MTE Keratitis Fix
MTE Keratitis Fix
PENDAHULUAN
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
di sebelah depan. Kornea harus tetap jernih dan memiliki permukaan rata agar tidak
menghalangi proses pembiasan sinar. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan
merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat akut maupun kronis
yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau karena
bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten, keratitis
Gejala umum keratitis adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa silau, dan
merasa ada benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis
keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis pun
berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di
kornea, jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan
berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen
1
sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai
menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar
tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang terutama
Pembahasan pada makalah ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, etiologi dan
Metode yang dipakai pada penulisan ini adalah tinjauan kepustakaan yang
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total
58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme
pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari
aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai
tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah
salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan
dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan.
selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan
lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan
3
epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air
mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering
terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan
semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa
melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
regenerasi.3
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel.
Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi.3
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan
tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar
sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat
kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama,
dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma.3
4
4. Membran Descemet
yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf
hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran
Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal
antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari
kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan
dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga
keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.3
5
Gambar 2.1. Anatomi dan histologi kornea
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel
dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel
6
jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air
mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air
kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel
dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi
di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea,
7
2.3. Keratitis
2.3.1. Definisi
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
2.3.2. Epidemiologi
kontak lensa, tetapi di negara berkembang lebih sering disebabkan oleh trauma saat
bekerja di pertanian.
itu penyebab lain yang merupakan faktor predisposes adalah kekeringan pada mata,
pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, mata
yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain,
2.3.4. Klasifikasi
Subepitel)
8
seperti infiltrate halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan
cacat halus kornea superficial dan hijau bila diwarnai fluoresein. Sedangkan
membrane bowman.
b. Keratitis Marginal
c. Keratitis Interstisial
9
Gambar 2.3. Keratitis Interstitial
a. Keratitis Bakteri
Setiap faktor atau agen yang menciptakan kerusakan pada epitel kornea adalah
potensi penyebab atau faktor risiko bakteri keratitis, beberapa faktor risiko
nyeri pada mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya secret dan
b. Keratitis Jamur
(filamentous fungi), jamur bersepta dan jamur tidak bersepta, jamur ragi
c. Keratitis Virus
Keratitis yang disebabkan oleh virus biasanya Herpes Simpleks Virus yang
10
ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata. Pasien
berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang
keratitis epithelial dan dapat mengenai stroma, tetapi kejadian ini jarang. Pada
dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan
tertentu di mana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan
menyerang stroma.
d. Keratitis Acanthamoeba
a. Keratitis Flikten
lapisan superficial kornea. Epitel diatasya mudah pecah dan membentuk ulkus.
Ulkus ini dapat sembuh atau tanpa meninggalkan sikatrik. Ada juga ulkus yang
sedangkan tengahnya masih aktif, yang disebut wander phlyctean. Keadaan ini
merupakan proses yang mudah sembuh, tetapi kemudian kambuh lagi di tempat
lain bila penyebabnya masih ada dan dapat menyebabkan kelainan kornea
11
berbentuk bercak-bercak sikatrik, menyerupai pulau-pulau yang disertai
geographic pattern.
b. Keratitis Sika
mata (pada syndrome syrogen, atropine atau dijumpai pada usia tua),
timbul yaitu mengeluh mata terasa gatal, terasa seperti ada pasir, fotofobia,
c. Keratitis Numularis
Diduga disebabkan virus, pada klinis tanda-tanda radang tidak jelas, terdapat
disebut halo (diduga terjadi karena resorpsi dari infiltrate yang dimulai tengah).
Tes fluoresen (-). Keratitis ini jika sembuh meninggalkan sikatrik yang ringan.
dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, stroma yang avaskular dan
dan jamur.3
12
Kornea mendapatkan paparan konstan dari mikroba dan lingkungan, Oleh
air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk sawar pada proses difusi serta
lesi kornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:5
kornea
- Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi
- Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang
terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforasi
13
akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan
menjadi lunak.
- Prolaps iris (iris akan mengalami prolaps ke dalam defek yang baru terbentuk)
Dampak dari proses ini terjadi secara cepat dan berat. Tergantung dari
terbentuk dalam beberapa jam dan menjadi ulkus kornea, melisiskan stroma,
bahkan bagian decsematocele. Perubahan progresif yang cepat dari infeksi kornea
akan teraktivasi pada pinggiran luar ulkus). Ulkus kornea serpiginosa merupakan
A. Keratitis Bakterialis
sudah dapat diteliti, mikroorganisme patogen pada kornea secara umum harus
lapisan stroma kornea. Adanya faktor risiko tertentu akan dapat menentukan
Contohnya bakteri P.aeruginosa akan menjadi lebih patogen pada lensa biofilm,
yang nantinya akan berikatan pada reseptor molecular yang terdapat pada bagian
yang sering menyebabkan infeksi pada kornea, terjadi pada 1/3 kasus infeksi
14
kornea. Risiko infeksi kornea meningkat 10 kali lebih sering pada pengguna lensa
kornea, mikrotrauma pada epitel, penurunan sistem imun permukaan mata, dan
lapisan stroma kornea, sering disertai dengan bantuan enzim protease pada bakteri.
Proses inflamasi dimuliai dengan adanya ekspresi berbagai komponen sitokin dan
kemokin, masuknya sel-sel inflamasi dari air mata dan pembuluh limbic, dan
B. Keratitis Jamur
Keratitis jamur dapat terjadi jika terdapat jamur yang masuk pada stroma kornea
melewati defek pada epitel kornea. Trauma pada kornea yang disebabkan oleh
berbagai material dapat berperan sebagai faktor risiko terjadinya keratitis jamur.
keratitis jamur. Saat jamur sampai pada jaringan kornea, jamur akan memulai
proses replikasi ke bagian kamera okuli anterior dan posterior, melewati iris dan
15
membuat kondisi tersebut mudah untuk terjadinya kolonisasi jamur. Jamur dapat
seperti endoftalmitis, panoftalmitis, atau skleritis. Kondisi ini sulit untuk diterapi
sistem imun pasien, yang merupakan faktor predisposisi terjadinya keratitis jamur.
disebabkan oleh penyebab lain. Zygomicotina merupakan spesies jamur yang dapat
rhinocereberal. Faktor risiko lainnya termasuk operasi kornea (misalnya PK, radial
Zooster).4
C. Keratitis Acanthamoeba
Acanthamoeba merupakan protozoa yang hidup bebas di air tawar dan tanah.
biasa digunakan bak penampungan air, kolam renang, dan bak air panas.
Acanthamoeba dapat hidup dalam bentuk tropozoit atau dorman dalam bentuk
kista. Adhesi pada epitel kornea dimediasi oleh protein yang berikatan dengan
mannose dengan invasi stroma berikutnya dipromosikan oleh ekspresi protein yang
16
faktor risiko lainnya. Secara historis, wabah penyakit ini dikaitkan dengan adanya
D. Keratitis Virus
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi
reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen
antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan
bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma
disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang
epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk
migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes
merusak.3
Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan
rekuren (zoster). Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian
kelopak mata. Jarang ditemukan adanya keratitis (khas lesi stroma perifer
dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa
17
pseudodendrit. Pernah dilaporkan keratitis diskiformis, dengan uveitis yang
lamanya bervariasi.3
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster
derajat keparahan yang bervariasi sesuai dengan kondisi kekebalan tubuh pasien.
nasosiliaris.3
epithel, keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi
yang sedikit mirip dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh
edema dan sedikit infiltrat sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini
dapat diikuti penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-
akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit VZV
mata.3
riwayat trauma dan riwayat penyakit kornea bisa menjadi patokan untuk
mendiagnosis keratitis. Secara umum, jika penyebabnya adalah virus herpes maka
18
penyakitnya akan sering berulang. Riwayat menggunakan obat-obatan yang dapat
merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama
penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi
imunosupresi khusus. 1, 7
Keratitis Bakterialis
(bergantung pada lokasi lesi dan keparahannya), dan sekret yang berair serta
purulen. Keratitis bakteri biasanya dimulai dengan kerusakan epitel. Sel-sel putih
kemudian mengelilingi daerah infeksi yang dilihat sebagai kabut putih di sekitar
opalifikasi kornea dan, jika tidak diobati, ada nekrosis progresif jaringan kornea
Mendapatkan informasi dan riwayat penyakit yang tepat dan cukup adalah
sangat penting dalam mengevaluasi pasien dengan keratitis bakteri. Pasien dengan
keratitis bakteri biasanya akan mengeluh sakit pada mata yang terinfeksi,
menjadi kabur.1
air panas sambil memakai lensa kontak, riwayat keratitis bakteri sebelumnya,
riwayat operasi mata sebelumnya, riwayat trauma pada mata sebelumnya dan
19
Biasanya dapat ditemukan blefarospasme, hiperemi perikornea, edema
kornea dan infiltrasi kornea. Tes Sensibilitas kornea bisa menurun atau normal.
Fluorescein test pada kornea biasanya dilakukan dan dapat memberikan tambahan
Pemeriksaan Slit Lamp untuk keratitis bakteri harus mencakupi evaluasi dari:
iskemia
supuratif (terutama yang lebih besar dari 1 mm dalam ukuran) dengan pinggiran
tidak jelas, edema, dan infiltrasi sel darah putih di sekitar stroma.2
Keratitis Virus
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian
pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea
umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin
tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes
20
lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering,
pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada
profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial
proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus
dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan
gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada
kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus
namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit
dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat
bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan
demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang
mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya
penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV
21
adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis
filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi
herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel
yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.
infeksi HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi
berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk
keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel
karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes
minimal.7
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering
disertai vaskularisasi. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat,
apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan
ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit
herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas herpes,
namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi
imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif.
22
Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi
sekunder.7
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur
dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut.
Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut,
respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.
2. Lesi satelit.
3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti
4. Plak endotel.
23
2.5. Keratitis Aspergilus 2.6. Keratitis Candida
membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis
yang tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-
obatan yang tidak perlu. Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana
daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk
mendapatkan sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.7
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap
pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis
yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika
infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak
terlibat.
24
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit
Lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk
mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan
pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk
histopatologi.
Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan
pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka
keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi
melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau
Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini
melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan
cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar
ekstrak maltosa.1
2.3.8. Tatalaksana
patogen yang menjadi etiologi dari keratitis yang diderita oleh pasien.5 Terapi yang
diberikan dapat berupa terapi konservatif atau medikamentosa, dan terapi operatif.
A. Keratitis Bakterialis
dengan contoh moxifloksasin2, 9 untuk bakteri gram negatif maupun gram positif.
25
Antibiotik ini diberikan hingga hasil kultur patogen dan sensitivitas diketahui.5
Obat lain yang bisa diberikan adalah ofloksasin dan polimiksin. Midriasis
terapeutik juga dapat dilakukan pada pasien yang mengalami iritasi intraocular,
dengan patogen yang menginfeksi dapat dilihat di tabel 2.x, dan tabel untuk jenis
Tabel 2.x 2
Dosis
Organisme Antibiotik Dosis Topikal
Subkonjungtival
Fluorokuinolon Bermacam-
macam
Basitrasin 10.000 IU
Fluorokuinolon Bermacam-
macam
macam
26
Ceftazidim 50 mg/ml 100 mg dalam 0,5 ml
Fluorokuinolon Bermacam-
macam
Azitromisin 10 mg/ml
Fluorokuinolon Bermacam-
macam
Trimetoprim/Sulfametoksaz
ol: 16 mg/ml
Trimetoprim 80 mg/ml
Sulfametoksazol
Tabel 2.y 2
Besifloksasin 6 mg/ml
Ciprofloksasin 3 mg/ml
Gatifloksasin 3 mg/ml
Levofloksasin 15 mg/ml
Moksifloksasin 5 mg/ml
Ofloksasin 3 mg/ml
27
Pemberian kortikosteroid topical juga dikatakan berguna dalam beberapa
(scarring) pada kornea dan hilangnya visus. Namun pemberian kortikosteroid dapat
yang luas.2, 5
B. Keratitis Virus
Pada pasien dengan keratitis yang disebabkan oleh virus, beberapa agen
antivirus dapat diberikan bergantung kepada dalamnya infeksi dan juga etiologi dari
epitel saja. Bila virus menginfeksi hingga ke stroma dan intraocular, agen
antiviral yang dipilih adalah asiklovir yang dapat diberikan secara topical
dan sistemik.5 Trifluridine diberikan dalam bentuk obat tetes dengan dosis
dapat diberikan dalam bentuk salep topikal dengan dosis 3%, lima kali
dalam satu hari selama 10 hari, atau dalam bentuk obat oral dengan dosis
400 mg yang diberikan sebanyak lima kali dalam satu hari dan diberikan
selama 10 hari.2
efektif.2 Bila epitel masih intak, inflamasi yang terjadi di bilik anterior
28
mata dapat diterapi dengan steroid dan midriasis terapeutik.5 Selain terapi
topikal, asiklovir dalam bentuk oral juga dapat diberikan dalam dosis 800
C. Keratisis Mikotik
Patogen yang paling banyak didapat pada infeksi kornea akibat jamur adalah
Aspergillus sp. dan Candida albicans. Terapi pada keratitis mikotik yang pertama
kali dilakukan adalah rawatan di rumah sakit karena membutuhkan terapi yang
lama. Antimikotik topical yang dapat diberikan seperti natamisin 5%,9 nystatin, dan
D. Keratitis Achantamoeba
dapat diberikan adalah propamidine dan pentamidine.5 Obat pilihan primer menurut
The Royal College of Ophthalmologist tahun 2013 adalah poliheksanin 0,02% dan
29
2.3.9. Prognosis
Prognosis pada pasien dengan keratitis dapat dikatakan baik apabila tidak
penyulit terapi dan pemberat keadaan.8 Hendaknya, terapi diberikan secepat dan
2.3.10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan keratitis virus adalah erosi
epitel, apabila antiviral topikal diberikan dalam waktu yang lama dan munculannya
dapat berupa erosi epitel kornea punktaa yang difus dan disertai dengan injeksi
penurunan sensasi kornea pasca infeksi herpes.2 Pada pasien dengan keratitis
apabila terdapat komplikasi berupa seklusi pupil.2 Selain itu, kebutaan dan
30
BAB III
KESIMPULAN
lapisan kornea yang terkena, yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan
epitel atau Bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (disebut juga keratitis
Penyebab lain yang merupakan faktor predisposisi adalah kekeringan pada mata,
pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata,
debu, polusi atau bahan iritatif lain, trauma dan penggunaan lensa kontak yang
kurang baik.
Gejala umumnya adalah keluar air mata yang berlebihan, nyeri pada mata,
penurunan ketajaman penglihatan, radang pada kelopak mata, mata merah, dan
riwayat penyakit kornea. Benda asing dan abrasi merupakan lesi yang umum pada
31
dapat memperjelas lesi epitel. Pemeriksaan penunjang seperti biopsi dapat
dilakukan jika terjadi respon minimal terhadap pengobatan atau jika kultur telah
negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis yang sangat mendukung suatu
proses infeksi.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San
Fransisco; American Academy of Ophthalmology; 2014-2015.
2. American Academy of Ophthalmology. Bacterial Keratitis. San Fransisco;
American Academy of Ophthalmology. 2013.
3. Paul dan John. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Vaughhan dan Ashabury
Oftalmology Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC. 2009.
4. Cantor, LB., Rapuano, CJ., Cioffi, GA. External Disease and Cornea.
American Asossiation of Opthalmology. European Board. 2016: 130-138.
5. Lang GK. Cornea. Dalam Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas.
2nd edition. Stuttgart: thieme. 2007.
6. Castano Gabriel dan Mada Pradeep Kumar. Fungal Keratitis. 2018.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493192/#article-23857.s4 diakses
tanggal 25 April 2018, pukul 08.42 WIB.
7. Biswell R. Kornea. Dalam: Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi
umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2010. 125-49.
8. Srinivasan M.. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis. Indian
Journal of Opthalmology. 2008; 56(3): 203–207
9. Austin A, Lietman T, Rose-Nussbaumer J. Update on The Management of
Infectious Keratitis. American Academy of Ophtalmology. 2017: 124 (11):
1678-1686.
10. Crick and Khaw. Textbook of Clinical Ophtalmology 3rd edition. Singapore:
World Scientific Publishing. 2003;165.
11. Cortina MS, Tu EY. Antibiotic use in corneal and external eye infections.
Focal Points: Clinical Modules for Ophthalmologists. San Francisco:
American Academy of Ophthalmology; 2011, module6.
12. Morales. A et all. 2015 An update on Acanthamoeba keratitis; diagnosis,
pathogenesis and treatment. Diakses 18 Desember 2017
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4330640/
13. Bairagi S.H at all 2017. Acanthamoeba Keratitis diagnosis and treatment.
Journal or rara disorders diagnosis and therapy. Department of pharmaceutical
chemistry, Munbai India.imedpub journal.Vol 3 No 2:8.
33