Anda di halaman 1dari 11

III.

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS


3.1. Kerangka Pemikiran
Saat ini komitmen global menempatkan masalah kemiskinan sebagai
prioritas utama. Begitu pentingnya masalah kemiskinan, sehingga Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) tahun 2009 mengambil tema “Peningkatan Kesejahteraan dan
Penanggulangan Kemiskinan”. Implikasinya adalah bahwa hampir semua
kebijakan pembangunan diarahkan untuk penanggulangan kemiskinan. Puluhan
program dan trilyunan rupiah dana yang digulirkan setiap tahunnya selama 20
tahun terakhir, pada kenyataannya belum mampu memberikan hasil yang optimal
untuk menurunkan jumlah penduduk miskin secara permanen, bersifat fluktuatif
dan memiliki kerentanan baik dalam tataran mikro, meso, dan makro.
Kemiskinan merupakan masalah yang multikompleks, dinamis, dan
berkaitan dengan ruang, waktu serta tempat dimana kemiskinan itu dilihat dari
berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, untuk memahami permasalahan
kemiskinan yang multikompleks dan multidimensi harus didekati secara
komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu “multidisiplin” pula.
Upaya penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara universal, karena
fenomena dan permasalahan kemiskinan berbeda pada suatu negara dengan
negara lain begitupula antara wilayah dengan wilayah lain dalam suatu negara.
Berangkat dari penjelasan di atas dan mengacu pada kajian pustaka
terdahulu serta beberapa penelitian empiris, maka upaya penanggulangan
kemiskinan melalui intervensi kebijakan tidak bisa dilakukan dari satu arah atau
bukan hanya dalam pemenuhan kebutuhan makanan saja. Dalam konteks
penanggulangan kemiskinan, intervensi kebijakan seyogyanya dilakukan dengan
menggunakan pendekatan dua arah, baik dari eksternal maupun internal. Di satu
sisi, kebijakan dari luar bukan hanya menyentuh aspek ekonomi, akan tetapi perlu
dilakukan secara komprehensif yang mempertimbangkan aspek-aspek eksternal
dan aspek non ekonomi yang berpengaruh. Di sisi lain, upaya penanggulangan
kemiskinan harus mempertimbangkan karakteristik rumah tangga dan individu,
sehingga intervensi kebijakan dapat mengentaskan kemiskinan secara optimal dan
permanen.

66
Seseorang dapat dikatakan hidup layak, bukan hanya dilihat dari pemenuhan
kebutuhan makan saja, tetapi perlu dilakukan pemenuhan kebutuhan dasar bukan
makanan, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, dan pelayanan
publik lainnya yang memadai seperti jalan, listrik, dan air bersih. Hal ini sejalan
dengan BPS (1999) yang membedakan garis kemiskinan pada dua komponen
utama, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan.
Karakteristik rumah tangga dan individu menjadi penting untuk dipahami
secara baik dan mendalam dalam konteks penanggulangan kemiskinan. Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi
kemiskinan membagi karakteristik rumah tangga menjadi empat kelompok, yaitu
modal manusia (human capital), modal fisik produktif (physical productive
capital), status pekerjaan, dan karakteristik wilayah (Ikhsan, 1999). Sedangkan
Harniati (2007), membagi aspek-aspek yang memengaruhi kemiskinan dalam
perspektif mikro (rumah tangga) menjadi tiga kelompok, yaitu (a) modal manusia
(human capital) yang meliputi profil umum kepala rumah tangga, variabel kondisi
kesehatan rumah tangga, dan variabel kondisi ekonomi rumah tangga, (b) variabel
modal fisik yang dimiliki rumah tangga miskin, serta (c) variabel tempat tinggal.
Dalam disertasi ini, aspek-aspek tersebut di atas dijadikan sebagai acuan,
namun dalam perspektif mikro karakateristik rumah tangga dijadikan sebagai
variabel untuk mengukur kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan.
Karaktersitik rumah tangga dibagi menjadi enam komponen utama, (i) profil
umum rumah tangga yang meliputi jenis kelamin kepala rumah tangga, umur
kepala rumah tangga, jumlah tanggungan, dan jumlah anggota keluarga yang
bekerja; (ii) variabel modal manusia yang meliputi tingkat pendidikan kepala
rumah tangga, rata-rata lama sekolah anggota rumah tangga, dan kemampuan
baca tulis kepala rumah tangga, kesehatan kepala rumah tangga dan jaminan
kesehatan rumah tangga; (iii) varibel aksesibilitas rumah tangga ke pelayanan
publik yang meliputi pelayanan pemerintahan, akses ke lembaga keuangan formal,
akses terhadap listrik, dan akses terhadap sarana telekomunikasi; (iv) variabel
ekonomi yang meliputi kepemilikan lahan atau nilai aset yang dimiliki kepala
rumah tangga; dan (v) variabel partisipasi dalam proses pembangunan; serta (vi)

67
variabel wilayah yang meliputi tempat tinggal pada wilayah pesisir, dataran
rendah dan pegunungan.
Keenam komponen karakteristik rumah tangga tersebut di atas merupakan
komponen utama dan penciri penting dalam kemiskinan. Daya tahan rumah
tangga terhadap kemiskinan sangat dipengaruhi oleh keenam komponen.
Keberagaman penciri rumah tangga berimplikasi pada intervensi kebijakan
penanggulangan kemiskinan yang akan dibuat. Kepala rumah tangga dengan jenis
kelamin pria berbeda intervensinya dengan kepala rumah tangga yang berjenis
kelamin perempuan. Demikian halnya dengan jumlah tanggungan rumah tangga
berpengaruh terhadap kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga
berupa kebutuhan makanan dan bukan makanan seperti pendidikan dan
kesehatan, sehingga intervensinya juga berbeda.
Pendidikan diyakini menjadi salah satu faktor yang memiliki kekuatan
pendorong (driving force) transformasi sosial sebagai daya gebrak memutus tali
rantai kemiskinan (Departemen Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia
2008; Sjafii dan Hidayati 2009; dan Goetz 2007). Indikator yang sering digunakan
untuk mengukur tingkat pendidikan yaitu jumlah tahun bersekolah anggota
keluarga, pendidikan kepala keluarga, angka melek huruf, dan angka partisipasi
sekolah (APS). Pendidikan menjadi driving force, artinya semakin tinggi
pendidikan keluarga tersebut maka akan semakin tinggi kemungkinan keluarga
tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi (Ikhsan
1999, Usman et al. 2005, Smeru 2008, TKPK 2006).
Pendidikan dan kesehatan memiliki keterkaitan sangat erat dengan
pembangunan ekonomi. Di satu sisi modal kesehatan yang lebih baik dapat
meningkatkan pengembalian investasi yang dicurahkan untuk pendidikan, karena
kesehatan merupakan faktor penting agar seseorang bisa hadir di sekolah dalam
proses pembelajaran formal seorang anak. Harapan hidup yang lebih panjang
dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan; sementara
kesehatan yang lebih baik akan menyebabkan rendahnya tingkat depresiasi modal
pendidikan. Di sisi lain, modal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan
pengembalian atas investasi dalam kesehatan.

68
Tingkat pendidikan dan derajat kesehatan yang tinggi mampu mendorong
masyarakat untuk bekerja lebih efektif dan dengan demikian dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, perbaikan akses masyarakat (si miskin)
ke pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan perlu ditingkatkan.
Peningkatan akses perlu dilakukan secara merata dan dibarengi dengan
peningkatan mutu layanan pendidikan dan kesehatan, terutama pada wilayah
perbatasan dan terpencil. Peningkatan akses ke pelayanan publik bisa dilakukan
melalui penyediaan infrastruktur yang baik dan memadai.
Bank Dunia (2002) menjelaskan bahwa infrastruktur yang baik akan
memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial
kemasyarakatan. Selain itu, memudahkan investor untuk melakukan investasi di
daerah yang bersangkutan. Indikator pembangunan infrastruktur yang penting
adalah irigasi, akses listrik, dan kondisi jalan utama transportasi, serta sarana dan
prasarana pendidikan dan kesehatan. Dengan meningkatnya infrastruktur secara
otomatis dapat meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan publik
terutama dalam akses ke pelayanan pendidikan, kesehatan, dan aktivitas ekonomi
serta pelayanan administrasi pemerintahan, yang pada akhirnya dapat mereduksi
kemiskinan.
Dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dan sosial kemasyarakatan
memberi peluang bagi penduduk untuk meraih peluang-peluang sosial ekonomi
yang dapat meningkatkan pendapatannya. Di samping itu, dengan meningkatnya
aktivitas sosial kemasyarakatan dapat meningkatkan peran dan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan. Pada kondisi demikian, maka akan tercipta
modal sosial yang kuat di tengah-tengah masyarakat yang dicirikan oleh adanya
interaksi, aturan-aturan atau norma, dan terjadinya kepercayaan diantara
masyarakat (Dharmawan 2002; Rustiadi et al. 2009).
Pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan, seperti dalam
perencanaan pembangunan merupakan hak yang dimiliki oleh masyarakat untuk
dapat terlibat secara demokratis dalam menentukan pelbagai hal menyangkut
kehidupannya (Kartasasmita 1996; dan Nurcholis et al. 2008). Pelibatan
penduduk miskin dalam proses pembangunan memberi dampak bukan hanya pada

69
penguatan kapasitas masyarakat miskin, akan tetapi juga memberi peluang untuk
dapat mengakses aktivitas ekonomi produktif yang pada akhirnya dapat
meningkatkan pendapatannya. Di lain pihak, dengan pelibatan masyarakat dalam
proses pembangunan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan
pembangunan karena masyarakat mempunyai rasa memiliki terhadap program dan
kegiatan yang telah direncanakan. Akhirnya, pelaksanaan program dan kegiatan
pembangunan dapat dilakukan dengan tepat sasaran, tepat waktu dan tepat guna.
Pada tingkat wilayah ada beberapa karakteristik yang mungkin berkaitan
dengan kemiskinan. Hubungan karakteristik dengan kemiskinan tersebut sesuai
dengan kondisi wilayah tersebut. Wilayah perkotaan dengan karakteristik
umumnya bekerja di sektor informal, berbeda karakteristik kemiskinannya di
perdesaan yang umumnya bekerja pada sektor pertanian. Demikian halnya, pada
wilayah pesisir berbeda karakteristiknya pada wilayah dataran rendah dan
pegunungan. Namun demikian, secara umum wilayah yang memiliki ciri-ciri
seperti terpencil secara geografis, sumberdaya alam yang terbatas, rawan bencana,
rawan konflik, infrastruktur yang terbatas seperti jalan, irigasi, listrik, bangunan
sekolah, tingkat kemiskinannya akan tinggi.
Di sisi lain, perspektif makro juga menjadi determinan atau faktor-faktor
yang memengaruhi kemiskinan. Variabel makro dalam disertasi ini meliputi
pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah daerah yang terdiri dari belanja publik
dan belanja langsung yang diperuntukkan bagi rumah tangga miskin. Belanja
publik dalam hal ini meliputi belanja di bidang pendidikan, kesehatan, bidang
pertanian, dan infrastruktur. Di samping itu, variabel makro lainnya yang
dianggap berpengaruh terhadap kemiskinan yaitu inflasi yang dalam disertasi ini
adalah GDP_deflator, PDRB per kapita, pendapatan asli daerah (PAD), kontribusi
sektor terhadap PDRB yang meliputi sektor pertanian dan industri, desentralisasi
fiskal serta krisis moneter.
Dalam konteks makro ekonomi, ukuran kesejahteraan masyarakat dikaitkan
dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dan tingkat pendapatan per kapita
masyarakat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau biasa
disetarakan dengan produk domestik regional bruto (PDRB) maka dapat

70
disimpulkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut
(Mankiw 2007; dan Dornbush et al. 1987). Namun, pertumbuhan ekonomi yang
tinggi tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh. Masyarakat golongan bawah (miskin) kurang mempunyai akses
terhadap faktor produksi (tenaga kerja, modal, tanah, dan enterpreneur).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diyakini dapat menurunkan insiden kemiskinan
ketika dibarengi dengan perbaikan distribusi pendapatan secara adil.
Dalam kegiatan ekonomi faktor produksi disinergikan untuk menciptakan
nilai tambah (value added), yang agregasinya merupakan produk domestik bruto.
Nilai tambah merupakan balas jasa faktor produksi (tenaga kerja mendapatkan
upah, modal mendapatkan dividen, tanah mendapatkan sewa, dan enterpreneur
mendapatkan keuntungan). Dari perekonomian yang berlangsung, dua hal yang
mungkin. Pertama, kesenjangan pendapatan semakin tinggi, dikarenakan sebagian
kecil masyarakat menguasai faktor produksi dan sisanya, penduduk miskin, tidak,
sehingga mereka tetap miskin. Kedua, andaikata penguasa faktor produksi adalah
investor asing, maka akan mengurangi kue ekonomi domestik, dimana nilai
tambah “value added” lebih banyak kembali kepada pemilik modal (Heru 2006).
Pertumbuhan ekonomi secara kausalitas berkorelasi dengan peningkatan
PDRB dan PDRB per kapita, serta peningkatan investasi. Pertumbuhan ekonomi
mendorong pertumbuhan pendapatan secara agregat, oleh karena itu pertumbuhan
ekonomi harus dibarengi dengan distribusi pendapatan yang berkeadilan.
Peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan
permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanan dan
pakaian. Meningkatkan permintaan akan barang-barang buatan lokal memberikan
rangsangan yang lebih besar kepada produksi lokal, memperbesar kesempatan
kerja lokal, dan menumbuhkan investasi lokal, serta mendorong pertumbuhan
PDRB dan PDRB per kapita (Todaro dan Smith 2006; 2009).
PDRB sebagai salah satu ukuran kesejahteraan yang telah disepakati oleh
para ahli ekonomi dan praktisi, dari sisi demand salah satu pendukungnya adalah
Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Meningkatnya APBD dan
APBN berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik dan pengurangan

71
kemiskinan. Dalam teori ekonomi pembangunan diketahui bahwa tingkat
pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah (APBN dan APBD)
mempunyai hubungan timbal balik yang positip (Mankiw 2007 dan Dornbusch et
al. 1987). Belanja pemerintah (government expenditure) diyakini pula memiliki
peranan penting yang dapat mendorong percepatan penanggulangan kemiskinan
dan menjadi hajat hidup orang banyak. Anggaran yang berpihak bagi kaum papa
(pro poor budgeting) merupakan bentuk tindakan afirmatif yang didukung oleh
kebijakan pro kaum miskin yang diarahkan untuk membiayai belanja penyediaan
sarana dan prasarana pelayanan publik. Melalui belanja yang berpihak kepada
kaum miskin, seperti belanja bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan
belanja yang secara langsung diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan (Smeru
2001; Tambunan 2006; Hardojo et al. 2008).
Beberapa temuan empiris menunjukkan bahwa peningkatan satu satuan
belanja negara atau daerah dapat menurunkan jumlah rumah tangga miskin
sebesar 0,3 persen (Jung et al. 2006). Sejalan dengan diimplementasikannya
otonomi daerah yang disertai dengan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah
menerima dana perimbangan yang sangat besar terutama setelah tahun 2001.
Besarnya dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah daerah diyakini oleh
beberapa ekonom dapat mereduksi kemiskinan, karena fenomena atau
permasalahan yang dihadapi masyarakat miskin dapat diselesaikan dengan baik
dan tepat oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, belanja pemerintah daerah di
samping mendorong pertumbuhan ekonomi juga dapat meningkatkan investasi
yang secara langsung dapat meningkatkan pembukaan lapangan kerja. Dengan
demikian, belanja pemerintah akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan
dapat mereduksi kemiskinan, ketika belanja tersebut diarahkan untuk penyediaan
infrastruktur dan penyediaan pelayanan publik yang berpihak bagi kaum miskin.
Sebelum krisis ekonomi melanda dunia pada tahun 1997/1998, model
pembangunan Indonesia diakui berhasil menurunkan angka kemiskinan secara
bermakna. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang
dilakukan oleh BPS, dalam kurun waktu 1976-1996 jumlah penduduk miskin di
Indonesia menurun dari 54,2 juta jiwa atau sekitar 40 persen dari total penduduk

72
menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11 persen. Namun setelah krisis ekonomi
terjadi lonjakan yang sangat besar dalam jumlah penduduk miskin, baik secara
nasional maupun secara lokal di Kabupaten Barru.
Pengaruh krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998, merupakan
guncangan (shock) yang sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan insiden
kemiskinan. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan harga yang
berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli tidak
saja terjadi terhadap kebutuhan pokok berupa makanan tetapi juga ke berbagai
kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Kenaikan harga
bahan pokok mendorong menanjaknya inflasi yang bukan hanya berdampak pada
rendahnya daya beli masyarakat, akan tetapi juga berpengaruh pada menurunnya
upah riil buruh utamanya upah gaji tetap (fixed income earner). Secara bersamaan
dampak krisis ekonomi menyebabkan kontraksi pertumbuhan ekonomi yang
sangat tajam dan bahkan mengarah kepada terjadinya stagflasi dimana
pertumbuhan ekonomi menjadi minus, disisi lain terjadi lonjakan inflasi yang
sangat besar.
Oleh karena itu, dalam disertasi ini kerentanan rumah tangga terhadap
kemiskinan merupakan hal yang esensial untuk dipahami secara mendalam agar
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan baik
sejalan dengan perubahan-perubahan eksternal lainnya. Kebijakan
penanggulangan kemiskinan yang bersifat top-down dan universal, seringkali
tidak mampu mengurangi jumlah insiden kemiskinan dan yang terjadi justru
sebaliknya. Kerangka pemikiran konseptual analisis kerentanan dan determinan
kemiskinan berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru dapat
diringkaskan pada Gambar 7 berikut.

73
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian

74
3.2. Hipotesis
Dari beberapa penjelasan teoritis dan hasil studi yang dipaparkan di atas
serta beberapa pengalaman empiris, maka hipotesis dalam penelitian dibangun
berdasarkan dengan tujuan penelitian, yaitu kedalam dua kelompok yang meliputi
aspek mikro dan wilayah serta aspek makro sebagai berikut :
1. Hipotesis terkait aspek mikro dan wilayah, meliputi :
a. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan memiliki kerentanan
atau peluang yang lebih besar untuk menjadi miskin dibandingkan dengan
rumah tangga dengan kepala rumah tangganya laki-laki
b. Semakin besar jumlah tanggungan rumah tangga berpengaruh secara nyata
terhadap kerentanan atau peluang rumah tangga untuk menjadi miskin.
Besarnya jumlah tanggungan berasosiasi dengan besarnya biaya hidup baik
untuk konsumsi makanan maupun untuk konsumsi non makanan.
c. Tingkat pendidikan dan kesehatan kepala rumah tangga, serta akses ke
pelayanan pendidikan dan kesehatan berpengaruh secara nyata terhadap
kerentanan atau peluang rumah tangga untuk menjadi miskin.
d. Rumah tangga yang memiliki akses ke lembaga keuangan formal dan
sumberdaya listrik (PLN) memiliki kerentanan atau peluang untuk menjadi
miskin yang lebih kecil dibanding tumah tangga yang tidak memiliki akses.
e. Penduduk yang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan memiliki kerentanan atau peluang yang kecil untuk menjadi
miskin, karena memiliki peluang untuk mempromosikan kesejahteraan
mereka melalui informasi peluang ekonomi dan terlibat dalam pengambilan
keputusan yang terkait dengan lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan
pendapatan mereka.
f. Rumah tangga yang mempunyai nilai asset produktif yang tinggi memiliki
kerentanan yang kecil terhadap kemiskinan. Rumah tangga yang memiliki
asset produktif tinggi memiliki peluang untuk memperoleh pendapatan yang
lebih besar dibanding rumah tangga yang memiliki asset produktif yang
rendah.
g. Kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan berbeda secara nyata
berdasarkan karakteristik wilayah, dimana rumah tangga yang berdomisili

75
pada wilayah pegunungan lebih kecil kerentanannya dibanding dengan
wilayah pesisir dan dataran rendah.
2. Hipotesis terkait aspek makro, meliputi :
a. Pertumbuhan ekonomi atau PRDB perkapita berpengaruh secara nyata
terhadap penurunan jumlah penduduk miskin.
b. Peningkatan belanja pembangunan daerah yang diarahkan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik terutama dalam bidang pendidikan,
kesehatan, infrastruktur dan pertanian dan belanja langsung bagi masyarakat
miskin berpengaruh negatif terhadap kemiskinan.
c. Peningkatan kontribusi sektor pertanian dan sektor industri berpengaruh
negatif terhadap kemiskinan, namun besar pengaruhnya berbeda.
d. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dibarengi dengan dana perimbangan
sebagai penerimaan daerah memberi kewenangan kepada pemerintah daerah
untuk merumuskan alokasi anggaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat
lokal berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin.
e. Peningkatan penerimaan daerah (PAD) yang diperoleh dari penarikan
retribusi dan pajak daerah tanpa memerhatikan kemampuan dan skala usaha
masyarakat berdampak positif pada peningkatan jumlah penduduk miskin.
f. Krisis moneter bukan hanya berpengaruh terhadap peningkatan inflasi akan
tetapi juga berpengaruh pada penurunan pertumbuhan ekonomi yang
berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat dan berpengaruh positif
terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin.

76

Anda mungkin juga menyukai