Anda di halaman 1dari 4

BATIK PUSAKA

Konon sebelum muncul kerajaan Sriwijaya di Nusantara, ada sebuah


kerajaan raksasa yang dipimpin oleh Dinasti Saylendra yang membawahi seluruh
wilayah Asia Tenggara. Kerajaan tersebut dikenal memiliki produksi batik yang
luar biasa. Di setiap upacara rutin Sang Raja selalu mengenakan Batik
Unggulannya dengan motif “Daun Sulur” yang sangat indah.
Karena istimewanya batik tersebut, pada era berikutnya diperingati Hari
Batik Nasional. Motif batik yang digunakan adalah persis seperti yang dikenakan
Sang Raja Pertama kerajaan tersebut. Semua negara pecahan yang berasal dari
Kerajaan Raksasa tersebut bangga dengan batik “Daun Sulur” peninggalan nenek
moyangnya.
Namun sayangnya, motif batik “Daun Sulur” yang dikenakan oleh
masyarakat masing-masing negara berbeda-beda. Ada yang daun sulurnya terlalu
panjang, terlalu pendek, cenderung kotak, cenderung bundar, lebih lebar, lebih
mungil, goresannya ada yang tebal dan tipis, warnanya lebih terang, cenderung
gelap, paduan warna bervariasi, dan aneka ragam bentuk lainnya. Semuanya
memiliki motif yang sama “Daun Sulur”.
Motif-motif yang beraneka-ragam tersebut digambar atas dasar “catatan”
para ahli batik masing-masing negara. Perbedaan goresan, paduan warna, besar-
kecil gambar, dan variasi lainnya disebabkan setiap ahli batik memiliki
kecenderungan yang berbeda-beda dalam melukiskan indahnya batik “Daun
Sulur” Sang Raja.
Suatu ketika ada beberapa ahli batik muncul dari negara paling utara
bekas wilayah Kerajaan Raksasa. Mereka menampilkan kain batik usang dengan
motif “Daun Sulur” Sang Raja. Para ahli batik tersebut mengatakan bahwa kain
batik “Daun Sulur” ini dibuat oleh salah satu abdi kerajaan yang pernah melihat
langsung batik “Daun Sulur” Sang Raja. Kain batik tersebut dibuat semasa cucu
sang raja masih hidup, sekitar 60 tahun setelah Sang Raja Pertama meninggal
dan batik pusakanya diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan tetangga dan
kelompok-kelompok yang berpengaruh di kerajaan tersebut hingga akhirnya
tercerai-berai dan musnah.
Para petinggi dan ahli batik tiap negara pecahan dari Kerajaan Raksasa
tersebut beramai-ramai menolak replika “Daun Sulur” Sang Raja dan
mempertanyakan keabsahannya. Mereka tetap berpegang pada tulisan Ahli Batik
mereka sendiri dan gambar “Daun Sulur” hasil penafsiran pakar batik mereka.
Sebagian besar mereka belum melihat dengan seksama tiap detil replika batik
“Daun Sulur” Sang Raja yang digambar semasa cucu Sang Raja.
Dalam sejarah dijelaskan bahwa Sang Raja memiliki 4-5 kain batik “Daun
Sulur” yang dikenakan di tiap Jum’at secara bergantian. Sehingga dalam satu
bulan Sang Raja mengenakan batik “Daun Sulur” yang berbeda. Batik “Daun
Sulur” tersebut digambar oleh pembatik yang berbeda, sehingga jika dilihat
detilnya maka akan terlihat ada perbedaan kecil.

Pertanyaan yang mengganjal penulis:


1. Sebaiknya yang lebih memilih mana:
a. Meniru replika batik “Daun Sulur” Sang Raja atau;
b. Menafsirkan tulisan tentang “Daun Sulur” dan menggambarnya sendiri?
2. Lebih identik yang mana?
a. Gambar tiruan, atau;
b. Tulisan yang menjelaskan tentang gambar.
3. Dirunut dari sejarahnya, (a) gambar tiruan dibuat 60 tahun setelah Raja wafat,
sedangkan (b) tulisan tentang gambar dibuat 250 tahun setelah Raja wafat.
Manakah yang menjadi rujukan utama, dan mana yang menjadi rujukan
tambahan?
4. Andaikata Batik Sulur tersebut adalah cerita sejarah penulisan Mushaf kita,
manakah yang kita pilih a atau b?

Cerpen ini ditulis karena kegelisahan penulis terhadap Rasm Usmani pada
Mushaf Indonesia. Ketika penulis membaca dua Mushaf Attributed to Usman bin
Affan ra. yakni yang diterbitkan oleh IRCICA dan Kementerian Wakaf Mesir,
banyak sekali perbedaan bentuk tulisannya. Ketika penulis membandingkan
dengan Mushaf Mesir, Yordania, Maghrib, dan beberapa negara di Timur Tengah
lainnya perbedaan tulisan dengan Mushaf attributed to Usman bin Affan ra.
masih banyak di Mushaf Indonesia.
Ketika penulis bandingkan Mushaf Indonesia dengan Mushaf Pakistan
dan Mushaf India, jumlah perbedaan tulisan pada mushaf tersebut relatif sama
ketika disandingkan dengan Mushaf attributed to Usman bin Affan ra..
Ketika penulis mengajak untuk menelaah kembali Rasm Usmani ala
Mushaf Indonesia dengan merujuk pada Mushaf attributed to Usman bin Affan
ra., beberapa persona di lembaga yang berkompeten menolaknya dengan tegas.
Alasannya adalah Mushaf attributed to Usman bin Affan ra. masih diragukan.
Dasar yang digunakan untuk menentukan Rasm Usmani Mushaf
Indonesia adalah karya para ulama tentang Kaidah Rasm Usmani yang ditulis
oleh sekitar abad 4-7 M. Sedangkan Mushaf attributed to Usman bin Affan ra.
menurut ulama setempat yang menerbitkan dan mengkajinya ditulis sekitar abad
1-2 M..
Ketika penulis menanyakan kenapa kata “insaan” ditulis “dengan alif”
padahal dalam Mushaf attributed to Usman bin Affan ra. ditulis “tanpa alif”.
Beberapa pemerhati rasm al-Qur’an menjawabnya bahwa tulisan tersebut
berdasarkan ulasan ulama 5 H. (buku yang mengulas tulisan pada Mushaf
Uthman Ibn Affan ra.). Ketika saya kaji buku tersebut, ternyata contoh yang
ditulis “tanpa alif”.
Akhirnya... penulis pun bertanya-tanya... mengapa Ulama al-Qur’an
Indonesia suka dengan dasar yang bersifat tersirat (yang tidak tertulis jelas)
daripada yang tersurat (yang sudah tertulis jelas)? Dijawabnya: Untuk
menunjukkan identitas Indonesia.
Kalau untuk menunjukkan ciri khas Indonesia, menurut hemat penulis
bukan pada rasm-nya, tetapi pada khat/model tulisan. Rasm tetap Rasm Usmani
(yang merujuk pada Mushaf Usman ibn Affan ra.), sedangkan khat atau model
tulisan bisa menggunakan Naskhi Nusantara, olahan dari Naskhi yang
berkembang pada masa Abbasiyah, yang mudah dibaca oleh masyarakat
Indonesia.
Nama : Dr. Achmad Faizur Rosyad, M.Ag.
Kantor : Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya
Telp. : 031-70060611
Email : Izur1@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai