Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Gastroretentive DDS merupakan sistem penghantaran obat yang memiliki
kemampuan menahan obat di dalam saluran pencernaan khususnya di lambung untuk
memperpanjang periode waktu. Setelah obat lepas selama periode waktu yang
disyaratkan, bentuk sediaan harus terdegradasi tanpa menyebabkan gangguan
pencernaan.
Secara umum, sistem pelepasan obat yang tertahan di lambung terdiri dari
beberapa sistem, yaitu sistem mengembang (swelling system), sistem mengapung
(floating system) dan sistem bioadhesif (bioadhesive system).
Floating tablet merupakan salah satu sediaan gastroretentive yang
menggunakan sistem dengan densitas kecil, memiliki kemampuan mengambang,
mengapung, dan tetap berada di lambung dalam beberapa waktu. Saat sediaan
mengapung di lambung, obat dilepaskan secara perlahan – lahan dengan kecepatan
yang dapat dikendalikan.
Bentuk floating system banyak diformulasi dengan menggunakan matriks-
matriks hidrofilik dan dikenal dengan sebutan hydrodynamically balanced system
(HBS), karena saat polimer berhidrasi intensitasnya menurun akibat matriknya
mengembang, dan dapat menjadi gel penghalang dipermukaan bagian luar. Bentuk-
bentuk ini diharapkan tetap dalam keadaan mengapung selama tiga atau empat jam
dalam lambung tanpa dipengaruhi oleh laju pengosongan lambung karena densitasnya
lebih rendah dari kandungan gastrik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana formulasi yang baik untuk sediaan tablet gastroretentive floating
effervescent ?
2. Bagaimana cara pembuatan tablet gastroretentive floating effervescent ?
3. Bagimana evaluasi yang dilakukan untuk tablet gastroretentive floating
effervescent ?

C. Tujuan
Memahami tentang sediaan dan formulasi dari tablet gastroretentive floating
effervescent

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Gastroretentive Drug Delivery System


Gastroretentive DDS merupakan sistem penghantaran obat yang memiliki
kemampuan menahan obat di dalam saluran pencernaan khususnya di lambung untuk
memperpanjang periode waktu. Setelah obat lepas selama periode waktu yang
disyaratkan, bentuk sediaan harus terdegradasi tanpa menyebabkan gangguan
pencernaan.
Pada sistem penghantaran lepas terkendali tertahan di lambung, zat aktif yang
cocok digunakan adalah obat yang memiliki lokasi absorpsi utama di lambung atau
usus bagian atas, tidak stabil pada lingkungan usus halus atau kolon dan memiliki
kelarutan yang rendah pada ph yang tinggi. Bentuk sediaan tertahan di lambung dapat
mengatur pelepasan obat yang memiliki indek terapeutik yang sempit dan
absorpsiyang baik di lambung.
Secara umum, sistem pelepasan obat yang tertahan di lambung terdiri dari
beberapa sistem, yaitu sistem mengembang (swelling system), sistem mengapung
(floating system) dan sistem bioadhesif (bioadhesive system).
B. Anatomi Fisiologi Pencernaan

Lambung merupakan organ yang berbentuk kantong seperti huruf ‘J’,dengan


volume 1200-1500 ml pada saat berdilatasi. Pada bagian superior,lambung berbatasan
dengan bagian distal esofagus, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan
duodenum. Lambung terletak pada daerah epigastrium dan meluas ke hipokhondrium
kiri. Kecembungan lambung yang meluas ke gastroesofageal junction disebut
kurvatura mayor.Kelengkungan lambung bagian kanan disebut kurvatura minor,
dengan ukuran ¼ dari panjang kurvatura mayor. Seluruh organ lambung terdapat di
dalam rongga peritoneum dan ditutupi oleh omentum

2
Secara anatomik, lambung terbagi atas 5 daerah, yaitu:

 Kardia, daerah yang kecil terdapat pada bagian superior di dekat


gastroesofageal junction
 Fundus, bagian berbentuk kubah yang berlokasi pada bagian kiri dari kardia
dan meluas ke superior melebihi tinggi gastroesofageal junction
 Korpus, merupakan 2/3 bagian dari lambung dan berada di bawah fundus
sampai ke bagian paling bawah yang melengkung ke kanan membentuk huruf
‘J’
 Antrum pilori, adalah bagian 1/3 bagian distal dari lambung. Keberadaannya
secara horizontal meluas dari korpus hingga ke sphincter pilori dan
 Sphincter pilori, merupakan bagian tubulus yang paling distal dari lambung.
Bagian ini secara kelesulurhan dikelilingi oleh lapisan otot yang tebal dan
berfungsi untuk mengontrol lewatnya makanan ke duodenum

Dinding lambung terdiri dari empat lapisan yaitu lapisan mukosa, sub-mukosa,
muskularis eksterna (propria) dan serosa. Permukaan mukosa dilapisi oleh sel
epitel kolumnar penghasil mukus dan meluas ke sebagianfoveolar atau pit.
Lapisan mukosa terbagi atas dua lapisan yaitu lamina propria dan lapisan
muskularis mukosa.

Pada lapisan muskularis mukosa, terdapat lapisan otot sirkuler padabagian


dalam dan lapisan otot longitudinal pada bagian luarnya. Otot-otot ini
berkelanjutan membentukan kelompokan kecil (fascicle) otot polos yang tipis
menuju ke bagian dalam lamina propria hingga ke permukaan epitel. Pada lapisan
sub-mukosa, jaringannya longgar dan mengandung sejumlah jaringan ikat elastik,
terdapat pleksus arteri, vena, pembuluh limfe dan pleksus nervus Meissner.

Muskularis eksterna terdiri dari tiga lapisan yaitu longitudinal luar (outer
longitudinal), sirkuler dalam (inner sirkuler) dan oblik yang paling dalam
(innermost oblique). Lapisan sirkuler sphincter pilorik pada gastroesofageal
junction. Pleksus Auerbach (myenteric) berlokasi pada daerah di antara lapisan
sirkular dan longitudinal dari muskularis eksterna. Semua kelenjar lambung
mempunyai dua komponen yaitu bagian foveola (kripta, pit) dan bagian sekresi
(kelenjar). Mukosa lambung secara histologi terbagi atas 3 jenis yaitu kardiak,
fundus dan pilorik (antral), dengan daerah peralihan di antaranya.

Perbedaan berbagai jenis mukosa lambung tergantung pada perbandingan


relatif antara bagian foveolar dengan bagian sekresi, serta komposisinya secara
mikroskopik. Kelenjar kardiak dan pilorik mempunyai kemiripan yaitu
perbandingan antara foveola terhadap kelenjar yang mensekresi mukus adalah
satu berbanding satu. Yang membedakan keduanya adalah jarak antar kelenjar di
daerah kardiak berjauhan, kadang dijumpai lumen kelenjar yang berdilatasi kistik.

3
Sedangkan kelenjar pada daerah pilorik mempunyai pelapis epitel dengan
sitoplasma sel yang ‘bubly’, bervakuola, bergranul dan ‘glassy’. Sub-nukleus
vakuolisasi sel mukus kadang-kadang dapat ditemukan, keadaan ini kadang-
kadang salah diinterpretasi sebagai metaplasia. Sedangkan sitoplasma sel pada
daerah pilorik yang ‘glassy’ dan berkelompok dapat salah diinterpretasi sebagai
adenokarsinoma ‘signet ring cell’. Sel bersilia yang kadang-kadang dijumpai pada
daerah pilorik, dan lebih sering dijumpai pada orang Jepang, keadaan ini kadang
kala dianggap sebagai suatu metaplasia. Kelenjar fundik (oxyntic, acidopeptic)
ditandai dengan bagian foveolar hanya ¼ dari ketebalan mukosa, kelenjarnya
cendrung lebih lurus dan terdiri dari sebaran sel chief, sel parietal (penghasil
asam), sel endokrin dan sel mukosa leher.

C. Tahap Pengosongan Lambung


Pengosongan lambung terjadi baik pada orang yang puasa maupun yang tidak puasa,
namun memiliki pola berbeda. Pada orang yang berpuasa interdigestive terjadi
melalui lambung dan usus kecil setiap 2-3 jam. Aktivitas listrik ini disebut sebagai
siklus myoelectric interdigestive atau migrating myoelectric complex (MMC) yang
dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
 Tahap I : Ini adalah periode diam dengan kontraksi yang jarang berlangsung
40-60 menit.
 Tahap II : Ini berlangsung selama 20-40 menit dan terdiri dari potensial aksi
intermiten dan kontraksi yang secara bertahap meningkatkan intensitas dan
frekuensi sebagai fase berlangsung.
 Tahap III : Fase ini relatif pendek dan intens, kontraksi teratur selama 4-6
menit. Ini adalah fase III yang mendapatkan siklus istilah " housekeeper "
gelombang, karena memungkinkan untuk menyapu bersih semua bahan yang
tercena dari perut dan turun ke usus kecil. Telah diamati bahwa fase III dari
satu siklus mencapai akhirususkecil, fase III dari siklus berikutnya dimulai
pada duodenum.
 Tahap IV : Ini berlangsung selama 0-5 menit. Ini terjadi antara fase

4
D. Kelebihan dan Kekurangan Gastroretentive DDS
Kelebihan Gastroretentive DDS :
 Mampu meningkatkan bioavailabilitas.
 Meningkatkan kelarutan obat-obatan yang kurang larut pada lingkungan pH
yang tinggi.
 Meningkatkan absorpsi obat, karena meningkatkan GRT dan meningkatkan
waktu kontak bentuk sediaan pada tempat absorpsinya.
 Obat dihantarkan secara terkontrol.
 Penghantaran obat untuk aksi lokal di lambung.
 Meminimalkan iritasi mukosa oleh obat, dengan melepaskan obat secara
lambat pada laju yang terkontrol
Kekurangan dari Gastro Retentive DDS :
 Sistem floating tidak cocok untuk obat-obatan yang memiliki masalah
kelarutan atau stabilitas dalam cairan gastrik/lambung.
 Obat-obatan yang diabsorbsi secara baik sepanjang saluran pencernaan dan
yang menjalani first-pass metabolisme signifikan mungkin kurang pas untuk
GRDDS karena pengosongan lambung yang lambat dapat menyebabkan
penurunan bioavailabilitas sistemik.
 Obat-obatan yang iritan terhadap mukosa lambung tidak cocok untuk GRDDS

E. Faktor yang Mempengaruhi Sistem Gastroretentive


1. Pemberiaan obat yang bersamaan
Pemberian bersama obat seperti atropine dan kodein mempengaruhi waktu
mengambang.
2. Umur
Orang tua terutama diatas 70 tahun memiliki GRT lebih lama.
3. Postur
GRT dapat bervariasi antara posisi pasien tegak dan terlentang.
4. Jenis kelamin
GRT pada laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan wanita, terlepas dari berat
badan, tinggi badan dan tubuh permukaan
5. Kalori
GRT dapat ditingkatkan 4 sampai 10 jam dengan makanan yang tinggi protein
dan lemak.
6. Frekuensi Makan
GRT dapat meningkat lebih dari 400 menit ketika mngkonsumsi makanan
secara terus-menerus.
7. Ukuran
Dosis diameter lebih dari 7,5 mm memiliki peningkatan GRT dibandingkan
dengan diameter 9,9 mm.

5
F. Gastroretentive Floating System
Pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada tahun 1968, merupakan sistem
dengan densitas yang kecil, yang memiliki kemampuan mengambang kemudian
mengapung dan tinggal dilambung untuk beberapa waktu. Pada saat sediaan
mengapung dilambung, obat dilepaskan perlahan pada kecepatan yang dapat
ditentukan, hasil yang diperoleh adalah peningkatan gastric residence time (GRT) dan
pengurangan fluktuasi konsentrasi obat dalam plasma.
Sistem mengapung pada lambung berisi obat yang pelepasannya perlahan-
lahan dari sediaan yang memiliki densitas yang rendah atau floating drug delivery
system (FDDS) atau biasa disebut hydrodynamically balanced system (HBS). FDDS
atau HBS memiliki bulk density yang lebih rendah dari cairan lambung. FDDS tetap
mengapung dalam lambung tanpa mempengaruhi kondisi lambung dan obat
dilepaskan perlahan pada kecepatan yang diinginkan dari sistem.
Floating tablet merupakan salah satu sediaan gastroretentive yang
menggunakan sistem dengan densitas kecil, memiliki kemampuan mengambang,
mengapung, dan tetap berada di lambung dalam beberapa waktu. Saat sediaan
mengapung di lambung, obat dilepaskan secara perlahan – lahan dengan kecepatan
yang dapat dikendalikan. Dengan cara seperti ini, gastric residence time (GTR) suatu
obat dapat ditingkatkan dan fluktuasi kadarnya dalam plasma dapat diturunkan.
Floating tablet merupakan formulasi yang cocok untuk obat – obat yang
bermasalah dalam hal disolusi dan / atau stabilitasnya dalam cairan usus halus,
diharapkan memberikan efek lokal di lambung, sertahanya diabsorbsi di bagian atas
intestin.

Bentuk floating system banyak diformulasi dengan menggunakan matriks-


matriks hidrofilik dan dikenal dengan sebutan hydrodynamically balanced system
(HBS), karena saat polimer berhidrasi intensitasnya menurun akibat matriknya
mengembang, dan dapat menjadi gel penghalang dipermukaan bagian luar. Bentuk-
bentuk ini diharapkan tetap dalam keadaan mengapung selama tiga atau empat jam
dalam lambung tanpa dipengaruhi oleh laju pengosongan lambung karena densitasnya
lebih rendah dari kandungan gastrik. Hidrokoloid yang direkomendasikan untuk
formulasi bentuk floating adalah cellulose ether polymer, khususnya hydroxypropyl
methylcellulose.

6
Sistem floating dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu :

1. Non-Effervescent system

Pada sistem non effervescent menggunakan pembentuk gel atau senyawa hidrokoloid
yang mampu mengambang, polisakarida dan polimer-polimer pembentuk matriks
seperti polikarbonat, poliakrilat, polimetakrilat, dan polistirena. Metode formulasinya
yaitu dengan mencampurkan obat dengan hidrokoloid pembentuk gel. Setelah
pemberian maka sediaan ini akan mengembang ketika kontak dengan cairan lambung,
masih berbentuk utuh dengan densitas bulk kurang dari satu. Udara yang terjerap di
dalam matriks yang mengembang mengakibatkan sediaan mampu mengambang,
membentuk struktur yang mirip gel. Kemudian struktur gel bertindak sebagai
reservoir untuk obat yang akan dilepaskan perlahan-lahan dan dikontrol oleh difusi
melalui lapisan gel.

2. Effervescent system
Pada sistem effervescent biasanya menggunakan matriks dengan bantuan polimer
yang dapat mengembang seperti metil selulosa, kitosan, dan senyawa effervescent
seperti natrium bikarbonat, asam tartrat, dan asam sitrat. Sistem effervescent
ketika kontak dengan asam lambung maka akan membebaskan gas karbon
dioksida yang akan terperangkap di dalam senyawa hidrokoloid yang
mengembang. Sehingga menyebabkan sediaan akan mengambang.
Sistem penghantaran mengapung ini dipersiapkan dengan polimer yang dapat
mengembang seperti Methocel, polisakarida, chitosan dan komponen effervescent
(misal; natrium bikarbonat dan asam sitrat atau tartrat). Matriks ketika kontak
dengan cairan lambung akan membentuk gel, dengan adanya gas yang dihasilkan
dari sistem effervescent, maka gas akan terperangkap dalam gelyfiedhydrocolloid,
akibatnya tablet akan mengapung, meningkatkan pergerakan sediaan, sehingga
akan mempertahankan daya mengapungnya.

G. Keuntungan dan Kerugian GR Floating System


Keuntungan:
 Sediaan floating dapat tetap berada di dalam lambung selama beberapa jam
dan oleh karena itu dapat memperpanjang waktu retensi lambung berbagai
obat

7
 Memberikan keuntungan bagi obat yang memiliki target aksi lokal di
lambung, misalnya: antasida
 Bioavailabilitas dapat meningkat
 Menurunkan fluktuasi konsentrasi obat di dalam plasma. Konsentrasi obat di
dalam plasma yang diinginkan dapat mempertahankan pelepasan obat secara
terus-menerus
 Sediaan floating mengutungkan bagi obat yang di serap melalui perut,
misalnya: garam besi dan antasida.

Kerugian:

 Sistem mengambang tidak layak untuk obat yang memiliki kelarutan atau
masalah stabilitas di saluran pencernaan.
 Sistem ini memerlukan cairan dalam perut untuk pengiriman obat untuk
mengapung dan bekerja secara efisien.
 Hanya obat-obatan signifikan yang dapat di serap melalui saluran pencernaan

H. Persyaratan karakteristik yang baik


1. Tidak untuk obat yang dapat mengiritasi mukosa lambung
2. Tidak untuk obat yang tidak stabil di lingkungan asam lambung
3. Obat-obatan yang diserap secara signifikan melalui saluran cerna

8
BAB III

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Sediaan
Produk obat konvensional seperti kapsul dan tablet diformulasi untuk segera
melepaskan bahan aktifnya setelah dikonsumsi oral sehingga absorpsi sistemik obat
berlangsung dengan cepat dan sempurna. Namun, dalam jangka waktu tertentu
konsentrasi obat dalam plasma akan menurun sampai akhirnya berada dibawah
konsentrasi plasma efektif minimum (MEC) dan menyebabkan hilangnya aktivitas
terapeutik. Oleh karena itu, diperlukan pemberian dosis berulang jika ingin
mempertahankan aktifitas terapeutik. Pemberian dosis berulang ini memiliki beberapa
kekuranganyaitu mempengaruhi ketidakpatuhan dan ketidaknyamanan pada pasien
sehingga dapat menimbulkan kesalahan pemberian dosis, dan juga menyebabkan
fluktuasi konsentrasi obat dalam plasma sehingga dapat menghasilkan efek samping
yang tidak diinginkan.
Sediaan modified release dapat mereduksi pemberian dosis sehingga dapat
meningkatkan kepatuhan pasien. Selain itu dapat menghindari terjadinya fluktuasi
pada kadar obat di dalam plasma, mengurangi efek samping yang berhubungan
dengan konsentrasi obat dalam plasma, serta meningkatkan cost- effectiveness.
Ranitidine HCl yang dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H-2 dan
memiliki mekanisme aksi menurunkan sekresi asam lambung, merupakan salah satu
obat yang cocok diberikan dalam bentuk sediaan modified release. Ranitidine HCl
banyak digunakan untuk pengobatan tukak lambung, tukak usus, Zollinger-Ellison
syndrome, gastroesophageal reflux disease (GERD) dan erosi esofagus. Dosis oral
Ranitidine HCl yang direkomendasikan yaitu 150 mg dua kali sehari atau 300 mg satu
kali sehari. Dosis Ranitidine 150 mg dapat menghambat sekresi asam lambung hingga
lima jam. Jika dosis dinaikkan menjadi 300 mg maka akan menyebabkan fluktuasi
pada plasma. Pada pasien ulkus duodenum, 150 mg Ranitidine HCl ini dapat
menurunkan sekresi asam lambung setelah 30 menit pemberian per oral.
Ranitidine HCl memiliki waktu paruh yang sangat singkat yaitu 2,5 - 3 jam
dan diabsorpsi di bagian awal usus halus dengan bioavailabilitas absolut 50%,
sehingga menyebabkan kadar terapeutik Ranitidine HCl dalam plasma sulit
dipertahankan dan membutuhkan adanya pengulangan dosis. Penggunaan dosis
berulang ini merupakan alasan utama diperlukannya formulasi Ranitidine HCl dalam
bentuk sediaan modified release di lambung untuk menurunkan laju pelepasan obat.
Alasan lainnya diperlukan formulasi Ranitidine HCl dalam bentuk sediaan pelepasan
terkendali adalah Ranitidine HCl memiliki mekanisme aksi sebagai antagonis H-2
dengan reseptor yang terletak pada sel parietal lambung. Oleh karena itu, waktu
tinggal obat yang lebih lama di dalam lambung sangat menguntungkan karena akan
menyebabkan lebih banyak obat yang berikatan dengan reseptor, sehingga dapat
memperpanjang efek terapi.

9
Gastroretentive Drug Delivery System (GRDDS) merupakan sistem pelepasan
terkendali untuk meningkatkan waktu tinggal obat di dalam lambung sehingga dapat
meningkatkan bioavailabilitas, mengurangi obat yang terbuang, dan meningkatkan
kelarutan obat yang sukar larut pada lingkungan pH yang tinggi. Peningkatan waktu
tinggal obat pada sistem ini menyebabkan konsentrasi obat dapat dipertahankan dalam
jangka waktu yang panjang. GRDDS terdiri dari beberapa sistem yaitu high density
system (sinking), floating drug delivery system, swelling and expanding system, dan
bioadhesive system.
Sistem GRDDS yang dipilih untuk pembuatan tablet pelepasan terkendali
Ranitidine HCl adalah floating drug delivery system (FDDS). Sistem ini dipilih
karena sesuai untuk diaplikasikan pada obat-obat dengan mekanisme aksi lokal pada
lambung, diabsorpsi baik pada lambung, kelarutan rendah pada pH alkali, dan
memiliki stabilitas rendah pada lingkungan usus atau kolon. Oleh karena itu,
Ranitidine HCl memiliki kriteria yang sesuai untuk dirancang menggunakan sistem
FDDS, mengingat Ranitidine HCl diabsorpsi dengan baik di lambung. Sistem
FDDSmerupakan sistem sediaan yang memiliki densitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan densitas cairan lambung sehingga memungkinkan sediaan tetap
mengapung di lambung dalam periode waktu yang lama. Pada saat sediaan
mengapung di lambung, obat dilepaskan perlahan pada kecepatan yang dapat
ditentukan sehingga menyebabkan adanya peningkatan GRT dan pengurangan
fluktuasi konsentrasi obat dalam plasma.
Kemampuan sediaan mengapung pada permukaan lambung didasarkan pada
pembentukan gas di dalam sistem setelah terjadi kontak dengan cairan lambung
(effervescent system) dan juga pengembangan sistem saat kontak dengan cairan
lambung sehingga udara terperangkap di dalamnya (non-effervescent system).
Kemampuan mengapung demikian dikarenakan sistem mengandung bahan utama
polimer hidrofilik dan bahan penghasil gas.

B. Praformulasi
Praformulasi terdiri dari kata pre yang artinya sebelum dan formulasi yang
artinya perumusan atau penyusunan. Dibidang farmasi preformulasi dapat diartikan
sebagai langkah awal yang dilakukan ketika akan membuat formula suatu obat.
Pengkajian praformulasi terdiri dari pengumpulan informasi bahan aktif, sifat fisika-
kimia, farmakologi, interaksi bahan, faktor yang dapat berpengaruh, ketersediaan
bahan dan harga, informasi pasar dan pemasaran.
Pengkajian praformulasi membahas seputar karakter produk yang akan dihasilkan,
komponen bahan utama dan bahan tambahan apa saja yang perlu digunakan dan
seberapa banyak bahan yang diperlukan. Dalam rekomendasi untuk proses
pembuatan, perlu diperhatikan pula metode, mekanisme, pelaratan dan input lain yang
akan digunakan dalam proses pembuatan.

10
1. Ranitidin
Pemerian : Serbuk kristal berwarna putih sampai kuning pucat, tidak
berbau
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam alkohol.
Kegunaan : Untuk pengobatan tukak lambung, tukak usus, Zollinger-
Ellison syndrome, gastroesophageal reflux disease (GERD) dan erosi esofagus

2. Natrium Bikarbonat
Pemerian : Serbuk hablur, putih, stabil di udara kering, tetapi dalam udara
lembab secara perlahan-lahan terurai.
Kelarutan : Larut dalam air, tidak larut dalam etanol
Kegunaan : Komponen pembentukan gas, tablet effervescent 25-50 %

3. Asam Sitrat
Pemerian : Hablur bening tidak berwarna atau serbuk hablur granul
sampai halus, putih, tidak berbau atau praktis tidak berbau, rasa sangat asam,
bentuk hidrat mekar dalam udara kering.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, mudah larut dalam etanol,
sukar larut dalam ester.
Kegunaan : Komponen pembentukan gas

4. Magnesium Stearat
Pemerian : Serbuk halus, putih, bau lemah khas, mudah melekat di kulit,
bebas dari butiran
Kelarutan : Tidak larut dalam air, dalam etanol, dan dalam eter
Kegunaan : Lubrikan

5. Laktosa
Pemerian : Serbuk atau massa hablur, keras, putih, atau putih krem. Tidak
berbau dan rasa sedikit manis
Kelarutan : 1 gram larut dalam 4,63 air, praktis tidak larut dalam
kloroform, etanol, dan eter
Kegunaan : Pengisi

11
6. HPMC (Hydroxypropyl Methyl Selulosa) K100M
Pemerian : Serbuk atau granul berwarna putih atau putih kekuningan,
tidak berbau, higroskopis.
Kelarutan : Larut dalam air dingin, alcohol, chloroform, methanol dan
propilenglikol, praktis tidak larut dalam air panas
Kegunaan : Polimer hidrofilik

7. PVP (Polivinil Pirolidon)


Pemerian : Pemerian serbuk halus berwarna putih sampai putih kekuning-
kuningan, tak berbau atau hampir berbau, higroskopis.
Kelarutan : Larut dalam asam, kloroform, etanol (95%), keton, methanol
dan air. Tidak larut dalam eter, hidrokarbon, dan minyak mineral.
Kegunaan : Pengikat

8. HCl
Pemerian : Cairan tidak berwarna; berasap; bau merangsang. Jika
diencerkan dengan 2 bagian air, asap dan bau hilang.
Kelarutan : Acidum Hydrochloridum
Kegunaan : Sebagai media disolusi

C. Formulasi
Bahan Percobaan
Ranitidine didapatkan dari PT. Indofarma, HPMC K100M didapatkan dari Colorcon,
Natrium Bikarbonat didapatkan dari Tristar Chemical, Asam Sitrat didapatkan dari
PT. Budi Starch & Sweetener, Magnesium Stearat didapatkan dari Bratachem, dan
HCl sebagai media disolusi didapatkan dari Sigma.

Bahan Kegunaan Dosis per tablet Dosis per batch


(100 tablet)
Ranitidin Zat aktif 120 mg 12000 mg
Natrium Bikarbonat Komponen 20 mg 2000 mg
pembentukan gas
Magnesium Stearat Lubrikan 5 mg 500 mg
Laktosa Pengisi 80 mg 8000 mg
HPMC K100M Polimer hidrofilik 60 mg 6000 mg
PVP Pengikat 10 mg 1000 mg
Asam Sitrat Komponen 25 mg 2500 mg

12
pembentukan gas
JUMLAH 320 mg 32000 mg

Alat
Mesin pengempa tablet, hardness tester, dissolution apparatus, timbangan analitik,
MESH-80, Friabilator, Spektrofotometer, Drying cabinet / oven, corong, pengayak,
tumbling mixer, dan alat-alat gelas laboratorium.

D. Cara Pembuatan
Pembuatan Tablet Floating Ranitidin HCL dengan Metode Granulasi Basah
Ditimbang Ranitidin HCL, HPMC K100M, Natrium Bikarbonat, Asam Sitrat, Mg
Stearat, Laktosa dan PVP dalam jumlah yang sesuai dengan formula. Ranitidin,
HPMC , dan laktosa dicampur dalam tumbling mixer secara geometric dilution.
Campuran serbuk digranulasi dengan larutan pengikat PVP K-30 dalam aquadest 4%
dari berat total serbuk sedikit demi sedikit sampai terbentuk massa granul. Massa
granul kemudian diayak dengan pengayak ukuran mesh 12, kemudian dikeringkan
pada suhu kamar 25˚C selama 30 menit. Granul kering selanjutnya diayak dengan
ayakan ukuran mesh 18, lalu ditambah dengan natrium bikarbonat dan asam sitrat
kemudian ditumbling selama 5 menit dan dilakukan uji kecepatan alir. Selanjutnya
ditambahkan magnesium stearat dan ditumbling selama 5 menit kemudian dilakukan
uji kualitas granul yang meliputi: kecepatan alir serta dilakukan pula penetapan kadar
ranitidin dalam granul. Granul ditambah natrium bikarbonat, kemudian dicetak
menjadi tablet matrik. Tablet yang telah dicetak dilakukan uji kualitas tablet yang
meliputi penetapan kadar ranitidin dalam tablet, uji kerapuhan, uji kekerasan, uji
floating lag time dan total waktu floating serta uji disolusi tablet floating ranitidin
HCL.

E. Evaluasi Sediaan
1. Evaluasi Campuran Serbuk
Sifat alir
Ditimbang 100 g serbuk lalu dimasukkan pada corong yang telah dipasang
pada statif dengan jarak ujung pipa bagian bawah bidang datar = 10,0 ± 0,2
cm. Kemudian corong tutup bawah dibuka sambil menyalakan stopwatch.
Catat waktu yang diperlukan dari awal serbuk mengalir sampai semua serbuk
melewati corong.
Kompresibilitas
Ditimbang bahan sejumlah 30 g, dimasukkan dalam gelas ukur 250 ml, dan
dipasangkan pada alat pengetuk. Jalankan alat pengetuk sampai 500 ketukan.
Catat volume bahandalam gelas ukur sebelum dan setelah dijalankan sampai
500 ketukan. Kompresibilitas dihitung dengan bobot jenis mampat dikurangi
dengan bobot jenis nyata lalu dibagi dengan bobot jenis mampat.

13
2. Evaluasi Tablet
Keseragaman Bobot
Tablet Ditimbang satu persatu 20 tablet yang telah dicetak dengan timbangan
analitik, lalu catat bobot masing-masing tablet. Keseragaman bobot dikatakan
baik apabila tidak lebih dari 2 tablet yang masing-masing bobotnya
menyimpang dari bobot rata-rata >5% dan tidak satu tablet pun yang
menyimpang dari bobot rata-ratanya >10%.
Keseragaman Kadar
Dibuat larutan induk ranitidin HCl dalam HCl 0,1 N dengan kadar 200 ppm.
Dari larutan baku induk tersebut dilakukan pengenceran dengan HCl 0,1 N
sehingga diperoleh larutan baku kerja dengan kadar 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm,
10ppm, 12 ppm.
Kekerasan Tablet
Disiapkan 10 tablet yang akan diuji, lalu diletakkan pada ujung alat hardness
tester. Putar pangkal alat sampai tablet pecah dan lihat skala yang terbaca
menunjukkan angka kekerasan tablet. Dalam pengujian kekerasan tablet
semua tablet harus hancur dengan beban 4-8 kg.
Friabilitas
Digunakan alat friability tester, diambil 10 tablet kemudian ditimbang dan
dimasukkan dalam alat uji. Alat dijalankan dengan kecepatan 25 rpm selama 4
menit. Tablet kemudian dikeluarkan dan dibersihkan dari serbuk yang
menempel kemudian ditimbang lagi beratnya. Dihitung persen kerapuhannya.
Dikatakan baik bila kehilangan berat tidak lebih dari 1%.
Uji Waktu Apung
Tablet diletakkan ke dalam beaker glass 100 ml yang berisi larutan HCl 0,1 N.
Kemudian diukur floating lag time yaitu waktu yang dibutuhkan sediaan untuk
mengapung setelah kontak dengan asam, dan floating duration time yaitu lama
dari sediaan mengapung. Floating lag time yang baik ditandai dengan tablet
mengapung kurang dari 1 menit, sedangkan floating duration time ditandai
dengan tablet dapat mengapung lebih dari 12 jam.

Penentuan Laju Disolusi


Uji disolusi tablet Ranitidine HCl dilakukan dalam media larutan 900 ml HCl
0,1 N dan menggunakan alat disolusi tipe 2 (paddle method) dengan kecepatan
50 rpm pada suhu 37º± 0,5ºC. Pengambilan sample dilakukan pada waktu 2, 5,
10, 15, 30, 60, 120, 180, 240, 300, 360, 420, 480, 540, 600, 660, 720 menit.
Sampling dilakukan dengan mengambil 10 ml larutan media disolusi lalu
dimasukkan lagi media disolusi sebanyak 10 ml. Pengukuran kadar dilakukan
dengan alat Spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum.

F. Hasil Dan Pembahasan


1. Evaluasi Campuran Serbuk

14
Hasil uji kecepatan alir dan sudut istirahat membuktikan bahwa granul yang
dipreparasi dengan metode dan formula dalam penelitian memenuhi syarat,
karena semua diatas 10 gram/detik dan juga sudut istirahat antara 25˚ - 30˚.
Sifat alir yang baik ini menjadikan evaluasi kompresibilitas campuran serbuk
juga baik dan memenuhi persyaratan.

Uji Evaluasi Hasil


Kecepatan Alir (g/det) 11,5 g/det
Sudut Istirahat 28,67˚

2. Evaluasi Tablet
Keseragaman Bobot
hasil uji keseragaman bobot semua memenuhi persyaratan. Persyaratan
keseragaman bobot dikatakan baik apabila tidak lebih dari 2 tablet yang
masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata > 5% dan tidak
satu tablet pun yang menyimpang dari bobot rata-ratanya >10%.

Evaluasi Persyaratan Hasil Evaluasi


Uji Keseragaman Bobot Penyimpangan tiap tablet Memenuhi
≤ 5% persyaratan

Keseragaman Kadar
Hasil uji keseragaman kadar ranitidin dalam granul, semua menunjukkan
simpangan baku relatip < 6%. Hal ini membuktikan bahwa granul mempunyai
kandungan ranitidin yang memenuhi syarat farmakope.

Evaluasi Hasil Evaluasi

Uji Keseragaman Kadar 101,77±2,51

Kekerasan Tablet
Hasil evaluasi uji kekerasan semua memenuhi persyaratan, oleh karena diatas
7 Kp. Hasil uji statistika pada formula, menghasilkan peningkatan kekerasan
secara bermakna.

Evaluasi Hasil Evaluasi

Uji Kekerasan Tablet 8,55±0,86

15
Friabilitas / Kerapuhan
Hasil evaluasi uji kerapuhan , juga menghasilkan data yang memenuhi syarat,
karena semuanya menunjukkan kerapuhan dibawah 1% (Lachman et al ,
1986).

Evaluasi Hasil Evaluasi

Uji Kerapuhan Tablet 0,26±0,31

Uji Waktu Apung


Untuk uji floating lag time dan floating duration time sudah memenuhi
persyaratan. Floating lag time yang baik ditandai dengan tablet mengapung

kurang dari 1 menit, sedangkan floating duration time ditandai dengan tablet
dapat mengapung lebih dari 12 jam.

Penentuan Laju Disolusi


Hasil uji disolusi secara keseluruhan menunjukkan adanya proses
penghambatan pelepasan obat jika dilihat dari %Q serta perhitungan %ED
pada formula. Selain itu, hasil pengolahan data dengan metode ANOVA one-
way menggunakan program Statistical Package for the Social Science(SPSS)
menunjukkan bahwa adanya penambahan konsentrasi HPMC K100M dapat
menghambat penetrasi medium ke dalam tablet secara signifikan. Hal ini
terkait dengan sifat HPMC K100M yang berfungsi sebagai polimer
pembentuk gel dengan viskositas kuat sehingga menjadi penghalang fisik
lepasnya obat dari matriks.

16
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

17
DAFTAR PUSTAKA

18

Anda mungkin juga menyukai