Anda di halaman 1dari 5

KASUS PENGGELAPAN PAJAK PT ASIAN AGRI

Kasus :
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit atas proses pemeriksaan
dan penyidikan pajak terhadap enam perusahaan. Hasil pemeriksaan itu mengungkap proses
pemeriksaan rupanya tidak efektif. Berdasarkan dokumen hasil audit BPK yang diterima,
pemeriksaan BPK tersebut lebih ditujukan untuk menilai kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan, serta efektivitas proses pemeriksaan dan penyidikan terhadap wajib
pajak. Asian Agri misalnya. Ini merupakan wajib pajak yang bergerak di sektor perkebunan
kelapa sawit.
Asian Agri diduga menggelapkan pajak sejak 2002 hingga 2005 sebesar Rp1,4 triliun.
Dari hasil audit BPK terungkap, kinerja pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan pajak
oleh Ditjen Pajak terhadap Asian Agri periode 2002-2005 yang belum sepenuhnya efektif.
Akibatnya, proses pemeriksaan atas kasus ini berjalan berlarut-larut cukup lama. Jangka
waktu pelaksanaan bukti permulaan atas Asian Agri melebihi ketentuan, yakni melewati dua
bulan dan tidak didukung dengan usulan serta surat persetujuan perpanjangan pemeriksaan.
Akibatnya, pelaksanaan pemeriksaan bukti awal tidak punya kepastian penyelesaian
dan mengganggu efektivitas penyelesaian tindak pidana perpajakan. Pelaksanaan penyidikan
dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan, namun Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) tanggal 14 Mei 2007 hanya ditujukan kepada Kejaksaan Tinggi Jakarta,
melalui Mabes Polri, bukan disampaikan kepada Kejaksaan Agung. “Akibatnya, penyidikan
menjadi tidak efektif dan berpotensi menimbulkan gugatan hukum,” kata BPK.
Ditjen Pajak telah mengikuti prosedur sesuai dengan ketentuan atas permohonan
perpanjangan pencegahan terhadap para tersangka tindak pidana perpajakan dalam kasus
Asian Agri. Penyidik Pajak tidak membuat Berita Acara Penggeledahan saat melakukan
penggeledahan pada keadaan perlu dan sangat mendesak sesuai surat perintah tanggal 14 Mei
2007. Penggeledahan itu berlokasi di Marunda, Jakarta. Selain itu, terdapat ketidaksesuaian
alamat/lokasi penggeledahan antara surat perintah penggeledahan yang menyebutkan
kompleks Duta Merlin C33 Jakarta Barat dengan lokasi sebenarnya B33. Atas tindakan
penggeledahan itu, Wajib Pajak mengajukan permohonan pra peradilan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan pada Juni 2008.
Putusan pra peradilan pada 1 Juli 2008 menyebutkan tindakan penggeledahan tidak
sah. Atas putusan tersebut, Ditjen Pajak kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Namun, permohonan kasasi ditolak oleh PN Jaksel dan tidak diteruskan ke MA karena tidak
memenuhi syarat formal. “Akibatnya, proses penyelidikan Ditjen Pajak terhadap Asian Agri
menjadi tidak efektif.” Soal penyitaan, penyidik pajak telah melakukan penyitaan dalam
keadaan perlu dan mendesak pada 14 Mei 2007.
Persoalannya, penyidik pajak baru melaporkan pelaksanaan dan hasil penyitaan
kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapat persetujuan pada 14 Agustus 2007 atau 90
hari setelah penyitaan, padahal semestinya dua hari setelah penyitaan. Atas penyitaan
tersebut, Wajib Pajak kemudian mengajukan gugatan pra peradilan pada Juni 2008 ke PN
Jaksel. Pengadilan menyatakan penyitaan oleh penyidik tidak sah. Atas putusan itu, Ditjen
Pajak kemudian mengajukan kasasi ke MA, namun kasasi tidak diproses PN Jaksel karena
tidak memenuhi syarat formal.
Temuan BPK lainnya menyebutkan penyidik Ditjen Pajak melengkapi berkas perkara
P-19 melewati batas waktu yang ditentukan. Mereka juga belum menyerahkan barang bukti
dan tersangka atas berkas perkara yang sudah lengkap (P-21) dalam kasus Pajak Asian Agri
kepada Kejaksaan Agung. “Akibatnya, proses penyidikan tidak optimal,” kata BPK. Karena
itu, BPK meminta Dirjen Pajak segera memenuhi dan melengkapi berkas perkara seperti
diminta Kejaksaan Agung. Tanggapan Ditjen Pajak Atas hasil pemeriksaan BPK tersebut,
Ditjen Pajak menanggapinya sejumlah temuan tersebut.
Soal jangka waktu pemeriksaan bukti permulaaan misalnya. Ditjen Pajak menyatakan
pemeriksaan bukti permulaan diselesaikan dalam tempo dua bulan dan dapat diperpanjang
untuk jangka waktu yang disesuaikan. Namun, BPK tidak sependapat. BPK malah meminta
Dirjen Pajak memberi sanksi pejabat pajak yang membuat proses pemeriksaan melebihi batas
waktu. Soal penggeledahan dan penyitaan, Ditjen Pajak menjelaskan bahwa penggeledahan
di Marunda telah dibuatkan Berita Acara Penggeledahan pada 14 Mei 2007. Sedangkan untuk
alamat di Duta Merlin baik di C-33 atau B-33, tidak pernah dilakukan penggeledahan
berdasarkan kesepakatan dengan Wajib Pajak pada 15 Mei 2007.
Sementara itu, penyitaan dilakukan oleh penyidik pajak pada 14 Agustus 2007, bukan
pada 14 Mei 2007 seperti disebutkan. Itu didasarkan pada Surat Perintah Penyitaan pada 14
Agustus 2007. Saat dihubungi, salah satu pejabat Raja Garuda Mas (induk usaha Asian Agri),
Tjandra Putra tidak mengangkat ponselnya. Sedangkan, pengacara Asian Agri, Hinca
Panjaitan juga belum bisa dimintai komentarnya saat dihubungi via ponsel.
Penjelasan diperoleh dari humas Asian Agri, Fiona Mambu. Menurut dia, kasus pajak
Asian Agri sesungguhnya sudah masuk ranah pengadilan. Karena itu, dia merasa lebih baik
dibahas di pengadilan. “Kami tidak mau spekulasi, yang jelas kami selalu kooperatif dan
berharap diselesaikan secara adil dan tranparan sesuai ketentuan yang berlaku.” Fiona
mengakui mengacu pada berita-berita yang beredar, Asian Agri memang dituduh
menggelapkan pajak itu Rp1,4 triliun.
Namun, dia berharap Ditjen Pajak melakukan hitung-hitungan yang adil dan
transparan. Penyelesaiannya juga harus mengacu aturan yang berlaku. “Sebenarnya, kami
melihatnya masalah perpajakan Asian Agri seharusnya diselesaikan secara hukum
administratif, bukan dengan pidana,” kata Fiona.

Analisis :
Dalam hal ini ada banyak modus yang dilakukan untuk menghidar dari pembayaran
wajib pajak. secara umum modus tindak kejahatan pajak dibagi dalam dua cara yaitu yang
bentuknya legal dan illegal.
Cara legal dilakukan dengan menghindari pembayaran pajak melalui pembukuan
penjualan yang dibuat tidak sebagaimana mestinya. Hal ini umumnya dilakukan perusahaan-
perusahaan besar yang memiliki sumber daya-sumber daya yang capable dalam hal
mensiasati kelemahan peraturan perpajakan.
Sementara untuk modus illegal, dilakukan dengan cara penyelundupan atau tidak
melaporkan penjualannya. Hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat invoice palsu. hal
tersebut tentu dilakukan orang-orang yang sangat memahami kelemahan-kelemahan pedoman
atau aturan-aturan perpajakan. “Segala kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk kemungkinan
adanya kerja sama antar pihak. WP bisa melakukan berbagai cara untuk mengecilkan pajak
yang terhutang atau malah diusahakan supaya tidak bayar.
Motif pertama adalah tidak melaporkan penghasilan atau penjualannya ke petugas
pajak. Kedua, membesarkan ongkos-ongkos perusahaan sehingga labanya jadi kecil. “Jadi,
pajak yang harus dibayarkan juga jadi kecil. Begitu juga halnya PT Asian Agri Group (AAG)
diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion) selama beberapa tahun terakhir
sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah.
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius
Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$
3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial
controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini
terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya.
Modus yang dilakukan PT AAG adalah dengan cara menghindari pembayaran pajak
melalui pembukuan penjualan yang dibuat tidak sebagaimana mestinya. dengan cara menjual
produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di
luar negeri dengan harga di bawah harga pasar untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil
dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.
Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA
sebagian adalah perusahaan fiktif. Hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa),
ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh)
dan pajak pertambahan nilai (PPN).
Selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun
penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan
hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan
hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak
penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan
pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Kasus penyeledupan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri Group (AAG)
harusnya tidak terjadi apabila Dirjen pajak teliti memeriksa berkas atupun dokumen
pembayaran pajak dari perusahaan PT Asian Agri Group (AAG). Kemudian penegakan
hukum yang tegas bagi pelaku penggelapan pajak menjadi suatu yang harus sehingga tidak
terus berlarut kasus penggelapan pajak di negara kita ini.
Dapat diketahui bahwa Vincentius memegang peranan penting dalam menguak kasus
penggelapan pajak yang dilakukan oleh ST dimana Vincent sebagai Financial Controller
Asian Agri yang dimiliki oleh ST. Vincentius dalam kasus dugaan penggelapan pajak ST ini
berperan sebagai whistleblower. Lemahnya penegakan hukum dan kurang komprehensifnya
pengaturan mengenai perlindungan saksi secara yuridis formal pada gilirannya membuat
saksi enggan memberikan kesaksian mengenai segala sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia
alami sendiri.
Dalam Witness Protection Act di USA, perlindungan terhadap whistleblower sudah
mengakomodir agar terhadap whistleblower diberlakukan penganuliran pendakwaan dan
bukan hanya keringanan hukuman seperti di Indonesia, tapi benar-benar dibebaskan. Guna
mengungkap kasus yang lebih besar, membebaskan pelaku dalam kasus kecil yang terlibat
dalam lingkup kasus besar tersebut.
Hukum perlindungan saksi dan korban di Indonesia tidak mengenal plea agreement.
Prinsip yang terkandung dalam plea agreement adalah untuk mendorong peran aktif saksi,
sehingga diberikan suatu penghargaan bagi siapapun yang berperan dalam
melaporkan/membantu membongkar tindak pidana. Selain itu masih terdapat pula plea
bargain yang memiliki makna bahwa saksi yang menjadi pelaku tersebut dapat bernegosiasi
mengenai pengurangan hukuman yang akan dijatuhkan terhadapnya di muka pengadilan.
Hukum mengenai perlindungan saksi dan pelapor yang berlaku di Indonesia yaitu
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya
memberikan keringanan hukuman bagi pelaku pidana berdasarkan pertimbangan hakim yang
diatur pada Pasal 10 ayat 2. Dasar hukum perlindungan saksi dan pelapor selain tercantum
dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006, juga terdapat dalam Undang-undang Pengadilan
HAM No. 26 Tahun 2000 pada Pasal 34, UNCAC pasal 32, Konvensi Palermo/ TOC pada
Pasal 24 dan Pasal 25.
Dalam rangka pelaksanaan proses pemeriksaan tindak pidana pencucian uang,
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 (UU TPPU), telah mengatur
mengenai perlindungan khusus terhadap Pelapor dan Saksi yang dicantumkan pada Pasal 39
sampai Pasal 43 yang dikuatkan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 57 (2)
Tentang Tatacara Pemberian Perlindungan Khusus sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal
42 UU TPPU.
Dalam pengaturan ini, terhadap saksi dan pelapor telah diberikan perlindungan khusus
oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya termasuk
keluarganya dari pihak manapun. Dengan pemberian perlindungan khusus tersebut
diharapkan baik Pelapor dan Saksi memperoleh jaminan atas rasa aman dan dapat
memberikan keterangan yang benar, sehingga proses peradilan terhadap tindak pidana
pencucian uang dapat dilaksanakan dengan baik.
Menurut UU Kejaksaan, Jaksa Agung bisa memakai kewenangan diskresinya melalui
hak oportunitas untuk menganulir pendakwaan bagi saksi pelaku yang berjasa dalam
mempermudah proses pengusutan suatu perkara. Penggunaan hak oportunitas ini pernah
dilakukan Jaksa Agung dalam menyingkap kasus korupsi di tanah air.

Anda mungkin juga menyukai