab lain yang tidak si sebutkan
disini melengkapi atau menjabarkan hal-hal umum tersebut.

UNDANG-UNDANG TENTANG TENAGA KESEHATAN. BAB I KETENTUAN UMUM

16
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
2. Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan bidang
kesehatan di bawah jenjang Diploma Tiga.
3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
4. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
5. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan berdasarkan
ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap profesional untuk dapat menjalankan praktik.
6. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi bidang
Kesehatan.
7. Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi Tenaga
Kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah lulus uji
Kompetensi.
8. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang
diperoleh lulusan pendidikan profesi.
9. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga Kesehatan yang telah memiliki
Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lain
serta mempunyai pengakuan secara hukum untuk menjalankan praktik.
10. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga Kesehatan yang telah
diregistrasi.

17
11. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan sebagai pemberian
kewenangan untuk menjalankan praktik.
12. Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan, keterampilan,
dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh seorang individu untuk
dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh
organisasi profesi bidang kesehatan.
13. Standar Pelayanan Profesi adalah pedoman yang diikuti oleh Tenaga Kesehatan dalam
melakukan pelayanan kesehatan.
14. Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan memberikan langkah
yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai
kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan
Standar Profesi.
15. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga yang melaksanakan tugas secara
independen yang terdiri atas konsil masing-masing tenaga kesehatan.
16. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun tenaga kesehatan yang seprofesi.
17. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah badan yang dibentuk oleh Organisasi
Profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu kesehatan yang bertugas mengampu dan
meningkatkan mutu pendidikan cabang disiplin ilmu tersebut.
18. Penerima Pelayanan Kesehatan adalah setiap orang yang melakukan konsultasi tentang
kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada tenaga kesehatan.
19. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota serta perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan.
21. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

18
19
DAFTAR PUSTAKA

http://www.wibowopajak.com/2012/06/pengertian-entitas.html

http://www.rudipradisetia.com/2014/02/pertanggungjawaban-pidana-pengganti.html

https://media.neliti.com/media/publications/109433-ID-pertanggungjawaban-pengganti-
vicarious-l.pdf

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1526952307003856

Anda mungkin juga menyukai