Anda di halaman 1dari 25

EKA SYAFNITA

1. Memahami dan menjelaskan Autoimun


1.1.Definisi + Toleransi imun (Definisi, Etiologi dan Mekanisme)
Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan
oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B,
sel T atau keduanya. (Karnen, Imunologi dasar, 10th Edition)

1.2.Etiologi
1. Genetik

Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen
Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility
Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko
relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA
DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang
mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA,
sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk
autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-
epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

2. Defisiensi komplemen

Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau
C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen
C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada
kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen
komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES
dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap
infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit
kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga
dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas
II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B.
Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses
opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag.
Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R)
yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen,
eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan
dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

3. Hormon

Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan


estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria
EKA SYAFNITA

memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan
di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian
estrogen memperberat penyakit.

4. Lingkungan

Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan
dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui
aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.

1.3.Klasifikasi

Penyakit autoimun dapat di anggap sebagai segolongan penyakit yang jika di susun
secara berurutan akan membentuk spektrum. Pada ujung spektrum yang satu terdapat
penyakit autoimun yang spesifik organ dan pada ujung lainnya terdapat penyakit
autoimun yang non-spesifik organ.

a. Penyakit autoimun spesifik organ


Pada penyakit autoimun organ spesifik, umumnya mempengaruhi organ tunggal dan
respons autoimun ditujukan langsung pada antigen di dalam organ tersebut. Sebagian
besar kelainan spesifik organ melibatkan satu atau beberapa kelenjar endokrin. Target
antigen dapat berupa molekul yang diekspresikan pada permukaan sel hidup (terutama
reseptor hormon) atau molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler).

Sel endokrin berfungsi sebaagai APC bagi protein selnya sendiri yang dikenal oleh
sel T dan sel B autoreaktif yang mengakibatkan destruksi sel-sel endokrin secara
enzimatik dan oksidatif. Contoh penyakitnya adalah: Tiroiditis Hashimoto, Tiritoksisitas
Grave’s dan Sindroma myxedema primer (Tiroiditis atrofik).

b. Penyakit autoimun non-spesifik organ


Umumnya terjadi pada beberapa organ dan jaringan di seluruh tubuh. Penyakit
autoimun non-spesifik organ mempengaruhi organ multipel dan biasanya berkaitan
dengan respons autoimun terhadap molekul yang tersebar di seluruh tubuh, terutama
molekul intraseluler yang berperan dalam transkripsi dan translasi kode genetik (DNA
dan unsur inti sel lainnya). Diawali dengan pembentukan kompleks imun yang
mengendap dan mengakibatkan inflamasi melalui berbagai mekanisme termasuk aktivasi
komolemen dan rekrutmen fagosit. Contoh: Lupus eritematous sistemik dan artritis
reumatoid.
EKA SYAFNITA

Penyakit organ Antibodi Tes diagnosis


terhadap
Organ T. hashimoto tiroid tiroglobulin RIA
spesifik Grave D. Tiroid TSH recep Immunofluorescen
Pernisious Del darah Intrinsik Immunofluorescen
anemia merah faktor
IDDM Pankreas Sel beta
Infertilitas sperma Sperma Aglutinasi
laki immunofluorescen
Non- Virtiligo Kulit Melanosit Immunofluorescen
organ persendian
spesifik Rheumatoid Kulit IgG IgG-latex
arthritis Ginjal Aglutination
sendi
LES Sendi DNA DNA
organ RNA RNA
nucleiprotein latex Aglutination

1.4.Mekanisme

Ada empat dasar mekanisme yang menyebabkan kejadian penyakit autoimun : 


1) Mediasi Antibodi : 
 Keberadaan antibodi spesifik melakukan perlawanan


terhadap antigen tertentu (protein) mendorong kerusakan dan timbulnya tanda-
tanda penyakit. Contohnya; auto-immune mediated hemolytic anemia, dimana
targetnya adalah permukaan sel darah merah; myesthenia gravis dimana
targetnya adalah acetylcholine receptor pada neuromuscular junction;
hypoadrenocorticism (Addisons’s) dimana targetnya adalah sel dari kelenjar
adrenal (Aronson, 1999 : Mims, 1982).

2) Mediasi Immune Kompleks: 
 Antibodi diproduksi melawan protein didalam


tubuh, komplek ini dalam bentuk molekul besar yang bersikulasi keseluruh
tubuh. Pada systemic lupus erythematosus (LES), antibodi dibentuk justru
merusak beberapa komponen-komponen didalam inti selnya ( sehingga anti-
EKA SYAFNITA

nuclear antibody test (ANA) dilakukan untuk LES). Sebagian besar antibodi-
antibodi yang diproduksi merusak double stranded DNA, dan membentuk
komplek terlarut yang tersirkulasi yang akan memecah kulit dan menyebabkan
peningkatan sensitivitas pada ultraviolet dan berbagai gejala lainnya. Karena
darah tersaring melalui ginjal, maka kompleks tersebut akan tertahan dalam
glomeruli dan pembuluh darah yang menyebabkan ginjal kekuarangan protein
sehingga mengalami glomeulonephritis. Kondisi ini juga merusak pembuluh
darah lainnya, dan dimungkinkan terjadinya haemorhagi, sebagaimana
akumulasi dari cairan synovial dan menyebabkan tanda-tanda arthritis dan
kesakitan persendian. Rheumatoid arthritis diakibatkan dari immune complexes
(kelompok antibodi IgM mengikat rheumatoid factor) merusak bagian dari
sistem kekebalan hewan (bagian dari molekul Ig G). Bentuk komplek ini
dideposit di ruang persendian synovial yang menyebabkan respon peradangan,
pembengkakan persendian dan kesakitan. Kolagen dan cartilage dirusak dan
seringkali digantikan dengan fibrin sehingga menyebabkan fuses dari persendian
– ankylosis (Aronson, 1999).

3) Mediasi Antibodi dan sel T cell : 
 Sel T adalah salah satu dari dua tipe (yang
satunya disebut sel B) sel darah putih yang memediasi reaksi immune. Ketika
dihadapkan pada suatu antigen tertentu, sel T terprogram untuk mencari dan
merusak protein tertentu itu pula dikemudian hari. Jika seekor hewan terekspose
pada suatu antigen, maka menjadi lebih berkemampuan untuk memberikan
respon lebih banyak dan lebih cepat dalam memberikan perlawanan terhadap
antigen tertentu itu dikemudian hari. Inilah dasar pelaksanaan vaksinasi. Pada
kejadian Thyroiditis (autoimmune hypothyroidism) tampaknya memberikan
dampak mixed ethiology, dimana beberapa antigen yang menjadi target dan juga
sekaligus hormon penting thyroglobulin yang diproduksi oleh tyroid menjadi
dikenali. Autoantibodi terhadap antigen-antigen pada ephitel sel thyroid juga
dikenali. Thyroid menjadi terinvasi oleh sejumlah besar sel T, sel B demikian
pula sel Makrophage yang akan "menelan" dan menghancurkan sel-sel lainnya.
Sel T yang terprogram secara spesifik terhadap thyroglobulin ini telah
diidentifikasi (Aronson, 1999 : Salyers dan Whitt, 1994 : Madigan dkk, 1997).

4) Difisiensi complemen : 
 Ketika antigen dan antibodi bereaksi, maka akan


mengaktivasi kelompok enzime serum (sistem komplemen) yang memberikan
hasil akhir berupa lisis dari molekul antigen atau memungkinkan sel phagosite
seperti macrophage untuk lebih mudah melakukan perusakan. Hewan yang
mengalami defisiensi enzimes activated pada awal sistem komplemen akan
EKA SYAFNITA

penderita penyakit autoimmune, seperti pada kasus penyakit LES (Aronson,


1999 : Roitt, 1991).

Pelepasan Antigen “Terasingkan” (Sequestered Antigen)

Sebetulnya sel T mampu untuk mengenali antigen self, karena pada masa
pematangannya, sel T yang belum matang telah terpajan kepada banyak antigen self.
Sel T yang tidak bisa mengenali self (T-cell self-reactive) akan dibuang, yaitu pada
proses clonal deletion. Antigen dari jaringan yang berada diluar dari sirkulasi darah
dan tidak diperkenalkan kepada sel T, tidak dapat menimbulkan self-tolerance.
Pajanan antigen tersebut kepada sel T yang sudah matang, nantinya, dapat
mengaktivasi respon imun.

Salah satu contohnya adalah pada Myelin Basic Protein (MBP), yaitu antigen
yang terletak di luar sistem imun; MBP tidak terjangkau oleh sistem imun karena
dihalang oleh blood-brain barrier. Pada percobaan, seekor hewan diinjeksi dengan
MBP + adjuvant, yaitu untuk memaksimalisasi respon imun. Pada kasus tersebut,
sistem imun hewan percobaan terpajan oleh antigen self yang asing, namun dalam
keadaan nonfisiologis (dalam keadaan percobaan). Pada eksperimen yang sama,
ternyata kasus tersebut dapat dicegah apabila MBP diinjeksi langsung ke timus,
sehingga sel T dapat terpajan oleh antigen terkait pada saat pematangannya. (Kindt,
et. al., 2007)

Mimikri Molekuler

Oleh karena berbagai hal, mikroba dan virus dapat menyebabkan terjadinya
EKA SYAFNITA

autoimunitas. Perlu disadari bahwa manusia terserang penyakit di mana penyakit


tersebut endemik di wilayah tertentu. Namun seiring dengan perkembangan zaman,
mobilitas manusia meningkat, dan menariknya, tingkat kejadian autoimunitas juga
meningkat. Hal ini diduga karena beberapa mikroba atau virus tertentu memiliki
determinan antigen yang mirip dengan antigen sel yang dimiliki host. Hal ini
dinamakan mimikri. Pada satu studi, sebanyak 600 antibodi monoklonal yang
spesifik terhadap 11 virus dites reaktivitasnya terhadap sel tubuh host. Sebanyak 3%
dari antibodi spesifik virus tersebut ternyata juga berikatan dengan sel tubuh normal,
sehingga disimpulkan bahwa mimikri molekuler bisa menjadi fenomena yang sering
terjadi. (Kindt, et. al., 2007)

Ekspresi MHC kelas II yang Tidak Sesuai

Pada penderita insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), sel beta pankreasnya


mengekspresi molekul MHC kelas I dan II dalam kadar yang tinggi. Sel beta yang
normal seharusnya memproduksi MHC kelas I yang rendah, dan sama sekali tidak
mengekspresi MHC kelas II. Ekspresi yang tidak tepat ini, yang seharusnya hanya
diekspresi oleh Antigen Presenting Cell (APC), menyebabkan sensitasi sel T-Helper
kepada peptida sel beta, yang kemudian dapat mengaktivasi sel B atau sel Tc dan
menyerang antigen self. (Kindt, et. al., 2007)

2. Memahami dan menjelaskan LES


2.1.Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) adalah penyakit
autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel tubuh sendiri,
mengakibatkan peradangan dan kerusakan jaringan.

2.2.Etiologi
1. Genetik:
a. Sering pada anggota keluarga dan saudara kembar monozigot (25%) dibanding
kembar dizigotik (3%), berkaitan dengan HLA seperti DR2, DR3 dari MHC kelas
II.
b. Individu dengan HLA DR2 dan DR3 risiko 2-3 kali dibanding dengan HLA DR4
dan HLA DR5.
c. Gen HLA diperlukan untuk proses pengikatan dan presentasi antigen, serta
aktivasi sel T.
d. Haploptip (pasangan gen yang terletak dalam sepasang kromosom yang
menetukan ciri seseorang), HLA menggangu fungsi sistem imun yang
menyebabkan peningkatan autoimunitas.
Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari
penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah
EKA SYAFNITA

maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak
dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.

2.Defisiensi komplemen
a.Defisiensi C3 / C4 jarang pada yang manifestasi kulit dan SSP.
b.Defisiensi C2 pada LES dengan predisposisi genetik.
c.80% penderita defisiensi komplemen herediter cenderung LES.
d.Defisiensi C3 menyebabkan kepekaan tehadap infeksi meningkat, yang akan
menyebabkan predisposisi penyakit kompleks imun.
Defisiensi komplemen menyebabkan eliminasi kompleks imun terhambat,
menaikkan jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi lebih lama, lalu
mengendap di jaringan yang menyebabkan berbagai macam manifestasi LES.

3. Hormon
a. Estrogen : imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral yang akan
menekan fungsi sel Ts dengan mengikat reseptor menyebabkan peningkatan
produksi antibodi.
b. Androgen akan induksi sel Ts dan menekan diferensiasi sel B (imunosupresor).
c. Imunomodulator adalah zat yang berpengaruh terhadap keseimbangan sistem
imun.
3 jenis imunomodulator :
 Imunorestorasi
 Imunostimulasi
 Imunosupresi

4. Autoantibodi
Antigen Spesifik Prevalensi (%) Efek Klinik Utama
Anti ds-DNA 70 – 80 % Gangguan ginjal, kulit
Nukleosom 60 – 90 % Gangguan ginjal, kulit
Ro 30 – 40 % Gangguan ginjal, kulit
Gangguan jantung fitus
La 15 – 20 % Gangguan jantung fetus
Sm 10 – 30 Gangguan ginjal
Reseptor NMDA 33 – 50 % Gangguan otak
Fosfolipid 20 – 30 % Trombosis, abortus
α Actinin 20 % Gangguan ginjal
C1q 40 – 50 % Gangguan ginjal

5. Lingkungan
EKA SYAFNITA

a. Bakteri atau virus yang mirip antigen atau berubah menjadi neoantigen.
b. Sinar UV akan meningkatkan apoptosis, pembentukan anti DNA kemudian terjadi
reaksi epidermal lalu terjadi kompleks imun yang akan berdifusi keluar endotel
setelah itu terjadi inflamasi.
Faktor fisika / kimia

 Amin aromatik
 Hydrazine
 Obat – obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,
penisilamin)
 Merokok
 Pewarna rambut
 Sinar ultra violet (UV)

Faktor makanan

 Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan


 L – canavenine (kuncup dari alfalfa)

Agen infeksi

 Retrovirus
 DNA bakteri / endotoksin

Hormon dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen)

 Terapi sulih hormone (HRT), pil kontrasepsi oral


 Paparan estrogen prenatal

Etiologi penyakit LES berdasarkan pada:


a. Jenis Kelamin
Wanita lebih banyak menderita lupus dibandingkan pria (10:1)
b. Hormon estrogen
Hormon wanita ini menjadi salah satu faktor penyebab lupus, hampir pada semua
wanita yang menderita lupus pada usia produktif
c. Ras/Suku
Lupus sering terjadi pada wanita afrika (kulit hitam) dan asia (kulit kuning
langsat) di banding wanita berkulit putih
d. Genetik
10% dari penderita lupus memiliki anggota keluarga yang juga menderita lupus
e. Stress/infeksi
EKA SYAFNITA

Jika seseorang memiliki kecendrungan genetik untuk menderita lupus, maka stress
atau adanya infeksi dapat memacu penyakit ini.

2.3.Epidemiologi

2.4.Mekanisme

Faktor pemicu akan memicu sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi dan
ekspansi sel B. Lalu, akan muncul antibodi terhadap antigen nukleoplasma, meliputi DNA,
nukleoprotein, dan lain- lain yang akan membentuk kompleks imun.Kompleks imun dalam
keadaan normal, dalam sirkulasi diangkut oleh eritrosit ke hati dan limpa lalu dimusnahkan
oleh fagosit. Tetapi dalam LES, akan terdapat gangguan fungsi fagosit, yang akan
menyebabkan kompleks imun sulit dimusnahkan dan mengendap di jaringan. Lalu,
kompleks imun tersebut akan mengalami reaksi hipersensitivita tipe III.

2.5.Manifestasi

Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ terlibat dimana dapat
melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks,
sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan
seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena
manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Hence,
manifestasi ini dibagi menjadi:

a. Manifestasi konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan biasanya
mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena
banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban
kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan
disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.

Penurunan berat badan dijumpai pada sebagaian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan
oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab lain
seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.

b. Manifestasi Muskuloskeletal
EKA SYAFNITA

Pada penderita LES, manifestasi pada Muskuloskeletal ditemukan poliarthritis, biasanya


simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku
pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Selain
itu, ditemukan juga mialgia pada 60% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya
berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan
berhubungan dengan aktivitas penyakit dan penggunaan steroid.

c. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas, butterfly rash,
ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform, dll. Selain itu, pada
kulit juga dapat ditemukan tanda tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo
retikularis, ulkus jari, gangrene.

d. Manifestasi Kardiovascular
Diantara lain penyakit perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial
sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.

e. Manifestasi Paru-paru
Kelainan paru-paru pada LES sering kali bersifat subklinik sehingga foto torax dan
spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas atau kelainan
respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada 60% kasus. Efusi pleura
dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak bermakna.

f. Manifestasi ginjal
Penilaian keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai ada
tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan
kreatinin, proterinuria kuantitative dan klirens kreatinin.

g. Manifestasi Hemopoetik
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal
kronik, gastritis erosif dengan pendarahan dan anemia hemolitik autoimun. Selain itu
ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya leukositosis harus
dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus,

h. Manifestasi susunan saraf


Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati
perifer, sampain kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibody anti-
phospholipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovascular pada LES.
Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Keterlibatan saraf otak,
jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering ditemukan mulai dari anxiety, depresi sampai
psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipice oleh terapi steroid. Analisis cairan
EKA SYAFNITA

serebrospinal sering kali tidak memberikan gambaran yang specifik, kecuali untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi.

i. Manifestasi gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak specifik, splenomegali, peritonitis
aseptik, vaskulitis mesenterial, pancreatitis. Selain itu ditemukan juga peningkatan SGOT
dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.

Gejala yang lain:

1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %


2. Demam di atas 38oC 90 %
3. Bengkak pada sendi (arthriis) 90 %
4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan 81 %
5. Ruam pada kulit 74 %
6. Anemia 71 %
7. Gangguan ginjal 50 %
8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %
9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %
10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %
11. Rambut rontok 27 %
12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %
13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynaud’s) 17 %
14. Stroke 15 %
15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %
16. Selera makan hilang > 60 %

Macam-Macam Lupus Eritematosus Sistemik

a. Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus)


- Eritematosus sendiri berarti kemerahan. Itu adalah karakteristik penyakit ini yaitu
ada tanda atau bercak kemerahan
- Merupakan tipe lupus yang paling serius dan berbahaya
- Menyerang organ dalam tubuh yang vital seperti otak, hati, paru dan ginjal
b. Lupus diskoid (Discoid Lupus)
- Hanya menyerang kulit, biasanya muncul bercak merah pada kulit dan menyebabkan
rash pada muka, leher, kulit kepala dan telinga
c. Lupus obat (Drug Induced Lupus)
- Disebabkan oleh reaksi dari beberapa jenis obat atau karena mengkonsumsi obat-
obatan tertentu
- Ketika terjadi penghentian obat, maka gejalanya akan hilang
EKA SYAFNITA

d. Lupus neonatal
- Lupus yang dipindahkan dari ibu ke bayi

2.6.Diagnosis

Anamnesis

Demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu, mual, tidak nafsu makan, mulut
sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok dan pipi bewarna merah bila terkena sinar
matahari.

Pemeriksaan Fisik

NO. Kriteria Definisi


1. Eritema/bercak malar Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah
(butterfly rash) pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial
2. Bercak/ruam diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic
scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat
terjadi parut atrofi
3. Fotosensitivitas Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari,
pada anamnesis atau pemeriksaan fisik
4. Ulkus mulut/Ulserasi Ulkus mulut/nasofaring,biasanya tidak nyeri
mukokutaneus oral atau
nasal
5. Artritis non erosif Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer,
ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi
6. Serositif a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub
atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial
friction rub atau terdapat efusi perikardial pada
pemeriksaan fisik
7. Gangguan ginjal/Nefritis a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3
jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan
b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau
campuran
8. Gangguan saraf/Ensefalopati Kejang
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik
(uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
Psikosis
EKA SYAFNITA

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik


(uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan
8 darah Terdapat salah satu kelainan darah
9 Anemia hemolitik à dengan retikulositosis
9
9 Leukopenia à < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan

Limfopenia à < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan

Trombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya


intervensi obat
Gangguan
1 imunologi Terdapat salah satu kelainan
0 Anti ds-DNA diatas titer normal
Anti-Sm(Smith) (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan kadar serum IgG atau
IgM antikardiolipin yang abnormal
antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes
standartes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema
palidum atau antibodi treponema
11. Antibodi antinuklear Tes ANA (+)

Bila 4 dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas

Pemeriksaan Penunjang

Darah tepi lengkap, LED, urinalisis, sel LE, ANA*, antibodi anti doublestranded-
DNA*, antibodi antifosfolipid, antibodi lain (anti-Ro, anti-La, anti-RNP), faktor
rheumatoid, titer komplemen C3, C4,dan CH50*, titer IgM ,IgG, dan IgA, uji Coombs,
kreatinin, ureum darah*, protein urin >0.5 gram/24 jam (Nefritis)*, dan pencitraan (foto
Rontgen toraks*, USG ginjal, MRI kepala).
Dalam menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan laboratorium ini harus ada, tetapi
pemeriksaan awal (diberi tanda*) sebaiknya dilakukan.

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk


membuatdiagnosa LES, antara lain :
1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)
Pemeriksaan untuk menentukan apakah auto-antibodi terhadap inti sel
sering muncul di dalam darah.
2.Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).
EKA SYAFNITA

Menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di dalam sel

3.Pemeriksaan anti-Sm antibodi


Menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yangditemukan dalam sel protein
inti).
4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan) didalam
darah
5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein
yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spesifik
dari C3 dan C4 – dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini.
6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep) yaitu : pemeriksaan darah untuk mencari
keberadaan jenis sel tertentu yangdipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan
inti sel lain –pemeriksaan ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaan
ANA,
karena pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan
dengan LE cell prep.
7. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit
8. Urine Rutin
9. Antibodi Antiphospholipid
10. Biopsy Kulit
11. Biopsy Ginjal

2.7.Diagnosis banding

Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis


banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai
gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika, sklerosis sistemik,
dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.

2.8.Penanganan dan Pencegahan

Penyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam penatalaksanaan


penderita yang baru terdiagnosis LES. Sistemik Lupus Eritematosus merupakan golongan
penyakit yang dapat relaps dan remisi. Penatalaksanaan ditujukan pada manifestasi yang
terjadi pada penyakit imun ini dan pada strategi-strategi pencegahan seperti :

 Perlindungan terhadap sinar UV (penderita mengalami fotosensitifitas)


 Profilaksis antibiotik (penderita menjalani tindakan-tindakan invasif)
 Pengaturan kehamilan (terutama pada penderita nefritis lupus/penderita
mendapat terapi antimalaria atau siklifosfamid)
EKA SYAFNITA

 Evaluasi serta terapi terhadap infeksi

Pemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit secara


rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan imunosupresi,
terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf pusat. Penderita LES
mendapat terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami:

Terapi konservatif

Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan
dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat
diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari.

 Arthritis, arthralgia, myalgia


Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita LES. Keluhan ringan
seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi nonsteroid, tetapi
pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek samping yang memperberat
keadaan umum penderita, seperti pada sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal
sehingga diperlukan pemantauan kreatinin serum berkala. Bila pemberian analgetik
dan OAINS tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian obat antimalaria :
Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan respon
baik, maka pemberian dihentikan). Hidroksiklorokuin (> 6 bulan pemakaian) dan
klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik karena beresiko toksik
terhadap retina.
Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian
kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat (7.5-15 mg/minggu)
dan diberikan berdampingan dengan obat anti artritis.
Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang “menetap” dan bukan merupakan
bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan penderita mengalami
osteonekrosis (terutama pada penderita terapi kortikosteroid). Osteonekrosis awal,
sering tidak menunjukkan gambaran bermakna pada foto radiologik konvensional,
sehingga memerlukan pemeriksaan MRI.

 Lupus kutaneus
Sekitar 70% mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut LES timbul bila
penderita terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi. Sehingga perlu diberikan
sunscreen berupa cream, minyak, lotion, atau gel yang mengandung PABA (ρ-
aminobenzoit acid) dan esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yang kesemuanya
dapat menyerap sinar UV α dan β (pemakaian diulang setelah mandi dan
berkeringat).
Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat dipertimbangkan pada
dematitis lupus, pemilihan preparat harus diperhatikan karena bersifat diflorinasi
EKA SYAFNITA

(atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid


untuk kulit :
 Muka [steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi
(hidrokortison)]
 Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang (betametason valerat
dan triamsinolon asetonid)]
 Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik (glukokortikoid
berkekuatan tinggi contohnya betametason dipropionat, penggunaan
cream dibatasi selama 2 minggu dan diganti dengan yang berkekuatan
rendah)

OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupun diskoid.
OAM mempunyai efek :
o Sunblocking
Mengikat melanin
o Antiinflamasi
o Imunosupresan
Berhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehinggga mengganggu
metabolisme rantai α dan β HLA II.
o Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF-α oleh makrofag, IL-2 dan IFN-γ
oleh sel T.
Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian glukokortikoid
sistemik dan obat eksperimental lainnya.
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,
vaskulitis, lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek sampingnya seperti :
o Methemoglobinemia
o Sulfhemoglobinemia
o Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)

 Fatigue dan keluhan sistemik


Fatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga penurunan
berat badan, dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid,
sedangkan penurunan berat badan dan demam diakibatkan oleh pemberian quinakrin.
Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan menambah waktu
istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan
peningkatan akitivitas LES dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat
dipertimbangkan.

 Serositis (radang membran serosa)


EKA SYAFNITA

Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapat diatasi
dengan salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15 mg/hari).
Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.

Terapi agresif
Pemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasi serius
LES dan mengancam nyawa, misalnya :
 Vaskulitis
 Lupus kutaneus berat
 Poliartritis
 Poliserositis
 Miokarditis pneumonitis lupus
 Glomerulonefritis (bentuk proliferatif)
 Anemia hemolitik
 Trombositopenia
 Sindrom otak organik
 Defek kognitif berat
 Mielopati
 Neuropati perifer
 Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)

Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan


jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason karena berefek
panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah untuk mengatur
dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan pada pagi hari. Pada
manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5 mg/kgBB/hari.
Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB/hari selama
3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid dosis tinggi, kemudian
dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5 mg/kgBB/hari. Efek terapi dapat terlihat secepat
mungkin atau mungkin 6-10 minggu kemudian. Toksisitas LES merupakan masalah
tersendiri pada penatalaksanaan LES.
Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus
dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak timbul ekserbasi
akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2.5
mg/minggu. Setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan
1 mg/minggu. Bila timbul ekserbasi akut, naikkan dosis hingga dosis efektif sampai
beberapa minggu, kemudian turunkan dosis kembali.
EKA SYAFNITA

Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan perbaikan


yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi
agresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 gr/m2 dalam
250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam
setelah pemberian obat. Siklofosfamid diindikasikan pada :
 Penderita LES dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing agent)
 Penderita LES dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi
 Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka panjang
lama atau berulang
 Glomerulonefritis difus awal
 LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
 Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-
faktor ekstrarenal lainnya.
 LES dengan manifestasi SSP

Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid
diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, segera pantau
jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya
diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan
dosis yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya.
Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan
selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid diberikan, dosis steroid diturunkan
secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid
meliputi :
 Nausea
 Vomitus alopesia
 Sistitis hemoragika
 Keganasan kulit
 Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia

Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari
siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan
sebagai alternatif siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat
diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES, setelah penyakitnya dapat dikontrol
dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat diturunkan perlahan dan
dihentikan. Toksisitas dari azatioprin meliputi :
 Penekanan sistem hemopoetik
 Peningkatan enzim hati
 Mencetuskan keganasan
EKA SYAFNITA

Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah (3-6
mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada LES baik
tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus
diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar kreatinin darah
meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian siklosporin maka dosis harus diturunkan.
Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :
 Terapi hormonal
 Imunoglobulin
 Afaresis
o Plasmafaresis
o Leukofaresis
o Kriofaresis

Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapat
mengatasi trombositopenia pada LES. Mekanismenya tidak diketahui secara pasti.
Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400
mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap bulan untuk
mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak dengan penderita defisiensi
IgA pada penderita LES.

Penatalaksanaan non-farmako :

 Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat LES merupakan penyakit
yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam
manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda
sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada
wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil
maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat
mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama
hamil
 Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer
group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien
Lupus, yakni Care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta.
Mereka bekerja sama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai
lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan financial untuk pasien
yang kurang mampu dalam pengobatan
 Istirahat
Penderita LES sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup,
selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
EKA SYAFNITA

 Tabir surya
Pada penderita LES aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar
sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum
terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
 Monitor ketat
Penderita LES mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan
pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian
kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita LES,
sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan
hipertensi.

Penatalaksanaan LES keadaan khusus


Trombosis
Merupakan manifesatasi LES dan berhubungan dengan adanya antibodi
antifosfolipid. Antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya (warfarin) dan
mempertahankan nilai INR (international normalization ratio) 3–3,5, terutama pada
trombosis arteri karotis interna. Antikoagulan lupus berespon baik terhadap
glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan sedangkan antibodi antikardiolipin sangat resisten
terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lainnya.
Abortus berulang pada LES
Disebabkan oleh aktivitas LES atau adanya antibodi antifosfolipid, untuk
menekan aktivitas LES, glukokortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin
kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk aktif.
Pada penderita yang belum pernah mengalami abortus, dapat dipertimbangkan untuk
tidak diberikan terapi apapun. Makin sering terjadi abortus, kemungkinan
mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi perlu diberikan.
Pilihan terapi :
 Aspirin dosis rendah
 Kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedang
 Glukokortikoid dosis tinggi
 Glukokortikoid dosis tinggi dengan aspirin
 Heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester I)
Semua regimen ini meningkatkan keberhasilan kehamilan secara bermakna,
pemantauan pada ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.

Lupus neonatal
EKA SYAFNITA

Merupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita LES.
Gejala paling sering adalah ruam kemerahan dikulit disertai plakat. Lesi ini berhubungan
dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan yang serius seperti
blok jantung kongenital jarang terjadi. Sehingga pada wanita hamil perlu diperiksa
kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.

Trombositopenia
Pertama-tama cari penyebab terjadinya trombositopenia :
 Efek samping obat
 Purpura trombositopenia trombotik
 Infeksi virus (HIV, HBV, CMV)
 Infeksi bakteri (Endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif)

Berikan prednison 0.5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit
< 50.000/ml kemudian turunkan dosis secara perlahan, target terapi ini trombosit >
50.000/ml. Bila prednison tidak berefek baik, berikan danazol 400-800 mg/hari, Ig atau
splenektomi.
Pada penderita yang resisten atau penderita dengan keterlibatan organ mayor
dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.
LES pada susunan saraf pusat
Penderita LES pada susunan saraf pusat dibagi menjadi dua, yaitu :
 Penderita dengan strok
Pemberian antikoagulan lebih berguna dibandingkan pemberian
imunosupresan
 Penderita dengan kelainan SSP yang lebih luas
Apabila disertai vaskulitis perifer, maka imunosupresan menjadi pilihan utama.
Pada penderita LES dengan kejang-kejang tanpa aktivitas pada organ lain, dapat
diberikan antikonvulsan tanpa imunosupresan. Pada penderita psikotik tanpa manifestasi
LES lain cukup diberikan obat psikoaktif. Kelainan kognitif ringan dapat diberikan
prednison 30mg/hari selama beberapa minggu lalu dosis diturunkan secara bertahap.
Pada sindrom otak organik berat, koma, mielopati diberikan terapi agresif dengan
glukokortikoid dosis tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.

Nefritis lupus
Penatalaksanaan umum :
1. Penderita yang diduga menderita nefritis lupus, harus dilakukan biopsi
ginjal (bila tidak ada kontraindikasi) guna menentukan strategi
penatalaksanaan lebih lanjut.
2. Kurangi asupan :
EKA SYAFNITA

a. Garam (bila ada hipertensi)


b. Lemak (bila ada dislipidemia)
c. Protein (bila fungsi ginjal mulai terganggu)
3. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat steroid
4. Berikan loop diuretics untuk mengatasi edema
5. Hindari penggunaan salisilat dan OAINS
6. Terapi agresif terhadap hipertensi
7. Hindrai kehamilan, karena beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan
ginjal
8. Penderita nefritis lupus dengan manifestasi LES kulit, dapat diberikan
OAM
9. Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal meliputi :
a. Tekanan darah
b. Sedimen urin
c. Kreatinin serum
d. Albumin serum
e. Protein urin 24 jam
f. Komplemen C3

2.9.Komplikasi

 Hipertensi (41%)
 Gangguan pertumbuhan (38%)
 Gangguan paru-paru kronik (31%)
 Abnormalitas mata (31%)
 Kerusakan ginjal permanen (25%)
 Gejala neuropsikiatri (22%)
 Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad (3%)
 Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk.
 Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada LES,
dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan
keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.

2.10. Prognosis
Angka harapan hidup :
5 tahun : 85-88%
10 tahun : 76-87%

Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak
penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil
dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan
EKA SYAFNITA

penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan. Angka
harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan
pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

3. Memahami dan menjelaskan pandangan Islam tentang akhidah & sabar, ikhlas,
ridha menghadapi musibah
1. Sabar
Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah
berfirman:
‫واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي‬
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan
senja hari.” (Al-Kahfi: 28)
Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.

Allah berfirman:
‫والذين صبروا ابتغاء وجه ربهم‬
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-Ra’d: 22).

Macam – macam sabar


Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu:
a. Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah
b. Sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah
c. Sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.

2. Ikhlas
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal
yang bisa mencampurinya.

Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi)


Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas
namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang
mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala
beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan
kepada Allah bukan kepada manusia.

Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar
manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau
membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan
EKA SYAFNITA

(komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan
amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan
inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak
menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung
dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb
manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia
tidak meridhoimu).

Ayat – ayat al-quran tentang ikhlas :


"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)."
(QS. Az-Zumar: 2-3).
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama."
(QS. Az-Zumar: 2-3).

3. Ridho
Ridho (‫)رض‬ ِ berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar)
dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa
kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang
digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-
Nya.

Macam – macam ridho


Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah terbagi
menjadi tiga macam:
1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam dan
segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak
dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan bimbang
sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita sebagai umat-Nya.

2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama mengatakan
ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun jauh lebih baik
untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba. Namun rela atau tidak,
mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela terhadap sebuah musibah
buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa,
hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh
syariat.
EKA SYAFNITA

3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha
Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan.
Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan kemungkaran
di muka bumi.

Ayat al-quran tentang ridho


ِْ
‫اْلسَْلم َللاِ ِع ْند ال ِدِّين ِإن‬
“Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah
Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)

ْ‫حسنة أسْوة َللاِ رسو ِل فِي لك ْم كان لقد‬


‫ك ِثيرا َللا وذكر ْاْل ِخر و ْالي ْوم َللا ي ْرجو كان ِلم ْن‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab ayat 21)

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja KG, Rengganis I. (2012). Imunologi Dasar Edisi 10. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.

Davey P. (2002). Medicine at a Glance. England : Blackwell Science Ltd.

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. (2005). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
BalaiPenerbit FKUI.

Isbagio H, Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, volIII
Jakarta : Departemen Penyakit Dalam FKUI.

Goronzy JJ, Weyand CM. The innate and adaptive immune systems. In: Goldman L, Ausiello D,
eds.Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier;2007: chap 42.

Siegel RM, Lipsky PE. Autoimmunity. In: Firestein GS, Budd RC, Harris Ed, et al, eds. Kelley's
Textbook of Rheumatology. 8th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2009:chap 15.

Anda mungkin juga menyukai