Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan

di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis di dunia terutama di Asia

Tenggara, Asia Selatan, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Kepulauan

Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang

termasuk ke dalam famili Flaviviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe

yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 (Cook, 2008). Virus ini ditularkan ke

manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes

aegypti sp dan Aedes albopictus sp yang terdapat hampir di seluruh pelosok

wilayah Indonesia (Lestar, 2007). Masa inkubasi 5–8 hari dengan manifestasi

klinis demam mendadak terus menerus, sakit kepala, myalgia, arthralgia,

maculopapular-rash pada tubuh, leukopenia, dan terkadang terjadi perdarahan

(Farrar, 2013). Pada demam yang lebih berat, DBD juga disertai dengan

kebocoran plasma (plasma leakage), hepatomegaly hingga waktu pembekuan

darah yang tidak normal dikarenakan peningkatan hematokrit dan jumlah

trombosit yang rendah (<100.000 /mm3) (Cook, 2008).

World Health Organization (WHO) memperkirakan insidensi Demam

Dengue (DD) telah meningkat selama 50 tahun terakhir. Insidens DD terjadi baik

di daerah tropik maupun subtropik wilayah perkotaan dan menyerang lebih dari

100 juta penduduk setiap tahun, termasuk 500.000 kasus DBD yang menyebabkan

1
2

sekitar 30.000 kematian terutama anak-anak. Setidaknya empat kali lipat selama

tiga dekade terakhir dan sekarang terdapat 2,5 miliar orang berisiko terkena

penyakit ini (Cook, 2008). Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati

urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu,

terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat negara Indonesia

sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dengan angka

kesakitan DBD 68,22% /100.000 penduduk (Depkes RI, 2010). Berdasarkan data

internal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) pada tahun 2015, penderita

demam berdarah di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 129.179 orang, dimana

1.240 diantaranya meninggal dunia (Agnia, 2016) dan pada tahun 2016 jumlah

kasus meningkat menjadi 77,96% /100.000 penduduk dengan 1.585 orang

meninggal dunia (Kemenkes RI, 2017).

DBD di wilayah Provinsi Sumatera Utara masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat. Kabupaten/Kota yang melaporkan kasus DBD semakin lama semakin

meningkat hingga akhir 2016. Angka kesakitan (Incidence Rate =IR) DBD

Sumatera Utara selama 5 (lima) tahun terakhir menunjukkan peningkatan DBD

tahun 2012 s/d 2016 berturut-turut adalah sebagai berikut: 18,5 /100.000

penduduk, 19,8 /100.000 penduduk, 21,2 /100.000 penduduk, 24,1 /100.000

penduduk, 61,4 /100.000 penduduk. Angka IR DBD Sumatera Utara pada tahun

2016 berada di atas indikator nasional (Gambar 1.1).


3

Gambar 1.1 Grafik Angka Kesakitan (Incidence Rate=IR) DBD

Kabupaten/Kota Tahun2016. Sumber : Subdis P2M Dinkespovsu

dan Profil Kesehatan Kab/Kota, 2018

Lemahnya upaya program pengendalian DBD sehingga upaya program

pengendalian DBD perlu lebih mendapat perhatian terutama pada tingkat

Kabupaten/Kota dan Puskesmas (Depkes RI, 2010). Melihat kemungkinan

peningkatan kasus DBD yang terus terjadi di daerah-daerah endemis, maka perlu

dilakukan upaya pencegahan yang bergantung pada pengendalian vektor yaitu

nyamuk Aedes sp. Pengendalian nyamuk Aedes sp dapat dilakukan dengan

menggunakan tiga metode yaitu, metode lingkungan, metode biologis dan metode

kimia (Depkes RI, 2005).

Sejak tahun 1972 pemerintah menggunakan fogging (malathion) dalam

mencegah penularan DBD tetapi sangat mencemari lingkungan dan akhirnya

mencemari manusia. Tidak hanya terjadi resistensi pada nyamuk, bahaya

malathion juga dapat terjadi pada wanita hamil yang terpapar malation yang
4

memiliki risiko 2,5 kali lebih besar pada anak yang di kandungnya untuk memiliki

kelainan gastrointestinal, gagal ginjal, gangguan pada bayi baru lahir, kerusakan

gen dan kromosom pada bayi dalam kandungan, kerusakan paru, dan penurunan

sistem kekebalan tubuh. Malation juga diduga mempunyai peran terhadap 28

gangguan, mulai dari gangguan gerakan sperma hingga kejadian hiperaktif pada

anak. Selain itu bahaya dari solar yang menjadi bahan pengencer malation yang

hasil pembakarannya mengikat hemoglobin (Hb) dalam darah dibandingkan

oksigen. Selain itu, racun hasil pembakarannya mengakibatkan radang paru-paru,

penyumbatan bronchioli, serta iritasi dan produksi lendir berlebihan pada saluran

napas (Dinkes cirebon, 2015).

Dampak jangka panjang yang disebabkan oleh racun tersebut akan bersifat

karsinogenik (pembentukan jaringan kanker pada tubuh); mutagenik (kerusakan

genetik untuk generasi yang akan datang), teratogenik (kelahiran anak cacat dari

ibu yang keracunan) dan residu sisa berbahaya. Hal tersebut diakibatkan oleh

bahan-bahan fogging mengandung zat yang bersifat racun. Bahan-bahan tersebut

disemprotkan dalam bentuk asap ke rumah-rumah penduduk dan menjadi sangat

berbahaya bagi seluruh anggota keluarga, terlebih anak-anak dan balita jika

menghirupnya (Dinkes cirebon, 2015).

Penggunaan abate (temephos) yang telah dilakukan secara intensif di

Indonesia untuk pengendalian Aedes sp lebih dari 25 tahun juga menyebabkan

populasi Aedes sp menjadi cepat resisten. Seperti tingkat resistensi di Surabaya

yang mencapai 80% pada tahun 2010 (Mulyatno, et al., 2012).


5

Banyaknya dampak negatif dari penggunan insektisida kimia maka perlu

dilakukan penelitian dengan menggunakan bahan-bahan hayati yang berasal

dari tumbuh-tumbuhan sebagai suatu larvasida altenatif (Refai, et al., 2012).

Salah satu alternatif yang efektif adalah vektor kontrol biologi/hayati dengan

menggunakan ekstrak tanaman, karena adanya kandungan metabolit sekunder

pada fitokimia yang berperan sebagai insektisida alami tanpa merusak organisme

lain dan lingkungan. Penggunaan larvasida alami memililiki beberapa

keuntungan, antara lain degradasi atau penguraian yang cepat oleh sinar matahari,

udara, kelembaban, dan komponen alam lainnya, sehingga mengurangi risiko

pencemaran tanah dan air. Selain itu, umumnya larvasida alami memiliki

toksisitas yang rendah pada mamalia karena sifat inilah yang menyebabkan

larvasida alami memungkinkan untuk diterapkan pada kehidupan manusia

(Gomathi dan Karpagam, 2014).

Banyak penelitian yang menggunakan tanaman sebagai larvasida dengan

mengamati LC (Lethal consentration) dan LT (Lethal time). LC (Lethal

consentration) merupakan suatu ukuran untuk mengukur daya racun dari jenis

pestisida. Lethal time merupakan waktu yang dibutuhkan suatu zat untuk

menimbulkan kematian. Pada uji efektivitas ditunjukkan LC 50 dan LC90 dimana

persen konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian 50% dan 90% dari hewan

percobaan. LT50 menunjukkan berapa waktu konsentrasi suatu zat untuk

membunuh 50% dari hewan percobaan (Anupam, et al., 2012).

Salah satu tanaman hayati yang paling banyak di Indonesia adalah pepaya.

Daun papaya (Carica Papaya L) yang termasuk familli Caricaceae ini banyak
6

memiliki kandungan bahan aktif yang menimbulkan berbagai reaksi di dalam

tubuh larva nyamuk sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan

dari larva tersebut, salah satunya seperti papain yang merupakan enzim proteolitik

dan alkaloid karpain yang menghambat hormon pertumbuhan sehingga larva akan

mati, saponin yang akan berikatan dengan protein dan lipid sehingga terjadi

perubahan struktur hingga terjadinya osmosis komponen intraseluler yang

menyebabkan lisis, flavonoid yang merupakan inhibitor kuat yang menyebabkan

terhambatnya pembentukan sistem pernafasan (Shadana, et al., 2013).

Penelitian (Kovendan, et al., 2012) memperlihatkan aktifitas larvasida yang

tinggi pada ekstrak daun papaya dan (Kurniawan, et al., 2015) memperlihatkan

bahwa ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya L) dapat membunuh larva

aedes aegypti instar III dengan efektivitas tidak bermakna dengan abate 1%.

Selanjutnya penelitian (Ariesta, et al., 2013) efektifitas larutan daun papaya

dengan dosis paling efektif dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti instar

II sebesar 95% yaitu pada konsentrasi 10%.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti ingin melakukan penelitian

yang lebih lengkap dari penelitian sebelumnya dengan menggunakan larva aedes

sp instar III/IV yang meliputi Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor

DBD yang dibiakkan, selain itu peneliti juga akan menggunakan metode standard

perlakuan yang di tetapkan oleh WHO 2002 dalam ekstrak etanol daun papaya

(EEDP) dalam ” Uji Efektivitas Biolarvasida Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica

papaya L) Terhadap Larva Aedes sp Instar III – IV Sebagai Vektor Demam

Berdarah Dengue. ”dengan melihat LC50 dan LT yang paling efektif


7

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:

a. apakah EEDP memiliki efek larvasida terhadap larva Aedes sp?

b. apakah EEDP tidak memiliki efek larvasida terhadap larva Aedes sp?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian adalah:

a. EEDP memiliki efek larvasida terhadap larva Aedes sp

b. EEDP memiliki efek larvasida terhadap larva Aedes sp

1.4 Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis di atas maka tujuan penelitian ini

antara lain untuk:

a. Umum

Mengetahui efektivitas biolarvasida EEDP pada larva Aedes sp instar III

dan IV sebagai vektor DBD

b. Khusus

i. Mengetahui konsentrasi paling efektif (LC50) dari EEDP sebagai

larvasida terhadap larva Aedes sp

ii. Mengetahui waktu paling efektif dari EEDP sebagai larvasida terhadap

larva Aedes sp
8

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian ini untuk :

a. peneliti dapat mengetahui tingkat EEDP sebagai biolarvasida alami dan

ramah lingkungan yang potensial dalam membunuh larva Aedes sp sebagai

upaya pengendalian vektor DBD.

b. penelitian kesehatan diharapkan akan memperluas wawasan ilmu

kedokteran tropis tentang penggunaan biolarvasida alami dalam

pengendalian vektor demam berdarah.

c. pemerintah dapat menekan angka kejadian DBD pada daerah endemis

dengan penggunaan biolarvasida alami yang ramah lingkungan.


9

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental dimaksudkan untuk membuat larvasida

EEDP dalam berbagai konsentrasi terhadap larva Aedes sp. Kerangka penelitian

ini terdiri dari variabel bebas yaitu EEDP dengan konsentrasi 20 ppm, 40 ppm, 80

ppm, 100ppm, dan Abate sebagai kontrol positif serta air sebagai kontrol negatif.

Variabel terikat yaitu larva Aedes sp instar III/IV dan parameter yaitu larva aedes

sp yang tenggelam dan tidak bergerak yang terlihat menggunakan loop (Gambar

1.2).

Variabel Bebas Variabel terikat Parameter


Telur
Aedes sp EEDP :
1. Konsentrasi 20
ppm
Larva Aedes sp
2. Konsentrasi 40
ppm a. Tenggelam
3. Konsentrasi 60 Efek larva Aedes b. Tidak bergerak
ppm sp instar III dan
4. Konsentrasi 80 Dinyatakan mati dan
ppm IV dapat dilihat dengan
5. Konsentrasi 100 menggunakan loop
ppm
Kontrol positif
 Abate
Kontrol negatif
 Air

Proses perkembang
biakan

Gambar 1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Anda mungkin juga menyukai