Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata

di sebelah depan. Kornea harus tetap jernih dan memiliki permukaan rata agar tidak

menghalangi proses pembiasan sinar. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan

kejernihan kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan.1,5

Kelainan kornea yang paling sering ditemukan adalah keratitis. Keratitis

merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat akut maupun kronis

yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau karena

amoeba. keratitis dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan kedalaman

lesi pada kornea (tempatnya), penyebab dan bentuk klinisnya.1,5

Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi

keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial.

Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi Keratitis Bakterialis,

Keratitis Fungal, Keratitis Viral, Keratitis Acanthamoeba. Kemudian berdasarkan

bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten, keratitis

nurmularis dan keratitis neuroparalitik.1,5

Gejala umum keratitis adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa silau, dan

merasa ada benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis

keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis pun

berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di

kornea, jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan

berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen

1
sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai

menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar

tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang terutama

pada pasien yang masih muda.1,3

1.2 Batasan Masalah

Pembahasan pada makalah ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, etiologi dan

faktor risiko, patofisiologi dan patogenesis, manifestasi klinis, klasifikasi,

diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi dan prognosis

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca

mengenai diagnosis dan penatalaksanaan keratitis

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai pada penulisan ini adalah tinjauan kepustakaan yang

merujuk pada berbagai kepustakaan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Kornea

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran

11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.

Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total

58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme

pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari

aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai

tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah

salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan

sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea

dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf

nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke

dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung

Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan.

Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus.3,10

Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan

selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan

lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :

1. Epitel

Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak

bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan

3
epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air

mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering

terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan

semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel

basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan

makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa

melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat

kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

Sedangkan epitel berasal dari ekatoderem permukaan. Epitel memiliki daya

regenerasi.3

2. Membran bowman

Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel.

Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal

dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi.3

3. Stroma

Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan

tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar

sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea,

pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat

kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama,

dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang

merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit

membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau

sesudah trauma.3

4
4. Membran Descemet

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea

yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf

pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur

hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran

Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya

dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.3

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal

antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari

kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan

epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel

mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel

dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga

keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma

bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya

transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh

epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini

mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan

ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.3

5
Gambar 2.1. Anatomi dan histologi kornea

2.2. Fisiologi Kornea

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui

berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya

yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi

relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel

dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel

6
jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel

berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel

endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,

kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang

akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air

mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang

mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial

dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.3,10

Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat

melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.

Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air

sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme

kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan

membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti

bakteri, virus, amuba, dan jamur.3,10

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,

dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel

dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi

di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea,

segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya

kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang

hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.3

7
2.3. Keratitis

2.3.1. Definisi

Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut

lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan

epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga

keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.1

2.3.2. Epidemiologi

Keratitis merupakan penyebab tersering ke empat dari kerusakan penglihatan

dan kebutaan di seluruh dunia. Di US keratitis sering diakibatkan karena pemakaian

kontak lensa, tetapi di negara berkembang lebih sering disebabkan oleh trauma saat

bekerja di pertanian.

2.3.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Penyebab keratitis bermacam-macam yaitu bakteri, virus dan jamur. Selain

itu penyebab lain yang merupakan faktor predisposes adalah kekeringan pada mata,

pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, mata

yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain,

trauma dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik.5

2.3.4. Klasifikasi

Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan

lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi :

a. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata

Subepitel)

Keratitis yang terkumpul di daerah bowman, dengan infiltrate berbentuk

bercak-bercak halus. Keratitis pungtata superficial memberikan gambaran

8
seperti infiltrate halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan

cacat halus kornea superficial dan hijau bila diwarnai fluoresein. Sedangkan

keratitis pungtata subepitel adalah keratitis yang terkumpul di daerah

membrane bowman.

b. Keratitis Marginal

Merupakan infiltrate yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan

limbus. Penyakit infeksi local konjungtiva dapat menyebabkan keratitis

kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya

terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis.

Gambar 2.2. Keratitis Marginal

c. Keratitis Interstisial

Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh

darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya tranparansi

kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah

penyebab paling sering dari keratitis interstitial.

9
Gambar 2.3. Keratitis Interstitial

Berdasarkan penyebabnya, keratitis dapat diklasifikasikan menjadi : 5,10

a. Keratitis Bakteri

Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea adalah

potensi penyebab atau faktor risiko bakteri keratitis, beberapa faktor risiko

terjadinya keratitis yaitu penggunaan lensa kontak, trauma, kontaminasi

pengobatan mata, riwayat keratitis bakteri sebelumnya, gangguan defense

mechanism. Pasien keratitis bakteri biasanya mengeluh mata merah, berair,

nyeri pada mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya secret dan

penglihatan menjadi kabur. Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan

hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea.

b. Keratitis Jamur

Keratitis yang disebabkan oleh infeksi jamur diantaranya jamur berfilamen

(filamentous fungi), jamur bersepta dan jamur tidak bersepta, jamur ragi

(uniseluler), dan jamur difasik.

c. Keratitis Virus

Keratitis yang disebabkan oleh virus biasanya Herpes Simpleks Virus yang

merupakan infeksi virus tersering pada kornea. Virus herpes simplek

menempati manusia sebagai host, merupakan parasit intraselular obligat, dapat

10
ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata. Pasien

dengan HSV keratitis mengeluh nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, mata

berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang

terkena. Infeksi primer herpes simpleks pada mata biasanya berupa

konjungtivitis folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta

pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga disertai

keratitis epithelial dan dapat mengenai stroma, tetapi kejadian ini jarang. Pada

dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan

tertentu di mana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan

menyerang stroma.

d. Keratitis Acanthamoeba

Keratitis Acanthamoeba adalah keratitis yang disebabkan oleh protozoa

saprofik (Acanthamoeba), biasanya terjadi pada pemakai lensa kontak,

berhubungan dengan trauma dan lingkungan yang lembab. Gambaran klinisnya

berupa pasien mengeluh nyeri berat, fotofobia dan lakrimasi.12,13

Berdasarkan bentuk klinisnya, keratitis diklasifikasikan menjadi :

a. Keratitis Flikten

Flikten merupakan benjolan berdiameter 1-3 mm berwarna abu-abu pada

lapisan superficial kornea. Epitel diatasya mudah pecah dan membentuk ulkus.

Ulkus ini dapat sembuh atau tanpa meninggalkan sikatrik. Ada juga ulkus yang

menjalar dari pinggir ke tengah, dengan pinggir meninggalkan sikatrik

sedangkan tengahnya masih aktif, yang disebut wander phlyctean. Keadaan ini

merupakan proses yang mudah sembuh, tetapi kemudian kambuh lagi di tempat

lain bila penyebabnya masih ada dan dapat menyebabkan kelainan kornea

11
berbentuk bercak-bercak sikatrik, menyerupai pulau-pulau yang disertai

geographic pattern.

b. Keratitis Sika

Merupakan peradangan konjungtiva dan kornea akibat keringnya permukaan

kornea dan konjungtiva. Penyebab keringnya permukaan konjungtiva dan

kornea yaitu berkurangnya komponen lemak (pada blefaritis), berkurangnya air

mata (pada syndrome syrogen, atropine atau dijumpai pada usia tua),

berkurangnya komponen musin (pada keadaan avitaminosis A, penyakit-

penyakit yang menyebabkan cacat konjungtiva seperti trauma kimia, trakoma),

penguapan yang berlebihan (seperti pada kehidupan gurun pasir, lagoftalmus,

keratitis neuroparalitika), adanya sikatrik pada kornea. Gejala yang sering

timbul yaitu mengeluh mata terasa gatal, terasa seperti ada pasir, fotofobia,

visus menurun, secret lengket, mata terasa kering.

c. Keratitis Numularis

Diduga disebabkan virus, pada klinis tanda-tanda radang tidak jelas, terdapat

infiltrate bulat-bulat subepitelial di kornea, dimana tengahnya lebih jernih,

disebut halo (diduga terjadi karena resorpsi dari infiltrate yang dimulai tengah).

Tes fluoresen (-). Keratitis ini jika sembuh meninggalkan sikatrik yang ringan.

2.3.5. Patofisiologi Keratitis

Epitel merupakan sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke

dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, stroma yang avaskular dan

lapisan bowman mudah terinfeksi berbagai organisme, termasuk bakteri, amoeba

dan jamur.3

12
Kornea mendapatkan paparan konstan dari mikroba dan lingkungan, Oleh

sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan.

Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film

air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk sawar pada proses difusi serta

kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.3

Ketika mikroorganisme patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui

lesi kornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:5

- Lesi pada kornea

- Mikroorganisme patogen akan menginvasi dan berkolonisasi pada stroma

kornea

- Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi mikroorganisme patogen

- Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi

mikroorganisme patogen akan membuka lebih luas dan memberikan

gambaran infiltrasi kornea

- Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang

akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)

- Mikroorganisme patogen akan menginvasi seluruh kornea.

- Hasilnya stroma akan mengalamii atropi dan melekat pada membarana

descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele yang

dimana hanya membarana descement yang intak.

- Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement

terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforasi

dan merupakan indikasi untuk dilakukan intervensi bedah secepatnya. Pasien

13
akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan

menjadi lunak.

- Prolaps iris (iris akan mengalami prolaps ke dalam defek yang baru terbentuk)

menutupi perforasi kornea bagian posterior. Adhesi pada iris akan

membentuk skar putih pada kornea.

Dampak dari proses ini terjadi secara cepat dan berat. Tergantung dari

progresifitas mikroorganisme patogen dan sistem imun pasien. Infiltrat akan

terbentuk dalam beberapa jam dan menjadi ulkus kornea, melisiskan stroma,

bahkan bagian decsematocele. Perubahan progresif yang cepat dari infeksi kornea

disebut ulkus kornea serpiginosa. Mikroorganiseme patogen tersebut mempenetrasi

kornea secara cepat dan melibatkan struktur intraocular (mikroorganisme patogen

akan teraktivasi pada pinggiran luar ulkus). Ulkus kornea serpiginosa merupakan

salah kondisi klinis yang berbahaya yang dapat menyebabkan kebutaan.5

A. Keratitis Bakterialis

Meskipun epitel kornea yang mengalami keratitis bakterialis yang terisolasi

sudah dapat diteliti, mikroorganisme patogen pada kornea secara umum harus

dijelaskan terlebih dahulu yang kemudian menginvasi dan berproliferasi pada

lapisan stroma kornea. Adanya faktor risiko tertentu akan dapat menentukan

kemungkinan mikroorganisme patogen penyebab berdasarkan mekanisme adhesi.

Contohnya bakteri P.aeruginosa akan menjadi lebih patogen pada lensa biofilm,

yang nantinya akan berikatan pada reseptor molecular yang terdapat pada bagian

sel-sel epitel yang mengalami kerusakan.4

Pada negara berkembang, penggunaan lensa kontak merupakan faktor risiko

yang sering menyebabkan infeksi pada kornea, terjadi pada 1/3 kasus infeksi

14
kornea. Risiko infeksi kornea meningkat 10 kali lebih sering pada pengguna lensa

kontak. Penggunaan kontak lensa sebagai predisposisi terjadinya infeksi melalui

beberapa mekanisme, termasuk berkontaknya benda asing dengan permukaan

kornea, mikrotrauma pada epitel, penurunan sistem imun permukaan mata, dan

terjadinya hipoksia kornea. Berbagai faktor risiko terkait kebersihan meningkatkan

risiko terjadinya proses infeksi dan non-infeksi pada kornea.4

Sekali mengalami adhesi bakteri akan mengalami proliferasi dan menginvasi

lapisan stroma kornea, sering disertai dengan bantuan enzim protease pada bakteri.

Proses inflamasi dimuliai dengan adanya ekspresi berbagai komponen sitokin dan

kemokin, masuknya sel-sel inflamasi dari air mata dan pembuluh limbic, dan

sekresi matriks protein mengawali terjadinya nekrosis kornea. Pengurangan jumlah

bakteri berpotensi mengontrol proses inflamasi yang dapat mengurangi keratolisis.4

B. Keratitis Jamur

Keratitis jamur lebih jarang ditemukan dibandingkan keratitis bakteri.

Keratitis jamur dapat terjadi jika terdapat jamur yang masuk pada stroma kornea

melewati defek pada epitel kornea. Trauma pada kornea yang disebabkan oleh

berbagai material dapat berperan sebagai faktor risiko terjadinya keratitis jamur.

Penggunaan lensa kontak juga merupakan faktor risiko untuk berkembangnya

keratitis jamur. Saat jamur sampai pada jaringan kornea, jamur akan memulai

proses replikasi ke bagian kamera okuli anterior dan posterior, melewati iris dan

pupil. Kornea dan konjungtiva membentuk lapisan pertahanan anatomis untuk

melawan mikroorganisme patogen yang masuk.6

Kornea merupakan jaringan avaskular dan pada lapisan pertahanan atas

terjadi mekanisme restriksi terhadap sel-sel dendrit dan immunoglobulin sehingga

15
membuat kondisi tersebut mudah untuk terjadinya kolonisasi jamur. Jamur dapat

menyebar dari lapisan sclera ke struktur intraocular, menyebabkan infeksi berat

seperti endoftalmitis, panoftalmitis, atau skleritis. Kondisi ini sulit untuk diterapi

dan dapat menyebabkan kehilangan penglihatan.6

Kortikosteroid sistemik dan penggunaan imunosupresan dapat mensupresi

sistem imun pasien, yang merupakan faktor predisposisi terjadinya keratitis jamur.

Penggunaan kortikosteroid merupakan faktor risiko utama terjadinya keratitis

jamur yaitu dengan mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur dengan

mengurangi resistensi kornea. Spesies Candida menyebabkan infeksi ocular pada

pasien dengan immunokompromais dengan lesi kronik pada kornea yang

disebabkan oleh penyebab lain. Zygomicotina merupakan spesies jamur yang dapat

menyebabkan kerusakan secara cepat pada struktur jaringan ekstraokular dan

rhinocereberal. Faktor risiko lainnya termasuk operasi kornea (misalnya PK, radial

keratotomy) dan keratitis kronik (misalnya Herpes Simplex Virus, Herpes

Zooster).4

C. Keratitis Acanthamoeba

Acanthamoeba merupakan protozoa yang hidup bebas di air tawar dan tanah.

Acanthamoeba tahan terhadap pembekuan, pengeringan, dan kadar klorin yang

biasa digunakan bak penampungan air, kolam renang, dan bak air panas.

Acanthamoeba dapat hidup dalam bentuk tropozoit atau dorman dalam bentuk

kista. Adhesi pada epitel kornea dimediasi oleh protein yang berikatan dengan

mannose dengan invasi stroma berikutnya dipromosikan oleh ekspresi protein yang

diinduksi oleh mannose. Di negara-negara barat, 90% kasus keratitis amoeba

dikaitkan dengan pengggunaan lensa kontak , dengan sisanya dikaitkan dengan

16
faktor risiko lainnya. Secara historis, wabah penyakit ini dikaitkan dengan adanya

kontaminasi pada air, misalnya pada pembersih lensa kontak.4

D. Keratitis Virus

1. Keratitis Virus Herpes Simpleks

Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal

Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan

sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi

reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen

antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan

bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma

disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang

epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk

menyerang virus dan reaksi radangnya.Perjalanan klinik keratitis dapat

berlangsung lama karena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat

migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes

imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara

imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat

merusak.3

2. Keratitis Virus Varisela Zooster

Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan

rekuren (zoster). Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian

kelopak mata. Jarang ditemukan adanya keratitis (khas lesi stroma perifer

dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa

17
pseudodendrit. Pernah dilaporkan keratitis diskiformis, dengan uveitis yang

lamanya bervariasi.3

Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster

ophthalmic relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis dengan

derajat keparahan yang bervariasi sesuai dengan kondisi kekebalan tubuh pasien.

Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic dapat diperkirakan timbul jika

terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi cabang-cabang nervus

nasosiliaris.3

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai

epithel, keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi

epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear

yang sedikit mirip dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh

edema dan sedikit infiltrat sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini

dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-

kadang timbul keratitis diskiformis dan mirip keratitis disciformis HSV.

Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan ciri mencolok dan sering

berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis

yang timbul cenderung menetap beberapa minggu sampai bulan, namun

akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit VZV

mata.3

2.3.6. Diagnosis Keratitis

Penegakan diagnosis harus berdasarkan anamnesa yang tepat. Adanya

riwayat trauma dan riwayat penyakit kornea bisa menjadi patokan untuk

mendiagnosis keratitis. Secara umum, jika penyebabnya adalah virus herpes maka

18
penyakitnya akan sering berulang. Riwayat menggunakan obat-obatan yang dapat

merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama

keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-

penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi

imunosupresi khusus. 1, 7

Keratitis Bakterialis

Gejala keratitis bakterialis adalah nyeri, fotofobia, kehilangan penglihatan

(bergantung pada lokasi lesi dan keparahannya), dan sekret yang berair serta

purulen. Keratitis bakteri biasanya dimulai dengan kerusakan epitel. Sel-sel putih

kemudian mengelilingi daerah infeksi yang dilihat sebagai kabut putih di sekitar

ulkus. Reaksi inflamasi menyebabkan edema kornea lokal dengan peningkatan

opalifikasi kornea dan, jika tidak diobati, ada nekrosis progresif jaringan kornea

yang akhirnya menyebabkan perforasi dan kehilangan penglihatan.1,7

Mendapatkan informasi dan riwayat penyakit yang tepat dan cukup adalah

sangat penting dalam mengevaluasi pasien dengan keratitis bakteri. Pasien dengan

keratitis bakteri biasanya akan mengeluh sakit pada mata yang terinfeksi,

penglihatan silau, kemerahan, berair, adanya sekret dan penglihatannya yang

menjadi kabur.1

Melalui anamnesis juga dapat ditanyakan tentang faktor-faktor predisposisi

seperti apakah pasien pernah menggunakan lensa kontak, berenang, berendam di

air panas sambil memakai lensa kontak, riwayat keratitis bakteri sebelumnya,

riwayat operasi mata sebelumnya, riwayat trauma pada mata sebelumnya dan

kondisi atau penyakit yang sedang dialami pasien sekarang.2,8

19
Biasanya dapat ditemukan blefarospasme, hiperemi perikornea, edema

kornea dan infiltrasi kornea. Tes Sensibilitas kornea bisa menurun atau normal.

Fluorescein test pada kornea biasanya dilakukan dan dapat memberikan tambahan

informasi, seperti kehadiran dendrit, pseudodendrit, dan kerusakan epitel.2,8

Pemeriksaan Slit Lamp untuk keratitis bakteri harus mencakupi evaluasi dari:

Palpebra : Inflamasi, ulserasi, kelainan bulu mata termasuk trichiasis

Konjungtiva : Sekret, peradangan, perubahan morfologis (misalnya, folikel,

papila, sikatriks, keratinisasi, ulserasi atau bekas operasi

sebelumnya), iskemia, benda asing

Sklera : Tanda-tanda peradangan, ulserasi, jaringan parut, nodul, tanda

iskemia

Kornea : Edema, ulserasi, penipisan, perforasi, dan infiltrat, tanda-tanda

distrofi membran dan peradangan sebelumnya, nekrosis

Anterior chamber : Kedalaman, peradangan, flare, hipopion, fibrin, hifema

Anterior vitreous : Adanya peradangan

Gambaran klinis sugestif dari keratitis bakteri termasuk infiltrat stroma

supuratif (terutama yang lebih besar dari 1 mm dalam ukuran) dengan pinggiran

tidak jelas, edema, dan infiltrasi sel darah putih di sekitar stroma.2

Keratitis Virus

Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian

pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea

umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin

tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes

20
lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala

infeksi herpes rekurens.7

Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi

epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus

diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya

pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering,

pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada

keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia.1

Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial,

profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial

dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan

proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus

dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan

gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada

kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus

terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit,

namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea

yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial.7

Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit

dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat

bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan

demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang

mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya

penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV

21
adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis

filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi

dendritik khas dalam satu dua hari.7

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis

herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel

yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.

Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada

infeksi HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi

berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk

membentuk lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan

keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel

karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes

pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri,

setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda

terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi

minimal.7

Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering

disertai vaskularisasi. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat,

apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan

ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit

herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas herpes,

namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi

imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif.

22
Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi

sekunder.7

2.4. Keratitis Diskiformis


Keratitis Fungi

Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur

dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut.

Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut,

respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.

Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :

1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.

2. Lesi satelit.

3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti

hifa di bawah endotel utuh.

4. Plak endotel.

5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren.

6. Formasi cincin sekeliling ulkus.

7. Lesi kornea yang indolen

23
2.5. Keratitis Aspergilus 2.6. Keratitis Candida

2.3.7. Pemeriksaan Penunjang Keratitis

Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-

satunya cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat

membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis

yang tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-

obatan yang tidak perlu. Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana

respon klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun keterlambatan

dalam pemulihan patogen dapat terjadi.7

Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan

menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari

daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk

mendapatkan sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.7

Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap

pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis

yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika

infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak

terlibat.

24
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit

Lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk

mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan

pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk

histopatologi.

Pada keratitis yang disebabkan oleh jamur pemeriksaan KOH sangat

membant. Dilakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula

Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan

pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka

keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi

melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau

Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini

dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk

melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan

cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar

ekstrak maltosa.1

2.3.8. Tatalaksana

Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan keratitis bergantung kepada

patogen yang menjadi etiologi dari keratitis yang diderita oleh pasien.5 Terapi yang

diberikan dapat berupa terapi konservatif atau medikamentosa, dan terapi operatif.

A. Keratitis Bakterialis

Terapi pada pasien dengan keratitis bakterialis dapat dimulai dengan

pemberian antibiotik topikal dengan spektrum yang luas seperti fluorokuinolon

dengan contoh moxifloksasin2, 9 untuk bakteri gram negatif maupun gram positif.

25
Antibiotik ini diberikan hingga hasil kultur patogen dan sensitivitas diketahui.5

Obat lain yang bisa diberikan adalah ofloksasin dan polimiksin. Midriasis

terapeutik juga dapat dilakukan pada pasien yang mengalami iritasi intraocular,

ditandai dengan hipopion.5 Jenis-jenis antibiotik yang dapat diberikan sesuai

dengan patogen yang menginfeksi dapat dilihat di tabel 2.x, dan tabel untuk jenis

obat fluorokuinolon beserta dosisnya dapat dilihat pada tabel 2.y.

Tabel 2.x 2

Dosis
Organisme Antibiotik Dosis Topikal
Subkonjungtival

Organisme belum Ceftazolin dengan 50 mg/ml 100 mg dalam 0,5 ml

teridentifikasi atau Tobramisin atau Gentamisin 9 – 14 mg/ml 20 mg dalam 0,5 ml

organisme multipel Atau

Fluorokuinolon Bermacam-

macam

Kokus Gram-Positif Ceftazolin 50 mg/ml 100 mg dalam 0,5 ml

Vankomisin 15 – 50 mg/ml 25 mg dalam 0,5 ml

Basitrasin 10.000 IU

Fluorokuinolon Bermacam-

macam

Batang Gram- Tobramisin atau Gentamisin 9 – 14 mg/ml 20 mg dalam 0,5 ml

Negatif Ceftazidim 50 mg/ml

Fluorokuinolon Bermacam- 100 mg dalam 0,5 ml

macam

Kokus Gram-Negatif Ceftriakson 50 mg/ml 100 mg dalam 0,5 ml

26
Ceftazidim 50 mg/ml 100 mg dalam 0,5 ml

Fluorokuinolon Bermacam-

macam

Mycobacterium sp. Amikasin 20 – 40 mg/ml 20 mg dalam 0,5 ml

(Non TB) Klaritromisin 10 mg/ml

Azitromisin 10 mg/ml

Fluorokuinolon Bermacam-

macam

Nocardia Sulfasetamid 100 mg/ml

Amikasin 20 – 40 mg/ml 20 mg dalam 0,5 ml

Trimetoprim/Sulfametoksaz

ol: 16 mg/ml

 Trimetoprim 80 mg/ml

 Sulfametoksazol

Tabel 2.y 2

Jenis Fluorokuinolon Dosis

Besifloksasin 6 mg/ml

Ciprofloksasin 3 mg/ml

Gatifloksasin 3 mg/ml

Levofloksasin 15 mg/ml

Moksifloksasin 5 mg/ml

Ofloksasin 3 mg/ml

27
Pemberian kortikosteroid topical juga dikatakan berguna dalam beberapa

kasus infeksi dalam mengurangi inflamasi agar dapat meminimalisir perlukaan

(scarring) pada kornea dan hilangnya visus. Namun pemberian kortikosteroid dapat

menyebabkan imunosupresi lokal dan peningkatan tekanan intraocular.2

Keratoplasty emergensi dilakukan untuk menatalaksana ulkus kornea yang

perforasi. Flap konjungtiva juga dibutuhkan apabila terdapat nekrosis superfisial

yang luas.2, 5

B. Keratitis Virus

Pada pasien dengan keratitis yang disebabkan oleh virus, beberapa agen

antivirus dapat diberikan bergantung kepada dalamnya infeksi dan juga etiologi dari

virus yang menginfeksi kornea.5

1. Herpes simpleks: Trifluridine diberikan apabila virus hanya menginfeksi

epitel saja. Bila virus menginfeksi hingga ke stroma dan intraocular, agen

antiviral yang dipilih adalah asiklovir yang dapat diberikan secara topical

dan sistemik.5 Trifluridine diberikan dalam bentuk obat tetes dengan dosis

1% selama 10 hari, diteteskan delapan kali dalam satu hari.2 Asiklovir

dapat diberikan dalam bentuk salep topikal dengan dosis 3%, lima kali

dalam satu hari selama 10 hari, atau dalam bentuk obat oral dengan dosis

400 mg yang diberikan sebanyak lima kali dalam satu hari dan diberikan

selama 10 hari.2

2. Herpes zooster: agen antiviral yang diberikan adalah asiklovir topikal,

dengan bantuan konsultasi dari spesialis kulit dan kelamin, walaupun

pada literature dijelaskan bahwa pemberian antiviral topikal kurang

efektif.2 Bila epitel masih intak, inflamasi yang terjadi di bilik anterior

28
mata dapat diterapi dengan steroid dan midriasis terapeutik.5 Selain terapi

topikal, asiklovir dalam bentuk oral juga dapat diberikan dalam dosis 800

mg selama 7 – 10 hari. Obat pilihan lain seperti famsiklovir (3 x 500 mg

selama) atau valasiklovir (3 x 1 g).2

C. Keratisis Mikotik

Patogen yang paling banyak didapat pada infeksi kornea akibat jamur adalah

Aspergillus sp. dan Candida albicans. Terapi pada keratitis mikotik yang pertama

kali dilakukan adalah rawatan di rumah sakit karena membutuhkan terapi yang

lama. Antimikotik topical yang dapat diberikan seperti natamisin 5%,9 nystatin, dan

amfoterisin B. Terapi sistemik diberikan bila ada keterlibatan intraocular.5 Sebagai

alternatif, dapat diberikan juga klorheksidin 0,2% dan vorikonazol 1%.9

Keratoplasty emergensi diindikasikan apabila pasien tidak berespon atau

lama responnya terhadap antimikotik, atau apabila ditemukan perburukan setelah

pemberian terapi konservatif.5

D. Keratitis Achantamoeba

Keratitis ini disebabkan oleh protozoa, maka terapi medikamentosa yang

dapat diberikan adalah propamidine dan pentamidine.5 Obat pilihan primer menurut

The Royal College of Ophthalmologist tahun 2013 adalah poliheksanin 0,02% dan

klorheksadin 0,02% dengan obat alternative heksamadin atau brolen.9 Tetapi,

antibiotik dengan spektrum luas juga dapat diberikan bersamaan. Sikloplegia

diberikan untuk mengistirahatkan pupil dan badan siliar. Sedangkan keratoplasty

emergensi dilakukan apabila pasien tidak berespon dengan terapi konservatif.5

29
2.3.9. Prognosis

Prognosis pada pasien dengan keratitis dapat dikatakan baik apabila tidak

terbentuk jaringan parut, vaskularisasi, atau munculnya komplikasi sebagai

penyulit terapi dan pemberat keadaan.8 Hendaknya, terapi diberikan secepat dan

seadekuat mungkin untuk menghindari komplikasi yang telah disebutkan

sebelumnya, serta untuk menghindari kebutaan dan kekeruhan dari kornea.2

2.3.10. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan keratitis virus adalah erosi

epitel, apabila antiviral topikal diberikan dalam waktu yang lama dan munculannya

dapat berupa erosi epitel kornea punktaa yang difus dan disertai dengan injeksi

konjungtiva. Keratopati neurotropik juga dapat terjadi pada pasien dengan

penurunan sensasi kornea pasca infeksi herpes.2 Pada pasien dengan keratitis

bacterial, apabila infeksinya berlanjut dapat terbentuk descemetocele atau perforasi

sehingga perlu dilakukan keratoplasty. Iridektomi perifer juga dapat dilakukan

apabila terdapat komplikasi berupa seklusi pupil.2 Selain itu, kebutaan dan

kekeruhan kornea juga dapat muncul sebagai komplikasi dari keratitis.

30
BAB III

KESIMPULAN

Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut

lapisan kornea yang terkena, yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan

epitel atau Bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (disebut juga keratitis

parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.

Penyebab keratitis bermacam-macam yaitu bakteri, virus dan jamur.

Penyebab lain yang merupakan faktor predisposisi adalah kekeringan pada mata,

pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata,

debu, polusi atau bahan iritatif lain, trauma dan penggunaan lensa kontak yang

kurang baik.

Keratitis diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan

penyababnya, keratitis dibagi menjadi Keratitis Bakteri, Keratitis Jamur, Keratitis

Virus, dan Keratitis Acanthamoeba.

Tanda Patognomik dari keratitis adalah ditemukannya infiltrat di kornea.

Gejala umumnya adalah keluar air mata yang berlebihan, nyeri pada mata,

penurunan ketajaman penglihatan, radang pada kelopak mata, mata merah, dan

mata sensitif terhadap cahaya.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Anamnesis berguna untuk mengetahui riwayat trauma dan

riwayat penyakit kornea. Benda asing dan abrasi merupakan lesi yang umum pada

kornea. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi di bawah pencahayaan yang

meadai, lebih mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemeriksaan fluorescen

31
dapat memperjelas lesi epitel. Pemeriksaan penunjang seperti biopsi dapat

dilakukan jika terjadi respon minimal terhadap pengobatan atau jika kultur telah

negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis yang sangat mendukung suatu

proses infeksi.

32
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San
Fransisco; American Academy of Ophthalmology; 2014-2015.
2. American Academy of Ophthalmology. Bacterial Keratitis. San Fransisco;
American Academy of Ophthalmology. 2013.
3. Paul dan John. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Vaughhan dan Ashabury
Oftalmology Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC. 2009.
4. Cantor, LB., Rapuano, CJ., Cioffi, GA. External Disease and Cornea.
American Asossiation of Opthalmology. European Board. 2016: 130-138.
5. Lang GK. Cornea. Dalam Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas.
2nd edition. Stuttgart: thieme. 2007.
6. Castano Gabriel dan Mada Pradeep Kumar. Fungal Keratitis. 2018.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493192/#article-23857.s4 diakses
tanggal 25 April 2018, pukul 08.42 WIB.
7. Biswell R. Kornea. Dalam: Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi
umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2010. 125-49.
8. Srinivasan M.. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis. Indian
Journal of Opthalmology. 2008; 56(3): 203–207
9. Austin A, Lietman T, Rose-Nussbaumer J. Update on The Management of
Infectious Keratitis. American Academy of Ophtalmology. 2017: 124 (11):
1678-1686.
10. Crick and Khaw. Textbook of Clinical Ophtalmology 3rd edition. Singapore:
World Scientific Publishing. 2003;165.
11. Cortina MS, Tu EY. Antibiotic use in corneal and external eye infections.
Focal Points: Clinical Modules for Ophthalmologists. San Francisco:
American Academy of Ophthalmology; 2011, module6.
12. Morales. A et all. 2015 An update on Acanthamoeba keratitis; diagnosis,
pathogenesis and treatment. Diakses 18 Desember 2017
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4330640/
13. Bairagi S.H at all 2017. Acanthamoeba Keratitis diagnosis and treatment.
Journal or rara disorders diagnosis and therapy. Department of pharmaceutical
chemistry, Munbai India.imedpub journal.Vol 3 No 2:8.

33

Anda mungkin juga menyukai